Analisis Efektivitas Kebijakan Fiskal Dan Moneter Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia

(1)

ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FISKAL DAN

MONETER TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO

INDONESIA

TESIS

Oleh

ABDUR RAMAN

077018001/EP

SE

K O L A H P

A S

C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FISKAL DAN

MONETER TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO

INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ABDUR RAMAN

077018001/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO INDONESIA

Nama Mahasiswa : Abdur Raman Nomor Pokok : 077018001

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Dede Ruslan, M.Si) (Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

51

Telah diuji pada Tanggal : 22 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Dede Ruslan, M.Si

Anggota : 1. Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec 2. Dr. Murni Daulay, M.Si

3. Drs. Iskandar Syarief, MA 4. Drs. Rahmad Sumanjaya, M.Si


(5)

ABSTRAK

Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara diantaranya dipengaruhi oleh implementasi dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Proporsi efektivitas kebijakan fiskal dan moneter terhadap perekonomian menjadi bahan perdebatan antara kaum Keynes dan Kaum Monetaris. Penelitian ini mencoba membuktikan secara empirik perihal efektivitas kebijakan fiskal dibandingkan kebijakan moneter dalam mempengaruhi Produk Domestik Bruto Indonesia dengan mengambil studi kasus di Indonesia selama periode 1980 -2007.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Two Stage Least Square (TSLS). Model ini digunakan untuk melihat hubungan yang saling mempengaruhi antara variabel endogen yaitu Produk Domestik Bruto Indonesia, jumlah uang beredar dan variabel eksogen yaitu penerimaan dan pengeluaran pemerintah serta tingkat suku bunga yang diteliti.

Hasil empiris penelitian menunjukkan kebijakan moneter lebih besar dalam mempengaruhi PDB Indonesia selama periode 1980-2007 dibandingkan kebijakan Fiskal . Ini terbukti dari hasil analisis data yang memperlihatkan bahwa kebijakan moneter lebih besar dampaknya dari kebijakan fiskal selama periode penelitian.

Kata Kunci : Kebijakan fiskal, kebijakan moneter, Produk Domestik Bruto Indonesia,TSLS


(6)

ABSTRACT

Economic growth of a country is depended on implementation of fiscal and monetary policies. Proportion of effectiveness of the fiscal and monetary policies to economy is still debatable among Keynesian and Monetary specialist. This research is proofing empirical effectiveness of fiscal and monetary policies of Gross Domestic Product of Indonesia, and taking study case in Indonesia in 1980 – 2007 periods.

Two Stage Least Square (TSLS) model is used in this research to analyze. This model is used to find the relationship between endogenous variable that is Gross Domestic Product of Indonesia. Sum of money in the market and exogenous variable those are government revenues and disbursements and also interest.

Empirical research result indicated that monetary policy has bigger impact in Gross Domestic Product of Indonesia in 1980 – 2007 compares to fiscal policy. It can be seen from the data analysis that shows monetary policy has bigger impact than fiscal policy in researching period.

Key words : Fiscal Policy, Moneter Policy, Produk Domestic Bruto Indonesia, Two Stage Least Square


(7)

KATA PENGANTAR

Penulis Memanjatkan syukur kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan karuni-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini yang berjudul “Analisis Efektivitas Kebijakan Fiskal Dan Moneter Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia”.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis sudah berusaha mencurahkan seluruh daya dan kemampuan untuk menyusun tesis ini agar lebih baik dan sempurna. Namun penulis menyadari sepenuhnya akan kelemahan dan kekurangan dari tesis ini baik dalam isi maupun penyajiannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak, sehingga tesis ini dapat bermanfaat sebagai sumber ilmu pengetahuan dan referensi bagi para penelitian lainnya.

Selama mengikuti pendidikan dan penyelesaian penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak berupa materi maupun dorongan moril baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(k), Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Ibu Prof. Dr.Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara


(8)

3. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, Ketua Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara dan sekaligus selaku Ketua Pembanding.

4. Bapak Dr. Dede Ruslan, M.Si, selaku Ketua pembimbing yang telah memberikan waktu dan pemikirannya dalam penyusunan tesis ini sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

5. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE., M.Ec, selaku Pembimbing kedua yang telah banyak memberikan waktu dan pemikiran serta bimbingannya kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

6. Bapak Drs. Iskandar Syarief, M.A, selaku pembanding yang telah memberikan saran-saran yang sangat membantu dalam penyelesaian tesis ini.

7. Bapak Drs. Rachmad Sumanjaya, M.Si, selaku pembanding yang telah memberikan saran-saran yang sangat membantu dalam penyelesaian tesis ini. 8. Bapak dan Ibu Dosen Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Ekonomi

Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

9. Penghargaan tertinggi penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu serta Istri tercinta Novita Indriani, S.Pd, yang selalu mendoakan, dan kepada anak-anakku tersayang Muhammad Daffa Rahfi dan Agha Athaillah Alfathan yang telah banyak memotivasi penulis di dalam menyelesaikan tesis ini.

10. Rekan-rekan mahasisiwa dan seluruh alumni Pascasarjana (S-2) Magister Ekonomi Pembangunan (MEP) Universitas Sumatera Utara, seluruh staff/karyawan sekretariat Sekolah Pascasarjana USU serta semua pihak yang


(9)

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan memberikan saran, pendapat serta pandangannya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Akhirnya, semoga Allah memberikan balasan yang setimpal atas segala amal dan budi yang diberikan. Dan semoga kemudahan dan kelapangan selalu menyertai kita semua. Amin.

Medan, Juni 2009 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP 1. Nama : Abdur Raman

2. Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 28 Agustus 1977 3. Jenis Kelamin : Laki Laki

4. Status : Menikah 5. Agama : Islam

6. Pekerjaan : Pegawai Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Pajak

7. Alamat : Jl. Setia Budi Psr. 2 Komp. Taman Harapan Indah Blok C.12 Tanjung Sari Medan

8. Nama Istri : Novita Indriani, S.Pd 9. Anak : 1. Muhammad Daffa Rahfi

2. Agha Athaillah Alfathan 10. Nama Ayah : Basyir Muchtar

Ibu : Rohana 12. PENDIDIKAN

a. SD : SD Negeri 476 Palembang (1989) c. SMP : SMP Negeri 44 Palembang (1992) d. SMA : SMA Negeri 14 Palembang (1995)

e. D III : STAN Jakarta (1998)

f. Strata 1 : Program Ekstens on Fak. Ekonomi USU (2004) g. Strata 2 : Pascasarjana Ekonomi Pembangunan USU (2009)

Medan, Juni 2009


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Manfaat Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Teori Kebijakan Fiskal ... 13

2.2 Jenis Kebijakan Fiskal ... 14

2.3 Alat Analisis Kebijakan Fiskal melalui IS Curve ... 17

2.3.1 Teori IS Curve ... 17

2.3.2 Derivasi IS Secara Grafis dan Matematis ... 19

2.4 Teori Kebijakan Moneter ... 23

2.5 Jenis Kebijakan Moneter ... 24

2.6 Alat Analisis Kebijakan Fiskal melalui LM Curve ... 27

2.6.1 Teori LM Curve ... 27

2.6.2 Derivasi LM Secara Grafis dan Secara Matematis ... 29


(12)

2.8 Analisis Maksimum Model IS dan LM ... 33

2.9 Koordinasi Kebijakan Dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang ... 36

2.10 Efektivitas Kebijakan Moneter dan Fiskal... 36

2.11 Penelitian Terdahulu ... 41

2.12 Hipotesis Penelitian ... 47

2.13 Kerangka Pemikiran ... 47

BAB III METODE PENELITIAN... 48

3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 48

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 48

3.3 Model Analisis ... 48

3.3.1 Persamaan Struktural ... 48

3.3.2 Persamaan Reduce Form ... 49

3.4 Definisi Operasional ... 52

3.5 Metode Analisis ... 53

3.6 Uji Stasioneritas Data ... 53

3.7 Uji Kesesuaian (Test of Goodness of Fit) ... 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

4.1 Kondisi Ekonomi Indonesia ... 56

4.1.1 Kebijakan Fiskal ... 60

4.1.2 Kebijakan Bidang Investasi ... 64

4.2 Rasio Variabel Fiskal dan Moneter terhadap PDP... 65

4.3 Analisis Hasil Persamaan... 69

4.3.1 Analisis Hasil Persamaan Pendapatan Domestik Bruto 69

4.3.2 Analisis Hasil Persamaan Jumlah Uang Beredar ... 73


(13)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

5.1 Kesimpulan ... 77

5.2 Saran ... 78


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Rasio APBN terhadap PDB Th. 2002 – 2008 (dalam persen) ... 2

4.1 Rata-rata Rasio Variabel Fiskal dan Moneter Terhadap PDP (Dalam Persen) ... 68

4.2 Uji Stasioneritas Data... 69

4.3 Hasil Olahan Data ... 70

4.4 Hasil Olahan Data ... 73


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 Grafik GDP, Pajak, Pengeluaran Pemerintah ... 4

2.1 Kurva Kebijakan fiskal ekspansif ... 15

2. 2 Kurva kebijakan fiskal kontraktif ... 16

2.3 Kurva IS pendekatan 2 diagram... 19

2.4 Kurva Pergeseran Kurva IS... 21

2.5 Kebijakan Moneter Ekspansif ... 25

2.6 Kurva LM pendekatan 2 diagram ... 29

2.7 Kurva Pergeseran Kurva LM ... 30

2.8 Kurva Permintaan Agregat... 33

2.9 Kurva Analisis Masksimum Model IS dan LM ... 34

2.10 Kurva Efektivitas Kebijakan Fiskal ... 40

2.11 Kurva Efektivitas Kebijakan Moneter ... 41

2.12 Kerangka Pemikiran ... 47

4.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1980-2007... 58

4.2 Diagram Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi di Indonesia ... 59


(16)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Data PDB, pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar, Pajak

dan tingkat suku bunga ... 82

2. Hasil olahan data dengan Two stage least Square ... 83

3. Hasil Uji ADF Test Data pengeluaran Pemerintah ... 84

4. Hasil Uji ADF Test Data Uang Beredar ... 85

5. Hasil Uji ADF Test Data Produk Domestik Bruto ... 86

6. Hasil Uji ADF Test Data Tingkat suku Bunga ... 87

7. Hasil Uji ADF Test Data Pajak ... 88

8. Hasil Uji Correlation Matrix ... 89


(17)

ABSTRAK

Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara diantaranya dipengaruhi oleh implementasi dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Proporsi efektivitas kebijakan fiskal dan moneter terhadap perekonomian menjadi bahan perdebatan antara kaum Keynes dan Kaum Monetaris. Penelitian ini mencoba membuktikan secara empirik perihal efektivitas kebijakan fiskal dibandingkan kebijakan moneter dalam mempengaruhi Produk Domestik Bruto Indonesia dengan mengambil studi kasus di Indonesia selama periode 1980 -2007.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Two Stage Least Square (TSLS). Model ini digunakan untuk melihat hubungan yang saling mempengaruhi antara variabel endogen yaitu Produk Domestik Bruto Indonesia, jumlah uang beredar dan variabel eksogen yaitu penerimaan dan pengeluaran pemerintah serta tingkat suku bunga yang diteliti.

