Hubungan Diplomasi Jepang Indonesia Setelah Tahun 1945

(1)

HUBUNGAN DIPLOMASI JEPANG INDONESIA SETELAH TAHUN 1945

1945 NEN NO ATODE INDONESIA TO NIHON NO KOURYUU

SKRIPSI

Skripsi ini dijukkann kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam

Bidang Ilmu Sastra Jepang

OLEH:

DIANITA CATERINA 050708038

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG MEDAN


(2)

HUBUNGAN DIPLOMASI JEPANG INDONESIA SETELAH TAHUN 1945

1945 NEN NO ATODE INDONESIA TO NIHON NO KOURYUU

SKRIPSI

Skripsi ini dijukkann kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam

Bidang Ilmu Sastra Jepang OLEH:

DIANITA CATERINA 050708038

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Eman Kusdiyana, M.hum

NIP: 19600919 198803 1 001 NIP: 19580704 1984 12 001 Prof.Drs Hamzon Situmorang MS.Ph.D

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA


(3)

Lembar Persetujuan Ketua Jurusan

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

Ketua Departemen

NIP: 19580704 1984 12 001 Prof.Drs Hamzon Situmorang MS.Ph.D


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat dan syukur kupersembahkan kepada Isa Almasih, Tuhan dan Junjungan saya yang hidup. Dialah gunung batu dan keselamatan saya. Hanya karena Dia-lah saya dapat menyelesaikan masa-masa kuliah di Departemen Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara selama kurang lebih lima tahun. Hanya karena Dia-lah, saya juga dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai persyaratan untuk lulus dari unuversitas.

Adapun skripsi yang persembahkan ini berjudul ‘Diplomasi Jepang Indonesia setelah tahun 1945’ . Sesuai dengan judulnya, skripsi ini mengulas tentang hubungan diplomasi yang terjalin antara negara Jepang dan Indonesia setelah 1945. Hubungan diplomasi ini sangat unik karena dahulu, sebelum 1945, Jepang pernah menjajah Indonesia . Lebih menarik lagi karena ternyata hubungan kedua negara memiliki kaitan dengan kultur atau ideologi yang dimiliki masing-masing negara. Walaupun demikian, saya sangat menyadari skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya meminta maaf untuk kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam skripsi ini.

Selain itu, saya juga sangat menyadari dalam masa perkuliahan saya dan pembuatan skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan orang-orang yang telah menolong, membimbing dan menyemangati saya. Oleh karena itu saya juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Sastra, Prof. Syaifuddin, MA, Ph.D,.

2. Bapak Prof.Drs Hamzon Situmorang MS.Ph.D , kepala Departemen Satra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Terimakasih atas


(5)

3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.hum yang merupkan Dosen Pembimbuing I Skripsi saya. Terimakasih banyak berkat bimbingan Bapak saya dapat menyelesaikan skripsi saya. Bapak sudah sangat sabar memberikan arahan dalam pengerjaan skripsi saya. Juga semasa kuliah, Bapak telah sangat sabar mengajar kami. Terimakasih banyak.

4. Bapak Prof.Drs Hamzon Situmorang MS.Ph.D yang merupakan Dosen Pembimbing II Skripsi saya. Banyak arahan yang telah Bapak berikan dalam pengerjaan skripsi ini. Juga ketika masa-masa kuliah, Bapak banyak menceritakan tentang Jepang sehingga menambah motivasi saya dan teman-teman untuk memajukan negeri ini. Terimakasih banyak.

5. Bapak Pujiono, S.S.,M.Hum yang merupakan dosen Wali saya. Saya selalu ingat perkataan Bapak ketika nilai-nilai saya di semester I sangat buruk. Bapak mengatakan untuk tetap semangat dan yakin bisa lebih baik lagi. Saya sangat bersyukur karena saat ini nilai-nilai saya jauh lebih baik dari nilai-nilai saya semasa semester I. Terimakasih banyak.

6. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar dan Staf yang berada di Departeman Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Bapak dan Ibu telah mencurahkan waktu dalam mengajar dan memberi motivasi kepada saya dan teman-teman. Banyak hal yang saya dapatkan terutama dalam hal motivasi membuat saya yang minder menjadi lebih berani. Terimakasih banyak.

7. Teman-teman saya yang berada di stambuk 2005. Terimakasih karena terus mendukung saya dalam berbagai media. Semoga kita semua sukses. Juga teman-teman dari stambuk 2002,2003, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009.


(6)

8. Teman-teman satu KTB-ku Yehova Syemmah (Kak Eva, Rohani, Lisbet dan Deviani). Terimakasih untuk dukungan doa dan semangatnya bahkan Rohani, thanks untuk Laptop yang sempat kuajak begadang.

9. Adik-adik satu KK-ku Eien no Ai (Trya, Remi, Kristin dan Rani). Tertimakasih untuk dukungn doa dan semangat yang kalian berikan.

10.Krisnawati Sembiring yang menjadi sahabat dan orang terdekatku. Saya berharap kamu berbahagia selalu. Terimakasih untuk dukunganmu selama ini. Juga untuk Orina, Buana, Dian, Melvi dan yang lainnya yang sudah jadi temen ngobrol dan memotivasiku.

11.Kak Pagit, sepupuku yang kukasihi dan Sarah. Kuharap kalian selalu berbahagia. Terimakasih juga untuk Melisa dan There yang telah jadi teman sekamarku setahun ini walau sekarang sudah tidak lagi.

12.Jelita dan teman-teman pelayanan di UP FS dan di pelayanan manapun yang pernah saya ikuti. Kalian orang-orang yang berharga bagiku, terimakasih banyak.

13.Untuk semua orang yang membaca, mengkopi dan menggunakan skripsi ini sebab dengan begitu, skripsi ini tidak menjadi tumpukan dokumen tak berarti.

Demikian kata pengantar yang saya beriakan. Maafkan bila kata-kata yang terdapat didalamnya tidak berkenan bagi para pembaca. Terimakasih banyak.

Medan , 21 April 2010

NIM 050708038 Dianita Caterina


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

BAB I PENDAHULUAN……….………....1

1.1Latar Belakang Masalah………...………..………..1

1.2Perumusan Masalah………..………...……….5

1.3Ruang Lingkup Pembahasan………..………...………...6

1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………...…..……….7

1.4.1 Tinjauan Pustaka...7

1.4.2 Kerangka Teori...9

1.5Tujuan dan Manfaat Penelitian………...……...……...13

1.5.1 Tujuan Penelitian...13

1.5.2 Manfaat Penelitian...13

1.6Metode Penelitian………...……….14

BAB II DIPLOMASI JEPANG INDONESIA...15

Pengertian Diplomasi………...………...15

Jepang dan Indonesia sebagai Dua Buah Negara di Asia …...18

2.2.1 Letak Jepang.………...……...…..18

2.2.2 Kultur Jepan ………...……...24

2.2.3 Kultur Indonesia………...………....49

Sejarah Diplomasi Jepang Indonesia………...……...54

Awal Hubungan Diplomasi Jepang Indonesia…...…55

Permasalahan dalam Hubungan Diplomasi Jepang Indonesia………...…..………..60


(8)

BAB III HUBUNGAN DIPLOMASI JEPANG INDONESIA

SETELAH PERANG DUNIA KEDUA (1945)...63

3.1 Realita Hubungan Diplomasi...64

3.1.1 Diplomasi Budaya...64

3.1.2Diplomasi Bahasa...68

3.1.3 Diplomasi Ekonomi...73

3.1.4 Diplomasi antara Pemerintah Kota dan Provinsi (Hubungan diplomasi kota kembar dan provinsi kembar)...83

3.2 Permasalahan dan Usaha Mengatasi Hambatan... 3.2.1 Permasalahan dalam Hubungan Diplomasi Jepang dengan Indonesia...103

3.2.2 Usaha dalam Mengatasi Hambatan Hubungan Diplomasi Jepang Indonesia...112

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN...119

4.1 Kesimpulan...119

4.2 Saran...119

DAFTAR PUSTAKA...121 ABSTRAK... LAMPIRAN...


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karakteristik geografis suatu negara senantiasa mempunyai pengaruh terhadap kehidupan bangsanya. Hal ini dapat dilihat pada sejarah, tabiat dan watak bangsa tersebut. Hal ini dapat berlaku terhadap Negara Jepang (Suryohadiprojo, 1982:1).

Secara topografi, Jepang merupakan bagian dari suatu deretan pegunungan yang panajng yang terangkai dari Asia Tenggara samapi jauh ke Alaska . Menurut survey dari Lembaga Survai Geogarfi Kementrian Pembangunan Jepang, kawasan pegunungan mencapai 70% dari seluruh daratan Jepang (Anonim, 1982:3). Disana-sini terdapat gunung-gunung yang menjulang tinggi dan diantaranya adalah gunung berapi.

Luasnya daerah pegunungan menyebabkan tanah dataran berwujud sempit antara pegunungan dengan pantai Samudera Pasifik dan Laut Jepang. Sempitnya dataran menyebabkan tanah pertanian hanya meliputi 15 % saja dari seluruh daratan Jepang. Walalupun memiliki daratan yang sempit, berkat keuletannya, bangsa Jepang dapat menghasilkan 10 juta ton beras setiap tahun. Jepang sebagai negara kepulauan, sifat maritimnya menyebabkan bangsa Jepang menjadi bangsa pelaut yang ulung (Suryohadiprojo, 1982:3).

Meskipun memiliki kondisi topogarafi seperti ini Jepang tidak pernah putus asa bahkan terus berjuang dengan rajin dalam membangun negara dan bangsanya hal initerbukti pada masa kini, Negara Jepang menjadi Negara yang kuat. Kekuatan Jepang mulai terlihat pada masa perang dunia kedua, Jepang muncul sebagai negara


(10)

yang kuat dan ditakuti. Jepang bersama sekutunya menebarkan horor diseluruh dunia. Jepang merebut Indonesia dari Belanda pada tahun 1942 dan menjajah Indonesia sampai perang dunia kedua berakhir pada tahun 1945 (Majalah angkasa, 2008:81). Sebagai negara yang kalah perang, Jepang harus membayar sejumlah pampasan perang yang nilainya tidak sedikit. Bukan hanya itu saja, mereka juga terpaksa membiarkan sekutu menduduki Jepang sampai pada tahun 1952. Walupun demikian, Jepang pada tahun yang sama mencapai produksi yang jumlahnya hampir sama seperti sebelum perang (Vogel, 1982:26).

Semuanya ini diperoleh karena keuletan yang dimiliki bangsa Jepang dan sikap disiplinnya. Selain disiplin dan keuletannya, Jepang juga memiliki kultur yang mendukung seperti kultur awase, kultur haji no bunka, dan kultur masyarakat vertiakal-horizontal.

Kultur Awase atau Awase no Bunka (合わせ の 文化) berasal dari kata dalam bahasa Jepang yaitu kata au (合う)dan bunka (文化). Kata au (合う) memiliki makna menyatukan atau menggabungkan. Sedangkan kata bunka (文化) mempunyai makna budaya. Apabila kedua kata ini digabungkan memiliki makna secara harfiah yaitu budaya menyatukan atau budaya menggabungkan. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Kinhide, kultur awase adalah kultur yang mengandung pengertian menerima ini atau itu (Kinhide, 1981: 7). Hal ini terlihat dalam kepercayaan mereka, dimana mereka mau menerima dan menganut dua agama sekaligus.

Kultur haji no bunka (恥の文化) terdiri atas dua kata yang berasal dari bahasa Jepang yaitu haji () dan bunka (文化). Haji () memiliki arti malu sedangkan bunka (文化) memiliki arti budaya. Apabila kedua kata ini digabungkan memiliki makna secara harfiah yaitu budaya malu Budaya ini terlihat dari sikapnya yang tidak senang


(11)

masyarakat horizontal-vertikal yang dimiliki Jepang terlihat dalam sikap bangsa Jepang yang senang berkelompok.

Ketiga kultur ini, baik kultur awase, kultur haji no bunka ataupun kultur masyarakat vertical-horizontal juga dapat ditemukan dalam hubungan diplomasi Jepang Indonesia yang telah mencapai umur lima puluh tahun pada tahun 2008 yang lalu. Kultur awase terlihat dalam sikap diplomasi Jepang yang bersifat soft power (tanpa kekerasan0 atau sering dikenal dengan sebutan soft diplomacy (diplomasi tanpa kekerasan). Dalm diplomasi ini tidak ada penekanan menggunakan senjata.

