Warga Negara dalam Islam

BAB III ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KONSEP

KEWARGANEGARAAN INDONESIA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006

E. Warga Negara dalam Islam

Islam adalah agama yang mementingkan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ajarannya tetap aktual bagi manusia di segala zaman dan tempat. Islam tidak hanya merupakan rahmat bagi manusia, tetapi juga bagi alam semesta. Islam memperlakukan manusia secara adil tanpa membeda-bedakan kebangsaan, warna kulit dan agamanya, seperti ditegaskan Allah dalam QS. Al-Hujurat 49: 13. +, -. 1, 20 4 5689 :;, =20, 0 ? - AB +  C9 -.  + 49 EFG  HI : Artinya: ” Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” Berdasarkan prinsip ini maka Islam membuat berbagai ketentuan yang mengatur hubungan antar sesama manusia, baik muslim sendiri maupun non- muslim. 31 Negara Islam merupakan negara ideologis, maka kewarganegaraan sistem politik Islam pertama-tama berdasarkan agama Islam. Meski begitu negara ini membatasi kewarganegaraannya hanya kepada orang-orang yang tinggal di wilayahnya atau bermigrasi ke dalam wilayahnya. Dengan kata lain bahwa Negara Islam bukan negara ekstra-teritorial. Hal ini diungkapkan dalam QS. Al- Anfal 8: 72. ;49 2 ,  1 J,  L 1, MN L O,2 -. PQRS +, T U V6W X Y C9 U ;49 , , , S I\] : + -._ `a0 9 ,W  + cd0 U ;49 , 2 , -. , P1  . ef,W , g MC hF i P1  V , -. I\] jMY T U VU J .RX W IM] kl T   mn-2; -. o .pq, o , Hr st u9 , f 20 f0 HIPv Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan 31 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, h. 231. tempat kediaman dan pertoIongan kepada orang-orang Muhajirin, mereka itu satu sama lain lindung-melindungi, dan terhadap orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. akan tetapi jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam urusan pembelaan agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang Telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”. Ayat ini meletakkan prinsip dasar lain dari hukum perundang-undangan Islam, yaitu negara Islam melindungi segenap orang-orang yang berada di tanah tumpah darah negara Islam atau yang berhijrah ke negara Islam yang bersangkutan. Mengenai kaum muslim yang berada di luar wilayah negara Islam, negara tidak akan memberikan perlindungannya. Kaitan antara persaudaraan Islam tetap ada, tetapi tidak ada tanggung jawab legal bagi perlindungannya. Jika mereka berhijrah ke negara Islam yang bersangkutan, maka mereka barulah akan memperoleh perlindungannya. Jika mereka hanya datang sebagai pelancong atau tamu serta tidak melepaskan kewarganegaraannya dari negara non-Islam, mereka akan dianggap warga negara non-Islam dan tidak berhak atas perlindungan negara Islam. 32 Walaupun kewarganegaraan sistem politik Islam berdasarkan agama Islam, tetapi tidak menutup kemungkinan bagi warga negara lain yang non- muslim untuk dapat menjadi warga negara Islam dengan adanya suatu perjanjian dengan pemerintah Islam. Untuk selanjutnya bagi non-muslim tersebut dinamakan ahl-dzimmah. 32 Sayyid Abul A’la Al-Maududi,, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam Abul A’la Al-Maududi, Penerjemah Asep Hikmat, Bandung: Mizan, 1995, Cet. Ke-IV, h. 208-211 Islam menggolongkan rakyatnya berdasarkan satu prinsip dan satu ideologi. Dengan demikian di manapun seseorang dilahirkan baik dia itu seorang muslim atau bukan non-muslim tetap berstatus kewarganegaraan Dar al-Islam selama mereka berhijrah atau menerima ideologi tersebut sebagai prinsip dasar. Para ulama fiqh membagi kewarganegaraan seseorang kedalam dua macam kelompok yaitu Muslim dan Non-muslim, sedangkan penduduk Dar al- Islam terdiri dari Muslim, Ahl al-Dzimmi dan musta’min. Hal tersebut untuk memudahkan urusan pemerintahan dan pengurusan warganya. Pemisahan ini adalah karena berbedanya cara hidup orang Islam dengan yang bukan Islam, ada peraturan yang dikenakan kepada orang Islam tetapi tidak dikenakan pada orang bukan Islam. Misalnya, umat Islam diwajibkan membayar zakat bila cukup nisab dan haulnya, sedangkan umat bukan Islam tidak berzakat. Sebab itu bagi warga negara yang bukan Islam ada beberapa peraturan khusus untuk mereka. Berikut akan kami berikan sedikit definisi mengenai istilah di atas: a. Muslim Istilah Muslim merupakan nama yang diberikan bagi orang yang menganut agama Islam. Seorang muslim meyakini dengan sepenuh hati kebenaran agama Islam dalam kaidah, syariah dan akhlak sebagai aturan hidupnya. Kata muslim berasal dari bahasa arab, yang berarti “orang yang selamat”. Ini seakar dengan kata “Islam” yang berarti menyelamatkan. Kedua istilah ini banyak terdapat dalam al-Quran dan al-Hadits. Sebagaimana yang tertera dalam QS. Al-Hajj 22 :78. Artinya: “ … Dia yang menamakan kamu dengan muslim semenjak masa lalu. Hal ini dimaksudkan supaya Nabi Saw. menjadi saksi atas kamu dan kamu menjadi saksi atas sekalian manusia...”. Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya, Yaitu: 1 Mereka yang menetap di Dar al-Islam dan mempunyai komitmen yang kuat untuk mempertahankan Dar al-Islam. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah orang Islam yang menetap sementara waktu di Dar al-Islam sebagai musta’min dan tetap komitmen kepada Islam serta mengakui pemerintahan Islam; 2 Muslim yang tinggal menetap di Dar al-Harb dan tidak berkeinginan untuk berhijrah ke Dar al-Islam. Status mereka, menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad, sama dengan muslim lainnya di Dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus sebagai penduduk harbiyun, karena berada di negara yang tidak dikuasai Islam. Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin. b. Ahl al-Dzimmi Kata ahl al-dzimmi atau ahl al-dzimmah merupakan bentuk tarkib idhafi kata majemuk yang masing-masing katanya berdiri sendiri. Kata “ahl” secara bahasa, berarti keluarga atau sahabat. Sedangkan kata “dzimmi dzimmah”, berarti janji, jaminan dan keamanan 33 . Secara sederhana kata ahl al-dzimmi diartikan orang-orang non-muslim yang tidak memusuhi Islam. Menurut Yusuf al-Qardhawi ahl dzimmi adalah orang-orang non-muslim ahli kitab maupun bukan yang menjadi warga negara Islam. Menurut Muhammad Dhiya al-Din al-Rais, yang dimaksud dengan al- Aqalliyyah al-diniyah adalah non-muslim ahli kitab maupun bukan. 34 Secara umum ahl dzimmi diartikan mereka yang mendapatkan perlindungan keamanan, hak hidup dan tempat tinggal di tengah komunitas muslim. Mereka dinamakan dzimmah yang berarti perjanjian, jaminan dan keamanan karena memiliki jaminan perjanjian ‘ahd Allah dan Rasul-Nya serta jamaah kaum muslimin untuk hidup dengan aman dan tenteram dibawah perlindungan Islam. Jadi mereka berada dalam jaminan keamanan kaum muslimin berdasarkan akad dzimmah. Dengan demikian, dzimmah ini memberikan kepada kaum non-muslim suatu hak yang dimasa sekarang mirip dengan apa yang yang disebut sebagai kewarganegaraan politis yang diberikan negara kepada rakyatnya. 33 Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 233. 34 Khamami Zadah dan Arif R., Diskursus Politik Islam, Jakarta: LSIP, 2004, h. 54-55. Dengan ini pula mereka memperoleh dan terikat pada hak-hak dan kewajiban- kewajiban semua warga negara. Akad dzimmah ini adalah akad yang berlaku selama-lamanya, mengandung ketentuan membiarkan membolehkan orang-orang non-muslim tetap dalam agama mereka disamping hak menikmati perlindungan dan perhatian jamaah kaum muslimin, dengan syarat ia membayar jizyah serta berpegang pada hukum-hukum Islam dalam hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan masalah-masalah agama. Dengan ini, mereka menjadi bagian dari Dar al-Islam. 35 a. Musta’min Secara bahasa kata “musta’min” merupakan bentuk isim fail pelaku dari kata kerja ista’mana. Kata ini seakar dengan kata amana yang berarti aman. Dengan demikian kata ista’mana mengandung pengertian ”meminta jaminan keamanan”. Menurut pengertian ahli fiqh musta’min adalah orang yang memasuki wilayah lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah setempat, baik ia muslim maupun harbiyun. Menurut Al-Dasuki antara musta’min dengan mu’ahid mempunyai pengertian yang sama. Mu’ahid adalah orang non-muslim yang memasuki wilayah Dar al-Islam dengan memperoleh jaminan keamanan dari pemerintah Islam untuk tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke wilayah Dar al- Harb. 35 Yusuf Qhardhawi, Minoritas Non-Muslim di Dalam Masyarakat Islam, Penerjemah Muhammad Baqir, Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1991, Cet. Ke-2, h. 18-20. Musta’min yang memasuki wilayah Dar al-Islam bisa sebagai utusan perdamaian, anggota korps diplomatik, pedaganginvertor, pembawa jizyah atau orang-orang yang berziarah. 36 Ajaran Islam membolehkan Dar al-Islam menerima permohonan non- muslim untuk meminta jaminan keamanan berdasarkan QS. Al-Taubah 9 :6.  , + wx Iyzf {, | }MY  -P1 hF i G fM~ • . C9 €N0N i M - + •i, : O -._ ‚ Hƒ-2; kl „2f y0 Artinya: ”Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, Kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak Mengetahui.”. Berdasarkan ayat tersebut, permohonan orang musyrik harbiyun untuk mendapatkan jaminan keamanan di Dar al-Islam harus dikabulkan. Keamanan ini meliputi keselamatan diri, harta, transaksi yang dilakukannya bahkan keluarga mereka juga. Ia tidak hanya dibolehkan menetap di Dar al-Islam tetapi juga 36 Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 236. melakukan hubungan muamalah dengan umat Islam serta saling menolong. Dengan jaminan ini mereka tidak dibebankan membayar jizyah. Jaminan keamanan untuk mereka berlaku sesuai dengan masa yang ditetapkan dalam perjanjian dengan Dar al-Islam. Mazhab Syafi’i membatasi masa aman tidak melebihi empat bulan, selama musta’min tersebut bukan musafir dan utusan politik. Berakhirnya masa aman bagi mereka terkait dengan berakhirnya kepentingan atau urusan musta’min itu sendiri. Pembatasan masa aman ini dikhususkan hanya bagi laki-laki, sedangkan bagi perempuan tidak dikaitkan dengan waktu tertentu. Menurut Mazhab Maliki, keamanan yang tidak dibatasi oleh waktu dengan sendirinya berakhir setelah melewati masa empat bulan. Sedangkan keamanan yang dibatasi waktu tertentu berakhir sesuai masanya, selama perjanjian tersebut tidak dibatalkan. Mazhab Hanafi dan Syiah Zaidiyah membahas masa aman maksimal selama setahun. Bila lewat masa setahun, maka si musta’min wajib membayar jizyah kepada pemerintah Islam, sebagaimana halnya ahl al-zimmi. Sementara Mazhab Hambali memberi batasan waktu yang lebih luas dan lama, yaitu empat tahun. Ahmad Ibn Hambal merujuk pendapatnya berdasarkan pada kenyataan sejarah bahwa para anggota korps diplomatik memperoleh jaminan keamanan selama tiga hingga empat tahun. 37 37 Ibid., h. 237. Istilah musta’min juga dapat digunakan untuk orang-orang Islam dan ahl al-dzimmi yang memasuki wilayah Dar al-harb dengan mendapat izin dan jaminan keamanan dari pemerintah setempat. Hal ini diakui selama mereka hanya menetap sementara di tempat tersebut dan kembali ke Dar al-Islam sebelum izinnya habis. Status yang bersangkutan masih tetap muslim, selama ia tidak murtad. Bila murtad maka ia menjadi harbiyun. 1. Hak dan Kewajiban Warga Negara Setiap orang Islam, baik yang asli penduduk setempat atau mendatang pendatang, wisatawan, tetamu, pelarian dan lain-lain mendapat hak asasi yang sama saja. Orang kaya maupun orang miskin tidak dibeda-bedakan dalam urusan mendapatkan hak-hak asasi. Yaitu: 1. Kebebasan untuk memiliki rumah, harta dan lain-lain. 2. Kebebasan bekerja dan berbicara. 3. Peluang belajar di dalam dan luar negeri. 4. Melaksanakan dan mengurus hak-hak agama. 5. Kalau dihina akan dilindungi dan penghina itu akan dihukum. 6. Mempertahankan kehormatan diri, harta, keluarga dan lain-lain. Bahkan dalam jaran Islam seorang yang mati karena mempertahankan dirinya, harga dirinya, keluarganya dan hartanya itu dianggap mati syahid. Rasulullah bersabda: Artinya: “Siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya maka dianggap syahid, dan siapa yang terbunuh karena mempertahankan darahnya maka dia juga syahid, siapa yang terbunuh karena mempertahankan agamanya maka dia syahid dan siapa yang terbunuh karena mempertahankan keluarganya maka dia juga syahid”. Riwayat Abu Daud dan At Tarmizi Itulah dia hak-hak asasi umat Islam secara umum dalam Negara Islam. Mereka dibolehkan, bahkan bebas berorganisasi, beraktivitas, berdagang, mengumpulkan harta, berjuang, menikmati hiburan, menulis, mengeluarkan pendapat dengan syarat tidak melanggar syariat Allah dan tidak melanggar hak asasi orang lain. Juga tidak bertentangan dengan perintah pemimpin bila perintah itu sesuai dengan ajaran Islam, arahan pemimpin yang tidak syari tidak wajib ditaati. Rasulullah SAW bersabda: Artinya: “Hormat dan patuh kepada orang Muslim adalah wajib, baik perkara itu disukai atau tidak selama tidak diperintahkan perkara maksiat. Apabila seseorang itu diperintahkan supaya melakukan maksiat maka tidak ada hormat dan ketaatan”. Riwayat Al Bukhari Adapun hak bagi warga negara bukan Islam ahl dzimmi, yaitu: 1. Kebebasan memiliki rumah dan harta. 2. Peluang-peluang belajar di dalam dan luar negeri. 3. Kebebasan bekerja dan berbicara dengan syarat tidak melanggar hak asasi orang lain. 4. Bebas menganut agama apapun. Pemerintah atau umat Islam tidak boleh memaksa mereka menganut Islam. Allah berfirman: Artinya: “Tiada paksaan dalam memilih agama”. 5. Berhak untuk menjadi pemimpin atau menteri-menteri di kalangan mereka. 6. Diberi perlindungan bila mereka dihina. Sekalipun yang menghina itu dari kalangan orang Islam sendiri, pasti dihukum. 7. Berhak mempertahankan harga diri, harta dan keluarga. Berbeda dengan umat Islam, warga negara bukan Islam tidak dikenakan zakat, fitrah, sedekah, berkorban dan lain-lain sebagai sumbangan kepada negara dan masyarakat. Dengan sumbangan tersebut negara akan jadi kuat dan dapat menguatkan individu-individu terutama orang-orang susah. Maka untuk tujuan yang sama di samping kepentingan-kepentingan keselamatan dan pengurusan mereka, Negara Islam menetapkan warganya yang bukan Islam mesti membayar jizyah atau pajak kepala, tidak ada pajak lainnya. Kadar pajak itu menurut taraf hidup dan kemampuan masing-masing seperti yang diputuskan oleh hakim atau ketua negara. 38

F. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Asas Kewarganegaraan Berdasarkan Sisi