dan persetujuan dimaksud tidak bisa tidak harus diperolehnya dan jika tidak ada, maka berdasarkan Pasal 24 UU Perkawinan, isterinya yang terdahulu dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada pengadilan terhadap perkawinan suami yang berikutnya.
C. Pertimbangan Hakim Terhadap Tuntutan Pembatalan Perkawinan Poligami
Tanpa Izin Setiap manusia di atas permukaan bumi ini pada umumnya selalu
menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi miliknya. Sesuatu kebahagiaan tidak akan tercapai dengan mudah tanpa mematuhi segala
peraturan yang telah digariskan oleh agama. Salah satu jalan untuk mencapai suatu kebahagiaan ialah dengan jalan perkawinan, hal ini tergambar dalam tujuan
perkawinan yaitu menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal antara suami dan isteri.
90
Dalam pelaksanaan perkawinan di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh berbagai hukum agama, sehingga dalam penerapannya mungkin saja menimbulkan
persoalan-persoalan baru yang sulit untuk dicarikan jalan penyelesaiannya. Dengan demikian sangatlah wajar apabila hukum agama dari orang-orang yang
melangsungkan perkawinan berpengaruh terhadap pelaksanaan perkawinan.
90
A. Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 56–57.
Universitas Sumatera Utara
Di dalam
UU Perkawinan
menentukan bahwa sahnya suatu perkawinan apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari
orang yang melangsungkan perkawinan. Adanya ketentuan demikian membawa konsekuensi yuridis bahwa perkawinan pada satu sisi haruslah memenuhi syarat
menurut ketentuan undang-undang dan pada sisi lainnya harus pula memenuhi syarat sebagaimana yang berlaku menurut hukum agamanya.
Dalam praktiknya kondisi ini menimbulkan problematika dalam lapangan hukum perkawinan, sebab suatu syarat yang ditegaskan oleh undang-undang
belum tentu merupakan syarat sah perkawinan menurut hukum agama, akibatnya tidak jarang terjadi perkawinan itu berlangsung tanpa mengindahkan ketentuan
yang terdapat dalam undang-undang. Persoalan yang menarik untuk dianalisis bahwa menurut undang-undang, perkawinan dapat dibatalkan oleh pengadilan jika
syarat perkawinan tidak dipenuhi. Syarat yang dimaksudkan bukan terbatas pada syarat menurut hukum agama tetapi juga syarat yang ditentukan oleh undang-
undang, sementara ketiadaan syarat tersebut bukan berarti perkawinannya tidak sah menurut agama, dengan kata lain tidak menyebabkan haramnya hubungan
kelamin antara pasangan suami isteri. Masalah pembatalan perkawinan termasuk salah satu perkara perdata, oleh
karena itu di dalamnya diatur oleh hukum acara perdata. Hukum acara perdata menentukan bahwa seseorangbeberapa orang badan hukum sebagai yang berhak
Universitas Sumatera Utara
atau tidak untuk bertindak sebagai penggugatpemohon untuk mengajukan gugatanpermohonan, mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan.
Karena dengan tidak berhaknya untuk bertindak sebagai penggugatpemohon akan menentukan dapat diterima dan tidaknya suatu gugatanpermohonan. Seandainya,
penggugatpemohon sebagai yang berhak untuk mengajukan gugatanpermohonan, maka pemeriksaan akan memasuki pokok perkara.
91
Memperhatikan beberapa hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan menurut ulama-ulama fiqih sebagaimana yang telah diuraikan di atas,
terlihat adanya perbedaan dengan alasan pembatalan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan, misalnya dalam hal persyaratan yang bersifat formalitas,
bahwa menurut UU Perkawinan jika perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, maka perkawinan tersebut dapat
dibatalkan.
92
Menurut hukum Islam, ketentuan demikian tidaklah merupakan syarat sah perka-winan, dengan kata lain sekalipun perkawinan dilaksanakan di hadapan
pegawai pencatatan perkawinan yang tidak berwenang, tetapi sepanjang rukun- rukun dan syarat-syarat menurut syari telah dipenuhi, maka perkawinan tersebut
sah dan tidak dapat dibatalkan. Adanya perbedaan tersebut menyebabkan
91
Retnowulan Sutanto, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, cet. VIII, Mandar Maju, Bandung 1997, hal. 18-19.
92
Hasil Wawancara dengan, Drs. Hafifulloh, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Medan, April 2010.
Universitas Sumatera Utara
terjadinya ketidakpastian hukum, karena menurut UU Perkawinan, tidak terpenuhinya syarat formalitas, maka perkawinannya batal, sedangkan menurut
hukum Islam, perkawinannya sah. Hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama yang berpendapat,
bahwa jika perkawinan telah memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan dalam syariat Islam, maka perkawinan tersebut sah, berarti tidak ada alasan untuk
membatalkannya, kecuali dikemudian hari ada hal-hal yang menghalangi maksud perkawinan. Walaupun pengadilan membatalkan perkawinan karena tidak
memenuhi persyaratan formalitas, bukan berarti perkawinan yang telah berlangsung adalah haram hukumnya. Beliau memberikan penjelasan lebih lanjut,
jika rukun dan syarat telah dipenuhi dan suami tidak pernah menjatuhkan talaq terhadap istrinya, sebaliknya isteri juga tidak mengajukan fasakh terhadap
perkawinan itu, kemudian dibatalkan oleh pengadilan atas permintaan pihak lain, karena ada persyaratan dalam undang-undang yang tidak dipenuhi, maka kedua
pasangan suami isteri tersebut masih dihalalkan melakukan hubungan suami isteri.
93
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh hakim Pengadilan Negeri
Medan lainnya, bahwa yang menjadi ukuran utama terhadap sahnya perkawinan
adalah dipenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat berdasarkan hukum Islam,
93
Hasil Wawancara dengan, Drs. Hafifulloh, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Medan, April 2010.