Joseph S. Nye dalam Utomo (2008:1) mengungkapkan soft power sebagai kemampuan mencapai tujuan dengan tindakan atraktif dan menjauhi tindakan kohersif (kekerasan atau intimidasi). Di tataran hubungan Internasional, soft powers diawali dengan membangun hubungan kepentingan dan asistensi ekonomi sampai tukar menukar denagn budaya lainnya. Meskipun belakangna ini soft powers menjadi arus global, jauh hari jepang telah menerapkannya untuk membangun kembali hubungn baik dengan negara-negara bekas jajahan termasuk Indonesai. Jepang menggunakan soft power berupa bantuan ekonomi atau pinjaman lunak untuk mengikat hati negara-negara sahabat, lalu dilanjutkan dengan bilateral yang mengikat sehingga ketergantungna kepada Jepang semakin meningkat (Utomo, 2008:1).

Kultur haji no bunka terlihat dari keseriusan Jepang untuk membayar pampas an perang sebagai pertanggung-jawaban kepada Indonesia atas segala kerugian yang dialami Indonesia pada masa penjajahan Jepang di Indonesia. Jepang juga tidak pernah membuat perjanjian yang menyebabkan negara itu berhutang kepada Indonesia . Bahkan bantuan Jepang menempati urutan pertama dibanding dengan negara-negara lain yang memberi bantuan kepada Indonesia (anonim, 2005: 3). Kultur masyarakat vertical-horizontal terlihat pada upaya membentuk persahabatan yang lebih erat antar


(12)

pemerintah kota tau provinsi sehingga terbentuklah diplomasi kota kembar. Medan tempat penulis tinggal saat ini adalah kota kembar dari kota Ichikawa di prefektur Chiba (Aneka Jepang, 2008:18).

Hubungan diplomasi Jepang dan Indonesai ini menempuh perjalan yang panjang jika dilihat dari sudut pandang sejarah. Pada mulanya Jepang datang sebagi penjajah pada tahun 1943 menggantikan Belanda yang kalah perang. Setelah kekalahan Jepang pada tahun 1945, kedua Negara disibukkan dengan upaya merekonsiliasi negaranya pasca perang dunia kedua sedangkan Indonesia sebagai Negara yang baru merdeka masih berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan itu sendiri. Hubunga bilateral kedua Negara secara resmi dimulai pada tahun 1958 tepatnya pada tanggal 20 Januari dengan penadatangan perjanjian perdamaian RI-Jepang. Hubungn ini memasuki tahun emas pada tahun 2008 yang lalu yang dirayakan oleh kedua negara (Surkajapura, 2008:3).

Semua upaya yang dilakukan dalam hubungan diplomasi ini dilandasi oleh banyak factor. Salah satu faktor adalah status Jepang asebagai Negara maju. Setelah Jepang berkembang menjadi Negara modern dan aktif dalam pergaulan Internasional, maka ia pun menaruh minat agar hubungannya dengan negara-negara kepulauan di Asia Tenggara terpelihara denag baik. Ini penting dari sudut geosentrisnyua, yaitu posisi Negara-negara lepas pantai terthadap Negara daratan. Selain itu, Negara-negara kepulauan Asia Tenggra menjamin keamana lalu lintas yang membawa ekspor dari Jepang ke luar negeri. Bahkan,Negara-negara itu sendiri menjadi negara sumber bahan-bahan mentah dan energy, serta menjadi pasar untuk ekspor Jepang seperti Indonesia (Suryohadiprojo, 1982:6).


(13)

Lagi pula, anara negara itu telah terbina hubungan yang sangat erat di bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan lainnya. Selain itu, dilihat dari sisi manapun, seperti luas geografis, jumlah penduduk, kekayaan sumber daya alam, Indonesai merupakan negar terbesar di Asia Tenggara. Karena itu, bagi Jepang dan negara-negara Asia lainnya, perkembangan negara Indonesia secara ekonomi dan sosial di dalam iklim politik yang stabil, merupakan hal yang sangat pentiang (anonim, 2005:3).

Jepang juga kerap memberikan bantuan keapda Indonesia seperti bantuan pengetasan kemiskinan, bantuan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi, bantuan untuk pembentukkan masyarakat yang adil dan makmur, bantuan untuk pelestarain lingkungan, dan bantuan untuk perdamaian. Sebaliknya , Indonesia sering mengirimkan bahan-bahan mentah untuk produksi Negara Jepang bahkan kebutuhan masyarakat Jepang seperti gas dan minyak bumi.

Hubungan yang sudah berumur 50 tahun ini bukannya tidak pernah diterpa badai. Beberapa kali hubungan kedua Negara mengalami goncangan tetapi tidak menyebabkan hubungan kedua negara mencapai titik terendah berupa pemutuan hubungan diplomatik (Sukarjapura, 2008: 3). Keinginan untuk lebih mengetahui bagaimana hubungan diplomasi Jepang-Indonesia dan kultur yang terkandung dalam hubungan diplomasi yang melandasi penulisan skripsi ini.

1.2 Rumusan Masalah

Hubungan diplomasi yang dilakukan oleh Jepang dan Indonesia kini sudah berlangsung lebih dari lima puluh tahun dan sudah memasuki tahun emas. Hal ini kelihatan sangat menarik untuk dibahas. Penulis ingin mengetahui bagaimana hubungan diplomasi Jepang , Indonesia dan kultur apa yang menyertainya. Hubungan diplomasi ini juga tidak terlepas dari aspek kesejarahan. Aspek kesejarahan ini


(14)

penting untuk diperhatikan karena itu penulis juga mencoba mencari sejarah perkembangan hubungn diplomasi Jepang dan Indonesia .

Jepang memiliki bermacam kultur didalam kebudayaannya. Seperti kultur awase, kultur haji no bunka dan kultur masyarakat vertical-horizontal yang memiliki kaitan dengan diplomasi yang dilakukan Jepang terhadap Indonesia. Penulis juga ingin mengetahui jenis hubungan diplomasi yang dilakukan Jepang dan Indonesia. Saat ini, banyak kota di Indonesia menjalin hubungan diplomasi antar kota yang disebut diplomasi kota kembar.penulis ingin mengetahui kultur apa yang terdapat didalam diplomasi jenis ini.

Dengan berbagai macam permasalahan yang penulis temukan ketika membaca beberapa sumber, penulis menetapkan permasalahan yang akan penulis bahas, yaitu:

1. Apa ada kaitan hubungn diplomasi Jepang Indonesia denag kultur yang dimiliki oleh Jepang seperti kultur awase, kultur haji no bunka dan kultur masyarakat vertical-horizontal. Selain itu apa yang mendasari hubungan diplomasi Indonesia ?

2. Apa bentuk hubung diplomasi yang dilakukan Jepang dan Indonesia , permasalahan dalam diplomasi dan bagaimana cara menagtasinya?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Diplomasi Jepang Indonesia adalah suatu permasalahan yang sangat kompleks. Jika tidak diberi batasan dalam mebahasnya dapat menimbulkan kerancuan dan tidak akurat. Untuk hal inilah, penulis memberi batasan-batasan yang akan dibahas. Penulis akan membahas pengertian diplomasi, kultur yang terdapat dalam diplomasi Jepang seperti kultur awase, kultur haji ni bunka dan kultur masyarakat


(15)

Indonesia. Penulis juga akan membahas bentuk-bentuk diplomasi yang dilakukan oleh Jepang dan Indonesia.

Hubungan diplomasi yang dibahs adalah hubungan diplomasi yang dijalin setelah tahun 1945. Hal ini dikarenakan pada masa sebelumnya hubungan Jepang dan Indonesia adalah penjajah dengan negara terjajah. Jadi jelas ada hubungan diplomasi seperti yang akan dibahas dalam skripsi ini.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka amat diperlukan untuk mengukur keakuratan sebuah penjelasan terhadap permasalahan yang ada. Tinjauan Pustaka ini berasal dari beberapa ahli. Berikut ini beberapa tinjauan pustaka yang digunakan oleh penulis.

Diplomasi menurut Sir Earnest Satow dalam Roy (1995:2) merupakan “penerapan kepandaian dan taktik pada pelaksanaan hubungn resmi antara pemerintah negara-negara berdaulat”. Menurut K.M. Panikar dalam Roy (1995:3) “diplomasi, dalam hubungnnya denag politik Internasional adalah seni mengedepankan kepentingan suatu Negara dalam hubunganny denga Negara lain”.

Menurut Svarlien dalam Roy (1995:3) mendefinisikan diplomasi ”sebagai seni dan ilmu perwakilan Negara dan perundingan. Kata yang sama juga telah dipakai untuk menyatakan secara umum keseluruhan kompleks hubungn luar negeri suatu Negara, yaitu departemen luar negerinya”.

Menurut Ivo D. Ducharck dalam Roy (1995:3) diplomasi biasanya didefinisikan sebagai praktek pelaksanaan politik negeri suatu Negara denga cara negoisasi denag Negara lain. S.L Roy (1995:5) menyimpulkan pandangan mengenai diplomasi sebagai berikut:


(16)

Diplomasi, yang sangat erat hubunagnnya dengan hubungan antar Negara adalah seni mengedepankan kepentingan suatu Negara melalui negoisasi dengan cara-cara damai apabila mungkin, dalam berhubungan dengan Negara lain. Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengizinkan penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuannya.

Menurut Sukarwarsini Djelantik (2008:3) diplomasi memiliki kaitan yang erat denga politik luar negeri karean diplomasi merupakan implementasi dari kebijakkan luar negeri yang dialakukan pejabat-pejabat resmi yang terlatih. Jepang memiliki gaya runding yang berbeda-beda dari Negara-negara Barat. Jepang dalam diplomasinya memiliki kultur-kultur seperti kultur awase dan erabi, kultur haji no bunka dankultur masyarakat vertikal-horizontal.

Kultur erabi atau erabi no bunka diambil dari kata erabu dan bunka. Erabu memiliki arti memilih sedangkan IbunkaI memiliki arti budaya. Apabila kedua kata ini digabungkan akan membnetuk makna harfiah yaitu budaya memilih.

Kultur erabi mengandung pengertian suatu rangkaian prilaku apabila seseorang menetapkan tujuannya, menyusun suatu rencana untuk mencapaiii tujuan tersebut, dan kemudian bertindak mengubah lingkunagn itu sejalan dengan rencananya. Kultur awase sebaliknya, menolak gagasan bahwa manusia bias memanipulasi lingkungannya dan sebagai gantinya mengharuskan ia menyesuaikan dirinya dengannya. Jepang adalah Negara yang menggunakan kultur awase, sedangkan Negara-negara Barat seperti Ameriak menggunakan kultur erabi (Kinhide, 1981:7).


(17)

terbesar dan terutama, yaitu on kekaisaran. Ruth Benedict juga menekankan (1981:121) kalau on adalah utang yang harus dibayar kembali. Apabila on ini tidak dapat dibayar, mereka kan mendapatkan malu sehingga disebut sebagai kultur haji no bunka.

Najane Chie (1981: 175-176) menjabarkan secara jelas bagaimana orang Jepang membutuhkan persahabatan

Orang Jepang sangat membutuhkan persahabatan. Mereka membentuk persahabatan atas dasar persamaan tempat kerja, seksi atau lembaga. Diluar itu dapat dikatakan orang luar. Persahabatan orang Jepang bersifat sensitif atau lebih banyak memeras pikiran daripada tenaga karena perasaannya yang luar biasa. Mereka cenderung menyembunyikan keinginan dan perasaan yang sesungguhnya.

1.4.2 Kerangka Teori

Kerangka teori memnurut Koentjaningrat dalam Siarait (2008: 100 berfungsi sebagai pendorong berpikir deduktif yang bergerak dari alam abstarak ke alam konkret, suatu teori yang dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi pembahsan terhadap fakta-fakta konkret yang tidak terbilang banyaknya dalam kenyataan masyarakat yang harus diperhatikan.

Penulis menggunakan teori pendekatan kesejarahan untuk melihat aspek sejarah dalam diplomasi Jepang. Menurut Nevins dalam Nazir (1988:55) sejarah adalah pengetahuan yang tetap terhadap apa yang telah terjadi. Sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan atau fakta-fakta masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran.

Penulis menggunakan pendekatan fenomologis. Dalam pandangan fenomologis ada usaha untuk memahami peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap


(18)

orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Mereka berusaha untuk masuk kedalam dunia konseptual para subjek sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka disekitar peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Para fenomolog percaya bahwa pada makhluk hidup terdapat berbagai cara untuk menginterprestasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan (Moleong, 2002: 9).

Perspektif fenomologi (phenomology) menurut Deutscher dalam Suryanto (2005: 167) memiliki sejarah panjang dalam filosofi dan sosiologi dan mempelajari bagaiamana kehidupan ini berlangsung dan melihat tingkah laku manusia – yang meliputi yang dikatakan dan diperbuat – sebagai hasil dari bagaimana manusia mendefinisikan dunianya. Pendekatan interaksi simbolis membahas semua prilaku manusia mendefinisikan dunianya. Pendekatan interaksi simbolis membahas semua perilaku manusia yang pada dasarnya memiliki social meanings (makna-makna sosial). Makna-makna sosial dari perilaku manusia melekat pada dunia sekitarnya itu penting untuk dipahami, hal itu dikatakan oleh Taylor dalam (2005 : 167)

Penulis menggunakan pendekatan fenomologi karena dalam penelitaian yang dilakukan penulis melibatkan masyarakat dan perilakunya yang tercermin dalam kehidupan berdiplomasi. Penulis juga menggunakan pendekatan etnografi. Beberapa antropolog mendefinisikan kebudayaan sebagai pengetahauan yang diperoleh manusia dan dipergunakan untuk menafsirkan pengalaman dan menimbulkan perilaku seperti yang diungkapakan oleh Spradley dalam Moleong (2002 : 13), yaitu menggambarkan kebudayaan menurut perspektif ini, seorang peneliti mungkin dapat memikirkan suatu pristiwa menurut cara sebagai berikut : sebaiknya etnogarafi mempertimbangkan


(19)

prilaku manusia dengan cara menguraikan apa yang diketahui mereka yang membolehkan mereka berprilaku secara baik sesuai dengan common sense.

Alasan penulis menggunakan pendekatan etnogarafi adalah adanya common sense dalam diplomasi yang dilakukan Jepang terhadap Indonesia. Hal ini terlihat dalam kultur diplomasi mereka seperti dalam kultur awase, aji no bunka ataupun masyarakat vertikal- horizontal.

Konsep lainnya yang penulis gunakan adalah mengenai kebudayaan yang diambil dari Rosalie Wax (1971), yaitu yang mendiskusikan tugas etnografi dalam rangka pengertian. Pengertian bukanlah beberapa “empati yang misterius” diantara orang-orang melainkan merupakan suatu kenyataan dari “pengertian yang dialami bersama”. Dengan demikian, antropolog mulai dari luar, baik secara harfiah dalam rangka penerimaan sosialnya maupun secara kiasan dalam rangka penegertian (Moleong, 2002 : 14)

Penulis menggunakan konsep kebudayaan yang dikemukakan oleh Rosalie Wax dikarenakan, penulis memandang diplomasi dari sudut luar atau permukaan saja. Bagian luar dari kebudayaan juga tidak dapat dipisahkan dari bagian dalam. Dan untuk mempelajari bagian dalam dari kebudayaan, kita harus tahu bagian luar kebudayaan itu juga.

Penulis menggunakan konsep kultur awase. Kultur awase adalah kultur yang menolak gagasan bahwa manusia bisa memanipulasi lingkungannya dan sebagai gantinya, mengharuskan ia menyesuaikan diri dengannya. Penulis menggunakan konsep ini dikarenakan penulis melihat bagaimana Jepang dalam diplomasinya menggunakan Soft powers seperti terhadap Indonesia. Mereka menggunakan pendekatan dengan cara membantu perekonmian Indonesia lewat bantuan pinjaman.


(20)

Hal ini membuktikan adanya pengertian Jepang terhadap situasi yang dialami Indonesia.

Penulis menggunakan konsep kultur haji no bunka. Ruth Benedict (1981:107) mengatakan on sebagai kata yang selalu dipakai dalam arti pengabdian tanpa batas, kalau itu menyangkut tentang seseorang yang terbesar dan terutama, yaitu on kekaisaran orang tadi. Ruth Benedict juga menekankan (1981:121) Kalau on adalah utang yang harus dibayar kembali. Apabila on ini tidak dapat dibayar, mereka akan mendapatkan malu sehingga kultur ini dikatakan sebagai budaya malu atau budaya haji no bunka juga dapat dikatakan sebagai budaya giri.

Penulis menggunakan konsep ini karena dalam kehidupan masyarakat Jepang, mereka menolak bantuan pihak asing tapi sering memberikan bantuan kepada pihak asing. Jepang mengalokasikan dana bantuan pembangunan kepada Indonesia sangat banyak melebihi Negara-negara yang pernah dibantu Jepang. Dalam haji no bunka ada istilah membayar sejuta kali lipat. Hal ini lah yang menyebabkan mereka terus memberi bantuan kepada Negara-negara asing.

Penulis menggunakan konsep kultur masyarakat vertikal-horizontal yang dikemukakan oleh Nakane Chie. Nakane Chie (1981: 175-176) menjabarkan secara jelas bagaimana orang Jepang membutuhkan persahabatan. Orang Jepang sangat membutuhkan persahabatan. Mereka membentuk persahabatan atas dasar persamaan tempat kerja, seksi atau lembaga diluar itu dapat dikatakan orang luar. Persahabatan orang Jepang bersifat sensitif atau lebih banyak memeras pikiran daripada tenaga karena perasaannya yang luar biasa. Mereka cenderung menyembunyikan keinginan dan perasaan yang sesungguhnya.


(21)

yaitu negara Jepang dan Negara Indonesia. Benang merah itu sudah ditarik sejak kedatangan Jepang pada tahun 1943 sebagai penjajah di Indonesia. Mereka mengatakan diri mereka sebagai saudara tua dari bangsa Indonesia. Pada masa ini, Jepang membuat jalinan diplomasi yang kuat yang dilakukan antara kota dan pemerintahan kota. Ada persamaan-persamaan yang menyatukan kota-kota yang berada di Jepang dengan kota-kota yang berada di Indonesia seperti hubungan diplomasi antar kota antara kota Medan dan kota Ichikawa di prefektur Chiba.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang dilakukan penulis adalah untuk mengetahui beberapa hal, antara lain:

1. untuk menegetahui secara jelas mengenai diplomasi Jepang Indonesia dilihat dari aspek kesejarahan dan kultur yang terdapat dalam diplomasi yang dilakukan Jepang.

2. untuk mengetahui bentuk-bentuk diplomasi Jepang Indonesia .

1.5.2 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan:

1. menambah waawasan pengetahuan khususnya tentang diplomasi Jepang Indonesia yang telah melewati tahun emasnya

2. penelitian ini diharapakan dapat menambah pengertian mengenai kebudayaan yang dapat mempengaruhi hubungan diplomasi

3. penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan bidang-bidanmg apa saja yang merasakan hubungan diplomasi kedua Negara.


(22)

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Menurut Suyanto (2005 :165) metode kualitatif digunakan karena yang dapat diteliti adalah masalah yang menyangkut masalah social. Kehidupan sosial yang diteliti juga sangat kompleks. Metode pegumpulan data menggunakan metode kepustakaan, yakni suatu metode pengumpulan data-data untuk mengungkapakan berbagai teori, pandangan hidup, pemikiran filsafat yang dapat ditemui dalam berbagai peninggalan tertulis, dengan cara membaca buku-buku referensi yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Metode pengolahan data dilakukan dengan cara mengklasifiaksi atau mengategorikan data berdasarkan beberapa tema sesuai fokus penelitiaannya. Pengolahan data kualitatif ini dapat dilakukan dengan mengunakan komputer. Penyajian data adalah membagi pemahaman kita tentang suatu hal pada orang lain. Oleh karena itu, data yang diperoleh berbentuk kata-kata bukan angka. Hal ini dikatakan oleh Emi Susanti dalam Suyanto (2005 : 173).


(23)

BAB II

DIPLOMASI JEPANG INDONESIA

Hubungan diplomasi yang terjalin antara Jepang dan Indonesia sudah berlangsung lama dan pada tahun 2008 yang lalu hubungan ini memasuki tahun emasnya. Umur hubungan kedua negara ini bahkan melebihi umur organisasi Internasional yang mengayomi negara-negara di Asia Tenggara yang kita kenal dengan sebutan ASEAN.

Hubungan yang demikian lama terjalin menyebabkan hubungan keduanya sangat kompleks. Hal ini menimbulkan kesulitan untuk melihatnya dari satu sudut pandang saja. Kita tidak bisa melihat sudut pandang dari satu negara saja tetapi juga kedua negara tersebut. Setidaknya kita harus dapat melihat sudut itu dari sudut yang mungkin terlihat sangat sederhana.

Untuk itulah pada bab II ini, akan dijelaskan mengenai hubungan diplomasi Jepang Indonesia dimulai dari pengertian diplomasi, kultur (budaya) yang dimiliki kedua negara yang pastinya memberikan pengaruh terhadap cara berdiplomasi kedua negara, dan sejarah yang megiringi hubungan kedua negara dalam hubungan diplomasi.

2.1 Pengertian Diplomasi

Seperti yang telah dikemukakan pada bab yang terlebih dahulu, dipomasi memiliki banyak pengertian menurut banyak pakar. Pertma-tama sangatlah baik untuk mengetahui asal muasal dari kata diplomasi. Diplomasi diyakini berasal dari kata Yunani yaitu diploun yang berarti melipat. Menurut Nicholson (Roy, 1995:1), pada masa Romawi semua paspor, yang melewati jalan milik negara dan surata-surat jalan dicetak pada piringan logam dobel, yang dilipat dan dijahit menjadi satu dengan cara


(24)

yang khas. Surat jalan logam ini disebut diplomos. Selanjutnya kata ini berkembang dan mencakup pula dokumen-dokumen resmi yang bukan logam, khususnya memberikan hak istimewa tertentu atau menyangkut perjanjin dengan bangsa asing diluar bangsa Romawi.

Perjanjian-perjanjian ini semakin menumpuk, arsip kekaisaran menjadi beban dengan dokumen-dokumen yang tidak terhitung banyaknya. Oleh karena itu, dirasa perlu untuk memperkerrjakan seseorang yang terlatih untuk mengindeks, menguraikan, dan memeliharanya. Isi surat resmi negara yang dikumpulkan disimpan dalam arsip yang berhubungan dengan hubungan Internasional yang dikenal dengan sebutan diplomaticus atau diplomatique pada abad pertengahan. Siapapun yang berhubungan dengan surat-surat tersebut dikatakan sebagai milik res diplomatique atau bisnis diplomatik.

Dari peristiwa ini lama kelamaan kata diplomasi dihubungkan dengan manajemen Internasional dan siapapun yang ikut mengaturnya dianggap sebagai diplomat. Penggunaan kata-kata yang memberikan gambaran diatas adalah baru-baru ini saja. Menurut Earnest Satow dalam Roy (1995: 1), Burke memakai kata ‘diplomasi’ untuk menunjukkan keahlian atau keberhasilan dalam melakukan hubungan Internasional dan perundingan di tahun 1796. Kemungkinan besar itu adalah pertmakalinya penggunaan kata dalam bahasa Inggris dengan arti yang kita ketahui saat ini. Ia juga mengatkan ‘lembaga dipomatik’ pada tahun yang sama contoh paling awal adalah pengguaan kata ‘jasa diplomatik’ yang menunjukkan cabang pelayana sebagai negara yang menyediakan personil-personil misi tetap diluar negri yang dijumpai dalam ‘Annual Registar’ tahun 1987.


(25)

Internasional melalui negoisasi; yang mana hubungan ini diselaraskan dan diatur oleh duta besar dan para wakil buisnis atau diplomat’. Menurut The Chamber’s Twentieth Century Dictionary (Roy, 1995:2), diplomasi adalah ‘the art of negotiation, especially of treaties between statespolitical skill’ (seni berunding khususnya tentang perjanjian antara negara-negara ; keahlian politik).

Sir Earnest Sartow mengatakan diplomasi adalah ‘the application of official relations between the government of independent states’ (penerpan dan kepandaian dan taktik pada pelaksanaan hubungan resmi antara pemerintah negara-negara berdaulat (Roy, 1995:2).

Harlord Nicholson, salah seorang pengkaji dan praktisi yang pandai dalm hal diplomasi di abad kedua puluh menegaskan bahwa dalam bahasa yang lebih mukathir, kata diplomasi diambil secara gegabah untuk menunjukkan palinhg tidak lima hal. Yang pertama menyangkut ; (1)politik luar negri, (2) negoisasi, (3) mekanisme pelaksanaan negoisasi tersebut, dan (4) suatu cabang dinas luar negri. Ia selanjutnya mengatkan bahwa interprestasi yang kelima adalah merupakan suatu kualitas yang abstrak pemberian, yang dalam arti baik mencakup keamana dalam pelaksanaan negoisasi Internasional ; dan dalam arti yang buruk mencakup tindakan taktik yang lebih licik. Tetapi akhirnya Nicholson menerima definisi yang diberikan oleh The Oxford English Dictionary yang ia anggap cukup luas untuk mencakup aspek-aspek yang berbeda dari diplomasi (Roy, 1995:3).

KM Panikar dalm bukunya The Principle of Diplomacy menyatakan “Diplomasi dalam hubungannya dengan politik Internasional adalah seni mengedepankan kepentingan negara dalam hubungannya dengan negara lain”. Svarlien telah mendefinisikan diplomasi sebagai “seni dan ilmu perwakilan negara dan perundingan”. Kata yang sama juga telah dipakai untuk menyatakan secara umum


(26)

keseluruhan kompleks hubungan luar negrisuatu negara yaitu departemen luar negri termasuk perwakilan luar negrinya” (Roy, 1991: 3).

Ivo D.Duchacek berpendapat, “diplomasi biasanya didefinisikan sebagai pelaksanaan politik luar negri suatu negara, kadang-kadang juga dihubungkan dengan perang. Oleh karena itulah, Clausewitz, seorang filsuf Jerman , dalam pernyataannya yang terkenal mengatkan bahwa perang merupakan kelanjutan dipomasi melalui sarana lain (Roy, 1995:3).

Menurut Sukarwarsini Djelantik (2008: 3) diplomasi memiliki kaitan yang erat dengan politik luar negri karena diplomasi merupakan implementasi dari kebijakan luar negri yang dilakukan penjabat-penjabat resmi yang terlatih.

S.L Roy (1995:5), mengajak melihat penegrtian diplomasi-diplomasi sebelumnya dan menyimpulkan pandangan mengenai diplomasi sebagai berikut:

Diplomasi, yang sangat erat hubunagnnya dengan hubungan antar Negara adalah seni mengedepankan kepentingan suatu Negara melalui negoisasi dengan cara-cara damai apabila mungkin, dalam berhubungan dengan Negara lain. Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengizinkan penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuannya.

Seorang diplomat India pada zaman India Kuno yang bernama Kautilya Menekankan empat tujuan diplomasi yaitu acquistion (perolehan), preservation (pemeliharaan), augmentation (penambahan), dan proper distribution (pembagian yang adil). Menurutnya, tujuan dari diplomasi adalah untuk mencapai Siddhi yang memiki arti kebahagiaan.


(27)

2.2 Jepang dan Indonesia sebagai Dua Buah Negara di Asia 2.2.1 Letak negara Jepang dan Indonesia

Jepang dan Indonesia adalah dua buah negara yang memiliki beberapa kesamaan. Jepang dan Indonesaia adalah dua buah negara yang sama-sama berada di Benua Asia dan mereupakan negara kepulauan. Kedua negara ini melakukan hubungan diplomasi yang sangat erat hingga saat ini. Sangat baik jika kita mengetahui sudut geografis negara ini. Berikut penjelasannya.

a. Letak negara Jepang

Jepang adalah suatu negara kepulauan dengan pulau-pulau besar dan kecil. Sebagai negar kepulauan, Jepang mempunyai persamaan dengna bangsa-bangsa lainnya yang berada di Asia Tenggara, khusunya Filipna dan Indonesia. Keadaan ini sedikit banyak memberikan pandangan hidup serta faktor-faktor geopolitik Jepang (Suryohadiprojo, 1982:1).

Kepulauan Jepang terletak di lepas pantai timur benua Asia, membentang seperti busur yang ramping seanjang 3.800 kilometer, dari 20° sampai 45°33´ lintang utara. luas totalnya adalah 377.815 kilometer persegi sedikit lebih banyak dari luas Inggris, hanya sepersembilan dari luas India dan seperduapuluh dari luas Amerika Serikat dan kurang dari 0,3% dari luas daratan bumi. Kepualuan ini terdiri dari empat pulau utama, Honshu, Hokkaido, Kyushu dan Shikoku (berturut-turut dari yang terbesar sampai yang terkecil) juga sejumlah gugusan pulau yang berjumlah sekitar 3900 pulau yan lebih kecil lagi. Pulau Honshu memiliki luas lebih dari 60% dari seluurh kepulauan Jepang (International Society for Educational Information, 1989:1). Hampir semua bagian daerah Jepang mengenal 4 musim yang berbeda. musim panas yang hangat dan lembab, mulai sekitar pertengahan bulan Juli. Sebelumnya terdapat musim hujan selam hampir satu bulan, kecuali di Hokkaido, pulau yang


(28)

paling utara yang sama sekali tidak mengenal musim hujan, musim semi dan musim gugur adalah musim terbaik sepanjang tahun, dengan hari-hari yang berhawa lembut dan matahari yang cerah diseluruh negri. Akan tetapi, pada bulan September mungkin saja terjadi badaiu taufan yang mendera tanah daratan dengan hujan lebat dan angin dahsyat (International Society for Educational Information, 1989: 2).

Topografi Jepang yang rumit berlainan dengan iklimnya yang relatif baik. Pulau-pulau Jepang merupakan bagian suatu deretan gunung yang panjang yang terangkai mulai dari Asia Tenggara sampai jauh ke Alaska. Hal ini yang menyebabkan negeri ini memiliki garis pantai yang panjang dan berbatu denga banyak pelabunhan yang kecil tetapi at baik. Tercipta banyak daerah pegunungna dengan sejumlah besar lembah, sungai yang deras dan danau yang jernih. Kawasan gunung meliputi sekitar 70% dari seluruh luas tanah Jepang menurut survai lembaga Survai Geografi Kementrian Pembanguna Jepang pada tahun 1972. lebih dari 532 gunung tersebut tingginya melebihi 2000 meter diatas permukaan laut, Gunung Fuji adalah gunung tertinggi dengan tinggi mencapai 3776 meter (International Society for Educational Information, 1989: 2).

Topografi yang rumit ini memberikan Jepang pemandangan yang indah yang kadang-kadang dramatis. danau pegunungan yang bersalju, jurang berbatu-batu dan sungai yang bergelora, puncak gunung yang kasr dengan air terjun yang indah permai. Semua itu menjadi sumber inspirasi dan kesenangan yang tiada henti-hentinya baik bagi orang Jepang maupun bagi orang lain yang bukan berasal dari Jepang (International Society for Educational Information, 1989: 2)


(29)

b. Letak negara Indonesia

Indonesia memiliki 17.504 pualu besar dan kecil, sekitart 600 diantaranya tiak berpenghuni, yang menyebar disekitar khalustiwa, yang memberikan cucxa tropis. posisi Indonesia terletak pada koordinat 6ºLU-11º08´ dan dari 95ºBB-141º45´BT serta terletak di antara dua benua Asia dan benua Austarlia. wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570km² dan luas perairannya 3.257.483km². Pulau terpadat penuduknya adalah pulau Jawa, dimana setengah populasi Indonesia hidup. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Batas utara Indonesia adalah Maklaysia, Sinagpura, Filipna dan Laut Cina Selatan. Batas selatan Indonesia adalah Australia, Timor Leste dan Samudera Indonesia. Batas di sebelah timur adalah Papua Nugini, Timor Leste dan Samudera Pasifik. Lokasi Indonesia juga terletak di lempeng tektonikj yang berarti Indonesia rawan dengan gempa bumi yang dapat menimbulkan tsunami. indonesia juga banyak memiliki gunung berapi, salah satu gunung berapi yang terkenal adalah gunung Krakatau yang terletak di selat Sunda antra pulau Sumatera dan Jawa (wikipedia,

Indonesia mempunyai sumber daya alam yang besar di luar pulau Jawa, termasuk minyak mentah, gas alam, timah, tembaga, dan emas. Indonesia pengekspor gas alam terbesar kedua di dunia, meski akhir-akhir ini menjadi negar pengimpor minyak mentah. Hasil pertanian yang utama adalah beras, teh, kopi, rempah-rempah dan karet. Sektor jas adalah sektor yang menyumbang PDB terbesar, yang mencapai 45,3% dari PDB tahun 2005. sedangkan sektor industri menyumbang 40,7% dan sektor pertanian menyumang 14%. Meskipun demikian, sektor pertanian memperkerjakan lebih banyak orang daripada sektor-sektor lainny, yaitu 44,3% dari


(30)

95 juta tenaga kerja. Sektor jasa memperkerjakan 36,9%, dan sisanya sektor industri sebesar18,8%.

Wilayah Indonesia memiliki keanekaragaman makhluk hidup yang tinggi sehingga disebut dengan istilah Mega Biodisvery atau kenekaragaman makhluk hidup yang tinggi. Kekayaan makhluk hidup Indonesia menempati ranking keyiga setelah

Brasil dan Zaire (wikipedia,

Secara historis, prosedur dan gaya runding yang berbeda-beda telah menimbulkan banyak kesulitan dalam tata hubungan antara Amerika serikat dengan Jepang dan, lebih umum lagi antara Timur dan Barat, baik dalam diplomasi Internasional maupun interaksi komersial. Ungkapan ’kenalilah musuhmu, kenalilah dirimu sendiri’ berlaku dalam sekian banyak dalam sekian banyak keadaan, termasuk dalam perundingan, dan kita perlu sekali menunjang usaha-usaha buat mendorong agar politik luar negri Jepang didasarkan pada suatu pemahaman yang memadai atas perbedaan berbagai kultural (Kinhide, 1981:2). Hal ini tidak hanya mempengaruhi hubungan Jepang dengan negara Barat tetapi juga hubungan Jepang dengan sesama negara Timur.

Pengaruh kultur dalam hubungan diplomasi ini dicoba untuk disimulasikan pada Universitas Northwestern di Amerika Serikat. Usaha untuk mengembangkan suatu model tata hubungan Internasional telah melahirkan simulasi antar bangsa. Ada dua simulasi yang digunakan, yang pertama adalah simulasi antar bangsa yang melibatkan para peminat ilmiah atau diplomat yangberpartisipasi mengambil peranan sebagai perdana mentri dan mentri luar negri dari suatu negara yang berkecimpung dalam berbagai jenis perundingan kebudayaan Amerika tandingan (Kinhide, 1981; 2-3).


(31)

Yang kedua adalah simulasi kebudayaan Amerika versus kebudayaan Amerika tandingan. Dalam simulasi itu, orang yang memiliki budaya non amerika dalam sebuah simulasi perundingan. Berbeda dengan simulasi pertam dimana para diplomat membawa kepentngan-kepentingan negara yang diwakilinya, simulasi kedua lebih mengungkapkan adanya pengaruh budaya dalam gaya runding atau perundingan dipomasi (Kinhide, 1981:3-5).

Mushakoji Kinhide (1981:1) mengungkapkan pendapatnya sebagai berikut; Taktala para perunding sudah berhadap-hadapan di depan

meja, yang mereka bawa bukan hanya sekedar catatan-catatan dan sekian kertas-kekerja penunjang. Suatu bagian intetgral dari bekal mereka adalah kepribadian, dan serangkum aturan permainan serta amsumsi-amsumsi kebudayaan yang telah membentuknya.

Jepang adalah pewaris beberapa tipologi dalam masalah kebudayaan. Suatu contoh kalsik menyangkut perbedaan Jepang dengan Amerika Serikat, ialah pembedaan ”kultur rasa bersalah” (guilt culture) dan ”kultur rasa malu” (shame culture) yang dikembangkan oleh Ruth Benedict. Tipologi-tipologi yang lebih muktahir mencakup kultur yang membedaan ’masyrakat vertikal’ dan ’masyarakat horizontal’ yang diciptakan oleh Nakane Chie dari Universitas Tokyo. Kinhide sendiri mengungkapkan satu tipologi lagi yaitu ’kultur erabi’ dan ’kultur awase’ (Kinhide, 1981:2)

Dalam diplomasi atau perundingan, sebagaimana yang dikatakan oleh Kinhide tidak dapat hanya melihat salah satu pihak yang melakukan perundingan. Kedua belah pihak harus diperhatikan karena kesepakatan dalam perundingan ditentukan oleh keduanya. Pada paragaraf yang terdahulu, sudah dibahas secara sederhana mengenai keberadaan beberapa kultur Jepang yang mempengaruhi diplomasi Jepang keluar negaranya. Sedangkan Indonesia adalah negara yang sangat berbeda dari Jepang.


(32)

Jepang adalah negara homogen yang memiliki satu bahasa. Sedangkan Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa dan bahasa yang lazim disebut heterogen. Oleh karena itu sulit menentukan kebudayaan yang mendasari diplomasi Indonesia.

Supaya lebih jelas, dibuat penjelasan dan keterangan pada sub bab selanjutnya mengenai kultur yang dimiliki oleh kedua negara.

2.2.2 Kultur Jepang a. Kultur Awase

Kinhide(1981:2) megungkapkan sebuah tipologi yaitu ’kultur erabi’ dan ’kultur awase’. Erabi diambil dari kata erabu (選ぶ) yang memiliki arti memilih, sedangkan kata awase diambil dari kata au (合う) yang memiliki arti memadukan dan juga menyesuaikan sesuatu dengan yang lain. Jepang adalah negara yang menganut kultur awase.

Menurut pandangan ideal erabi, manusia bisa bebas memanipulasi lingkungannya untuk tujuan-tujuannya sendiri. Pandangan ini memiliki arti suatu rangkaian prilaku apbila seseorang menetapkan tujuannya, menyusun suatu rencana untuk mencapai tujuan tersebut, dan kemudian bertindak mengubah lingkungn itu sejalan dengan rencana dan kehendaknya. Pandangan erabi juga terdiri dari tatanan logis yang terdiri dari konsep-konsep dan lawan-lawannya; panas atau dingin, manis atau tak manis, besar lawan kecil dan seterusnya. Oleh karena itu ketika menyusun suatu rencana tindakan untuk mengubah lingkungan, adalah wajar mengambil keputusan dengan pertimbangan ” Apakah lebih baik hangat atau dingin? Apakah saya ingin manis atau tidak manis? Lumayan besar atau lumayan kecil?”. pemikiran


(33)

serangkaian alternatif yang terdiri dari serangkaian pilihan dari berbagai dichotomy (bercabang dalam dua bagian).

Awase berbeda dengan erabi dimana awase adalah kultur yang menolak gagasan kalau manusia dapat memanipulasi lingkungannya dan sebagi gantinya mengharuskan ia menyesuaikan diri dengannya. Menurut jalur pikiran ini, lingkungan tidaklah ditandai dengan konsep-konsep dikotomi seperti panas lawan dingin. Yang dipandangnya benar, ialah bahwa bisa agak panas atau agak dingin, sedikit manis atau tidak manis, lumayan besar atau lumayan kecil; dengan kata lain, lingkungan terdiri dari satu kontinum gradasi yang tidak begitu kentara dan gampang berubah. Awase adalah logika yang berusaha memahami serta menyimak rangkaian gradasi perubahan yang tidak begitu kentara ini (Kinhide, 1981: 7).

Orang Jepang biasanya tidak menetapkan tujuan-tujuan yang jelas dalam hubungan mereka sendiri, karenaitulah maka penolakan mereka atas pendikotomian logika erabi membuat pemikiran mereka menjadi kabur dan tidak jelas bagi orang Eropa dan Amerika. Daripada berkata Hon o kashite kure (Pinjami saya buku itu), orang Jepang boleh jadi berkata Chotto kashite kure (saya hanya ingin melihatnya) dan daripada berkata Ano shibai wa kunakatta (sandiwara itu tidak menarik), mereka akan bilang Sore hodo omoswanai (saya kira sandiwara tu tidak begitu menarik). Sebaliknya, orang Jepang merasa bahwa orang Amerika, dengan logika erabi-nya, cendrung membuat perbedaan dalam ukuran-ukuran tertentu yang sangat simplitis dan dikotomis (monogote o wakiru) (Kinhide, 1981:7).

Dalam kebudayaan awase, orang tidak hanya menyesuaikan dirinya dengan lingkungan alamnya tetapi juga dengan lingkungan sosialnya. Sebaliknya, orang berkebudayaan erabi berharap agar orang lain yang mengerti dan menyesuaikan diri dengan mereka. Dalam pembicaraan awase atau urusan dengan dagang, persetujuan


(34)

diberi ruang gerak dan diperlakukan secara fleksibel dan longgar. Masyarakat Jepang hidup dengan tidak membuat waktu menjadi eskak dan tidak memberikan perhatian yang ketat atas keentuan-ketentuan kontrak. Pelanggaran kecil seringkali diabaikan (ome ni miru). Itulah yang menyebakan kencendrungan mencari dan memberikan perlakuan khusus bisa dilihat sebagai sesuatu yang pokok bagi masyarakat awase (Kinhide, 1981: 9).

Dilihat dari sudut lain, bertentangan dengan standarisasi vokabuler dalam masyrakat erabi, logika awase tidaklah bergantung kepada arti-arti kata yang sudah dibakukan. Setiap ungkapan memiliki berbagai nuansa dan dipandang hanya sebagai tanda-tanda yang mengisyarakatkan realitas dan bukanya bukannya menerangkan realitas itu secara pasti. Kata-kata tidak ditangkap sesuai yang ada di permukaanya; kita perlu menafsirkan arti yang terkandung didalnya. Bertentangan dengan kebudayaan erabi yang nilai-nilai dipermukaan tidak dipercaya dan kita diharap berjalan sesuia dengan itu, didalam masyarakat awase mungkin kita dapat ”mendengar satu menangkap sepuluh” (sasshi ga hayai) dipandang sebagai kebajikan, dengan kata lain menyesuaikan dengan posisi seseorang sebelum itu secara logis dan jelas (Kinhide, 1981: 9-10).

Duta besar Kurusu dalam Kinhide (1981:10) secara menarik mengingatkan kegagalan perundingan antara Jepang dengan Rusia sebelum pecahnya perang Pasifik dikarenakan masing-masing perunding susah mengambil posisi atau kedudukan yang tepat. Dia menggambarkan dengan analogi, orang Jepang mengundang orang Barat untuk naik ke ruang tingkat dua. Saat para tamu itu kelihatan ragu-ragu untuk naik, orang Jepang tetap mengajak mereka naikkeatas, karena setidak-tidaknya pemandangan akan lebih baik jika dilihat dari atas. Namun, orang Barat ingin


(35)

mereka setuju naik tangga menuju ruang tersebut. Akibatnya, perundingan tersebut gagal. Dalam bentuk alegoris cerita ini, memperlihatkan suatu kesalahan pemanduan yang mendasar diman kebudayaan erabi saling beradapan dengan kebudayan awase dalam ahap pertama perundingan (Kinhide, 1981:10).

Para ahli psikologi Amerika yang mengkhususkan diri dalam penelitian mengenai proses perundingan umumnya mengandaikan bahwa tahap pertama dari perundingan haruslah berupa perumusan masalh. Dengan kata lain, perundingan dimulai hanya jika para perunding atau kedua belah pihak telah mengetahui jenis ”pandangan” apa yang akan muncul. Ini9 tidaklah mesti demikian dalam kebudayaan awase. Di Jepang, sekalipun kedua belah pihak setidak-tidaknya sudah punya sedikit gambaran tentang apa yang akan dibicarakan sebelum prundinag dimulai, tetapi pemakaian umum dari ungkapan-ungkapan seperti, Tonikaku,ome ni kakatta ue de...(”Mari, begtu kita duduk bersama...”)dan ome ni kakaranakutte wa, kuwasii koto wa....(”Tanpa berdetil,...”), menunjukkan bahawa orang Jepang umumnya menginginkan pihak lain ”menaiki tangga” sebelum membicarakan persoalan-persoalan. Mereka menghedaki kesedaian kedua belah pihak untuk saling menyesuaikan diri (awaseru) dalam hal situasui tanpa prasyarat dan prakonsepsi (Kinhide, 1981: 10).

Saat kedua belah pihak sudah berada di meja perundingan, pendekatan ala barat (erabi) ialah mengemukakan secara langsung atau lebih tepatnya membicarakan persoalan-persoalan terlebih dahulu. Pendekatan awase tidaklah demikian. Dalam pendekatan awase, yang petama kali dilakukan adalah menetapakan apakah para perunding sudah sama-sama siap untuk saling menyesuaikan diri dengan posisi lawannya masing –masing. Aturan bisnis pertama di Jepang adalah menciptakan


(36)

hubungna pribadi kedua belah pihak yang memungkinan mereka berbicara secara terbuka didalam suasan asaling memberi dan saling menerima (Kinhide, 1981:10-11). Perbedaan-perbedaan seperti yang dikatakan pada paragraf-paragaraf sebelumnya adalah di awal perundiangan. Perbedaan kedua adalah bagaimana perundiangan dilakukan. Pandangan erabi berasumsi bahwa perundingan akn berjalan melau pernyataan posisi yang jelas dari kedua belah pihak, hal ini bertentangan dengan pandangan awase yang lebih menyukai penafsiran atas posisi pihak sebaliknya tanpa keterangan yang jelas. Tentu saja dalam kebudayaan Amerika, meskipun tidak boleh memikirkan kepentingan diri sendiri, dengan sepenuhnya mengabaikan masalah-masalah dari pihak lainnya. Meskipun demikian, menurut etiket dan etika perundingan erabi, kita tidaklah perlu bersimpati dengan pihak sana. Sebagai gantinya, sudah dipandang cukup untuk secara jujur dan sepenuhnya mengutarakan alasan-alasan posisi kita sendiri kepada pihak lainnya. Di Jepang, perasaan yang ada adalah ”Anda menyesuaikan diri dengan posisi saya dan saya akan menyesuaikan posisis saya dengan posisi anda”.

Orang Jepang sering menggunakan ungkapan seperti Otachiba o jubun koryoshite (”dengan sepenuhnya mempertimbangkan posisi anda...”), atau Tokubetsu ni otorihokarai shimashou...(”Saya kan memberikan layanan-layanan khusus untukmu kali ini..”). Dari sis lainnya, oang Jepan juga menggunakan ungkapanseperti Watashikushi no tachiba o gokanno itadaitte...(”Pertimbangkanlah keadaan saya...) dan kochira no jijou mo gokensatsu kudasame, soko ohitotsu...(”Kasihilah keadaan saya dan jika mungkin berilah pengecualian..).

Dalam kebudayaan erabi kontrak dipandang sebagi pilihan terakhir dari pihak-pihak yang berundingdan dipandang mengikat, dalam kebudayan awase kontrak


(37)

bersangutan. Tata hubungan awase yang akrab memungkinkan para peserta untuk sling memberikan pengecualian dan kesimpulan kontarak yang sesungguhnya mendorong kedua belah pihak untuk mencari konsens-konsensi lebih jauh. Sehiingga tidak jarang, orang-orang Jepang tidak henti-hentinya berunding untuk memperoleh syarat-syarat yang lebih menguntungkan setelah kontarak disepakati (Kinhide, 1981:11-12)

Sejumlah perbedaan juga terlihat di dalam tatanan logika keseluruhan dari perundingan. Bertentangan dengan gaya erabi dimana tiap pihak berusaha menyempurnakan sertra menjelaskan posisinya secara resmi. Pihak-pihak yang berpran di dalam perundinna awase cendrung memisahkan dimensi formal dari hubungan dengan kandungannya yang sesungguhnya. Meskipun kata-kata diberi kridibilitaas formal tertentu dalam beberapa hal, makna luarnya trkadang ditolak demi saling-saling pengertian akan realitas situasi. Sementara gaya erabimenekankan hasl formal dari suatu perundingan, pola awase mencakup suatu pemahamn implisit akan jurang antara bentuk dengan hakikat (Kinhide, 1981:12).

