BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Negara  merupakan  suatu  organisasi  kemasyarakatan,  oleh  karena  itu  di dalamnya pasti dihuni oleh  sejumlah penduduk.  Dalam  pengetahuan  hukum tata
negara, untuk dapat dipandang sebagai suatu negara haruslah memenuhi tiga hal, yang  salah  satunya  adalah  sekumpulan  manusia  yang  hidup  bersama  di  suatu
tempat tertentu sehingga  merupakan suatu kesatuan  masyarakat yang diatur oleh suatu  tertib  hukum  nasional
1
yang  dalam  kajian  ilmu  politik  disebut  rakyat. Bahkan  menurut  berbagai  teori  yang  dikembangkan  dalam  ilmu  negara,  negara
ada demi warga negara. Terutama jika mengacu kepada paham demokratis, yang dianut  oleh  berbagai  negara  modern  dewasa  ini,  termasuk  Indonesia.  Eksistensi
negara adalah dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Hal  tersebut  sudah  sepantasnya,  sebab  maksud  adanya  negara  adalah
untuk  menyelenggarakan  kepentingan  warganya.  Negara  akan  menjadi  kuat  dan sukses  bila  warga  negara  sebagai  pendukungnya  juga  kuat.  Kuat  dalam  arti
seluas-luasnya,  termasuk  kuat  dalam  arti  persatuan  diantara  rakyatnya.  Oleh karena  itu  ketentuan  siapa  yang  akan  menjadi  warga  negara  bukanlah  persoalan
perorangan  akan  tetapi  merupakan  persoalan  atau  wewenang  bagi  negara  yang berdaulat  dengan  tetap  menghormati  prinsip-prinsip  umum  Internasional.  Atas
1
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, Cet ke-3, h. 3.
dasar  itulah  diperlukan  pengaturan  mengenai  kewarganegaraan.  Di  Indonesia mengenai kewarganegaraan diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Dasar 1945.
2
Penduduk atau rakyat suatu negara terdiri dari warga negara,  yaitu orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara, yang mempunyai
hubungan  yang  tidak  terputus  dengan  tanah  airnya,  dengan  Undang-Undang Dasar negaranya, sekalipun yang bersangkutan berada di luar negeri, selama yang
bersangkutan tidak memutuskan hubungannya atau terikat oleh ketentuan hukum Internasional.
3
Selain  itu,  dalam  suatu  negara  adakalanya  dijumpai  golongan  minoritas yang  oleh  Wolhoff  disebut  “minoriteit,  yaitu  golongan  orang  yang  berjumlah
kecil  atau  disebut  juga  warga  negara  asing  WNA”
4
,  sedangkan  hubungannya dengan  negara  yang  didiaminya  hanyalah  selama  yang  bersangkutan  bertempat
tinggal dalam wilayah negara tersebut.
5
Dalam  wilayah  kewarganegaraan  Indonesia  muncul  suatu  kendala  yang cukup jelas dihadapan kita selama ini, yaitu kendala konsep dalam memahami arti
2
Tim Redaksi Pustaka Pergaulan, UUD 1945, Naskah Asli dan Perubahannya, Jakarta: Pustaka Pergaulan, 2004, Cet ke-3, h. 74.
3
I  Wayan  Phartiana,  Pengantar  Hukum  Internasional,  Bandung:  Mandar  Maju,  2003, Cet. Ke-2, h. 94.
4
Abu  Bakar  Busro  dan  Abu  Daud  Busroh,  Hukum  Tata  Negara,  Jakarta:  Ghalia Indonesia, 1985, h. 169.
5
Mustafa  Kamal  Pasha,  Pendidikan  Kewarganegaraan  Civic  Education,  Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002, h. 23.
warga  negara.  Pertanyaan  sederhana  yang  ada  pada  kita  yaitu,  apakah  warga negara  itu  orang  yang  dalam  kartu  identitas  KTP,  SIM,  PASPOR  tertulis
kewarganegaraan  tertentu  ?  Dalam  wilayah  ini  saja  terkadang  pemahaman  kita masih  simpang-siur  tentang  warga  negara  itu  sendiri.  Ada  orang  yang  asal
lahirnya  di  Indonesia,  dia  adalah  warga  negara  Indonesia,  atau  sebaliknya  bagi warga  negara  Indonesia  yang  melahirkan  anaknya  di  luar  wilayah  teritorial
Indonesia anak tersebut menjadi warga negara asing.
6
Sebagai  contoh,  dalam  zaman  keterbukaan  seperti  sekarang  ini,  tidak setiap  warga  negara  dari  suatu  negara  selalu  berada  di  dalam  negaranya.
