mendapatkan nafkah dari orang tuanya, dan sebaliknya anak yang sudah dewasa dan mampu wajib memberi nafkah kepada orang tuanya yang
tidak mampu.
C. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak yang Lahir Dari Perkawinan
Poligami yang Dibatalkan
Ditegaskan dalam Pasal 42 UU Perkawinan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak yang
tidak sah atau anak luar kawin adalah anak yang tidak dilahirkan di dalam atau sebagai akibat suatu perkawinan yang sah. KUH Perdata mengenal 2 macam anak,
yaitu anak sah dan anak luar kawin. Anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Anak sah menurut Hukum Islam adalah : 1.
Anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah 2.
Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
139
Hukum Adat memandang anak yang dilahirkan dalam suatu ikatan hubungan perkawinan yang sah mempunyai kedudukan penuh sebagai anak sah. Jadi, dalam
Hukum Islam setiap anak adalah anak sah apabila pada saat dilahirkan, wanita yang melahirkan ada dalam ikatan perkawinan dengan seorang pria. Jangka waktu
139
Lihat Pasal 99 Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Universitas Sumatera Utara
antara saat dilangsungkannya perkawinan kedua orang tua dengan saat kelahiran anak bukan merupakan faktor penting untuk mengukur keabsahan seorang anak.
Ketentuan hukum mengenai perkawinan yang berlaku di Indonesia menganut prinsip bahwa anak yang sah didasarkan atas suatu perkawinan yan gsah
dari kedua orang tuanya dan anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan memperoleh suami sebagai bapaknya. Dengan demikian dapat
diartikan anak itu lahir akibat satu perkawinan yang sah antara sepasang suami isteri, meskipun ternyata ia anak secara biologis bukan anak dari suami yang
mengawini ibu si anak. Anak sah dalam arti sempurna adalah anak yang menurut darahnya merupakan keturunan dari kedua orang tua yang kawin tersebut. Anak
luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Anak sah merupakan anak yang lahir didalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. Perkawinan baru dianggap sah apabila dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya, serta dicatat pada
pegawai pencatat yang berwenang. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU Perkawinan.
Didasarkann Pasal 28 ayat 2 UU Perkawinan bahwa keputusan pembatalan perkawinan kedua orang tua tidak berlaku surut terhadap :
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
b. Suami dan isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas dasarnya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang
mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Universitas Sumatera Utara
Kedudukan anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan dalam Hukum Islam tidak berbeda dengan yang diatur dalam UU Perkawinan bahwa keputusan
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut atau anak tersebut merupakan anak sah. Didasarkan
Kompilasi Hukum Islam bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
140
Pembuktian anak sah dilakukan dengan akta kelahiran anak tersebut, karena akta kelahiran membuktikan bahwa seorang anak yang namanya disebutkan disana
adalah keturunan dari orang yang disebutkan didalamnya. Oleh karena itu setiap kelahiran seorang anak wajib didaftarkan sebagai bukti pengakuan hukum status
seorang anak, maka pemerintah mengeluarkan akta kelahiran. Apabila akte kelahiran tersebut tidak ada, maka pengadilan baik Pengadilan Agama maupun
Pengadilan Negeri dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah dilakukan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi
syarat. Atas dasar penetapan pengadilan tersebut, maka catatan sipil mengeluarkan akte kelahiran anak tersebut.
141
Apabila seorang anak tidak memiliki akta kelahiran, maka untuk membuktikan bahwa ia adalah anak sah yaitu jika anak tersebut setlah menikmati
suatu perlakuan nyata dari orang tuanya sama seperti terhadap anak sah.
140
Hasil Wawancara dengan Drs. Hafifulloh, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Medan, April 2010.
141
Hasil Wawancara dengan Dra. Harmala Harahap, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Medan, April 2010.
Universitas Sumatera Utara
Kedudukan sebagai anak sah harus terus menerus dan tidak boleh terputus. Kedudukan itu harus dapat dibuktikan dengan fakta-fakta yang secara keseluruhan
atau satu persatu menunjukkan pertalian keturunan dari orang yang harus ditetapkan kedudukannya dengan orang yang menurunkannya.
Dasar keabsahan
seorang anak adalah perkawinan yang sah dari kedua orangtuanya, yang dibuktikan dengan akta perkawinan. Apabila akta perkawinan
tidak ada dan kedua orangtuanya telah meninggal dunia, maka anak tersebut dapat membuktikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari ia mendapat perlakuan sebagai
anak sah dalam keluarga orang tuanya dan orang tuanya tampak hidup bersama suami isteri. Apabila akta kelahiran tidak ada dan kenikmatan terus menerus
sebagai anak sah tidak dibuktikan, maka keabsahan anak tersebut dapat dibuktikan dengan saksi-saksi.