Dalam gaya awase, pendekatan pada masalah menyertakan asumsi bahwa ”dalam teori memang demikin caranya, tetapi kenyataannya..”. Gaya awase meletakkan tekanan pada sekian keadaan khusus yang membedakan tiap kasus konkrit dan berfungsi membuat prinsip-prinsip umum tidak bisa diterapkan. Pendekatan awase jika salah dikelola, bisa membat kita hanyut disepanjang rentetan pristiwa. Akan tetapi perundingan awase punya kelebihan yang memungkinkan pihak lain untuk menyesuaikan diri. Pendekatan awase juga memperhitungkan perbedaan teori antar teori dengan perubahan keadan. Sebab ia tidak mempersyaratkan adanya pernyatan posisi secara jelas, ia mmberikan cukup banyak pelonggaran untuk tidak hentinya menafsirkan pendirian seseorang. Ini adalah kelebihan yang jelas


(38)

dibandingkan dengan keterus-terangan eabi yang bersahaja. Tentu saja ada batas. Begitu ketidak percayaan pihak lain mencapai suatu titik tertentu, perundingan pun gagal dan soal-soal poko sama-sama dikobankan dengan soal-soal tidak pokok.

b. Kultur Haji no Bunka Kultur haji no bunka adalah kultur Jepang yang dikemukakan oleh Ruth Benedict, seorang ahli antropologi yang berasal dari Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Cristnshium and the Sword, ia menggambarkan dengan jelas pola-pola kebudayaan Jepang. Tentu saja hal ini juga terlihat dalam hubungan diplomasi Jepang. Tentu saja hal ini juga terlihat dalam hubungna diplomasi Jepang terhadap negara-negara lain termasuk Indonesia. Haji no bunka (恥の文化) terdiri atas dua kanji modern yaitu kanji haji () dan bunka (文化). Kanji haji menurut kamus besar kanji (Nicholson , 2005: 734) memiliki arti malu. Sedangkan bunka menurut kamus kanji modern (Nicholson, 2005: 462) memiliki arti budaya. Apabila kedua kata ini digabungkan secara harfiah memiliki arti shame culture atau budaya malu.

Ada perbedaan pandangan yang cukup besar antara orang-orang Barat denga orang-orang Timur. Dalam masalah sejarah, orang Barat cendrung mengtakan kalu mereka adalah pewaris sejarah. Berbeda dengan orang-orang Timur yang mengatakan berutang kepada sejarah. Masyrakat Barat menilai pemujaan trehadap roh nenek moyang hanyalah pemujaan biasa kepada roh-roh yang sudah meninggal. Bagi masyarakat Timur, itu bukanlah pemujaan biasa tetapi hal itu juga merupakan pengakuan ritual bahwa manusia sangat berutang kepada segala sesuatu yang terjadi sebelumnya (Benedict, 1979: 104).


(39)

sehari-keputusan dan tindakan-tindakannya bersumber dari utangnya ini. Keberuntungan ini adalah titik yang fundamental. Di Jepang, bergantung kepada pengakuan akan tempat seseorang di dalam jaringan besar dari saling keberutangan tersebut yang mencakup baik nenek moyang maupun oraang-orang sezaman. Hal ini terlihat sederahana tetapi rumit. Padanya pun diletakkan tanggung jawab yang besar (Benedict, 1979: 104-105).

Bangsa Jepang memiliki banyak kata yang artinya ”kewajiban”. Kata-kata itu bukanlah sinonim an kata-katanya yang spesifik tidak mempunyai terjemahan yang tepat dalam bahasa Inggris, karena gagasan yang diutrakan asing bagi orang Barat. Kata ”kewajiban”, yang mencakup utang seseorang dari yang paling besar sampai yang paling kecil adalah on. Didalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi ”kewajiban” dan ”kesetiaan” sampai ”keramahan” dan ”cinta kasih”, teaepi kata-kata ini mengubah pengertian yang sebenarnya (benedict, 1979: 105).

Dalam semua pemakaianya, on mengandung arti sebagai beban, suatu utang, sesuatau yang harus dipikul seseorang sebaik mungkin. Seseorang menerima on dari atasannya atau setidaknya orang setingkat, menimbulkan perasaan bahwa orang itu lebih rendah dari pada si pemberi on. Kalau mereka mengatakan, ”Saya mengenakan on terhadapnya” maka yang mereka maksudkan adalah mengatakan ” Saya memikul suatu beban kewajiban terhadapnya”, dan mereka menyebut kreditor atau dermawan itu sebagi ’orang on’-nya (Benedict, 1979: 105). ”mengingat on seseorang” mungkin merupakan pencurahan murni dari rasa pengbdian yang timbal balik.

On selalu dipakai dalam pengertian pengabdian tanpa batas, kalau itu menyangkut utang yang terbesar dan terutama, yaitu ”on kekaisaran ” orang tadi. Ini adalah utang seseorang kepada kaisarnya, yang harus diterima orang itu dengan kasih yang mendalam. Orang Jepang merasa mustahil seseorang akan berterimakasih


(40)

kepada negerinya, senang akan kehidupannya, senang akan hal-hal besar dan kecil yang menyangkut dirinya, tanpa mengingat mereka menerima-menerima keuntungan ini. Dalam seluruh Jepang, orang yang paling utama diantara sesamanya ini, pada siapa seseorang berutang, adalah atasan tertinggi dalam lingkup kehidupan seseorang tadi. Negara Jepang modern telah memakai semua cara untuk memusatkan perasaan ini kepada Kaisar. (Benedict, 1979: 107).

Orang juga mengenakan on terhadap orang-orang yang lebih rendah tingkatnya dari pada Kaisar. Tentu saja ada on yang diterima dari orang tua masing-masing. Inilah dasar dari bakti dan hormat filial bangsa-bangsa Timur yang menempatkan orang tua pada suatu posisi yang strategis atas anak-anaknya. On ini dijabarkan sebagi utang anak-anak terhadap orang tuanya dan mereka berusaha mati-matian untuk menebusnya. Karena itu, anak-anaklah yang harus berusaha untuk patuh (benedict, 1979: 108).

Orang juga mempunyai on khusus kepada guru dan tuannya (nushi). Kedua-duanya telah membantu dia untuk maju dan orang mengenakan on terhadap mereka, yang dimasa depan mungkin mengharuskan orang tersebut untuk memenuhi suatu permintaan mereka, pada saat mereka mengalami kesulitan, atau barangkali untuk memberikan bantuan kepada salah seorang sanak saudaranya yang muda, setelah mereka tiada. Orang harus berusaha keras untuk melaksanakan kewajiban itu dan utangnya tidak berkurang dengan berlalunya waktu. Bahkan sebaliknya, semakin lama utang itu semakin bertambah. On itu seakan mengumpulakn sejenis riba. On kapada siap saja adalah hal yang serius. Seperti yang biasa mereka katakan, ”Orang tidak pernah dapat menebus sepersepuluh ribu dari on-nya”. On adalah beban yang berat dan ”kekuasaan on”, meskipun senantiasa melanggar pilihan-pilihan pribadi, dianggap


(41)

Kelancaran berfungsinya etika ini bergantung kepada kemampuan setiap orang untuk menganggap dirinya sebagai orang yang berutang banyak tanpa merasa tidak terlalu enak saat menebus kewajiban-kewajiban yang ditanggungnya. Adat kebiasaan yang menyertainya dan dijalankan dengan giat memungkinkan bangsa Jepang untuk moral mereka sampai suatu taraf yang tidak masuk akal bagi seorang Barat (Benedict, 1979: 109).

Orang tidak suka denga seenaknya menyandang arti utang budi yang terkandung dalam on. Mereka selalu berbicara ”membuat orang mengenakan on” dan sering terjemahan yang paling mendekai adalah ”memaksakan kepada orang lain”. Di Jepang istilah ini berarti memberi sesuatu kepada orang atau berbuat baik kepada orang itu. Orang Jepang paling tidak menyukai perbuatan-perbuatan baik dari orang yang tidak dikenalnya, karena dengan tetangga dalam hubungan-hubungan hirarkis yang sudah mantap, orang tahu dan telah menerima kerumitan on. Tetapi dengan kenalan biasa atau orang yang hampir setingkat, hal ini menyinggung perasaan (Benedict, 1979:110).

Didalam hubungan struktural yang diterima, rasa berutang yang besar yang terkandung dalam on sering mendorong orang untuk meyerahkan segala-galanya yang ada dalam dirinya sebagai imbalan. Walaupun demikian, cukup berat menjadi orang yang berutang, dan karena itu orang mudah tersinggung (Benedict, 1979: 113). Dengan berbagai perasaan apapun, on dapat ditanggung selama ” si pemberi on” sebenarnya adalah dirinya sendiri; ia sudah diberi tempat dalam pola hirarki ”saya”, atau ia melakukan sesuatu yang dapat saya lakukan, seperti mengembalikan topi saya yang terbawa angin, atau ia seseorang yang mengagumi saya. Sekali indefikasi-indefikasi ini runtuh on merupakan luka yang membusuk. Seremeh apa pun yang terjadi, terlebih baik jika menyukainya. Setiap orang Jepang mengetahui bahwa jika


(42)

seseorang membuat on terlalu berat, apa pun situasinya, maka orang itu akan melakukan kesulitan (Benedict, 1979: 115). Setiap perbuatan baik yang diterima seseorang, menjadikan orang itu berutang. Seperti dikatakan oleh pribahasa mereka, ”diperlukan suatu tingkat kemurahan hati yang tidak terjangkau tingginya dan yang sudah dibawa sejak lahir, untuk menerima on” (benedict, 1979: 120).

On adalah utang dan harus dibayar kembali; tetapi di Jepang, semua pembayran kembali dianggap berada dalam kategori lain. Untuk bangsa Jepang, rasa berutang yang utam dan yang selalu ada, yaitu on, berbeda sekali dengan pembayaran kembali secara aktif dan ketat yang disebut-sebut dalam serentetan konsep-konsep lain. Rasa berutang seseorang dalam serentetan konsep-konsep lain. Rasa berutang seseorang (on) bukan merupakan kebajikan; pembayaran kembali itulah yang dianggap sebagai kebajikan. Kebajikan dimulai pada saat orang itu memusatkan dirinya secara aktif untuk menebus utang itu (Benedict, 1979: 121).

Bangsa Jepang membagi kedalam kategori-kategori yang jelas, masing-masing denga peraturannya yang berlainan, pembayran kembali on itu, yang jumlah dan jangka waktu pembayrannya tidak terbatas, dan on mana yang sama secara kuantitatif, serta mana yang harus dibayar pada kesempatan-kesempatan yang khusus. Pembayaran tanpa batas atas utang ini disebut gimu dan tentang itu mereka mengatakan, ”Orang tidak dapat membayar dari sepersepuluh ribu dari on ini”. Gimu seseorang mengelompokkan dua jenis kewajiban yang berbeda: pembayran on kepada orangtua sendiri, yang adalah ko, dan pembayaran kembali on kepada Kaisar, yang adalah chu. Kewajiban kedua gimu ini adalah suatu keharusan dan merupakan nasib universal seseorang; bahkan pendidikan dasar di Jepang dikatakan sebagai ”pendidikan gimu” karena tidak ada kata lain yang lebih tepat mengrtikan kata


(43)

orang itu, tetapi secara otomatis, gimu terdapat pada pada semua orang dan berada diatas semua kejadian yang tidak disengaja. Kedua bentuk gimu itu adalah tanpa syarat (Benedict, 1979:122-123).

