1. Perkawinan Monogami
Perkawinan Monogami adalah perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan saja sebagai isterinya dan seorang perempuan dengan
seorang lelaki saja sebagai suaminya, tanpa ada perempuan lain yang menjadi madunya.
2. Perkawinan Poligami
Perkawinan Poligami adalah sebuah bentuk perkawinan dimana seorang lelaki mempunyai beberapa orang isteri dalam waktu yang sama. Seorang
suami mungkin mempunyai dua isteri atau lebih pada saat yang sama. Perkawinan bentuk poligami ini merupakan lawan dari monogamy.
3. Perkawinan Bigami
Perkawinan Bigami adalah bentuk perkawinan, dimana seorang laki-laki mengawini dua perempuan atau lebih dalam masa yang sama dan
semuanya bersaudara.
4. Perkawinan Poliandri
Perkawinan Poliandri adalah bentuk perkawinan, dimana seorang perempuan mempunyai dua suami dalam waktu yang bersamaan.
39
Dua istilah model perkawinan di atas yaitu monogami dan poligami, diakui dan dibolehkan oleh hukumperundang-undangan di Indonesia dan hukum Islam,
Sementara istilah model perkawinan bigami dan poliandri sama sekali tidak dibenarkan.
B. Poligami dalam Sistem Hukum Indonesia
1. Pengertian dan Sejarah Poligami di Indonesia
Poligami yang merupakan salah satu perkawinan yang dikenal dalam masyarakat dan dibenarkan oleh ketentuan UU Perkawinan. Perkataan poligami
berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua pokok kata, yaitu “polu” dan
39
Muhammad Thalib, Orang Barat Bicara Poligami, Wihdah Press, Yogyakarta, Tahun 2004, hal. 23-29
Universitas Sumatera Utara
“gamein”. “Polu” berarti “banyak”; “gemein” berarti “kawin”. Jadi poligami berarti perkawinan yang banyak. Dalam bahasa Indonesia disebut “permaduan”.
40
Dalam teori Ilmu Pengetahuan Hukum, poligami lazimnya dirumuskan sebagai suatu bentuk perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari
seorang wanita. Secara umum poligami secara luas biasanya dipraktekkan oleh bangsa
suku-suku nomaden yang hidup di alam yang keras dan gemar berperang. Di kalangan seperti ini poligami adalah sebuah kebutuhan karena kuat atau
tidaknya suku mereka ditentukan oleh berapa banyak keturunan yang dapat dihasilkan terutama anak laki-laki karena laki-laki dalam komunitas ini dianggap
sebagai komunitas militer. Sementara
perempuan dianggap
hanya sebagai asset untuk memproduksi keturunan yang bahkan juga dijadikan sebagai salah satu harta rampasan
perang bila suku itu kalah atau juga dijadikan alat pertukaran demi perdamaian antar suku.
Di kalangan bangsasuku-suku yang menetap serta tidak banyak mengalami ancaman militer, poligami umumnya hanya dilakukan oleh
kalangan tertentu saja yang biasanya kalangan elite dan berkuasa dimana praktek ini djadikan sebagai salah satu simbol demi meningkatkan status dan sarana
40
Soetoyo Prawirohamijoyo R., Pluralism Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1988, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
memamerkan kekayaan dan kekuasaannya. Sementara poligami di kalangan rakyat kebanyakan biasanya sangat jarang dilakukan.Hal ini juga terjadi di Indonesia
dimana praktek poligami di kalangan rakyat kebanyakan tidak umum dilakukan.
Pada masa pra kemerdekaan sampai masa-masa awal kemerdekaan praktek poligami di Indonesia umumnya hanya dilakukan oleh kalangan
elite masyarakat saja diantaranya kaum priyayi dan elite agama seperti para kyai. Menurut pengamatan Koentjaraningrat ada perbedaan antara praktek
poligami yang dilakukan kalangan priyayi dengan kalangan kyai yaitu kalangan priyayi yang umumnya berasal dari golongan Islam abangan biasanya menyatukan
istri-istrinya dalam satu rumah sementara kalangan kyaisantri sebagian besarnya membuatkan rumah yang terpisah-pisah bagi istri-istrinya, sebagai bagian dari
aturan fiqh.
41
Memasuki era Indonesia modern praktek poligami semakin ditinggalkan oleh masyarakat, bahkan akhirnya menjadi sebuah praktek yang tidak lazim.
Hal ini mengakibatkan pelaku poligami umumnya tidak melakukan praktek ini secara demonstratif seperti pada masa lalu. Praktek poligami dianggap sebagai
praktek yang memalukan dan dapat merusak nama baik pelakunya. Itulah sebabnya sebagian besar perkawinan poligami di Indonesia di era ini dilakukan
41
Jurnal Perempuan No 31, Menimbang Poligami, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2003, 75.
Universitas Sumatera Utara
secara sembunyi-sembunyisirri terutama di kalangan menengah. Di kalangan santri tradisionalis terutama di pedesaan praktek poligami masih marak dilakukan
tapi jumlahnya jauh lebih menurun daripada pada era sebelumnya. Munculnya gerakan garis keras Islam yang berkembang di Indonesia
sejak era 70-80 an dan mempunyai hubungan dengan kelompok serupa di Timur Tengah menimbulkan sebuah fenomena baru dimana kelompok ini memiliki
kecenderungan untuk mempropagandakan poligami bahkan menganggapnya sebagai salah satu solusi untuk mengatasi persoalan bangsa dan masyarakat.
Dalam propagandanya kelompok ini kerap melempar tuduhan bahwa kalangan yang menolak wacana poligami sebagai kalangan yang pro pelacuran atau
perzinahan bahkan secara lebih jauh lagi menuduh mereka sebagai penentang hukum agama.
Jadi secara umum mereka menyederhanakan wacana poligami sebagai bentuk pertarungan antara orang baik melawan versus orang jahat dimana
pendukung poligami diposisikan sebagai orang baik sementara penentangnya orang jahat. Akan tetapi karena secara umum pengikut gerakan ini utamanya
kalangan menengah diperkotaan praktek poligami hanya dilakukan oleh sebagian kecil saja dari mereka. Tapi tidak seperti yang dilakukan kalangan Islam
tradisonalis, praktek poligami yang dilakukan kalangan ini condong meniru pola
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan kaum priyayigolongan Islam abangan pada masa lalu yaitu menyatukan istri-istri mereka dalam satu rumah.
Selain golongan di atas, poligami ditemukan dalam jumlah kecil di kalangan masyarakat bawah, pekerja keras, atau mata pencariannya
mengharuskan mereka sering berpindah tempat seperti pelaut, sopir bus antar kota dan lain-lain. Pelaku poligami dari kalangan ini kebanyakan
bukan dari kalangan agamis bahkan jauh dari nilai-nilai agama seperti suka mabuk-mabukkan, judi, pergi ke pelacuran dan lain-lain.
Akan tetapi yang menarik adalah ketika mereka melakukan praktek poligami mereka selalu mengangkat isu agama sebagai alasan
pembenarannya.
42
2. Perkembangan Hukum masalah Poligami di Indonesia
Di dalam Undang-undang Perkawinan pada masa penjajahan Hindia-Belanda masalah poligami sama sekali tidak diatur.
Demikian pula pada masa awal kemerdekaan dimana masalah Perkawinan diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 yang kemudian
disempurnakan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 yang hanya mengatur masalah pencatatan nikah, talak dan rujuk.
42
Herri Permana, Poligami Dalam Sistim Hukum di Indonesia, LPPKS-BKPRMI Wilayah Jawa Barat, 1997-2000, hal 5.
Universitas Sumatera Utara
Isu pengaturan masalah poligami dalam sistim hukum dan perundangan di Indonesia pertama kali mengemuka pada Kongres Wanita Indonesia pertama
yang diadakan pada bulan Desember 1928 yang diprakasai oleh Aisyiyah sayap perempuan dari pergerakan Muhammadiyah dan diikuti oleh sekitar 30 anggota
organisasi perempuan. Selain isu poligami, isu perkawinan di bawah umur dan kawin paksa
juga menjadi perhatian anggota kongres. Istri Sedar sebuah organisasi perempuan berhaluan kiri yang kemudian menjadi cikal bakal GERWANI menolak ikut
dalam kongres ini sebagai bentuk penentangannya dan penolakannya untuk berkompromi dalam isu poligami.
43
Memasuki era kemerdekaan, wacana anti poligami mendapat batu sandungan yang serius ketika Soekarno Presiden Indonesia saat itu melakukan
praktek polgaminya yang pertama dengan Hartini pada tahun 1954. Organisasi perempuan sayap kiri Gerwani yang sebelumnya sangat menentang hal ini bahkan
menolak segala bentuk kompromi dalam isu poligami, ketika dihadapkan pada kasus ini condong bersikap agak lunak akibat pilihan politik para pemimpinnya
kepada sosok Soekarno, bahkan tuntutan Gerwani tentang masalah poligami dalam isu pembuatan RUU Perkawinan akhirnya semakin melemah,
bahkan di tahun 1964 isu ini kemudian dihilangkan.
44
43
Saskia Wieringa, Organisasi-organisasi Perempuan di Indonesia Sesudah 1950, Kalyamitra, Jakarta , 1998, Jakarta, 1999, hal 26.
44
Ibid., hal 28.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu
organisasi perempuan yang secara keras menentang perilaku
presiden Soekarno adalah Perwari Persatuan Wanita Republik Indonesia yang notabene adalah sebuah organisasi perempuan pro pemerintah yang anggotanya
kebanyakan adalah istri-istri para pejabat sipil dan militer dimana mereka juga mendukung Fatmawati untuk bercerai dengan Soekarno. Beberapa organisasi
perempuan terutama yang berhaluan nasionalis dan sosialis seperti Gerakan Wanita Marhaenis juga ikut menggugat praktek poligami yang dilakukan
Soekarno dan sikap Perwari dan beberapa organisasi perempuan ini dibayar dengan dicabutnya berbagai fasilitas yang sebelumnya dinikmati mereka dari
pemerintah.
45
Bahkan lebih jauh lagi gerakan penentangan terhadap praktek poligami yang dilakukan Soekarno kemudian diposisikan sebagai gerakan Kontra-Revolusioner.
Ketua umum Gerwani pada pidatonya di tahun 1964 mengecam sikap Perwari itu sebagai sebuah sikap yang hanya memperjuangkan kepentingan nyonya
nyonya pejabat tinggi dan merupakan serangan terhadap pribadi Soekarno dan serangan itu harus di jawab karena merupakan bentuk upaya Kontra-
Revolusioner.
46
Sementara itu, gerakan perempuan Islam condong mendiamkan praktek poligami yang dilakukan Soekarno tersebut. Perkawinan Soekarno ini adalah
45
Herri Permana, Op.Cit., hal 5.
46
Saskia Wieringa, Op.Cit., hal 29.
Universitas Sumatera Utara
tamparan kedua bagi kelompok perempuan kontra poligami setelah pada Tahun 1952 pemerintah mengeluarkan Keputusan No 19 Tahun 1952 yang
memberi gaji dua kali lipat bagi pegawai yang berpoligami selain juga tunjangan pensiun bagi janda poligami juga diberikan dua kali lipat yang dibagikan secara
merata kepada masing-masing janda. Keputusan ini menjadi tamparan keras bagi kelompok perempuan
di Komisi Perkawinan yang dibentuk tahun 1950 dan sedang menyusun draft RUU Perkawinan yang menyatakan poligami hanya diizinkan dengan persyaratan-
persyaratan yang keras. Keputusan pemerintah itu mendapat dukungan di kalangan Islam yang diwakili oleh Masyumi dan Partai NU. Organisasi perempuan Islam
seperti Fatayat NU juga secara tegas menyatakan dukungannya. Memasuki era pemerintahan Presiden Soeharto, pembahas RUU Perkawinan yang tertunda akibat
gejolak politik pada pemerintahan sebelumnya akhirnya diteruskan.Pembahasan RUU ini memanas ketika fraksi Islam PPP walk out dari sidang menolak
RUU versi kaum nasionalis yang didukung oleh Fraksi Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia.
Inti penolakan mereka adalah Pasal 11 ayat 2 RUU itu yang mengadopsi Pasal 7 Peraturan Perkawinan Campuran Regeling op Gemeng de Huwelijken
RGH S.1898 No. 158 yang membolehkan perkawinan antar agama. Puncak krisis terjadi ketika massa pemuda Islam menduduki gedung Parlemen ketika sidang
Universitas Sumatera Utara
akan mengesahkan RUU tersebut. Jenderal Soemitro pada saat itu langsung turun tangan dan menemui Presiden Soeharto dengan membawa draft RUU versi
PPP yang kemudian ditandatangai dan disyahkan menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 seperti yang berlaku sekarang. Yang menarik adalah dalam
UU tersebut masalah poligami diatur lebih ketat dari RUU versi kelompok Islam pada masa era Soekarno.
Salah satunya adalah mensyaratkan adanya izin dari istri sebelumnya. Menanggapi kontroversi dalam masalah ini K.H Ibrahim Hosein yang dikutip
Herri Permana menyatakan bahwa masalah izin itu tidak diatur dalam hukum agama jadi hukumnya mubah tetapi penguasa sebagai pihak yang memiliki
peranan untuk membentuk hukum Islam dapat merubahnya menjadi wajib atau haram.
47
Pemberlakuan aturan yang lebih ketat terhadap praktek poligami ini merupakan solusi atau jalan tengah yang ditawarkan kelompok Islam terhadap
tekanan sejumlah fihak yang menghendaki dihapuskannya pasal poligami dalam RUU Perkawinan.
Akan tetapi karena tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelanggaran aturan dalam UU Perkawinan Pasal 3 dan 4 yang mengatur masalah poligami ini
maka aturan itu seringkali diabaikan. Bahkan dari 4500 kasus poligami yang
47
Herri Permana, Op.Cit., hal .5-7.