Fungsi Catatan Sipil sebagai lembaga yang melakukan pencatatan dan pembuatan akta atas peristiwa-peristiwa yang mempunyai arti penting
bagi manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban. Lembaga Catatan Sipil bertujuan untuk memungkinkan pencatatan selengkap-lengkapnya serta
memberikan kepastian tentang peristiwa tersebut dan dibukukan untuk bersangkutan maupun orang lain yang berkepentingan mempunyai bukti tentang
peristiwa tersebut.
142
142
Hasil Wawancara dengan Drs. Hafifulloh, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Medan, April 2010.
Universitas Sumatera Utara
Apabila seorang anak lahir setelah perkawinan kedua orang tua berakhir, undang-undang baik UU Perkawinan maupun KUH Perdata memberikan
kesempatan kepada suami untuk mengingkari keabsahan anak yang bersangkutan. UU Perkawinan tidak menyebutkan adanya suatu tanggang waktu untuk dapat
menentukan sah atau tidaknya seorang anak. Oleh karena itu, didasarkan Pasal 66 UU Perkawinan, hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang ini, maka
ketentuan lama mengenai perkawinan masih berlaku. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat suatu perkawinan mempunyai kedudukan yang penuh sebagai anak sah, baik dalam arti yurudis maupun dalam arti sosial, baik anak itu lahir dari
perkawinan pertama, kedua, maupun perkawinan selanjutnya. Putusnya perkawinan karena pembatalan tidak saja mempunyai akibat langsung terhadap
hubungan suami isteri, tetapi juga berakibat terhadap hubungan antara suami isteri dengan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut terutama terhadap tanggung
jawab orang tua setelah perkawinanya dibatalkan. Didasarkan Pasal 22 UU Perkawinan bahwa pembatalan perkawinan dapat
dilakukan apabila para pihak tidak memnuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Syarat sahnya perkawinan berdasarkan Pasal 2 UU Perkawinan
adalah perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing serta dicatat oleh pegawai pencatat perkawinan yang berwenang.
Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan meliputi syarat material dan syarat formil. Syarat material yaitu syarat yang berkaitan dengan pihak-pihak yang
Universitas Sumatera Utara
melangsungkan perkawinan, terdiri dari harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak; mendapat ijin orang tua, apabila calon mempelai belum berusia
21 tahun; sudah berumur 19 tahun bagi pria dan berumur 16 tahun bagi wanita; tidak ada larangan perkawinan; tidak telah bercerai untuk kedua kalinya dengan
suami atau isteri yang hendak dikawini; tidak masih terikat dalam suatu perkawinan kecuali bagi mereka yang agamanya mengijinkan untuk berpoligami;
haruis lewat masa hukum dan diakui oleh negara. Perkawinan merupakan sesuatu yang suci dan sakral, maka setiap perkawinan harus mengikuti kaidah perkawinan
sesuai dengan norma agama dan apabila menyimpang diangagp perkawinan tersebut tidak sah.
Pencatatan perkawinan pada lembaga yang berwenang dimaksudkan agar perkawinan yang telah dilangsungkan secara agama mendapat pengukuhan dari
negara, yaitu dengan diberikannya akta nikahperkawinan. Pencatatan perkawinan dilakukan di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil sesuai dengan
perkawinan menurut agama mempelai dilakukan. Setelah perkawinan tersebut dicatat secara resmi didepan pegawai pencatat yang berwenang, maka perkawinan
tersebut sah secara hukum. Perbedaan
pencatatan perkawinan
di Indonesia diatur secara tegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, untuk pasangan calon suami isteri
yang beragama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama sedangkan bagi calon suami isteri non muslim dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Bagi perkawinan kedua
dan selanjutnya, seorang suami yang masih terikat perkawinan dengan isteri
Universitas Sumatera Utara
pertama, selain syarat-syarat sahnya perkawinan tersebut juga diperlukan izin dari pengadilan.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya adalah:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keats dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang;
d. Pejabat yang ditunjuk;
e. Orang yang karena perkawinan masih terikat dengan salah satu dari kedua
belah pihak.
143
Alasan-alasan yang dapat diajukan untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang dilangsungkan dihadapan
pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang; wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah; perkawinan dilangsungkan tanpa dihadapi oleh
dua orang saksi; perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum; ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami
atau isteri; apabila perkawinan tersebut merupakan perkawinan kedua atau seterusnya dari seroang suami tanpa izin pengadilan, maka isteri pertama dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan terhadap perkawinan tersebut.
