Alasan Pembatalan Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. b. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk anak-anak dan suami atau isteri tersebut di atas sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 85

B. Alasan Pembatalan Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan

UU Perkawinan telah mengatur tentang pembatalan perkawinan, ketentuannya terdapat pada Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 UU Perkawinan. Selain itu, ketentuan pembatalan perkawinan, diatur pula pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, tentang pelaksanaan UU Perkawinan, yaitu pada Pasal 37 dan Pasal 38. Demikian juga dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang- undangan Perkawinan bagi yang Beragama Islam, ada satu pasal yang mengatur pembatalan perkawinan, yaitu pada Pasal 27. 85 Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal. 83. Universitas Sumatera Utara Pasal 22 UU Perkawinan, menegaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Penjelasan Pasal 22, menyebutkan bahwa istilah “dapat” berarti bisa batal atau bisa tidak batal, apabila menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Apa yang dimaksud dengan pembatalan perkawinan itu sendiri, UU Perkawinan tidak memberikan penjelasan lebih lanjut secara rinci. Istilah “dapat” dalam UU Perkawinan yang berarti “bisa batal” atau “bisa tidak batal” bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain, sebenarnya menyebabkan terjadinya kerancuan ketidakpastian hukum terhadap aturan pembatalan perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang batal menurut UU Perkawinan, belum tentu batal menurut syari’at Islam, karena ukuran tentang batal atau tidaknya suatu akad perkawinan, tetap saja dikembalikan kepada hukum agama para pihak yang melangsungkan perkawinan. Istilah batalnya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal. Menurut literatur dalam ilmu hukum, batal dapat diartikan batal demi hukum batal mutlak, dapat pula diartikan dapat dibatalkan, yang prosedur keduanya berbeda. Dapat dibatalkan prosedurnya harus dimohonkan kepada hakim, 86 sedang batal mutlak, hakim 86 R. Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1993, hal. 136. Universitas Sumatera Utara berwenang karena jabatannya mengucapkan pembatalan, meskipun tidak ada permintaan para pihak. 87 Penggunaan istilah dapat dibatalkan dalam UU Perkawinan berarti dapat ditafsirkan menjadi relatif nietig, dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan, lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu. 88 Memperhatikan penjelasan Pasal 22 UU Perkawinan, berarti terhadap perkawinan yang tidak memenuhi syarat ada dua kemungkinan, pertama perkawinan tersebut dapat dibatalkan, kedua dapat tidak dibatalkan jika ada pengecualian dari hukum agama para pihak yang telah melangsungkan perkawinan. Perkawinan dapat dibatalkan bukan saja karena tidak terpenuhinya syarat perkawinan, tetapi berdasarkan Pasal 24, 26 dan 27 UUP, pembatalan dapat pula dilaksanakan jika: 1. Salah satu pihak masih terikat dengan perkawinan lain. 2. Perkawinan tersebut dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang atau wali nikahnya tidak sah atau karena tidak dihadiri dua orang saksi. 3. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. 4. Pada waktu perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. 87 Ibid., hal 137 88 Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2002, hal. 25. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Pasal 37 PP No. 9 Tahun 1975, bahwa batalnya perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan. Konsekuensi dari ketentuan ini bahwa antara suami isteri tidaklah dibenarkan membatalkan perkawinannya secara langsung tanpa melalui proses permohonan pembatalan di pengadilan dan proses permohonannya sama dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 PP No. 9 Tahun 1975. Alasan pembatalan perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan seperti yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 37 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu untuk menghindari terjadinya pembatalan perkawinan oleh instansi lain di luar pengadilan, berhubung pembatalan perkawinan membawa akibat yang jauh, baik terhadap suami isteri maupun terhadap keluarganya. Ketentuan lebih lanjut dalam Pasal 27 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 selanjutnya disingkat PMA No. 31975 disebutkan bahwa apabila pernikahan telah berlangsung, kemudian ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-undangan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak sebagaimana dimaksud Pasal 23 UU Perkawinan , yaitu: 1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri. 2. Suami atau isteri. 