Hasil empiris penelitian menunjukkan kebijakan moneter lebih besar dalam mempengaruhi PDB Indonesia selama periode 1980-2007 dibandingkan kebijakan Fiskal . Ini terbukti dari hasil analisis data yang memperlihatkan bahwa kebijakan moneter lebih besar dampaknya dari kebijakan fiskal selama periode penelitian.

Kata Kunci : Kebijakan fiskal, kebijakan moneter, Produk Domestik Bruto Indonesia,TSLS


(18)

ABSTRACT

Economic growth of a country is depended on implementation of fiscal and monetary policies. Proportion of effectiveness of the fiscal and monetary policies to economy is still debatable among Keynesian and Monetary specialist. This research is proofing empirical effectiveness of fiscal and monetary policies of Gross Domestic Product of Indonesia, and taking study case in Indonesia in 1980 – 2007 periods.

Two Stage Least Square (TSLS) model is used in this research to analyze. This model is used to find the relationship between endogenous variable that is Gross Domestic Product of Indonesia. Sum of money in the market and exogenous variable those are government revenues and disbursements and also interest.

Empirical research result indicated that monetary policy has bigger impact in Gross Domestic Product of Indonesia in 1980 – 2007 compares to fiscal policy. It can be seen from the data analysis that shows monetary policy has bigger impact than fiscal policy in researching period.

Key words : Fiscal Policy, Moneter Policy, Produk Domestic Bruto Indonesia, Two Stage Least Square


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan salah satu kondisi utama bagi kelangsungan ekonomi di Indonesia atau suatu negara, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tujuan pembangunan Indonesia. Diharapkan dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi nantinya dapat mengatasi ketimpangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan rakyat atau masyarakat. Saat ini di hampir setiap negara, pemerintah ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya menciptakan kesehatan fiskal dimaksud, terhadap dua langkah strategis yang harus dipenuhi. Pertama, menurunkan secara bertahap defisit APBN menuju seimbang atau surplus. Kedua, mengusahakan penurunan jumlah (stock) utang publik dan rasionya terhadap PDB.

Strategi penurunan defisit anggaran pada dasarnya harus ditempuh melalui dua langkah pokok, yaitu (a) peningkatan penerimaan negara, terutama yang berasal dari sektor perpajakan, dan (b) pengendalian dan penajaman prioritas alokasi belanja negara. Sementara itu, penurunan rasio utang publik terhadap PDB dapat dilakukan antara lain melalui strategi pengelolaan utang dan pemilihan alternatif kebijakan


(20)

pembiayaan yang tepat, dalam rangka penurunan rasio utang, dan meningkatkan pendapatan nasional.

Berikut data perkembangan APBN serta defisit APBN terhadap PDB Indonesia periode 2002 – 2008.

Tabel. 1.1. Rasio APBN terhadap PDB Th. 2002 - 2008 (dalam persen)

Uraian (PAN)2002 (PAN)2003 (APBN-P)2004 (APBN-P 2)2005 (APBN-P)2006 (APBN)2007 (APBN)2008 1. Pendapatan Negara

dan Hibah

18,5 16,4 20,3 19,6 21,1 20,5 20

-Penerimaan Perpajakan 13,0 11,6 14,0 13,2 13,6 14.4 13,6

- Penerimaan Bukan Pajak 5,5 4,7 6,2 6,1 7,4 6.0 6,3

- Hibah 0,0 0,0 0,0 0,3 0,1 0.1 0,1

2. Belanja Negara 20,0 18,0 21,6 20,6 22,4 21.6 22,1

-Belanja Pemerintah Pusat 13,9 12,3 15,1 14,9 15,3 41.3 15,5

*Pembayaran Bunga Utang

5,4 3,1 3,2 2,2 2,6 2.4 2,6

* Subsidi 2,5 2,1 3,5 4,6 3,5 1.8 5,2

- Belanja Daerah 6,1 5,8 6,5 5,7 7,1 7.3 6,5

3. Keseimbangan Umum (1,5) (1,7) (1,3) (1,0) (1,4) (1.3) (0,0)

4. Utang Pemerintah 65,1 58,3 53,9 48.7 n.a n.a n.a

- Utang Luar Negeri 31,5 28,3 25,3 24,5 n.a n.a n.a

- Utang Dalam Negeri 33,6 30,0 28,6 24,2 n.a n.a n.a

5. PDB Nominal (Rp T) 1.897,8 2.086,8 2.303,5 2.636,5 3040,8 3.957,4 4484,4

6. Surplus(Defisit) APBN/PDB

(1,4) (1,7) (1,1) (1,0) (1.3) (1,1) (0,7)

Sumber: APBN & NK 2005-2005

Terlepas dari ideologi politiknya, setiap pemerintahan terlibat di dalam mobilisasi dan alokasi sumber daya-sumber daya, stabilitas perekonomian nasional, dan promosi inovasi teknologi. Lebih jauh, suatu pemerintah memainkan peranan


(21)

yang sangat bervariasi di dalam pembangunan, sebagai penjaga stabilitas ekonomi, yang merupakan prasyarat pertumbuhan ekonomi. Dalam literatur makro, peran pemerintah dalam perekonomian umumnya dijalankan lewat dua kebijakan, yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.

Strategi peningkatan pendapatan negara yang dilakukan dari peningkatan penerimaan atas pajak tentu saja merupakan pilihan yang bukan tanpa resiko. Peningkatan penerimaan melalui peningkatan pajak dapat menimbulkan kontraksi (penciutan) dalam perekonomian. Karena diketahui bahwa pajak dapat berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena pajak akan membebani pendapatan masyarakat. Peningkatan pajak juga dapat menyebabkan kelesuan dalam iklim investasi dan iklim berusaha, karena tingkat keuntungan yang diperoleh akan terbebani pajak yang lebih besar.

Pada jangka pendek ada konflik potensial antara kebijakan moneter dan fiskal. Jika bank sentral hendak mencapai stabilitas harga kebijakan fiskal pemerintah harus berjuang untuk menekan permintaan agregat dan permintaan output sehingga berbiaya tinggi dan inflasi sulit ditekan sehingga perlunya ada keseimbangan. Bagaimanapun, jika kebijakan fiskal adalah pasif, maka bank sentral akan leluasa meningkatkan tingkat suku bunga sebanyak yang diinginkan.

Berikut disajikan grafik Produk Domestik Bruto, Penerimaan Pajak, Pengeluaran Pemerintah dalam kurun waktu 1980 – 2008.


(22)

Sumber : APBN beberapa tahun

Gambar 1.1. Grafik GDP, Pajak, Pengeluaran Pemerintah

Di era tahun 1970 perekonomian Indonesia mengalami peningkatan cukup pesat. Peningkatan hasil minyak atau sering disebut dengan Oil Boom memberikan dampak positif dan negatif bagi perekonomian. Pada satu sisi, peningkatan hasil minyak sangat membantu peningkatan anggaran di sisi fiskal. Pemerintah memiliki peran dominan dalam mendorong laju pertumbuhan rill. Kebijakan fiskal yang ekspansif yang didukung oleh hasil penerimaan minyak menyebabkan perekonomian tumbuh dengan cepat. Namum pada sisi yang lain,


(23)

peningkatan penerimaan devisa hasil minyak dan pengeluaran pemerintah telah menyebabkan jumlah uang beredar meningkat pada sisi fiskal.

Kebijakan Bank Indonesia dalam upaya mengendalikan peredaran uang dan stabilitas harga dilaksanakan dengan kebijakan kredit selektif yang dimulai pada tahun 1974. Bank Indonesia juga menerapkan kebijakan uang ketat (Tight money policy) dengan menetapkan besarnya reserve requirement sebesar 3 %. Kebijakan fiskal yang ekspansif dan kebijakan moneter yang kontraktif menyebabkan kehidupan sektor perbankan kurang bergairah yang disebabkan kelangkaan sumber dana karena menurunnya penghimpunan dana masyarakat dan adanya pembatasan dalam kredit. Investasi masih didominasi oleh sektor pemerintah, sedang ruang gerak sektor swasta relatif terbatas. Menyadari akan hal ini, Bank Indonesia kemudian menurunkan kewajiban reserve requirement dari 30 % turun menjadi 15 %. Kebijakan ini seiring dengan mulai menurunnya kemampuan pemerintah dalam ekspansi fiskal yang disebabkan mulai menurunnya pendapatan dari penjualan minyak.

Pada tahun 1980-an terjadi kemerosotan harga minyak dipasar sebagai akibat adanya kecenderungan terjadinya resesi dunia. Menurunnya pendapatan minyak menyebabkan pemerintah harus menurunkan ekspansi fiskalnya terutama untuk pembiayaan APBN. Pemerintah mau tidak mau harus secara bertahap menurunkan domisasinya dalam menggerakkan perekonomian. Serangkaian kebijakan dalam berbagai sektor ekonomi kemudian dibuat oleh pemerintah guna menghindari krisis yang jauh lebih akibat krisis harga minyak. Kebijakan yang paling membawa dampak bagi perekonomian Indonesia saat itu adalah kebijakan liberalis di sektor keuangan.