144
143
Lihat Pasal 23 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
144
Lihat Pasal 23 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
Apabila alasan untuk mengajukan pembatalan perkawinan karena perkawinan dilangsungkan dihadapan pegawai pencatatan perkawinan yang
tidak berwenang; wali nikah tidak sah; tidak dihadiri 2 orang saksi; tetapi mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri, maka hak untuk mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan yang diberikan kepada suami atau isteri gugur.
Seorang isteri
dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan suaminya yang menikah lagi tanpa adanya izin dari pengadilan, karena asas
monogami terbuka yang dianut dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Asas monogami terbuka adalah asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya
boleh mempunyai seorang isteri dari seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, tetapi apabila agamanya mengijinkan maka seorang suami
diperbolehkan untuk mempunyai isteri lebih dari seorang dengan syarat-syarat tertentu. Apabila seorang suami hendak mempunyai isteri lagi, maka ia harus
mempunyai izin dari pengadilan dengan alasan yang tepat dan telah memenuhi syarat untuk ditetapkan peraturan yang berlaku.
Alasan-alasan yang dapat diajukan seorang suami yang akan beriteri lebih dari seorang adalah isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
isteri mendapat catat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi suami untuk dapat mengajukan permohonan menikah lagi ke pengadilan adalah adanya persetujuan isteri; adanya
Universitas Sumatera Utara
kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak- anaknya; adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka. Keputusan
Pengadilan pembatalan
perkawinan tidak disertai akibat hukum pembatalan perkawinan baik terhadap suami isteri maupun terhadap orang tua
kepada anak, karena tidak diatur secara tegas dalam UU Perkawinan maupun peraturan pelaksanaanya.
Hakim tidak dapat memutus melebihi apa yang digugat karena hakim terjebak dengan hukum acara ultra petitum, sehingga putusan pembatalan
perkawinan tidak disertai dengan putusan akibat hukum dari pembatalan perkawinan tersebut. Hal ini berbeda dengan kasus perceraian, dimana putusan
perceraian disertai segala akibat hukumnya, karena dalam undang-undang diatur secar tegas mengenai akibat hukum perceraian.
145
Pembatalan perkawinan tidak menyebabkan hapusnya kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap anak. Tanggung jawab orang tua tetap
berlangsung walaupun perkawinan orang tua berakhir, hal ini ditegaskan dalam hukum positif Indonesia. UU Perkawinan dalam Pasal 45 menjelaskan bahwa
kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya. Kewajiban orang tua itu berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri
sendiri, kewajiban mana berlaku meskipun perkawinan antara kedua orang tua
145
Hasil Wawancara dengan Drs. Hafifulloh, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Medan, April 2010.
Universitas Sumatera Utara
putus. Kewajiban dan tanggung jawab orang tua dijelaskan pula dalam Pasal 26 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 bahwa tanggung jawab orang tua mengasuh,
memelihara, mendidik dan melindungi anak serta menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya.
146
Kewajiban dan tanggung jawab orang tua setelah perkawinan putus karena perceraiannya telah diatur dalam UU Perkawinan, yaitu dalam Pasal 41, bahwa
baik bapak ataupun ibu berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata untuk kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak Pengadilan memberikan keputusanya; biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab bapak, kecuali dalam kenyataanya
pihak bapak tidak mampu melakukan kewajibannya, maka pengadilan dapat menentukan isteri ikut memikul biaya tersebut; pengadilan dapat mewajibakan
kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan danatau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
147
Pada hakikatnya anak berhak diasuh oleh kedua orang tuanya karena orang tua paling bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.
Orang tua pula yang memiliki ikatan batin yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun. Ikatan ini yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak
sampai dewasa.
146
Lihat Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
147
Lihat Pasal 41 Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
Universitas Sumatera Utara
Apabila terjadi perselisihan yang timbul antara suami isteri yang perkawinanya dibatalkan terhadap tanggung jawab pemeliharaan dan pengasuhan
anak, maka Hakim wajib memperhatikan prinsip-prinsip dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Konvensi Hak Anak, yaitu prinsip yang terbaik
bagi anak dan prinsip non diskriminasi. Kepentingan terbaik untuk anak menjadi prinsip tatkala sejumlah kepentingan lainnya melingkupi kepentingan
anak. Non diskriminasi artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan
apapun.