3. Pejabat berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan. Universitas Sumatera Utara 4. Pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Apabila diperhatikan ketentuan pembatalan perkawinan yang ada pada Pasal 26 ayat 1 UU Perkawinan, yang menegaskan bahwa terhadap perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, maka dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. Ketentuan ini dapat menimbulkan permasalahan baru dalam lapangan hukum perkawinan. Ada kemungkinan suatu perkawinan direstui oleh kedua keluarga dalam garis lurus ke atas dari pasangan suami isteri dan kedua pasangan suami isteri memang menghendaki perkawinan itu. Sementara rukun-rukun serta syarat-syarat perkawinan yang sudah dipenuhi, maka tidaklah sewajarnya salah satu dari pihak keluarga tersebut atau salah satu dari suami atau isteri memintakan pembatalan perkawinan kepada pengadilan, hanya karena alasan perkawinannya dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat yang tidak berwenang. Tidaklah memungkinkan, jika salah satu dari mereka menuntut pembatalan perkawinan Universitas Sumatera Utara yang telah dilangsungkan, hal ini berarti sama saja melaporkan bahwa dirinya telah ikut melakukan tindak pidana. 89 Adanya ketentuan Pasal 26 ayat 1 UU Perkawinan ini, sebenarnya telah menggeser nilai-nilai keadilan dengan merendahkan posisi, harkat dan martabat kaum wanita isteri, karena bukan tidak mungkin setelah laki-laki suami menikmati madu dari isterinya, kemudian dengan alasan tidak terpenuhinya syarat formalitas dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, padahal perkawinan itu atas restu keluarga orang tua kedua belah pihak dan atas kehendak bersama pasangan suami isteri, maka dia membatalkan perkawinan itu melalui pengadilan, maka jelas kenyataan ini hanya merugikan pihak wanita isteri saja. Mengingat penjelasan Pasal 22 UU Perkawinan tersebut, maka dapat ditafsirkan bahwa perkawinan yang berlangsung di hadapan pejabat tidak berwenang seharusnya tidak boleh dibatalkan, karena hukum agama syari’at Islam tidak ada menentukan bahwa perkawinan demikian adalah batal. Berdasarkan Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 ayat 1 UU Perkawinan, bahwa seorang laki-laki suami yang hendak berpoligami harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin dari pengadilan dan persetujuan isteriisteri-isterinya. Izin 89 Berdasarkan Pasal 45 ayat 1 huruf b dan ayat 2 PP No. 91975, melaksanakan perkawinan di muka pegawai pencatat yang tidak berwenang, merupakan tindak pidana pelanggaran. Universitas Sumatera Utara dan persetujuan dimaksud tidak bisa tidak harus diperolehnya dan jika tidak ada, maka berdasarkan Pasal 24 UU Perkawinan, isterinya yang terdahulu dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada pengadilan terhadap perkawinan suami yang berikutnya.

C. Pertimbangan Hakim Terhadap Tuntutan Pembatalan Perkawinan Poligami

Dokumen yang terkait

Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama Medan)

3 123 72

Fungsi Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus di Pengadilan Agama Medan)

0 31 131

Undang Undang Nomor I Tahun 1974 dan kaitannya dengan perkawinan antar orang yang berlainan agama: studi tentang praktek pelaksanaannya di DKI Jakarta

0 5 91

Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Semarang)

0 18 159

Perkawinan Dibawah Umur Menurut Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (studi di Pengadilan Agama Klaten)

0 9 183

Akibat Pembatalan Perkawinan Karena Adanya Pemalsuan Identitas dan Kaitannya Dengan Kedudukan Anak Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Pada Pengadilan Agama Medan Kelas-IA)

3 26 124

AKIBAT HUKUM DAN SOSIAL TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 ( Studi Kasus Di Pengadilan Agama Surakarta ).

0 0 16

ANALISIS YURIDIS PERCERAIAN TANPA PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 1 12

Akibat Hukum Adanya pembatalan perkawinan kedua yang perkawinannya tanpa izin istri pertama yang dilangsungkan menurut Hukum Agama berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

1 1 1

PERBANDINGAN HUKUM TENTANG AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.

0 0 12