(24)

Pasca bom minyak tahun 1979, Indonesia meliberalisasikan sektor perbankan untuk meningkatnya kinerja perekonomian yang mengalami kelesuan akibat menurunnya pendapatan minyak. Liberalis ini dikenal dengan Paket 27 Oktober 1988 (Pakto 27 – 88). Selain memperlonggar reserve requirement dari 15 % menjadi 2 % pemerintah juga mempermudah pendirian bank – bank umum swasta dan lembaga keuangan non bank. Jumlah bank yang tadinya berjumlah 111 dengan 1.728 kantor di tahun 1988, melonjak menjadi 239 bank dengan 6.022 kantor hingga tahun 1994 (Dumairy,1997). Dominasi bank pemerintah berkurang seiring dengan meningkatnya jumlah bank swasta. Hal yang sama terjadi pada lembaga keuangan non bank, seperti asuransi dan pembiayaan lainnya.

Liberalisasi sektor keuangan memberikan dampak positif dan negatif bagi perekonomian. Pada satu sisi tumbuhnya bank – bank umum menyebabkan sektor riil (dunia usaha) lebih bergairah karena mudahnya akses peminjaman kredit perbankan. Pada sisi lain, kemudahan yang diberikan pemerintah nyaris tidak diikuti oleh pengawasan dan standar kesehatan perbankan. Hal ini terlihat dengan rendahnya kinerja kesehatan perbankan, misalnya dilanggarnya batas maksimum pemberian kredit (BMPK) karena ekspansi kredit melebihi batas LDR yang ada, rasio kecukupan modal (CAR) yang minim, dan lain-lain.

Pada saat yang sama pemerintah sedang mengarahkan transformasi ekonomi kearah industrialisasi dan peningkatan peran sektor swasta dalam perekonomian. Sektor swasta diberikan kemudahan dalam peminjaman dana kesektor perbankan. Kemudahan utang juga diberikan dalam bentuk valas untuk menunjang kegiatan


(25)

ekspor impor sektor swasta. Hal ini terbukti dengan banyaknya utang luar negeri yang jatuh tempo milik swasta pada tahun 1998 utang luar negeri milik swasta diperkirakan sebesar $ 9,6 milyar. Diawal tahun 1998 utang luar negeri milik swasta diperkirakan sebesar US$ 65 milyar (55% dari total utang luar negeri Indonesia). Besarnya aliran dana luar negeri yang masuk pasca liberalis sektor keuangan mampu menutup kesenjangan tabungan – investasi (saving – investment gap).

Ketergantungan pada utang luar negeri juga dialami pemerintah. Semenjak berakhirnya bom minyak anggaran pemerintah dalam APBN terus mengalami defisit akibat berkurangnya sumber – sumber pendapatan. Defisit ini terus ditutupi dengan melakukan utang luar negeri. Diawal tahun 1998, total utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar US$117 milyar dan 45% dari total utang tersebut adalah utang pemerintah.

Krisis moneter di beberapa negara Asia termasuk Indonesia dimulai dari devaluasi mata uang bath oleh pemerintah Thailand. Devaluasi yang berujung pada jatuhnya nilai bath ini seiring dengan ulah para spekulan yang terus berburu dolar US untuk mencari untung dengan berspekulasi. Krisis keuangan di Thailand kemudian menjadi pola krisis yang sama dibeberapa negara Asia seperti di Filippina, Malaysia, Singapura, Jepang, dan Korea Selatan.

Di Indonesia jatuhnya nilai tukar bath berpengaruh besar terhadap ekspetasi masyarakat. Spekulasi besar – besaran terhadap nilai tukar rupiah terjadi sekitar Juli Agustus 1997. Sebagian besar masyarakat golongan menengah berlomba – lomba mengkonversi kekayaannya dalam bentuk dollar untuk mengurangi resiko


(26)

menurunnya nilai kekayaan akibat tekanan inflasi (dimana jika kurs melemah maka kekayaan dalam rupiah akan menurun karena daya beli rupiah menurun akibat naiknya harga). Selain itu para spekulen yang hendak memperoleh keuntungan dari fluktuasi nilai tukar juga turut berperan menyebabkan makin terdepresiasinya nilai tukar rupiah. Rupiah terus merosot bahkan sempat mencapai angka Rp.15000,- per 1 US$ pada tahun 1998.

Seiring gentingnya kondisi ekonomi dan politik menyusul maraknya aksi demo mahasiswa menginginkan kemunduran presiden Suharto, dikalangan masyarakat muncul isu – isu negatif (ekspektasi) diantaranya yaitu ancaman rush (pengambilan deposit secara besar – besaran) di beberapa bank swasta, habisnya stok bahan – bahan kebutuhan pokok akibat penjarahan, dan isu lainnya. Ekspektasi negatif ditengah ketidakpastian ini menyebabkan masyarakat diliputi ketakutan. Akibatnya isu rush menyebabkan masyarakat mengantri untuk menarik tabungannya di bank-bank sehingga isu tentang kebangkrutan bank benar – benar menjadi nyata. Selain itu tingkat inflasi yang sangat tinggi tidak serta merta menyebabkan masyarakat mengurangi konsumsinya sehingga tingkat inflasi semakin tinggi yaitu sempat mencapai 78% pada tahun 1998 (Arifin,2000).

Depresiasi nilai rupiah terhadap dolar berakibat fatal terhadap utang luar negeri milik swasta yang akan jatuh tempo pada tahun 1998. Para Pengusaha yang akan membayar utang luar negerinya berusaha mendapatkan dolar AS dalam jumlah yang diperkirakan cukup besar. Menurut Bank Indonesia, dari sekitar US$ 62 Milyar utang swasta Indonesia, sehingga Maret 1998 utang yang jatuh tempo adalah sebesar


(27)

US$ 9.6 milyar. Utang luar negeri swasta tersebut menyebabkan kredit macet disektor real estate dan properti. Kondisi diperburuk karena utang dalam dollar AS tersebut tidak di-hedging (dilindungi dari perubahan kurs) sehingga mereka berusaha memperkecil resiko dengan membeli dolar sebelum utangnya jatuh tempo. (Ritonga, 2004).

Kebijakan uang ketat yang diterapkan Bank Indonesia dengan menaikkan suku bunga pada saat perekonomian sedang maju pesat sebelum masa krisis malah menyebabkan masuknya aliran dana luar negeri dalam berbagai jangka waktu dan berbagai bentuk semakin membesar dan menjadi penyebab utama krisis moneter tahun 1997.

Krisis yang melanda perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan pemerintah meningkatkan pengeluarannya. Biaya restrukturisasi perbankan dan pemulihan sektor riil menyebabkan pemerintah harus meningkatkan defisit anggarannya mengingat terbatasnya sumber – sumber dana yang dimiliki. Defisit anggaran meningkat cukup besar pasca krisis tahun 1997, terutama pada periode APBN tahun 1999 yang mencapai Rp 114585 milyar. Disisi lain Bank Indonesia menerapkan kebijakan moneter kontraksif guna menekan inflasi dan mengendalikan jumlah uang beredar. Tingkat bunga tercatat meningkat cukup tinggi yaitu rata-rata sekitar 25 % pada tahun 1998 dan rata-rata 22% pada tahun 1999.

Disisi lain kebijakan fiskal yang tepat belum tentu mendatangkan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan, karena selain kebijakan fiskal yang mempengaruhi perekonomian indonesia, perekonomian juga dipengaruhi oleh kebijakan moneter


(28)

yang dikendalikan oleh otoritas moneter. Kebijakan fiskal dan moneter dalam banyak kasus sering menimbulkan efek berkebalikan (crowding out). Sehingga diperlukam mekanisme koordinasi yang baik dan tepat agar tujuan – tujuan pembangunan perekonomian yang telah ditetapkan dapat tercapai.

Secara rata-rata pertumbuhan Produk Domestik Bruto per kapita mulai menurun, walau masih positif, peningkatan prosentase penduduk miskin justru meningkat lebih cepat. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang sedikit banyak mengurangi kemiskinan. Tetapi pertumbuhan ekonomi yang lambat atau bahkan negatif akan meningkatkan prosentase penduduk miskin jauh lebih cepat. Itu sebabnya pertumbuhan ekonomi memang merupakan syarat perlu (necessary condition) namun bukan syarat cukup (not sufficient condition).

Berdasarkan uraian diatas, Penulis mencoba menganalisis sampai sejauh mana pengaruh kebijakan fiskal dan moneter yang diterapkan pemerintah pusat terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia. Untuk itu Penulis mengambil judul “Analisis Kebijakan Fiskal dan Moneter Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia”

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka ada rumusan masalah yang dapat diambil sebagai kajian dalam penelitian yang dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dan mensistemasikan penulisan tesis ini. Selain itu, rumusan masalah ini diperlakukan sebagai suatu cara untuk mengambil keputusan dari akhir penulisan tesis.


(29)

Penulis mencoba memuat perumusan masalah apakah kebijakan fiskal dan moneter yang selama ini diterapkan pemerintah pusat yang tujuannya untuk stabilisasi ekonomi juga berpengaruh terhadap peningkatan PDB Indonesia.

Yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah:

1. Berapa besar pengaruh pajak (sebagai instrumen kebijakan fiskal) terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia ?

2. Berapa besar pengaruh pengeluaran pemerintah (sebagai instrumen kebijakan fiskal) terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia?

3. Berapa besar pengaruh jumlah uang beredar (sebagai instrumen kebijakan moneter) terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari Penulisan tesis ini adalah :

1. Untuk menganalisis pengaruh pajak (sebagai instrumen kebijakan fiskal) terhadap PDB Indonesia.

2. Untuk menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah (sebagai instrumen kebijakan fiskal) terhadap PDB di Indonesia.

3. Untuk menganalisis pengaruh jumlah uang beredar (sebagai instrumen kebijakan moneter) terhadap PDB di Indonesia.


(30)

12

1.4 Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui pengaruh kebijakan fiskal dan moneter terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia.

2. Untuk memperkaya wawasan ilmiah dan non-ilmiah penulis dalam disiplin ilmu Penulis terkini serta mengaplikasikannya secara kontekstual dan tekstual.

3. Sebagai masukan bagi kalangan akademisi dan Peneliti yang tertarik membahas Produk Domestik Bruto Indonesia.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Kebijakan fiskal

Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum. Dalam literatur klasik, terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai kebajikan fiskal, terutama menurut teori Keynes dan tiori klasik tradisional (Nopirin, 2000). Pada prinsipnya Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal lebih besar pengaruhnya terhadap output daripada kebijakan moneter. Hal ini didasarkan atas pendapatnya bahwa, pertama elastisitas permintaan uang terhadap tingkat bunga kecil sekali (extrim-nya nol) sehingga kurva IS tegak. Kebijakan fiskal yang ekspansif akan menggeser kurva IS kekanan sehingga output meningkat. Sedangkan ekspansi moneter dengan penambahan jumlah uang beredar pada kurva IS yang tetap tidak akan berpengaruh terhadap output. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal akan lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan moneter.