Bangsa Jepang sangat tegas tentang hal ini; orang membayar kembali utang-utang keapda nenek moyangnya dengan cara meneruskan kepada anak-anaknya, asuhan yang telah diterimanya sendiri. Tidak ada kata yang mengungkapkan ”kewajiban bapak terhadap anak-anaknya” dan semua tugas seperti itu dicakup oleh ko kepada oarang tuanya orang tau. Bakti filial meletakkan semua tanggung jawab yang banyak ke atas pundak kepala keluarga untuk mencari nafkah bagi anak-anaknya, mendidik putra-putranya dan adik-adik lelakinya mengurus pengelolaan tanah keluarga, memberiakn tempat berlindung kepada sanak keluarga yang memerlukannya dan tugas sehari-hari yang serupa (Benedict, 1979: 130). Pembatasan yang ketat dari keluarga yang dilembagakan di Jepang, secara tajam membatasi jumlah orang terhadap siapa seseorang mempunyai gimu ini. Kaisar haruslah berupa bapak keramat yang jauh dari semua pertimbangan sekuler. Kesetiaan seseorang kepadanya, yaitu chu, yang merupakan kebajikan tertinggi, harus menjadi pikirang yang membahagiakan mengenai seorang bapak yang baik, yang tidak dinodai oleh kontak-kontak dengan dunia (Benedict, 1979: 130-131).

Semua usaha telah dilakukan di Jepang modern untuk mempersonifikasikan chu dan secara khusus menunjukkannya pada diri Kaisar. Kaisar pertama setelah restorasi adalah Kaisar yang konsekuen dan berwibawa dan selama pemerintahannya yang panjang dengan mudah ia menjadi lambang pribadi bagi rakyatnya. Pemunculannya sekali-sekali di muka umum disambut dengan upacara pemujaan lengkap. Dengan segala cara ini, Kaisar dijadiakan sebuah lambang yang berada di


(44)

luar jangkauan segala macam pertentangan di dalam negeri (Benedict, 1979: 135).

Chu menyediakan sebuah sistem ganda dalam hubungan antara hamba sahaya dan Kaisar. Si hamba mengadah ke atas, langsung kepada Kaisarnya tanpa perantaraan siapa pun; secara pribadi, hamba ni ”menentramkan hati Kaisar” melalui tindakan-tindakannya. Di dalam pemerintahan sipil, chu mendukung apa saja, dari kematian sampai pajak. Pemungutan pajak, petugas polisi, pejabat-pejabat wajib militer adalah saluran-saluran melalui mana seorang hamba sahaya menyerahkan chu. Orang Jepang berpendapat bahwa patuh pada hukum merupakan pembayaran kembali atas utangnya yang terbesar, yaitu ko-on (Benedict, 1979: 136-137).

”Giri” begitu pepatah Jepang, ” adalah yang paling berat untuk ditanggung”. Seseorang harus membayar kembali giri sebagaimanadia harus membayar kembali gimu, tetapi giri sebagaimana dia harus membayar kembali gimu, tetapi giri itu adalah serentetan keawjiban yang berlainan warnanya. Giri memiliki dua pembagian yang jelas yaitu giri kepada dunia dan giri kepada nama sendiri. Giri kepada dunia secar harfiah dikatakan dengan ” membayar kembali giri” adalah kewajiban seseorang untuk membayar on kepada sesamanya. Giri kepada nama sendiri adalah kewajiban untuk tetap membersihkan nama serta reputasi seseorang dari noda fitnah, semacam ’kehormatan” (Benedict, 1979: 141).

Secara umum, giri kepada dunia dapat digambarkan sebagai dipenuhinya hubungan-hubungan yang bersifat kontrak, sangat kontras dengan gimu yang dirasakan sebagai pemenuhan kewajiban-kewajiban berdasarkan hubungan akrab yang dialami seseorang sejak lahirnya. Jadi, giri mencakup semua kewajiban yng menjadi tanggungan seesorang kepada keluarga mertuanya sedangkan gimu kepada


(45)

deawsa berbuat sesuatu untuk ibunya sendiri, itu adalah karena dia mencintai ibunya dan karena hal itu, itu bunkanlah giri. Seseorang tidak bekerja untuk giri kalau ia melakukan dengan tulus hati”. Akan tetapi orang memenuh kewajibannya terhadap mertuanya secara tepat karena bagaimanpun juga ia harus menghindari celaan yang ditakuti; ”orang yang tidak tahu giri” (benedict, 1979: 141-142).

Giri memang cukup keras dan ”penuh keengganan”, sehingga pernyataan ”karena giri” saja sudah cukup bagi orang Jepang untuk menggambarkan hubungan yang membenani itu. Bukan saja kewajiban terhadap mertua merupakan giri; kewajiban terhadap paman, biib, keponakan pria dan wanita berada dalam kategori sama. Hubungan tradisional giri yang besar, yang oleh banyak orang Jepang bahkan dianggap lebih penting daripada giri terhadap mertua, adalah giri seorang pengikut terhadap tuannya dan giri terhadap sesama rekan prajurit. Itu adalah kesetiaan yang diwajibkan atas seseorang terhadap atasannya dan rekan-rekannya yang setaraf. Kewajiban giri ini diagungkan dalam banyak bacaan tradisional. Ia diindetifikasikan sebagai kebajikan seorang samurai (Benedict, 1979: 144).

Peraturan-peraturan giri merupakan peraturan-peraturan pembayaran kembali yang wajib. Kalau seseorang dipaksa untuk dengan giri , maka dianggap ia mungkinharus mengesampingkan rasa keadilannya dan seriang berakata, ” Saya tidak dapat berbuat benar(gi) karena giri. Peraturan-peraturan itu tidak mengharuskan orang berbuat baik dari dalam hatinya. Mereka mengatakan harus bahwa orang harus melakukan giri, karena kalau tidak, ia akan disebut orng tidak tahu giri dan akan dibuat malu didepan umum. Yang harus membuat giri ditaati adalah; apa kata orang tentang itu. Mem,ang. ” giri terhadapadunia” sering muncul dalam terjemahan Inggris dengan ”sejalan dengan pendapat umum”, dan kamus menterjemahkan dengan


(46)

kalimat ”Memang harus begitu karena itu adalah giri terhadap dunia” dengan ”Orang yang tidak menerima tindakan yang lain” (Benedict,, 1979: 148).

Bangsa Jepang menganggap seesorang telah bangkrut apabila tidak dapat membayar giri, dan setiap kontak dalam kehidupan dapat menimbulkan giri dengan satu atau lain cara. Pembayaran kembali giri dianggap sebagai suatu pembayaran kembali yang sama jumlahnya. Dalam hal ini, giri sangat berbeda dengan gimu, yang secara kira-kira pun tidak akn pernah dapat dilunaskan, apapun yang dilakukan oleh seseorang. Akan tetapi, giri tidak tanpa batas. Bangsa Jepang melarang pemberian hadiah yang bernilai lebih dari hadiah yang sebelumnya diterima. Orang tidak menjadi semakin terhoramat dengan mengembalikan ”beludru murni”. Salah satu komentar terburuk yang dapat dikatakan orang tentang suatu hadiah adalah bahwa si pemberi ”telah membayar emabali ikan teri dengan ikan kakap”. Begitu juga hal-hal dengan giri (Benedict, 1979: 148-149).

Giri terhadap nama seseorang adalah kewajiban untuk menjaga reputasinya supaya tidak bernoda. Giri ysang ini adalah sederetan kebajikan, seakan-akan saling bertentangan dalam pandangan orang Barat, tetapiyang dalam pandangan orang Jepang mempunyai suatu keastuan, karena merupakan kewajiban-keawjiban yang bukan pembayaran kemabali terhadap kebaikan yang diterima; kewajiban-keawjban itu berada ”diluar lingkup on”. Kewajiban-keawjiban itu adalah tindakan-tindakan yang tetap menjaga reputasai baik seseorang tanpa mendasarkannya kepada suatu utang tertentu yang sebelumnya dipunyai orang itu terhadap orang lain. Oleh karena itu, tercakup di dalamnya melaksanakan segala persyaratan etiket menurut ”tempat seseorang yang sesuai”, misalnya, kalau merasa sakit sama sekali tidak memperlihatkannya, dan mempertahankan reputasi dalam profesi atau keahlian. Giri


(47)

noda itu mengotori nama seseorang dan karena itu harus dihilangkan. Noda itu dapat memaksa seseorang untuk membalas dendamkepada orang yang merugikan namanya ataumemeaksa seseorang untuk melakukan bunuh diri,dan diantara kedua ekstrem ini terdapat segala macam kemungkina tindakan. Akan tetapi, orang tidak dapat meremehakn sesuatu yang bersifat kompromi (Benedict, 1979: 152).

Bangsa Jepang tidak memilik istilah tersendiri untuk apa yang dinamakan ”giri terhadap nama”. Mereka hanya melukiskannya sebagai giri ”diluar lingkup on”. Kalau orang mengorabanan miliknya. Keluarganya dan hidupnya sendiri demi kehormatan,maka ia seoran yang bajik dengan sesungguhnya. Akan tetapi giri terhdap nama, yang dalam kebudayaan didampingi rasa permusuahn serata menanti dengan waspada, bukanlah kebajikan khas Asia. Ini adalah kebudayaan yang murni hanya dimiliki oleh bangsa Jepang (Benedict, 1979: 152-154).

Arti sepenuhnya dari giri terhadap nama tidak dapat dimengerti tanpa menempatkan dalam konteksnya semua kebajiakn nonagresi yang di Jepang disebut dengan giri ini. Pembalasan hanyala suatu kebajikan yang mungikn diwajibkan pada suatu kesempatan. Giri ini juga mencakup banyak tingkah laku yang tenang dan terkendali. Tidak memperlihatkan perasaaan, pengendalian diri yang diharuskan arti seorang Jepang yang mempunyai harga dri, merupakan bagian dari giri terhadap nama. Giri terhadap nama juga mengaruskan seseorang untuk hidup sesuai denga tempatnyadalam hidup ini. Kalau orang gagal dalam giri ini, ia tidak berahk untuk menghormati dirinya sendiri. (Benedict, 1979: 155-156).

Giri terhadap nama juga berarti memenuhi banyak macam ikatan selain ikatan yang ada hubungnya deangan tempat yang sesuai. Seorang yang berutang daoat mempertaruhka giri terhadap namanya ketika ia meminta pinjaman; satu generasi yan glalu biasa dikatakn orang bahwa ”Saya setuju untuk ditertawakan di depan umum


(48)

kalau saya gagal membayar jumlah ini”.n kalau ia gagal membayar kembali, ia tidak secara harfiah dijadikan bahan tertawaan umum; di Jepang tidak ada tiang cacian umum. Akan tetapi, menjelang Tahun Baru, yaitu tanggal jatuh tempo semua utang, orang yang tidak membayar utangnya itu, mungkin akan melakukan bunuh diri untuk ”membersihkan namanya”. Di Jepang giri terhadap nama seorang profesional sangat besar tuntutannya, tetapi giri tidak perlu dipelihara dengan standar profesinal yang tingi seperti di Amerika (Benedict, 1979: 158).

Berbagai jenis tata krama diatur untuk menhindarkan situasi-situasi yang dapat menimbulkan rasa malu dan yang mungkin menyangkut giri terhadap namanya. Situasi-situasi ini, yang diperkecil kemungkinannya seminimal mungkin, mencakup lebih banyak daripada persaingan langsung. Mereka berpendapat bahwa seorang tuan rumah harus menyambut tamunya dengan penyambutan ritual tertentu serta dalam busana yang baik. Karena itu, seseorang yang bertamu kepada petani yang sedang mengenakan pakaian pekerjaannya, harus menunggu beberapa saat. Si petani tdak akan memperlihatkan tanda bahwa ia mengenal tamunya sampai ia mengenakan pakaian yang baik dan mengatur tata cara yang patut (Benedict, 1979: 164).

Di Jepang tujuan yang selalu didambakan adalah kehoramatan. Perlu sekali memiliki wibawa. Cara-cara yang dipakai untuk mnecapai tujuannya itu adalah alat yang diambil lalu diletakkan kembali sesuai dengan keperluan keadaan. Kalau situasi berubah, bangsa Jepang dapat mengubah orientasnya dan berjalan ke arah yang baru. Bagi mereka, mengubah halauan bukan merupakan masalah moral sebagaimana halnya denga bangsa Barat (Benedict, 1979: 180).

Agresi bangsa Jepang lain sekali sumbernya. Mereka sangat membutuhkan penghoramtan di dunia. Mereka melihat bahwa kekuatan militer telah menghasilkan


(49)

negara besar itu. Mereka harus lebih pada gurunya karena sumber-sumber daya mereka tidak banyak dan teknologinya primitif. Kegagalan mereka dalam usaha besar ini, berarti bahwa agresi bukanlah cara mencapai kehormatan. Giri selalu erarti penggunaan agresi atau menjalin hubungan-hubungan ketakziman, dan dalam kekalahan, bangsa Jepang beralih dari yang satu ke yang lain, jelasa tanpakekerasan psikis teradap dirinya sendiri. Tujuannya masih tetap nama baik mereka (Benedict, 1979: 181).

Seperti bulan, giri mermiliki bagian yang gelap membuat Jepang menerima Undang-Undang Eksklusif Amerika dan Perjanjian Persamaan Angkatan Laut sebagai penghinaan nasional yang keterlaluan, dan yang merangsangnmya untuk membuat progaram perang yang mencelakakan itu. Bagiannya yang cerah memungkinkan itikad baik yang ditunjukkan untuk menerima akibat penyerahan di tahun 1945. Jepang tetapi berttindak sesuai dengan wataknya (benedict, 1979: 183).

Setelah membahas keseluruhan mengenai on, gimu, dan giri mungkin ada kesulitan untuk memahaminya. Oleh karean itu, dibawah ini ada sebuah penjelasan yang dapat membantu pemahaman agar lebih jelas sehingga tidak menimbulkan kerancuan.

On: kewajiban-kewajiban yang timbul secara pasif. Seseorang “menerima on”, seseorang “mengenakan on”, artinya: on adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh si penerima yang pasif.

Ko on. On yang diterima dari kaisar Oya on. On yang diterima dari orangtua.

Nushi no on. On yang diterima dari majikan atau tuan. Shi no on. On yang diterima dari guru.


(50)

On yang diterima dalam semua hubungan dengan orang lain selam hidup si penerima.

Catatan: semua orang dari siapa si penerima menerima on, menjadi on jin atau ”orang-on” dati si penerima.

pemenuhan on. Si penerima on ”membayar kembali” utang–utang; ia ”memenuhi kewajiban ini” terhadap orang-on nya; artinya: ini adalah kewajiban yang dilihat dari sudut pembayarannya kembali secara aktif. Ada dua jenis on:

Gimu. Pembayaran kembali yang maksimal sekalipun dari kewajiban ini dianggap masih belum cukup, dan tidak ada batas waktu pembayarannya.

Chu. Kewajiban terhadap kaisar, hukum dan negara.

Ko. Kewajban terhadap orang tua dan nenek moyang (yang dimaksud: terhadap keturunanya).

Nimmu. Kewajiban terhadap pekerjaan seseorang .

Giri. Utang-utang ini wajib dibayar dalam jumlah yangsama dengan kebaikan yang diterima, ada batas waktu pembayarannya

1. Giri terhadap dunia.

Kewajiban terhadap tuan pelindung. Kewajiban terhadap sanak keluarga jauh.

Kewajiban terhadap orang-orang bukan keluarga karena on yang diterima dari mereka, misalnya hadiah uang, suatu kebaikan, pekerjaan yang mereka sumbangkan (dalam suatu kelompok kerja Kewajiban terhadap keluarga yang tidak begitu dekat (paman, bibi, kemenakn pria dan wanita) walaupun on yang doterima bukan berasal dari mereka, melainkan nenek moyang yang sama.


(51)

2. Giri terhadap nama seseorang. Ini adalah versi Jepang dari die Ehre. Kewajiban seseorang untuk ”membersihakan” reputasinya dari penghinaan atau tuduhan atas kegagalan, yaitu kewajiban membalas dendam.

Kewajiban seseorang untuk tidak menunjukkan atau mengakui kegagalan atau ketidak tahuannya dalam melaksanakan jabatan.

Kewajiban seseorang untuk mengindahkan sopan santun Jepang, misalnya melaksanakan semua prilaku ketakziman, tidak hidup di atas tempatnya yang sesuai, mengekang pengungkapan emosi pada kesempatan atau suasana yang tidak cocok, dan seterusnya.

c. Kultur Masyarakat Horizontaldan Masyarakat Vertikal

Sebelumnya telah dibahasmengenai kultur awase dan kultur haji no bunka yang merupakan dua kultur yang dimiliki oleh bangsa Jepang. Selain kedua kultur tersebut ada sebuah kultur agi yang dikemukakan oleh Chie Nakane, seorang profesor yang berasal dari univertitas Tokyo. Ia mencoba menyusun suatu gambarn struktural mengenai masyarakat Jepang dengan cara memadukan ciri-ciri besar yang menonjol yang terdapat dalam kehidupan orang Jepang (Nakane, 1981: vii).

Fakta-fakta tersebut diperolehnya dari sejumlah tipe persekutuan yang ada di Jepang. Persekutuan itu antara lain perusahaan-perusahaan industri, organisasi-organisqasi pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan, persekutuan keagamaan, pertai-partai pollitik, persekutuan-persekutuan desa, rumah tangga-rumah tangga perorangan dan seterusnya yang terdapat di Jepang. Sepanjang penyelidikannya terhadap kelompok-keompok dalam bidang-bidang yang begitu beraneka warna, ia memusatkan analisanya pada tingkah laku perorangan dan hubungan antar manusia


(1)

Sikap tersebut juga disebut sikap malu berkomunikasi.demikian pula, pengumpulan informasi diberi nilai positif, sedangkan usaha untuk membuat rakyat dari negara-negara lain mengerti orang Jepang sebenarnya bahkan dianggap hampir tidak berguana, bahkan bersifat negatif. Menyiarkan informasi keseluruh dunia luar ditafsirkan sebagai tindakan mengiklankan diri sendiri, dan dalam standar etika orang Jepang hal ini dianggap berselera rendah (Tadao, 1981:100).

Hal ini hanya dapat diatasi jika Jepang membuka diri. Pada saat ini Jepang lebih membuka diri daripada sebelumnya. Mereka memperkenalkan kebudayaannya lebih lagi. Tidak lagi semata sebagai hiburan tetapi upaya mendorong petukaran internasional seperti sang diungkapkan oleh Napoleon mengenai kebudayaan. Hati yang ditaklukan lebih kuat dari tubuh yang ditaklukan dengan kebudayaan. Hal yang demikian dapat terjadi.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian bersifat deskriptif ini, penulis mengambil beberap[a kesimpuklan. Kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hubungan diplomasi Jepang dan Indonesia telah berlangsung lama dimulai pada bulan April tahun 1958. Dengan kata lain telah memasuki tahun emas (50 tahun) pada tahun 2008 yang lalu.

2. Diplomasi adalah seni mengedepankan kepentingan suatu Negara melalui negoisasi dengan cara-cara damai apabila mungkin, dalam berhubungan dengan Negara lain. Apabila cara-cara damai gagal untuk mempe memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengizinkan penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuannya.

3. Diplomasi juga dipengaruhi oleh kultur negara-negara yang melakukan diplomasi. Dalam kasus diplomasi yang dimaksud disisni adalah kultur atau ideologi dari Jepang dan Indonesia. Jepang memiliki kultur awase, haji no

bunka dan kultur masyarakat vertikal-horizontal. Indonesia membawa

ideologinya yaitu Pancasila. Semua ini terlihat didalanm hubungna diplomasi yang dilakukan kedua negara, yaitu dalam bidang budaya, ekonomi, bahasa dan hubungan sister city atau sister provience.

4.2 Saran

Setelah melihat uraian dan fakta yang ada dari sejumlah media terpercaya dan juga pembahasan ini penulis melihat sebuah fakta bahwa masalah yang pernah


(3)

Jepang, orang-orang merasa sudah melakukan banyak kebaikan untuk Indonesia. Sedangkan di Indonesia, orang-orang merasa Jepang kurang perhatian. Masalah ini jika dibiarkan akan menimbulkan kesalahpahaman.

Jepang sebagai negara maju harus lebih mawas diri dalam setiap tindakannya. Kekurangan Jepang adalah kekurang terus terangan dan sifatnya yang berbelit-belit yang dapat dimaklumi karena memiliki kultur haji no bunka. akan tetapi, tidak semua orang Indonesi athu kultur Jepang ini. Oleh karena itu sebaikanya Jepang lebih terus terang dalam Diplomasi dan perundingan. Jepang juga sebagi pemilik kultur awase juga sering terlihat ambigu, hal ini harus lebih dihindari kareana Indonesia memiliki sifat erabi yang memilih satu dari dua pilihan bukan memilih keduanya tau menggabungkannya. Indonesia juga harus memahami Jepang dengan tidak terlalu memaksa Jepang untuk memilih.

Saat ini produk Jepang kembali membanjiri Indonesia. Indonesia seharusny lebih memihak pasar domestik untuk menghindari ketergantungan. Jepang juga harus turut membantu perkembangna ekonomi Indonesia dengan melakukan alih teknologi dan bukan sekedar memberi modal karena ilmu lebih tinggi nilainya daripada uang. Demikianlah kesimpulan dan saran yang dapat penulis buat. Penulis menyadari skripsi ini memiliki berbagai kekurangan dalam berbagai segi. Untuk hal itu penulis meminta maaf dan memohon saran-sarannya juga.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adam, Asvi Warman. 2003. Malari 1974 dan Sisi Gelap Sejarah.

Aneka Jepang. 2008. edisi khusus “Tahun Persahabatan”.Anonim. Kota Medan

Pariwisata Bali.

diakses tahun 2009Anonim.

Anonim. Surga Bali.

Banu. ” Ibarat Benci tapi Butuh”. Kompas, 20 Oktober 2008.

Benedict, Ruth.1981. Pedang Samurai dan Bunga Seruni. Jakarat: Penerbit Harapan. Boekjorsjom.2009. Hubungan Kerjasama (Sister Provience)

Dinas Penerangan AU Indonesia. 2008. ”Perang Asia Raya” Majalah Angkasa. Jakarta: Bagian Pertahanan Negara RI.Djelantik, Sukarwarsini.2008.

Diplomasi antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Braha Ilmu.Damayanti, Dodi.

”Babak Baru Kerjasama Sektor Energi”. Kompas, 20 Oktober 2008.

Fakultas Budaya UI. ”Perjalanan Panjang Indonesia-Jepang”. Kompas 20 Oktober 2008

Gedung DitJend. Peraturan Perundang-undangan. 2008. Undang-undang RI

No.37tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negri diakses bulan Agustus

2009


(5)

Ishihara, Shintaro. 1981. “Satu bangsa tanpa Moralitas” dalam Kekuatan yang

Membisu : Kepribadian dan Peranan Orang Jepang. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.Japan Official Development. 2005. Tanda persahabatan Indonesia Jepang. Kedutaan Besar Jepang Jakarta .

Kinhide, Musahakoji. 1981. “ Dasar Pikiran Kebudayaan Diplmasi Jepang” dalam

Kekuatan yang Membisu

.Kasuji, Nagasu.1981. ”Citra suatu Kekuasaan Raksasa Ekonomi ” dalam Kekuatan

yang Membisu : Kepribadian dan Peranan Orang Jepang. Jakarta : Yayasan

Obor Indonesia .

Masao, Kunihiro. 1981. ”Bahasa Jepang dan Komunikasi antar Kebudayaan” dalam

Kekuatan yang Membisu : Kepribadian dan Peranan Orang Jepang. Jakarta :

Yayasan Obor Indonesia .

Moleong, Lexy. J.2002. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT RemajaNazir, Mohamad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia .

Reischeur, Edwin.O. 1988. Change and Continuity. Cambridge : Harvard University Press.

Roy ,S.L. 1995. Diplomasi. Jakarta : PT Grafindo Husada.

Sirait, Hirim. 2008. Skripsi “Pandangan Masyarakat Jepang tentang Pohon”.Medan: Universitas Sumatera Utara

Surkajapura, Rakaryan. “50 Tahun Persahabatan Indonesia Jepang”, Kompas 20 Oktober 2008.

Suryohadiprojo, Sayidiman. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam

Perjoangan Hidup. Jakarta : Penerbit UI Press.Suyanto.


(6)

Tadao, Umeso. 1981. ”Keluar dari Keterkucilan Budaya” dalam Kekuatan yang

Membisu : Kepribadian dan Peranan Orang Jepang. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Utomo, Marsudi Budi. 2008. Memaknai 50 Tahun Hubungan Jepang-Indonesia.

Yamazaki, Toshio. 1984. Some Aspect of Japan’s Foreign Policy and Indonesia

Relation. Jakarta: Embasy of Japan