148
Prinsip-prinsip tersebut berlaku karena seorang anak merupakan individu yang belum matang, baik secara fisik maupun mental sehingga kondisi anak kasih
rentan. Perlindungan terhadap hak-hak anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan diperlukan atas dasar setiap orang mempunyai kedudukan yang sama
dihadapan hukum sebagai subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban. Setiap anak mempunyai hak yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yaitu
hak untuk diasuh, dipelihara, dididik, dan dilindungi oleh kedua orang tuanya. Hak-hak anak tidak hanya mengenai perlindungan atas jiwa dan raganya, tetapi
mencakup pembinaan, pengembangan dan pertumbuhan secara wajar baik rohani, jasmani dan sosial. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri
kecuali jika ada alasan dan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa
148
Ruben Ahmad, Upaya Penyelesaian Masalah Anak Yang Berkonflik dengan Hukum di Kota Palembang, Makalah, FH. Sriwijaya, Palembang, 2005. hal. 4
Universitas Sumatera Utara
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan pertimbangan akhir. Pemisahan dimaksud tidak menghilangkan hubungan anak dengan orangtanya.
Hak anak untuk mengetahui siapa orang tuanya dalam arti asal usulnya, dimaksudkan untuk menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah antara
anak dengan orang tua kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya.
Walaupun tidak memegang kuasa asuh terhadap anak, tetapi orang tua tetap mempunyai kewajiban terhadap biaya pemeliharaan dan pendidikan anak.
Ketentuan yang mengatur tentang kekuasaan orang tua terhadap anak dalam Pasal 47 dan Pasal 49 UU Perkawinan, yang menjelaskan bahwa anak yang belum
mencapai 18 tahun delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuaasan orang tuanya selama mereka tidak dicabut
kekuasaasnya dan orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Kekuasaan orang tua dapat dicabut
apabila salah seorang atau kedua orang tua dicabut kekuasaanya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga
anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung pengadilan dalam hal-hal ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya atau ia berkelakuan buruk
sekali. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
149
149
Lihat Pasal 47 dan Pasal 49 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
Penguasaan orang
tua dalam
Hukum Islam dibedakan antara Hadhanah yaitu memelihara orangtuaanaknya yang belum dewasa, hal mana meliputi
pemeliharaan fisiknya, pemberian tempat kediaman, pemberian pendidikan; dan wilayatul mal, memelihara harta benda si anak dan kepentingan-kepentingan si
anak yang berhubungan dengan kekayaan tersebut. Hadhanah pada hakekatnya dilakukan oleh kedua orangtuanya, kecuali bila perkawinan kedua orang tuanya
putus, apakah anak masih dibawah umur atau sudah dewasa. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum bermur 12 tahun
menurut Hukum Islam dipandang lebih patut diberikan kepada ibunya demi kemaslahatan atau kebaikan anak. Syarat-syarat kemampuan untuk menerima
hadhanah adalah berakal, dewasa, mampu melaksanakan, dapat dipercaya, adanya pertalian rahim dengan anak yang diasuhnya, tidak menolak hadhanah tanpa biaya
terhadap anak-anak yang masih menyusui. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memelihara diantara ayah atau ibunya
sebagai pemegang hak pemeliharaanya dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
150
Kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai mereka kawin dan dapat berdiri sendiri, hal mana berarti pula bahwa walaupun
anak sudah kawin jika kenyataanya belum dapat berdiri sendiri masih tetap merupakan kewajiban orang tua untuk memelihara anaknya.
150
Hasil Wawancara dengan Drs. Hafifulloh, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Medan, April 2010.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, maka berikut ini juga dikemukakan beberapa kesimpulan dan saran dari
hasil analisis.
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari hasil pembahasan pada bab-bab terdahulu adalah sebagai berikut:
1. Faktor penyebab terjadinya tuntutan pembatalan perkawinan poligami tanpa
izin secara umum dapat diakibatkan karena faktor suami melakukan poligami tanpa izin isteri atau Pengadilan Agama, faktor wanita yang diperistri ternyata
masih memiliki status perkawinan dengan orang lain, faktor perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau wali yang tidak berhak dan perkawinan
dilakukan dengan keterpaksaan. Pada kasus yang dijadikan sampel alasan yang diajukan oleh pihak isteri pertama adalah akibat pihak suami melakukan
pernikahan untuk kedua kalinya tanpa seizin dan sepengetahuannya dan juga pengadilan serta telah merekayasa status pribadinya sebagai jejaka.
2. Pertimbangan hakim terhadap tuntutan pembatalan perkawinan poligami tanpa
izin adalah karena adanya kecacatan dalam pelaksanaan perkawinan khususnya pada ketentuan dalam UU Perkawinan khususnya dalam hal tidak terpenuhinya
syarat menurut undang-undang walaupun menurut ketentuan hukum Islam
134
Universitas Sumatera Utara