(32)

2.2 Jenis Kebijakan Fiskal

Dari sudut ekonomi makro maka kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi dua yaitu Kebijakan Fiskal Ekspansif dan Kebijakan Fiskal Kontraktif. Kebijakan Fiskal Ekspansif adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah, pada saat munculnya kontraksional gap. Konstraksional gap adalah suatu kondisi dimana output potensial (YF) lebih tinggi dibandingkan

dengan output Actual ( ). Pada saat terjadi kontraksional gap ini kondisi perekonomian ditandai oleh tingginya tingkat pengangguran dimana >

.

Kebijakan ekspansif dilakukan dengan cara menaikkan pengeluaran pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T) untuk meningkatkan output (Y), adapun mekanisme peningkatan pengeluaran pemerintah ataupun penurunan pajak (T) terhadap output adalah sebagai berikut, pada grafik (2.1) maka dapat dijelaskan bahwa disaat pengeluaran pemerintah (∆G) naik atau selisih pajak (∆T) turun maka akan menggeser kurva pengeluaran agregat keatas sehingga pendapatan akan naik dari (Y1) menjadi (Yf).


(33)

Gambar 2.1. Kurva kebijakan fiskal ekspansif

Kebijakan Fiskal Kontraktif adalah kebijakan pemerintah dengan cara menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi. kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. pada saat munculnya ekpansionary gap. Ekspansionary gap adalah suatu kondisi dimana output potensial (Yf) lebih kecil dibandingkan dengan output Actual ( ). Adapun


(34)

terhadap output (Y) adalah sebagai berikut, secara grafik kebijakan fiskal kontraktif diagram sebagai berikut:

Gambar 2.2. Kurva kebijakan fiskal kontraktif

Pada gambar 2.2 dapat dijelaskan bahwa disaat pengeluaran pemerintah (∆G) turun atau selisih pajak (∆T) naik maka akan menggeser kurva pengeluaran agregat kebawah sehingga Pendapatan akan turun dari (Y1) menjadi (Yf)


(35)

2.3 Alat Analisis Kebijakan fiskal melalui IS Curve 2.3.1 Teori IS Curve

Pasar barang adalah pasar dimana semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara dan dalam jangka waktu tertentu.

Permintaan dalam pasar barang merupakan agregasi dari semua permintaan akan barang dan jasa di dalam negeri, sementara yang menjadi penawarannya adalah semua barang dan jasa yang diproduksi dalam negeri.

Kurva IS menyatakan hubungan antara tingkat bunga dan tingkat pendapatan yang muncul di pasar barang dan jasa. Kurva IS juga menyatakan “investasi” dan “tabungan”. Dalam sistem ekonomi tertutup, identitas output agregat merupakan penjumlahan konsumsi rumah tangga, konsumsi perusahaan dan konsumsi pemerintah, yaitu:

G I C

Y    (2.1)

Y = output riil agregat,

C = konsumsi riil rumahtangga, I = konsumsi riil perusahaan, dan G = konsumsi riil pemerintah.

Fungsi konsumsi riil rumahtangga dan konsumsi riil perusahaan masing-masing adalah

] ), [(Y T R C


(36)

] , [Y R I

I  (2.3)

Y - T = pendapatan disposable riil, dan R = tingkat bunga nominal.

Hubungan persamaan (2.1), (2.2) dan (2.3) menjelaskan output riil agregat, yaitu: G R Y I R T Y C

Y  [(  ), ] [ , ] (2.4)

Fungsi konsumsi riil rumahtangga dalam bentuk linier dari pendapatan disposable dan tingkat bunga nominal: C = 0 + 1 [Y-T] - 2 R. Demikian juga

fungsi konsumsi riil perusahaan adalah dalam bentuk linier dari pendapatan disposable dan tingkat bunga nominal: I= 0 + 1 Y - 2 R. Oleh sebab itu output riil

agregat ekonomi tertutup berubah menjadi:

] ) ( [ 1 1 2 2 1 0 0 1 1 R T G

Y     

          ] , , [R G T

Y  (2.5)

Persamaan (2.5) menjelaskan keseimbangan pasar barang, dimana keseimbangan output riil agregat [Y] ditentukan oleh tingkat bunga nominal [R], konsumsi riil pemerintah [G] dan pajak pendapatan riil [T]. Persamaan (2.5) menjelaskan bahwa kemiringan atau slope dari kurva IS adalah negatip, artinya respons output riil agregat [Y] terhadap tingkat bunga bunga nominal [R] adalah negatip.


(37)

2.3.2 Derivasi Is Secara Grafis dan Matematis

Secara grafis fungsi IS dapat dilihat sebagai berikut :

AE2=C+I(r2)+G

Y2 Y

Y1

R2

R1

R

AD/AS

AE1=C+I(r1)+G

Y1 Y2

E2

E1

45

IS E1

E2

Gambar 2.3. Kurva IS pendekatan 2 diagram

1. Pada tingkat bunga pada R1 maka kurva permintaan agregat adalah pada


(38)

2. Titik E1 pada diagram pertama terbentuk dari perpotongan antara kurva a + bY + e – f.R1 dan garis 45o.

3. Titik E1 pada diagram kedua merupakan perpotongan garis yang ditarik dari

titik E1 pada diagram pertama dengan garis R1 pada diagram kedua.

4. Bila tingkat bunga pada R2, maka kurva permintaan agregat adalah pada

kurva a + bY + e – f.R2, pendapatan nasional equilibrium pada Y2.

5. Titik E2 pada diagram pertama terbentuk dari perpotongan antara kurva a + bY + e – f.R2 dan garis 45o.

6. Titik E2 pada diagram kedua merupakan perpotongan garis yang ditarik dari

titik E2 pada diagram pertama dengan garis R2 pada diagram kedua.

7. Dengan menghubungkan titik E1 dan E2 pada diagram kedua, didapatkan

kurva IS.

Pergeseran dan pergerakan dalam kurva IS, secara umum dapat dilakukan melalui perubahan–perubahan pada variabel pengeluaran pemerintah (G) dan pajak (T) yang terkait dengan kebijakan fiskal.

Dengan menggunakan perpotongan Keynesian untuk melihat bagaimana perubahan-perubahan lain dalam kebijakan fiskal menggeser kurva IS. Karena kenaikan pengeluaran pemerintah atau menurunkan pajak akan memperbesar pendapatan dan menggeser kurva IS keluar atau kekanan. Menurut Mankiw (2000), dan Glahe, Fred R. (1977), besarnya perubahan pendapatan (Y) sebagai akibat


(39)

perubahan pengeluaran pemerintah atau penurunan pajak adalah sebesar multipliernya. Secara grafik maka pergeseran tersebut dapat dilihat sebagai berikut

Gambar 2.4. Kurva Pergeseran Kurva IS

Kenaikan dalam pengeluaran pemerintah (G) menggeser kurva IS dari IS0 ke IS1. Kenaikan pengeluaran pemerintah meningkatkan pengeluaran yang direncanakan. Pada tingkat bunga tertentu, pergeseran dalam pengeluaran yang


(40)

direncanakan sebesar ∆G menyebabkan kenaikan dalam pendapatan nasional Y sebesar ∆G / (1 – MPC) sehingga kurva IS bergeser ke IS1 (lihat gambar 2.4)

Secara matematis pergeseran kurva IS maka dapat dihitung sebagai berikut : G R I T Y C

Y  (  ) ( )

) , (Y R E YDengan syarat 0 Y E     Y

E E  0

 

r E R

Perhitungan deferensial dari dua persamaan diatas adalah sebagai berikut :

0 1 ) 1 ( r E Y E                                  y r r Y r Y r Y E E R Y R E Y E R E Y E Y R E Y E Y R Y Y

Dari turunan diatas maka dapat dilihat hubungan tingkat suku bunga terhadap pendapatan maka kurva IS berslope negatif. Hal ini menunjukan jika tingkat suku bunga (R) meningkat maka akan menurunkan tingkat pendapatan.

Pergeseran kurva IS secara matematis dilihat hubungan antara Pendapatan agregat dengan Pengeluaran agregat

G

R

T

Y

E

Y

G

R

I

T

Y

C

Y

)

,

,

(

)

(

)

(


(41)

Perhitungan deferensial dari dua persamaan diatas adalah sebagai berikut :

0

1

1

)

1

(

R

E

Y

E

0 0

y Y

E

Y

G

G

Y

E

G

R

Y

Y

Dari turunan persamaan pendapatan agregat diatas maka dapat disimpulkan bahwa disaat pengeluaran pemerintah naik maka pendapatan agregat akan naik dan menggeser kurva IS kekanan begitu juga sebaliknya disaat pengeluaran pemerintah turun maka pendapatan agregat juga turun sehingga akan menggeser kurva IS kekiri.

2.4 Teori Kebijakan Moneter

Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan. Ahli ekonomi klasik mempunyai pendapat bahwa kebijakan moneter lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan fiskal. Pada perkembangannya, dengan munculnya kaum monetarist yang pada dasarnya beraliran klasik, perbedaan pendapat dengan noe-kaynesian tidak lagi berkisar pada lereng kurva IS dan LM ini. Demikian juga perbedaannnya tidak se extrim diatas. Kaum monetarist juga mengakui bahwa


(42)

kebijakan fiskal dapat mempengaruhi pendapatan nasional, hanya saja kebijakan moneter lebih besar serta dapat di perkirakan dan lebih cepat efeknya.

Kerangka umum yang sering dipergunakan dalam menganalisis interaksi simultan antara permintaan dan penawaran baik pada pasar barang dan pasar uang adalah kerangka IS-LM. Kerangka ini dapat menunjukkan bagaimana kebijakan moneter dan fiskal mampu mempengaruhi tingkat pendapatan atau output (Mankiw, 2000; Mishkin, 2004). Bagi bank sentral yang merupakan otoritas moneter, kebijakan yang ia pilih bergantung pada target, kondisi aktual perekonomian, kapasitas kebijakan dan pertimbangan tentang efektivitas kebijakan tersebut. Kebijakan moneter ini ditentukan secara terpusat oleh Bank Indonesia. Meskipun dalam formulasi kebijakannya Bank Indonesia sudah mempertimbangkan aspek regional, namun respon agen dan dampak pada masing-masing region tersebut sangat mungkin berbeda, dan ini sangat bergantung pada kondisi empirik masing-masing daerah.

2.5 Jenis Kebijakan Moneter

Dari sudut ekonomi makro maka kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi dua yaitu Kebijakan Moneter ekspansif dan kebijakan moneter kontraktif. Kebijakan Moneter Ekspansif adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. pada saat munculnya kontraksional gap. Berikut grafik kebijakan moneter ekspansif. Dari gambar dibawah dapat dilihat kondisi awal penawaran uang (Ms1) dan tingkat suku bunga adalah kurva (R1). Pada kurva R1 tingkar suku bunga


(43)

yang peka terhadap pengeluran adalah I=(a+Ip), rencana pengeluaran agregat menjadi AEp(R1) dan Produk Domestik Bruto adalah (Y1).

Gambar 2.5. Kebijakan Moneter Ekspansif R

R

R

MS1 MS2

L(R, Y1)

R E

Y1 Y

AEp AEp ( )

Y=E

Y

LM

LM2

I1

M/P I I=(a+Ip


(44)

Selain itu kurva PDB pada Y1 membantu menetukan posisi kurva permintaan

uang pada kurva L(R, Y1) dimana besama-sama dengan kurva (Ms1) menentukan

tingkat suku bunga (R1). Ketika Ms1 meningkat menjadi Ms2 maka tingkat suku

bunga turun karena pendapatan dan pengeluaran naik menjadi menjadi (R1), AEp

(R1) dan Y1.

Kebijakan Moneter Kontraktif adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).

Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.

Fasilitas Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah


(45)

menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.

Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.

Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi himbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.

2.6 Alat Analisis Kebijakan Fiskal Melalui LM Curve 2.6.1 Teori LM Curve

Model LM menjelaskan keseimbangan permintaan dan penawatan uang. Rumah tangga memerlukan atau memegang uang sebagai aktiva yang berfungsi sebagai alat tukar, pengukur nilai dan penyimpan nilai. Model keseimbangan permintaan dan penawaran uang adalah

) , (Y R L P M


(46)

Pada nilai [MP] tertentu, persamaan (2.6) menjelaskan bahwa respons output riil agregat [Y] terhadap tingkat bunga nominal [R] adalah positip karena hubungan stok uang [M] dengan tingkat bunga nominal [R] adalah negatip. Jika model keseimbangan pasar uang adalah M/P = 0 + 1 Y - 2 R maka skedul LM adalah Y =

-(0/1) + (2/1) R + (1/1) M/P atau secara umum: y = [R, M/P].

Hubungan Y dengan R pada stok uang tertentu menjelaskan kurva LM dengan dengan kemiringan positip. Artinya respons output riil agregat [Y] terhadap tingkat bunga nominal [R] adalah positip atau peningkatan tingkat bunga akan meningkatkan output riil agregat pada keseimbangan pasar uang. Hubungan antara tingkat bunga dan tingkat pendapatan yang muncul di pasar uang dinyatakan dengan Kurva LM. Teori preferensi likuiditas menyatakan bahwa tingkat bunga menyesuaikan untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan untuk aset perekonomian yang paling likuid, yaitu uang. Jika M menyatakan penawaran uang dan P menyatakan tingkat harga, maka M/P adalah penawaran dari keseimbangan uang riil. Teori preferensi likuisditas mengasumsikan adanya penawaran uang riil tetap. Penawaran uang M adalah variabel kebijakan eksogen yang dipilih oleh bank sentral. Tingkat harga P juga merupakan variabel eksogen dalam model ini (dianggap tingkat harga adalah tertentu (given) karena model IS-LM menjelaskan jangka pendek ketika tingkat harga adalah tetap).


(47)

2.6.2 Derivasi LM Secara Grafis dan Secara Matematis Secara grafis fungsi LM dapat dilihat sebagai berikut :

R

Y Y2

Y1

M/P R1

R2

R

L2

LM

E

E2

R1

R2 E2

E1

L1

Gambar 2.6. Kurva LM pendekatan 2 diagram 1. Penawaran uang merupakan garis tegak lurus (M/P1).

2. Pada penghasilan tertentu ada permintaan uang, kurva permintaan uangnya adalah L1 = kY – h.R.

3. Perpotongan kurva permintaan uang (M/P1) dan penawaran uang (L1) terletak

pada titik E1 dan menentukan tingkat bunga R

4. Apabila pendapatan bertambah maka kurva permintaan terhadap uang menjadi L2 dan memotong kurva penawaran uang pada E2 sehingga jadi R2


(48)

5. Titik Y1 penghasilan yang bersifat Given kedua tingkat bunga R yang

terbentuk pada diagram sebelah kiri permintaan dan penawaran, kemudian karena penghasilan naik yaitu menjadi Y2, maka permintaan terhadap uang

menjadi L2 yang menghasilkan tingkat bunga R2 maka terbentuk kurva LM.

kurva IS.

Pergeseran dan pergerakan dalam kurva IS, secara umum dapat dilakukan melalui perubahan pada variabel tingkat suku bunga dan pendapatan yang terkait dengan kebijakan moneter. Pergeseran kurva LM dapat dilihat pada gambar 2 berikut :


(49)

Keterangan : r adalah tingkat suku bunga, Y adalah pendapatan nasional, M/P adalah money supply, L(R, Y) adalah permintaan uang.

Penurunan dalam penawaran uang akan menggeser kurva LM dari LM0 ke LM1 yang berakibat terhadap kenaikan tingkat suku bunga dalam tingkat pendapatan nasional tertentu.

Secara matematis maka pergeseran kurva LM dapat dihitung sebagai berikut MS=Md atau Ls=Ld sehingga

Maka persamaan kurva LM juga dapat ditulis dalam bentuk :

Perhitungan deferensial dari dua persamaan diatas adalah sebagai berikut :

0 0 ) / ( ) / ( ) / (                               r Y r Y L L Y R P M R L Y L P M R R L Y Y L P M

M/P merupakan intersept dengan sumbu tegak, sedangkan h/k merupakan slope (kecuraman) kurva positif, disaat tingkat suku bunga turun maka pendapatan juga akan turun. M 0 h k, ;  

kY hR

P     P M kY h R 1 0 . 1     k h Y R


(50)

2.7 Model Permintaan Agregat

Persamaan (2.5) menjelaskan perilaku skedul IS dari rumahtangga dan perusahaan dan persamaan (2.6) menjelaskan perilaku permintaan uang sebagai aktiva atau skedul LM. Kombinasi (2.5) dan (2.6) menjelaskan model permintaan agregat, yaitu:

) , , (R G T

Y  dan M/PL(Y,R)

   

 

GT

P M Y

Y , , (2.7)

Dari (2.7) ditunjukkan bahwa respons output riil agregat terhadap stok uang riil dan konsumsi riil pemerintah adalah positip dan respons terhadap pajak riil adalah negatip. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa hubungan output riil agregat terhadap tingkat harga umum adalah negatip, menjelaskan skedul permintaan agregat [AD]. Pada kurva IS yang tetap, peningkatan harga akan menurunkan stok uang riil sehingga skedul LM semakin rendah dan sebaliknya. Dari (2.7) diketahui tiga faktor yang dapat mempengaruhi permintaan agregat, yaitu M, G dan T. Peningkatan stok uang [M] pada tingkat harga umum yang tetap akan meningkatkan skedul LM sehingga skedul AD naik. Sebaliknya penurunan stok uang [M] pada tingkat harga umum yang tetap akan menurunkan skedul LM sehingga skedul AD turun Peningkatan pajak pendapatan riil pada tingkat harga umum yang tetap akan menurunkan skedul IS sehingga skedul AD turun, dan sebaliknya penurunan pajak pendapatan riil pada tingkat harga umum yang tetap akan meningkatkan skedul IS


(51)

sehingga skedul AD naik Oleh sebab itu perubahan kebijakan fiskal dan moneter akan merubah skedul AD.

Dari (2.7) diketahui tiga faktor yang dapat mempengaruhi permintaan R LM: [M0/P0] LM: [M1/P0]

LM: [MP1]

IS y P

AD0

P0

P1 AD1

Y

Gambar 2.8. Kurva Permintaan Agregat

2.8 Analisis Maksimum Model IS dan LM

Individu atau rumahtangga bertujuan untuk memaksimumkan utilitas dari memegang uang. Stok uang riil yang dipegang individu atau rumah tangga digunakan untuk konsumsi dan lesure sehingga fungsi utilitas rumah tangga untuk memegang uang sampai waktu tak terhingga adalah

... ) , ( ) , ( ) ,

( 2 2

2 1

1  

tttt

t

t l u c l u c l

c


(52)

Kendala rumahtangga pada periode [t] ditunjukkan oleh hubungan lesure R

IS LM:[M/P0] LM:[M/P1]

W/P nd ns

y P AS0 AS1

n AD

y y y

n 450 y

Gambar 2.9. Kurva Analisis Maksimum Model IS dan LM dengan konsumsi riil dan stok uang riil, yaitu:

lt = (ct, mt) (2.15)

Dimana respons lesure terhadap konsumsi riil adalah negatip [c < 0 ] dan

respons terhadap uang kas riil adalah positip [m > 0]. Persamaan (2.15) menjelaskan


(53)

waktu bekerja akan berkurang apabila waktu lesure dan stok uang riil bertambah. Apabila individu atau rumah tangga menggunakan semua fasilitas aktiva produktif maka produksi agregat berubah menjadi:

] , [ 1

t t

t f n k

y (2.16)

Dimana f(kt-1) menjelaskan fungsi produksi agregat individu atau

rumahtangga. Fungsi produksi agregat individu atau rumah tangga mengakibatkan perubahan kendala anggaran rumahtangga menjadi:

t t t

t t t t

t v c k k m m

k

f( 1)    1 [1 1]1 (2.17) dimana:

vt = transfer pemerintah kepada individu atau rumahtangga, dan

t-1 = Pt-1  Pt-2 = tingkat inflasi periode [t - 1].

Masalah rumahtangga adalah menentukan ct, kt, lt dan mt dengan cara

memaksimalkan fungsi tujuan (2.14) dengan kendala (2.15) dan (2.17).