Universitas Sumatera Utara
ditangani Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga 50 nya dilakukan oleh kalangan pejabat dan pegawai negri sipil.
48
Hal inilah yang kemudian mendorong sejumlah ibu-ibu pejabat mendesak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang
mengatur masalah Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, dimana pengaturan praktek poligami bagi kalangan pejabat dan Pegawai Negri
Sipil semakin diperketat. Dengan diterbitkannya PP No 10 Tahun 1983 ini, maka menurut Ny Suprapti Soeprapto payung pelindung bagi istri pegawai negeri
makin kokoh.
49
Keberadaan PP Nomor 10 Tahun 1983 yang kemudian juga lengkapi dengan PP No. 45 Tahun 1990 dengan sendirinya merupakan suatu bentuk pengawasan
terhadap pelaksanaan poligami dalam praktek di Indonesia khususnya bagi kalangan pegawai negeri sipil sedangkan bagi kalangan masyarakat umum
bentuk pengawasan tetap didasarkan pada ketentuan dalam UU Perkawinan yang mengharuskan adanya syarat izin dari isteri maupun izin pengadilan.
Akan tetapi, masalah izin istri ini kemudian dilemahkan dengan terbitnya Kompilasi Hukum Islam Indonesia KHI melalui Inpres Nomor 1 Tahun
1991, di mana dalam Pasal 59 KHI yang menyatakan Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang
48
Ibid.
49
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam Pasal 55 ayat 2 dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa
dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding
atau kasasi. Pasal ini memberi otoritas bagi Pengadilan agama untuk memberi
izin berpoligami bagi seorang suami walaupun istri tidak mengizinkannya. Tapi kelemahan utama dari undang-undang maupun peraturan yang mengatur masalah
perkawinan adalah tidak adanya tindakan hukum yang tegas yang mengatur masalah sanksi bagi pelaku perkawinan bawah tangan. Padahal pelaku poligami
di Indonesia sebagian besarnya melakukannya secara bawah tangansirri dan ini juga menyebabkan mereka secara legal formal lepas dari kewajiban dan tanggung
jawabnya sebagaimana yang diatur UU Perkawinan.
50
Beranjak dari model perkawinan sebagaimana dikemukakan pada sub bab terdahulu, di atas maka UU Perkawinan sebenarnya menganut asas monogami. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat 1 UU Perkawinan yang menentukan bahwa “Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.
50
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Namun ketentuan tentang adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam Pasal 3 ayat 2 UU Perkawinan disebutkan dimana
pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 3 ayat 2 UU Perkawinan tersebut di atas membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami apabila dikehendaki oleh
istri pertama tentunya dengan izin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat karena ada agama
yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami.
Khusus yang beragama Islam harus mendapat ijin dari pengadilan agama Pasal 51 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam dan yang beragama selain Islam harus
mendapat ijin dari pengadilan negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk itu.
Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika si suami tidak
bisa memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu. Di samping itu, si suami harus terlebih dahulu mendapat ijin dari pengadilan agama, jika
tanpa izin dari pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Hal ini secara jelas ditentukan dalam Pasal 4 ayat 2 UU
Perkawinan bahwa seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, wajib mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada Pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mendapatkan ijin dari pengadilan, suami harus pula memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang
alasan yang dapat dibenarkan ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5 UU Perkawinan yang menentukan:
1 Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
adanya persetujuan dari isteriisteri-isteri; b.
adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anak mereka. 2 Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila isteriisteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau
apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 dua tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian
dari Hakim Pengadilan.
Mengenai persyaratan
persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya
poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan
persetujuan lisan dari istri pada sidang pengadilan agama. Persetujuan dari istri yang dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya
tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya
2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama. Persetujuan secara lisan ini nantinya si istri akan dipanggil
Universitas Sumatera Utara
oleh Pengadilan dan akan didengarkan oleh majelis hakim, tidak hanya istri tetapi suami juga akan diperlakukan hal yang sama. Kemudian pemanggilan pihak-pihak
ini dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam Pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan.
51
Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri- istrinya dan anak-anak dengan memperlihatkan :
1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja.
2. Surat keterangan pajak penghasilan. 3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
52
Adapun proses dalam acara pengadilan agama dimana dalam pemeriksaan pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. Pemeriksaan
pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterima surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
53
Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari satu maka
pengadilan memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristri lebih dari seorang.
51
A. Mukti Arto, Praktek-praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Tahun 2003, hal. 65
52
Pasal 41 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974
53
Pasal 42 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974
Universitas Sumatera Utara
C. Faktor Penyebab Terjadinya Tuntutan Pembatalan Poligami Tanpa Izin