7
Tidak bisa kita pungkiri  bahwa kita sering  menyaksikan banyak sekali penduduk suatu
negara  yang  berpergian  keluar  negeri,  baik  karena  direncanakan  dengan  sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula
terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak  di  rumah  sakit  di  luar  negeri  yang  dapat  lebih  menjamin  kesehatan  dalam
proses persalinan. Dalam  hal  negara  tempat  asal  seseorang  dengan  negara  tempat  ia
melahirkan  atau  dilahirkan  menganut  sistem  kewarganegaraan  yang  sama  tentu tidak  akan  menimbulkan  persoalan.  Akan  tetapi  apabila  kedua  negara  yang
6
Mohammad  AS.  Hikam,  dkk,  Fiqh  Kewarganegaraan,  Intervensi  Agama-Negara Terhadap Masyarakat Sipil,
Yogyakarta: CV Adipura, 2000, h. 41-42.
7
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003, Cet. Ke-9, h. 82.
bersangkutan  memiliki  sistem  yang  berbeda  maka  dapat  terjadi  problem mengenai  status  kewarganegaraan  yang  menyebabkan  seseorang  menyandang
status  dwi-kewarganegaraan  double  citizenship  atau  sebaliknya  malah  menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali stateles
8
. Berbeda  dengan  prinsip  kelahiran  itu,  di  beberapa  negara  dianut  prinsip
‘Ius  sanguinis’  yang  mendasarkan  diri  pada  faktor  pertalian  seseorang  dengan status  orang  tua  yang  berhubungan  darah  dengannya.  Apabila  orang  tuanya
berkewarganegaraan  suatu  negara,  maka  otomatis  kewarganegaraan  anak- anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orang tuanya itu.
9
Akan tetapi, sekali  lagi,  dalam  dinamika  pergaulan  antar  bangsa  yang  makin  terbuka  dewasa
ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya. Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status
kewarganegaraan  yang  berbeda-beda  antara  pasangan  suami  dan  istri.  Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan  yang dianut oleh  masing-masing  negara
asal  pasangan  suami  istri  itu,  hubungan  hukum  antar  suami  istri  yang melangsungkan  perkawinan  campuran  seperti  itu  selalu  menimbulkan  persoalan
berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka.
10
8
C.S.T.  Kansil,  Pengantar  Ilmu  Hukum  dan  Tata  Hukum  Indonesia,  Jakarta:  Balai Pustaka, 1989, Cet ke- 8, h. 98.
9
Soependri  Soeriadinata,  Sendi  Pokok  Tata  Negara  Indonesia,  Jakarta:  CV.  Karya Indah, 1974, h. 94-95.
10
T. May Rudy, Hukum Internasional I, Bandung: PT. Refika Aditama, 2002, h. 37.
Mengenai  masalah  kewarganegaraan  sistem  politik  Islam  terkandung secara
implisit  dan  dapat  dipahami  dari  al-Quran  dan  al-Sunnah. Kewarganegaraan  sistem  politik  Islami  pertama-tama  berdasarkan  agama  Islam,
tetapi apakah ini berarti bahwa semua orang Islam secara otomatis menjadi warga negara sistem politik Islam atau orang bukan  muslim tidak dapat  menjadi warga
negara sistem politik Islam ?
11
Dalam  hal  konsep  kewarganegaraan  sistem  politik  Islam-pun  masih banyak  orang  yang  belum  mengetahui  bagaimana  Islam  mengatur  hal  tersebut.
Meski  pada  kenyataannya  mayoritas  warga  negara  Indonesia  adalah  beragama Islam. Oleh karena  itu, ada  baiknya konsep kewarganegaraan Islam dimasukkan
dalam pembahasan ini sebagai bahan perbandingan.
Berdasarkan  latar  belakang  yang  telah  disebutkan  di  atas,  maka  penulis merasa  perlu  melakukan  penelitian  dan  mengangkatnya  menjadi  sebuah  skripsi
yang  berjudul  ”PERSPEKTIF  HUKUM  ISLAM  TERHADAP  KONSEP KEWARGANEGARAAN  INDONESIA  DALAM  UNDANG-UNDANG
NOMOR 12 TAHUN 2006”.
11
Abd.  Muin  Salim,  Fiqh  Siyasah,  Konsepsi  Kekuasaan  Politik  dalam  Al-Quran, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995, Cet ke-2, h. 300.
B.   Pembatasan dan Perumusan Masalah