Universitas Sumatera Utara
tetapi demi menjaga adanya kepastian hukum terhadap kelangsungan perkawinan, syarat-syarat formil yang ditetapkan dalam undang-undang, juga harus dipenuhi
oleh masing-masing pihak, misalnya yang berhubungan dengan pencatatan perkawinan.
Perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan formalitas, bukan berarti perkawinan yang tidak sah, namun beliau tidak memberikan pendapatnya
tentang kehalalan hubungan kelamin suami isteri yang perkawinannya dibatalkan oleh pengadilan karena tidak terpenuhi persyaratan formalitas tersebut.
94
Mengutip kedua pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa jika rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan yang ditetapkan dalam hukum Islam
telah dipenuhi, walaupun kemudian pengadilan membatalkannya, karena adanya tuntutan pihak lain dengan alasan tidak dipenuhinya persyaratan formalitas, maka
pembatalan perkawinan itu tidak mengikat bagi suami isteri berdasarkan hukum Islam, hanya saja perkawinannya tidak lagi tercatat, dengan kata lain secara
materil perkawinannya sah, tetapi secara formil bukan merupakan perkawinan yang tercatat. Dapat pula disimpulkan bahwa, pasangan suami isteri yang
perkawinannya tersebut telah dibatalkan pengadilan, tetap saja dihalalkan untuk berhubungan kelamin senggama.
Berdasarkan hasil penelaahan dari kasus pada Pengadilan Agama Medan yaitu kasus pembatalan perkawinan yaitu Putusan No. 260Pdt.G2004PA.Medan,
di mana dalam hal ini pihak isteri pembatalan perkawinan karena keberatan
94
Hasil Wawancara dengan, Dra. Harmala Harahap, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Medan, April 2010.
Universitas Sumatera Utara
dengan tindakan suaminya yang menikah lagi tanpa izin bahkan telah memanipulasi atau merekayasa status lihat Lampiran. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa adanya kecacatan perkawinan hanyalah dalam hal tidak terpenuhinya syarat menurut undang-undang walaupun menurut ketentuan hokum
Islam sudah dipenuhi oleh Termohon I dan Termohon II, dengan kata lain perkawinan mereka sah menurut ketentuan hukum Islam, tetapi tidak menurut
undang-undang. Hal ini disebabkan karena hukum Islam tidak ada menentukan bahwa izin pengadilan maupun persetujuan isteri merupakan syarat sah
berpoligami, demikian pula izin pejabat atasan bagi wanita yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, jika ia akan menjadi isteri dari seorang laki-laki yang telah
mempunyai isteri, bukanlah merupakan syarat sah perkawinan. Dari kasus tersebut dapat diketahui bahwa satu-satunya yang dapat dijadikan
dasar gugatan untuk membatalkan perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II, sebenarnya hanya karena tidak adanya persetujuan dari Pemohon
dan izin berpoligami dari pengadilan, tetapi jika dipedomani pendapat para ulama fiqih, maka tidak ada alasan untuk membatalkan perkawinan tersebut,
berhubung dalam hukum Islam bahwa persetujuan isteri dan izin berpoligami dari pengadilan, bukan merupakan syarat perkawinan.
Adanya perbedaan antara UU Perkawinan dengan hukum Islam tentang alasan pembatalan perkawinan tersebut, menimbulkan konsekuensi yang berbeda
pula. Pertama, setelah perkawinan Termohon I dengan Termohon II dibatalkan
Universitas Sumatera Utara
oleh Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, maka mereka tidaklah tercatat lagi sebagai pasangan suami isteri. Kedua, berhubung akad perkawinan itu sah
menurut hukum Islam, maka setelah perkawinan mereka dibatalkan, bukan berarti mereka tidak dihalalkan melakukan senggama.
Alasan pembatalan
perkawinan karena tidak terpenuhinya persyaratan-
persyaratan formalitas, dapat menimbulkan berbagai persoalan lain terhadap perkawinan itu sendiri, karena persyaratan tersebut bukanlah merupakan syarat sah
perkawinan menurut hukum Islam. Batalnya perkawinan dengan alasan demikian bukanlah berarti mengharamkan hubungan kelamin antara pasangan suami isteri,
melainkan hanya menimbulkan suatu konsekuensi hukum bahwa perkawinan yang telah dibatalkan tidak lagi merupakan perkawinan yang tercatat.
Ketentuan tentang tidak terpenuhinya persyaratan yang bersifat formalitas yang merupakan salah satu alasan batalnya perkawinan sebagaimana diatur dalam
UUP, menjadi tidak efektif jika setelah perkawinan dibatalkan, ternyata pasangan suami isteri masih dihalalkan melakukan senggama. Ketidakefektifan peraturan ini
dapat menimbulkan akibat lainnya, terutama dalam hal penentuan status hukum anak yang dilahirkan setelah perkawinan orang tuanya dibatalkan. Hal ini dapat
dilihat pada kasus tersebut, dimana diketahui bahwa dalam perkawinan aantara Termohon I dan Termohon II telah lahir seorang anak, akan tetapi dalam
putusannya hakim tidak memuat putusan mengenai tanggung jawab terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Setelah perkawinan dibatalkan oleh pengadilan, pasangan suami isteri tersebut tetap saja dapat hidup sebagaimana layaknya pasangan suami isteri
karena perkawinannya sah menurut syarI hukum Islam. Selanjutnya dari perkawinan yang telah dibatalkan lahir anak, persoalan berikutnya adalah
berhubungan dengan penentuan nasab dan hak-haknya terhadap harta peninggalan warisan.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KEDUDUKAN ANAK DAN TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP