Rasio Variabel Fiskal dan Moneter terhadap PDB

Yordania, Vietnam dan Turki, sehingga pada tahun 1997 ini Indonesia telah menandatangani peranjian IGA dengan 33 negara. Berbagai langkah kebijaksanaan yang dilakukan telah berhasil mendorong tingkat investasi. Selama empat tahun Repelita sampai 31 Juli 1997, pemerintah telah mengeluarkan persetujuan penanaman modal dalam rangka PMDN sebesar Rp285,10 triliun dan dalam rangka PMA sebesar US110,70 miliar. Berdasarkan data yang ada, tingkat realisasi rata-rata adalah 47,96 persen dan PMA adalah 53,44 persen, sehingga seluruh realisasi investasi sebesar Rp. 104,45 triliun dalam bentuk PMDN dan US45,80 miliar dalam bentuk PMA.

4.2 Rasio Variabel Fiskal dan Moneter terhadap PDB

Secara umum rasio variabel fiskal dan moneter terus mengalami peningkatan. Untuk kebijakan fiskal, rasio total pengeluaran pemerintah dalam anggaran rutin dan anggaran pembangunan mengalami peningkatan yang cukup besar pada akhir tahun 1970-an. Namun, pasca oil boom dan adanya kecenderungan resesi dunia diawal tahun 1980-an. Penerimaan pemerintah dari sisi migas mengalami penurunan sehingga pemerintah harus mengurangi anggaran pengeluaran. Hal ini terlihat dari menurunya rata-rata ratio pengeluaran pemerintah setelah periode tersebut. Untuk pajak, kurun tahun 1980-1984 rata-rata rasio pajak terhadap PDB masih berada dibawah 5 . Universitas Sumatera Utara Dalam periode 2005-2007, penerimaan perpajakan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, yaitu dari Rp. 347,0 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp.409,2 triliun pada tahun 2006 dan Rp. 491,0 triliun pada tahun 2007. Secara rata-rata, dalam kurun waktu tiga tahun tersebut, penerimaan perpajakan meningkat sebesar 18,9 persen. Dengan semakin meningkatnya penerimaan perpajakan, maka peranan perpajakan sebagai salah satu sumber pendapatan negara menjadi semakin penting. Hal ini dapat ditunjukkan dari besarnya kontribusi penerimaan perpajakan terhadap pendapatan negara dan hibah yang dalam periode 2005-2007 rata-rata mencapai 67,0 persen. Sejalan dengan itu, kemampuan Pemerintah dalam memungut pajak juga menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari semakin besarnya rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB tax ratio. Pada tahun 2005 tax ratio mencapai sekitar 12,5 persen, kemudian ditargetkan meningkat menjadi 13,7 persen dalam tahun 2008. Perkembangan tax ratio selama periode 2005-2007 dan perkiraan tahun 2008 Selanjutnya, apabila dilihat dari komponen penyumbangnya, penerimaan perpajakan terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Dalam periode 2005-2007, pajak dalam negeri berhasil memberikan kontribusi sebesar 96,0 persen terhadap total penerimaan pajak selama tiga tahun, sedangkan pajak perdagangan internasional memberikan kontribusi sebesar 4,0 persen. Sementara itu, dari realisasi penerimaan perpajakan sebesar Rp. 491,0 triliun dalam tahun 2007, Rp. 470,1 triliun atau 95,7 persen dari jumlah tersebut merupakan kontribusi dari pajak dalam negeri, sisanya Rp. 20,9 triliun atau 4,3 persen merupakan kontribusi dari pajak perdagangan internasional. Dibandingkan dengan Universitas Sumatera Utara realisasi tahun 2006 yang mencapai Rp. 409,2 triliun, penerimaan perpajakan pada tahun 2007 berhasil meningkat sebesar Rp. 81,8 triliun atau 20,0 persen. Meningkatnya penerimaan p kan ini didukun meningkatnya penerimaan paja eri dan paja gangan internasional masing-masing 18,7 persen dan 58,2 persen. Dalam tahun 2008, penerimaan kan diperkirak i Rp. 641,0 triliun atau 105,2 persen dari targe N-P. Secara lebih tingginya penerimaan perpajakan dalam tahun 2008 tersebut didukung oleh dan reformasi sistem admini rimaan PPN dan PnBM. erpaja g oleh k dalam neg k perda perpaja an mencapa t APB umum, keberhasilan dari pelaksanaan kebijakan perpajakan strasi perpajakan yang telah dilakukan secara intensif dan adanya perkembangan dari beberapa asumsi ekonomi makro. Selain kebijakan-kebijakan tersebut, salah satu kebijakan perpajakan yang dinilai berhasil adalah kebijakan intensifikasi yang dilakukan melalui kegiatan penggalian potensi perpajakan. Kegiatan penggalian potensi perpajakan ini dilakukan melalui pembuatan mapping, profiling dan benchmarking WP penentu penerimaan di setiap Kantor Pelayanan Pajak KPP dan penggalian secara sektoral, khususnya pada sektor-sektor yang booming , yaitu industri kelapa sawit dan batubara. Sementara itu, di sisi perkembangan ekonomi makro, tingginya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah membawa dampak positif bagi penerimaan perpajakan. Tingginya inflasi menyebabkan harga-harga di pasar domestik naik dan selanjutnya meningkatkan nilai dari transaksi bisnis yang pada gilirannya meningkatkan pene P Universitas Sumatera Utara Tabel 4.1. Rata-rata Rasio Variabel Fiskal dan Moneter Terhadap PBD Dalam Persen Tahun GovPDB TAXPDB M PDB 1 1980-1984 19,9 4,76 30,33 1985-1989 18,65 8,3 38,29 1990-1994 17,65 10,76 53,33 2000-2004 18,21 11,07 1995-1999 18,02 9,78 67,4 59,47 2005-2008 33,2 13,44 43,64 Sumber : Laporan BI, Key Indicator, Depkeu Data Diolah Disisi moneter, kurun waktu tahun 1985-1989 tercatat rata-rata 38,29 pertahun. Rasio ini meningkat dibandingkan tahun 1980-1984 yang hanya sebesar ngan seiringnya meningkatnya dana pihak m akan di sekt mlah uang beredar terhadap PDB ningk P 5-1999, rasio ng beredar ngala ningkatan tertinggi ku ktu 1980 hingga tah ada periode sis ta 1997, peningkatan uang beredar lebih disebabkan karena lemahnya nilai tukar rupiah enyusul adanya penerapan nilai tukar bebas di Indonesia. Nilai rupiah sempat mencapai level Rp. 16.000 per USD. Meningkatnya jumlah uang beredar akibat melemahnya nilai tukar rupiah berdampak pada tingkat inflasi yang hampir mencapai 50 pada tahun 1998. 30,33 pertahun. Jumlah uang beredar juga meningkat de ketiga di sektor bank. Pada tahun 1990 hingga 1996 akhir erup booming or keuangan ju me at menjadi 53,33. ada periode 199 jumlah ua me mi pe run wa un 2008. P kri hun jumlah me terhadap dolar, m Universitas Sumatera Utara

4.3 Analisis Hasil Pers