Penurunan konsumsi sekarang [ct] berarti juga penurunan permintaan stok

uang riil sekarang [mt]. Penurunan konsumsi sekarang akan menurunkan skedul IS

dan peningkatan stok uang riil akan meningkatkan skedul LM, sehingga permintaan agregat turun dan tingkat harga umum naik. Penurunan permintaan agregat dan peningkatan tingkat harga umum akan menurunkan konsumsi riil rumahtangga dan konsumsi riil perusahaan. Proporsisi ini membuktikan bahwa analisis utilitas maksimal sesuai dengan analisis IS dan LM.


(54)

2.9 Koordinasi Kebijakan Dalam Jangka Panjang dan Jangka Pendek

Beberapa hasil studi telah melahirkan beberapa kajian baru tentang koordinasi kebijakkan fiskal dan moneter. Dalam jangka panjang (Hagen dan Mundshenk, 2003) terget kebijakan moneter yang dibuat bank sentral adalah untuk mengendalikan tingkat inflasi tanpa memikirkan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu kebijakan pengeluaran pemerintah dalam kebijakan fiskal suatu negara bertujuan untuk meningkatkan output kepada sektor swasta dan sektor publik tetapi tidak dalam tingkat output dan mendistribusikan output kepada sektor swasta dan sektor publik dalam jangka panjang, bank sentral akan dapat mencapai sasaran kebijakannya yaitu stabilitas harga, tanpa bertentangan dengan kebijakan fiskal. Pemerintah dapat menggunakan alternatif kebijakan fiskal cocok dan sesuai yang dibutuhkan negara saat itu. Pada posisi tersebut, tidak diperlukan adanya koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.

2.10 Efektivitas Kebijakan Moneter dan Fiskal

Para ekonom telah lama memperdebatkan apakah kebijakan moneter atau fiskal yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap permintaan agregat. Menurut model IS-LM jawaban atas pertanyaan ini tergantung parameter dari kurva IS dan LM.

Efektivitas Kebijakan fiscal dilihat dari kurva IS

Y=C(Y-T)+I(R)+G (1)


(55)

Y-bY=(a+c)+(G-bT)-dR (3) + + + (4)

Persamaan diatas menunjukan kurva IS secara aljabar. Persamaan ini menyatakan tingkat pendapatan (Y) pada tingkat bunga (R) serta kebijakan fiskal (G) dan (T) berapa pun. Dengan mempertahankan kebijakan fiscal tetap, semakin tinggi tingkat bunga, semakin rendah tingkat pendapatan. Kurva IS menggambarkan persamaan ini untuk nilai-nilai yang berbeda dari (Y) dan (R) berdasarkan nilai tetap dari (G) dan (T). Dari persamaan ini bisa diverifikasi kurva IS

1. Koefisien bunga negatif, kurva iS akan miring ke bawah; tingkat bunga lebih tinggi mengurangi pendapatan.

2. Karena koefisien belanja pemerintah adalah positif, kenaikan belanja pemerintah akan mengeser kurva IS ke kiri

3. Koefisien pajak adalah negatif kenaikan pajak akan mengeser kurva IS ke kiri Koefisien tingkat bunga,-d/(1-b), menunjukan kecuraman atau datarnya kurva IS. Jika investasi sangat sensitive terhadap tingkat bunga, maka d menjadi besar, dan pendapatan juga sangat sensitive terhadap tingkat bunga. Dalam kasus ini, perubahan kecil pada tingkat bunga menyebabkan perubahan besar dalam pendapatan kurva IS lebih datar. Sebaliknya, jika investasi tidak sangat sensitif terhadap tingkat bunga, d menjadi kecil, dan pendapatan juga tidak sangat sensitif terhadap tingkat bunga. Dalam kasus ini perubahan besar pada tingkat bunga menyebabkan perubahan kecil dalam pendapatan: kurva IS relatif curam. Demikian pula, kemiringan kurva IS


(56)

tergantung pada kecenderungan mengkonsumsi marjinal b. semakin besar mengkonsumsi marginal semakin besar perubahan pendapatan yang disebabkan tingkat bunga. Alasannya adalah bahwa akan menimbulkan pengganda yang besar atas perubahan investasi. Semakin besar pengganda, semakin besar dampak perubahan investasi terhadap pendapatan dan kurva IS menjadi mendatar.

Kecenderungan mengkonsumsi marginal b juga menentukan sejauh mana perubahan kebijakan fiskal menggeser kurva IS . Koefisien G. 1/(1-b), adalah pengganda belanja pemerintah dalam perpotongan Keynesian. Demikian pula, koefisien T,-b/(1-b), adalah pengganda pajak dalam perpotongan Keynesian. Semakin besar kecenderungan mengkonsumsi marginal, semakin besar pengganda, dan semakin besar pergeseran kurva IS yang berasal dari perubahan kebijakan fiskal. Efektivitas Kebijakan fiskal dilihat dari Kurva LM

Untuk melihat efektivitas kebijakan fiskal dapat diuraikan secara aljabar dari persamaan sebagai berikut

M/P=L(r, Y) (1)

L(r, Y)=eY-f r (2)

Dimana e dan f adalah angka lebih besar dari nol. Nilai e menentukan berapa besar permintaan uang meningkat ketika pendapatan naik. Nilai f menentukan berapa banyak permintaan uang turun ketika tingkat bunga naik. Ekuillibrium pasar uang sekarang dijelaskan dengan

M/P =eY- f r (3)


(57)

Persamaan ini memberi kita tingkat bunga yang menyeimbangkan pasar uang untuk setiap nilai pendapatan dan keseimbangan berdasarkan riil. Kurva LM menggambarkan persamaan ini untuk nilai Y dan R yang berbeda berdasarkan nilai M/P yang tetap. Dari koefisien pendapatan (e/f) dapat menentukan kurva LM curam atau datar. Jika permintaan uang tidak sangat sensitif terhadap tingkat pendapatan, maka e adalah kecil. Dalam kasus ini, hanya diperlukan perubahan kecil dalam tingkat bunga untuk mengurangi kenaikan kecil dalam permintaan uang yang disebabkan oleh perubahan pendapatan ; kurva LM relatif datar. Demikian pula, jika kuantitas uang yang diminta tidak sangat sensitive terhadap tingkat bunga, f adalah kecil. Dalam kasus ini, pergeseran pada permintaan uang yang disebabkan oleh perubahan pendapatan akan menimbulkan perubahan besar pada tingkat bunga ekuillibrium; kuva LM relatif Curam.

Dalam melihat efektivitas kebijakan kita membandingkan pada tiga daerah yaitu daerah klasik, intermediate range dan daerah keynes. Daerah liquidity trap merupakan daerah yang idenya pertama sekali dikemukan oleh Keynes. Keynes menganggap ada satu daerah pada kurva LM yang memiliki tingkat bunga yang sangat rendah dan tidak mungkin turun lagi. Daerah ini yang disebut daerah liquidity trap. Situ daerah klasik memili kurva LM yang tegak lurus. Hal ini dikarenakan pemahaman kaum klasik bahwa teori permintaan uang, permintaan uang tidak dipengaruhi oleh suku bunga. Menurut paham ini, permintaan uang dipengaruhi oleh pendapatan. Karena tidak ada hubungannya dengan suku bunga, maka kurva LM bentuknya tegak lurus. Daerah intermediate range adalah daerah yang menunjukan


(58)

kurva LM dipengaruhi oleh suku bunga. Untuk melihat keefektifan ekonomi dapat kita lihat pada gambar berikut:

IS0

IS1

IS0

IS1 IS0

IS1

R

Y Y0 Y1 Y0a

Gambar 2.10. Kurva Efektivitas Kebijakan Fiskal Y0c=Y1d

Y1b

Gambar (2.10) menunjukkan apabila kurva IS bergeser ke kanan berarti kebijakan fiskal ekspansif. Jika kita perhatikan pada masing-masing daerah, kebijakan fiskal sangat efektif pada daerah keynesian dan efektif pada daerah intermediate range. Hal ini terlihat dari besarnya perubahan keseimbangan pendapatan nasional didaerah keynesian. Sementara itu, kebijakan fiskal sama sekali


(59)

tidak efektif pada daerah klasik. Ketika ada kebijakan fiskal, keseimbangan pendapatan nasional tidak berubah.

R

IS3 LM0 LM1

IS2

IS1

y1 y2 y4 y3 y5 y

Gambar 2.11. Kurva Efektifitas Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter yang ekspansif ditandai dengan bergeser kurva LM dari Ke . Apabila dibandingkan pada ketiga daerah maka kebijakan moneter sangat efektif didaerah klasik dan efektif pada daerah intermediate. Sementara itu, kebijakan moneter sama sekali tidak efektif pada daerah keynesian.

2.11 Penelitian Terdahulu

Romer dan Romer (2007), meneliti tentang pengaruh perubahan pajak dan level pajak terhadap variable ekonomi makro yang mendasarkan pada ukuran


(60)

guncangan fiskal. Hasil temuan dari penelitian ini adalah bahwa kenaikan pajak merupakan kebijakan yang bersifat kontraksi terhadap perekonomian. Pengaruhnya sangat signifikan dan merugikan bagi perekonomian, karena efek perubahannya lebih besar dari pada perubahan tingkat pajak itu sendiri. Efek yang paling besar pengaruh negatifnya adalah pajak yang berhubungan dengan investasi

Chun (2006), meneliti tentang pengaruh kebijakan fiskal terhadap tingkat tabungan nasional di korea dengan menggunakan model life – cycle menemukan bahwa dalam jangka panjang ketidakseimbangan dalam anggaran belanja akan menurunkan tingkat tabungan nasional di Korea.

Penelitian Bania dkk (2006), untuk melihat hubungan antara pajak, pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi di US menemukan bahwa penerimaan pajak yang selanjutnya digunakan untuk penegluaran pemerintah yang produktif dalam hal ini, pendidikan, dan infrastruktur berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan model non linear dan mengadopsi teori endogenous dari Robert Barro.

Kustepeli (2005), meneliti dan menganalisis tentang efektifitas kebijakan fiscal dalam konteks hipotesis crowding out kebijakan fiscal yang dilakukan oleh pemerintah Turkey. Penelitian tersebut menggunakan kointegrasi johansen yang menghasilkan bahwa pendapat Keynes dan pendapat neokalsik tentang akibat dari kebijakan fiscal yang diambil oleh pemerintah Turkey berlaku terjadi di Turki. Ketika terjadi peningkatan pada pengeluaran pemerintah ditemukan crowding out terhadap


(61)

investasi swasta. Disimpulkan bahwa defisit angaran menimbulkan crowding out efek terhadap investasi swasta.

Maryatmo (2004), melaukan penelitian yang bertujuan untuk mengamati dampak dari kebijakan deficit anggaran yang dilakukan oleh pemrintah terhadap variable makro ekonomi secara umum dan khususnya variable moneter dalam jangka panjang dan jangka pendek. Penelitian ini menggunakan spesifikasi model rasional ekspektasi yang memungkinkan pengambil keputusan untuk mencegah efek – efek yang lain.

Model tersebut mengkonstruksi 8 persamaan jangka panjang dan delapan persamaan jangka pendek dan 12 persamaan identitas. Pengestimasian menggunakan metode two stage least square hasil penelitian menunjukkan bahwa deficit anggaran mempengaruhi tingkat suku bunga dalam jangka panjang dan jangka pendek. Dan defisit anggaran juga berpengaruh terhadap nilai tukar dan tingkat harga.dalam jangka panjang hasil uji causal memperlihatkan bahwa nilai tukar dan tingkat harga mempunyai efek yang berkebalikan dengan defisit anggaran.

Adapun Gupta et al. (2002) melakukan studinya dengan kasus 39 negara ESAF dan PRGF dengan kurun waktu 1990-2000. Studi tersebut lebih dimaksudkan untuk mengetahui apakah fiskal adjustment dan perbaikan komposisi pengeluaran pemerintah memiliki manfaat baik bagi pertumbuhan ekonomi di negara-negara miskin. Sumber pembiayaan pemerintah juga diamati di sini dengan dilatarbelakangi kenyataan bahwa selama ini studi-studi yang ada belum memperhatikan apakah defisit yang dibiayai dari luar negeri memiliki perbedaan dampak terhadap


(62)

pertumbuhan dibandingkan defisit yang dibiayai dengan sumber-sumber dana dalam negeri.

Selain menemukan bahwa komposisi pengeluaran pemerintah yang lebih produktif penting artinya bagi pertumbuhan dan pencapaian fiskal adjustment yang berkelanjutan, Gupta et al. (2002) juga menyebutkan bahwa komposisi pembiayaan defisit juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di negara-negara miskin. Namun, berbeda dengan temuan Aschauer di atas, Gupta et al. justru menemukan bahwa pembiayaan defisit anggaran pemerintah dari sumber-sumber domestik lebih merugikan pertumbuhan ekonomi daripada pinjaman luar negeri.

Turnovsky (2000), meneliti tentang hubungan antara kebijakan fiskal dan output di Amerika Serikat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah OLS. Penelitiannya menemukan bahwa kebijakan fiskal tidak memiliki dampak terhadap keseimbangan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Tingkat pertumbuhan yang lambat memberikan kenyataan bahwa kebajikan fiskal hanya berpengaruh pada jangka pendek pada masa transisi. Kenaikan variabel instrumen fiskal dalam jumlah yang relatif besar tidak terlalu berpengaruh besar terhaap output.

Hafer, Haslag dan Jones (2002), meneliti tentang hubungan antara kebijakan moneter, jumlah uang beredar, dan output di Amerika Serikat. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode OLS dengan menggunakan data tahun 1961 – 1982 dan 1961 – 2000. Penelitian ini terdiri dari tiga kajian. Yang pertama yaitu melihat hubungan antara kebijakan moneter dan output dengan mengestimasi


(63)

persamaan output gap dimana tingkat pembiayaan bank sentral menjadi instrumen kebijakan moneter. Yang kedua yaitu mengestimasi pengaruh jumlah uang beredar (M0,M1.M2) dengan mempengaruhi tingkat bunga terhadap output. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara tingkat pembiayaan bank sentral terhadap output kurun waktu tahun 1961 – 1982. Namun tercatat tidak signifikan pada data tahun 1982 hingga tahun 2000. Penelitian ini juga menemukan hubungan yang signifikan antara lag jumlah uang riil dan output gap pada tahun 1961 – 1982, namun juga tidak signifikan pada tahun 1982 – 2000.

Albatel (2003), meneliti tentang hubungan antara kebijakan pemerintah (kebijakan moneter dan kebajikan fiskal) dan output di Arab Saudi. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kointegrasi dan error correction model dengan menggunakan data tahun 1964 – 1998. hasil penelitian memperlihatkan terhadap hubungan kointegrasi antara kebijakan pemerintah (kebijakan fiskal dan moneter), liberalisasi perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi di Arab Saudi. Variabel pengeluaran pemerintah (kebijakan fiskal) dan jumlah uang beredar (kebijakan moneter) memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil statistik menukung adanya pemikiran bahwa aktivitas pemerintah (investasi pemerintah) akan meningkatkan pertumbuhan pendapatan perkapita. Begitu juga dengan kebijakan pemerintah baik secara fiskal maupun moneter memiliki efek permanen terhadap output rill. Semenjak kenaikan harga minyak tahun 1973, Arab Saudi terus meningkatkan pengeluarannya. Namun fluktuasi harga minyak


(64)

menyebabkan pemerintah harus meningkatkan defisit anggaran dan mengurangi pengeluaran untuk aktivitasnya.

Giavazzi (2003), meneliti tentang koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di Brazil. Hasil studinya memperlihatkan bahwa resiko kredit dapat menjadi pusat mekanisme dimana bank sentral yang menargetkan inflasi dapat kehilangan kendali atas terjadinya inflasi itu sendiri. Dengan kata lain, terjadinya perpindahan dominasi fiskal. Ketidakteraturan kebijakan fiskal dapat menyebabkan efektivitas kebijakan moneter menjadi berkurang. Misalnya kebijakan peningkatan tingkat bunga malah menyebabkan inflasi tidak menurun. Perekonomian Brazil jatuh pada tingkat keseimbangan yang buruk ketika kebijakan fiskal mengurangi efektivitas kebijakan moneter ( terjadi crowding out ). Namun dalam jangka panjang, kebijakan fiskal ini dapat mengembalikan kondisi kembali normal, terjadi kestabilan EMBI spread, kestabilan nilai tukar, inflasi, dan utang pemerintah, dan pertumbuhan ekonomi.

Hagen dan Mundschenk (2003), meneliti tentang koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di EMU (Economic and Monetary Union di Eropa). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada jangka panjang kebijakan moneter dapat mencapai kestabilan harga tanpa bertentangan dengan kebijakan fiskal. Bank Sentral dapat menetapkan tingkat inflasi tanpa mempengaruhi output terhadap individu dan keseluruhan masyarakat. Namun pada jangka pendek, ada konflik potensial antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Jika Bank Sentral hendak mencapai stabilitas harga, kebijakan fiskal pemerintah harus berjuang untuk menekan


(65)

permintaan agregat, dan peningkatan output. Dalam jangka pendek, kebijakan ini cenderung berbiaya tinggi, sehingga inflasi sulit ditekan. Disini perlu keseimbangan, dimana Bank Sentral dapat mempengaruhi agregat demand dan pemerintah dapat mempengaruhi agregat supply.

2.12 Hipotesis Penelitian

Dari uraian teori dan penelitian terdahulu diatas, maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut :

1. Pajak (instrumen kebijakan fiskal) berpengaruh negatif terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia

2. Pengeluaran pemerintah (instrumen kebijakan fiskal) berpengaruh positif terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia

3. Jumlah uang beredar (instrumen kebijakan moneter) berpengaruh positif terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia.


(66)

48

2.13 Kerangka Pemikiran

Dari uraian di atas dapat dibuat kerangka pemikiran penelitian sebagai berikut : GOV

TAX

M1

R PDB

M1


(67)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji hipotesis penelitian.

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana hubungan antara kebijakan fiskal dan moneter terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia. Ruang lingkup penelitian ini adalah untuk melihat efektivitas kebijakan fiskal dan moneter terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis dan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia pada kurun waktu 1980 - 2007.

3.3 Model Analisis

3.3.1 Persamaan Struktural ]

), [(Y T R C


(68)

c = 0 + 1 [ -TY ] - 2 .

(1a)

R

] , [Y R I

I  (2)

I = 0 + 1Y - 2 R. (2a)

G R Y R T Y

Y 0 1(  )2 0 1 2 (2b)

] ) (

[ 0 0 1 2

1

R T

G

Y     

         1 1 2 1  ] , , [R G T

y 

) , (M Y L

R  (3)

GT M

Y , , (4)

Fungsi PDB Y = b0 + b1 T + b2 G + b3 M +

3.3.2

persamaan rodu tik Bruto (

α2 R+ v) (8)

Y = b0 + b1 T + b2 G + b3α0+ b3 α1 Y+ b3α2 R (8.1)

) , (Y R L

M (5)

(6)

Fungsi Uang beredar M = α0 + α1 Y - α2 R + (7)

Persamaan Reduced Form

Subtitusi persamaan Uang beredar (7) ke dalam P k Domes 6) menjadi,


(69)

51

0+ b3α2 R

Y-1 b3 α1 = b0 + b1 T + b2 G + b3α

(8.2)

Maka persama enjadi :

Y = П + П T + П G + П R + П w (9) Dari dua persamaan akan di dapat koefisien unik untuk Y sebagai berikut :

П = b + b α0

1 - b α

П = b G П3 = b

1 - b α

Subtitusi persamaan Produk Domestik Bruto (6) ke dalam persamaan Jumlah Uang Beredar (7) menjadi,

)- α2 R (10.1)

M- α2 R (11.2)

M (1- b3α1)= = α0 + α1b0+α1 b1 T+ α1 b2 G - α2 R

(11.3)

an reduced form m

0 1 2 3 4

0 0 3

1 - b3α1

2 2

1 - b3 α1

П1 = b1 T 3 α2 R

3 1 3 1

M = α0 + α1(b0 + b1 T + b2 G + b3 M)- α2 R

(10)

M = α0 + α1(b0 + b1 T + b2 G + b3 M

M= α0 + α1b0+α1 b1 T+ α1 b2 G+ α1 b3


(70)

M = П

П5 = α0 + α1 b0

1 - b3α1

П6 = α1 b1

1 - b3α1

G

1 - b3α1

5 + П6 G+ П7 T+ П8R+ П9 t (12)

Koefisien unik untuk M sebagai berikut

T

П7 = α1b2

1 - b3α1


(71)

Dap

namun per identified. Maka prosedur penyelesaian adalah den

Hal ikasi melalui ordo dan rank

Aturan Ide Definisikan:

bel endogen dalam model

m = banyaknya variabel ndogen dalam suatu persamaan ter K = banyaknya variabel predetermined dalam el k = banyaknya variabel predetermined dalam persam maka dalam

m persamaan Y adalah : G, T

aan tersebut tidak mencakup paling sedikit M-1 variabel (endogen dan predetermined) yang muncul dalam model.

at terlihat dari persamaan bahwa persamaan pendapatan exactly identified, samaan Jumlah uang beredar over

gan menggunakan Two stage least square. ini juga dapat dibuktikan dengan identif kondition sebagai berikut :

ntifikasi:

M = banyaknya varia

e tentu

mod

suatu aan tertentu persamaan terdapat :

M dalam model persamaan adalah Y dan M

m persamaan M adalah : R

K dalam model persamaan adalah : G,T,dan R 1. Order Condition

i. Definisi 1

Dalam model M persamaan simultan, suatu persamaan dapat diindentifikasikan jika persam


(72)

Jika persamaan tersebut tidak mencakup exactly M-1 variabel, maka persamaan adalah just identified.

Jika persamaan tersebut tidak mencakup lebih dari M-1 variabel, maka

Jika K-k = m-1  just identified over identified i

M – 1 Keterangan persamaan adalah over identified.

ii. Definisi 2

K-k > m-1 2. Uj dengan ordo

Pers K – k

1 3 – 2 = 2 - 1 Exactly identified 2 3 – 1 > 2 - 1 Over identified

Persamaan diatas tidak dapat di uji dengan rank condition karena tidak dibentuk matriks dengan ordo (M-1) (M – 1).

3.4 Definisi Operasional

1. PDB adalah nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu diukur dalam satuan miliar rupiah.

berupa kewajiban kepada negara yang terutang oleh orang pr

2. Pajak (Tax) adalah instrumen kebijakan fiskal

ibadi atau badan yang bersifat memaksa diukur dalam satuan miliar rupiah.


(73)

3. Pengeluaran pemerintah (Gov) adalah instrumen kebijakan fiskal berupa

Jum

diukur dalam satuan miliaran rupiah.

ode analisis

lam keadaa enghindari terjadinya regresi palsu,

enimbulkan interpretasi hasil yang kurang tepat.

enggunakan uji Augmented

(Test of Goodness of Fit)

anggaran pemerintah dalam konteks APBN pertahun diukur dalam satuan miliar rupiah.

4. lah uang beredar adalah instrumen kebijakan moneter berupa jumlah uang kartal dan jumlah uang giral (M1)

3.5 Met

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Two Stage Least Square (TSLS).

3.6 Uji Stasionertitas Data

Uji ini dilakukan untuk untuk melihat apakah data yang akan dianalisis da n stationer. Uji ini dilakukan untuk m

sehingga m

Pengujian dilakukan dengan menggunakan dengan m Dickey Fuller dan Phillip Perron Test.

3.7 Uji Kesesuaian

Koefisien determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar variabel-variabel independen secara bersama mampu memberi penjelasan mengenai variabel dependent.


(74)

60

yang bertujuan untuk memenuhi apakah asing

imana bi adalah koefisien variabel independen ke-I nilai parameter hipotesis, biasanya b dianggap = 0, artinya tidak ada pengaruh variabel Xi terhadap Y. Bila nilai t-hitung > t-tabel maka pada tingkat kepercayaan tertentu Ho ditolak. Hal ini berarti bahwa variabel independen yang diuji berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap variabel dependen. Nilai t-hitung diperoleh dengan rumus :

t-hitung = a. Uji t-statistik

Uji t merupakan suatu pengujian

m -masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap dependent variabel. Dengan menganggap variabel independen lainnya konstan. Dalam uji ini digunakan hipotesis sebagai berikut :

Ho : bi = b Ha : bi ≠ b

D

Dimana:

i : koefisien variabel ke-i : Nilai hipotesis nol

bi : Simpangan baku dari variabel independen ke-i . Uji F-statistik

Uji F ini adalah pengujian yang bertujuan untuk mengetahui seberapa besar engaruh koefisien regresi secara bersama-sama terhadap dependen variabel. Untuk engujian ini digunakan hipotesis sebagai berikut :

independen B

B S b

p p


(75)

Ho : bi = b2 =………bk = 0 (tidak ada pengaruh) Ha : bi ≠ 0 (ada pengaruh)

Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai hitung dengan Ho ditolak, yang berarti variabel independen untuk i=1…..k

tabel. Jika F-hitung > F- tabel maka

secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen. Nilai F-hitung dapat diperoleh dengan rumus :

F- hitung =

Dimana 

: koefisien determinasi K : Jumlah variabel independen n : jumlah sampel

Dengan kreteria pengujian pada tingkat kepercayaan 95% sebagai berikut : Ho diterima jika F-hitung < Fa


(1)

Lampiran 3. Hasil Uji ADF Test Data Pengeluaran Pemerintah

ADF Test Statistic 4.540878 1% Critical Value* -3.7204 5% Critical Value -2.9850 10% Critical Value -2.6318 *MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(GOV)

Method: Least Squares Date: 05/14/09 Time: 23:42 Sample(adjusted): 1983 2007

Included observations: 25 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. GOV(-1) 0.413415 0.091043 4.540878 0.0002 D(GOV(-1)) -0.844862 0.262897 -3.213662 0.0042 D(GOV(-2)) -0.798875 0.262080 -3.048214 0.0061 C 3914.987 10134.53 0.386302 0.7032 R-squared 0.520191 Mean dependent var 30262.98 Adjusted R-squared 0.451647 S.D. dependent var 51111.14 S.E. of regression 37848.24 Akaike info criterion 24.06620 Sum squared resid 3.01E+10 Schwarz criterion 24.26122 Log likelihood -296.8275 F-statistic 7.589144 Durbin-Watson stat 2.539274 Prob(F-statistic) 0.001270


(2)

Lampiran 4. Hasil Uji ADF Test Data Uang Beredar

ADF Test Statistic 3.030915

1% Critical Value* -3.7204 5% Critical Value -2.9850 10% Critical Value -2.6318 *MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(M1)

Method: Least Squares Date: 05/14/09 Time: 23:44 Sample(adjusted): 1983 2007

Included observations: 25 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. M1(-1) 0.209375 0.069080 3.030915 0.0064

D(M1(-1)) 0.409246 0.280515 1.458908 0.1594 D(M1(-2)) -0.606916 0.403259 -1.505029 0.1472 C -441.4641 2991.923 -0.147552 0.8841 R-squared 0.834176 Mean dependent var 18138.52 Adjusted R-squared 0.810487 S.D. dependent var 24340.46 S.E. of regression 10596.15 Akaike info criterion 21.52002 Sum squared resid 2.36E+09 Schwarz criterion 21.71504 Log likelihood -265.0002 F-statistic 35.21347 Durbin-Watson stat 1.869916 Prob(F-statistic) 0.000000


(3)

Lampiran 5. Hasil Uji Test Data Produk Domestik Bruto

ADF Test Statistic 2.385965 1% Critical Value* -3.7204 5% Critical Value -2.9850 10% Critical Value -2.6318 *MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PDB)

Method: Least Squares Date: 05/14/09 Time: 23:45 Sample(adjusted): 1983 2007

Included observations: 25 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. PDB(-1) 0.120278 0.050410 2.385965 0.0265

D(PDB(-1)) 0.343016 0.277458 1.236279 0.2300 D(PDB(-2)) 0.040569 0.290347 0.139724 0.8902 C 2185.855 21215.35 0.103032 0.9189 R-squared 0.832180 Mean dependent var 149667.1 Adjusted R-squared 0.808206 S.D. dependent var 172665.5 S.E. of regression 75617.63 Akaike info criterion 25.45041 Sum squared resid 1.20E+11 Schwarz criterion 25.64543 Log likelihood -314.1302 F-statistic 34.71140 Durbin-Watson stat 1.850320 Prob(F-statistic) 0.000000


(4)

Lampiran 6. Hasil Uji ADF Test Data Tingkat Suku Bunga

ADF Test Statistic -2.505852 1% Critical Value* -3.7204 5% Critical Value -2.9850 10% Critical Value -2.6318 *MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(R)

Method: Least Squares Date: 05/14/09 Time: 23:46 Sample(adjusted): 1983 2007

Included observations: 25 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. R(-1) -0.512852 0.204662 -2.505852 0.0205

D(R(-1)) 0.117993 0.199642 0.591025 0.5608 D(R(-2)) -0.223541 0.194128 -1.151514 0.2625 C 8.332133 3.319072 2.510380 0.0203 R-squared 0.358856 Mean dependent var 0.104000 Adjusted R-squared 0.267264 S.D. dependent var 4.497433 S.E. of regression 3.849802 Akaike info criterion 5.679567 Sum squared resid 311.2405 Schwarz criterion 5.874587 Log likelihood -66.99459 F-statistic 3.917987 Durbin-Watson stat 1.798979 Prob(F-statistic) 0.022865


(5)

94

Lampiran 7. Hasil Uji ADF Test Data Pajak

ADF Test Statistic 3.215218 1% Critical Value* -3.7204 5% Critical Value -2.9850 10% Critical Value -2.6318 *MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(TAX)

Method: Least Squares Date: 05/14/09 Time: 23:47 Sample(adjusted): 1983 2007

Included observations: 25 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. TAX(-1) 0.233948 0.072763 3.215218 0.0042

D(TAX(-1)) -0.195024 0.275872 -0.706936 0.4874 D(TAX(-2)) 0.025943 0.265761 0.097617 0.9232 C 766.6903 2628.875 0.291642 0.7734 R-squared 0.865826 Mean dependent var 20225.99 Adjusted R-squared 0.846658 S.D. dependent var 25878.11 S.E. of regression 10133.58 Akaike info criterion 21.43074 Sum squared resid 2.16E+09 Schwarz criterion 21.62576 Log likelihood -263.8843 F-statistic 45.17100 Durbin-Watson stat 1.974161 Prob(F-statistic) 0.000000


(6)

95

Lampiran 8. Correlation Matrix

GOV TAX

GOV 1.000000 0.990613