Perencanaan senantiasa mengharapkan anggaran sektor kesehatan dapat disetujui sesuai dengan usulan yang disampaikan, mengingat usulan tersebut disusun sesuai
dengan kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat. Sementara informan legislatif Komisi Kesehatan DPRD harus mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah
sebagai acuan untuk menetapkan anggaran setiap sektor pembangunan, termasuk sektor kesehatan. Pada saat kondisi jumlah anggaran pembangunan terbatas, pihak
legislatif hanya menyetujui sebagian dari usulan yang ada.
5.3. Alokasi Anggaran Kesehatan
Persentase alokasi anggaran kesehatan di Kota Pematangsiantar tahun 2008 sebesar 8,16 dari total APBD. Jumlah anggaran tersebut tentu saja masih jauh dari
harapan atau hasil komitmen Bupati dan Walikota se-Indonesia tahun 2000 sebesar 15 alokasi anggaran pembangunan kesehatan masih sangat kurang yang tentu saja
berdampak tidak terlaksananya beberapa program pembangunan kesehatan yang diusulkan.
Persepsi seluruh informan tentang pentingnya sektor kesehatan dan anggaran kesehatan dalam pembangunan menunjukkan adanya disonansi pada saat melakukan
penetapan besaran anggaran untuk sektor kesehatan. Hal ini sesuai dengan Festinger Daft, 2003 yang mengembangkan teori disonansi kognitif yaitu sebuah kondisi
dimana dua sikap atau satu perilaku bertentangan dengan sikap lainnya. Mengacu kepada konsep disonansi kognitif tersebut disebutkan bahwa orang selalu ingin
Universitas Sumatera Utara
berperilaku selaras dengan sikapnya, dan biasanya akan mengambil tindakan korektif untuk mengurangi disonansi dan mencapai keseimbangan.
Penyusunan anggaran kesehatan seperti yang terjadi di Kota Pematangsiantar menunjukkan persepsi yang baik tentang kesehatan dan anggaran kesehatan ternyata
tidak di ikuti dengan penganggaran biaya sektor kesehatan sesuai dengan yang diusulkan Dinas Kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa kadangkala seseorang
mungkin menyadari bahwa sikap atau persepsinya tidak direfleksikan dalam perilakunya. Disonansi kognitif antara persepsi tentang kesehatan dan anggaran
kesehatan dengan perilaku dalam penganggaran biaya sektor kesehatan secara umum disadari oleh informan legislatif khususnya, namun disonansi kognitif tidak dapat
dihindarkan karena dalam kondisi kemampuan keuangan daerah yang tidak mencukupi menyebabkan persepsi yang baik tentang kesehatan tidak dapat
diimplementasikan dalam jumlah anggaran yang sesuai dengan kebutuhan. Penyebab tidak sesuainya anggaran sektor kesehatan yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah dibandingkan usulan yang diajukan oleh Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar sebenarnya bukan pada tatanan persepsi tentang kesehatan, karena
hasil wawancara menunjukkan persepsi informan legislatif tentang kesehatan sebenarnya cukup responsif terhadap masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat.
Namun konsep pembagian anggaran daerah yang senantiasa harus mengakomodir seluruh usulan dari semua sektor pembangunan, mengakibatkan pihak legislatif yang
memiliki hak budget harus menyesuaikan kemampuan keuangan daerah untuk pembiayaan seluruh sektor pembangunan yang ada. Meskipun demikian pihak Dinas
Universitas Sumatera Utara
Kesehatan Kota Pematangsiantar perlu meningkatkan advokasi secara terus menerus sehingga perhatian pihak legislatif terhadap sektor kesehatan lebih meningkat,
sehingga pada tahun anggaran berikutnya alokasi biaya kesehatan juga ditingkatkan. Dampak dari tidak sesuainya anggaran sektor kesehatan yang disetujui DPRD
Kota Pematangsiantar menyebabkan pihak Dinas Kesehatan juga mengalami kesulitan dalam melaksanakan program kesehatan berdasarkan rencana kerja atau
rencana kegiatan plan of action yang telah disusun. Meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, misalnya pelayanan kesehatan untuk
keluarga miskin yang juga menambah permasalahan semakin kompleksnya masalah kesehatan di Kota Pematangsiantar.
Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar berupaya memecahkan disonansi tersebut dengan membuat skala prioritas program kesehatan sehingga anggaran yang
tersedia dapat digunakan secara efektif dan efisien. Meskipun dalam menentukan skala prioritas kegiatan menyebabkan beberapa program yang sebenarnya sangat
dibutuhkan oleh masyarakat tidak dapat terealisasi akibat keterbatasan anggaran. Menurut Bappenas 2008, secara nasional peningkatan pengeluaran
pembangunan di tingkat kabupaten setelah tahun 2001 mungkin merupakan akibat dari desentralisasi. Hal ini mencerminkan perubahan yang menyebabkan sebagian
besar fungsi untuk layanan kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah tingkat daerah. Peningkatan pengeluaran pembangunan di tingkat pemerintah ini mungkin
diakibatkan oleh peningkatan pembelian dan pengadaan yang dilakukan kabupaten setelah desentralisasi.
Universitas Sumatera Utara
Pemberlakuan hibah DAK, yang diperuntukkan bagi infrastruktur, meningkatkan pengeluaran pembangunan dalam jumlah yang nyata, serta bersifat
relatif terhadap pada pengeluaran kepegawaian. Namun demikian, setelah tahun 2005, trend ini tampaknya berbalik, dengan pemerintah pusat sekali lagi memegang
peranan yang besar dalam hal pengeluaran pembangunan. Peningkatan dalam pengeluaran pusat tersebut sebagiannya dapat dijelaskan dengan pengeluaran melalui
pemberlakuan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Jamkesmas saat ini.
Menurut hasil Kajian Pengeluaran Publik Indonesia Untuk Sektor Kesehatan 2008, tingkat pengeluaran kesehatan masyarakat memiliki variasi cukup besar antar
daerah-daerah di Indonesia, dan hal ini belum tentu dapat dijelaskan oleh perbedaan- perbedaan dalam penghasilan atau status kesehatan. Sebagaimana diperkirakan,
pengeluaran pemerintah kabupatenkota untuk sektor kesehatan lebih tinggi untuk kabupaten yang mempunyai anggaran lebih besar dan pendapatan per kapita lebih
tinggi. Mengingat pendapatan asli daerah terbatas, maka pengeluaran-pengeluaran pemerintah di tingkat kabupatenkota sebagian besar mencerminkan perbedaan-
perbedaan yang terkait dengan besarnya dana yang berasal dari pemerintah pusat. Anggaran kesehatan terdiri dari biaya kesehatan langsung direct cost, biaya
untuk sektor fisik kesehatan, dan biaya kesehatan antar program kesehatan. a. Biaya kesehatan langsung direct cost, yaitu biaya kesehatan yang langsung
digunakan oleh masyarakat seperti makanan, obat dan pegawai yang kontak dengan masyarakat. Berdasarkan itu dihitung biaya tersebut makanan, obat dan
Universitas Sumatera Utara
gaji sebagai pendekatan direct cost. Obat dan makanan sangat jelas dinikmati langsung oleh masyarakat. Sedangkan gaji diasumsikan jumlah pegawai yang
melayani langsung masyarakat baik dalam gedung maupun luar gedung sebesar 75. Dengan kata lain. 75 gaji diasumsikan dalam rangka melayani pasien
dalam rangka melaksanakan public health program. b.
Biaya untuk sektor fisik kesehatan, secara umum daerah-daerah tidak menunjukkan suatu trend, yang dilihat adalah ada suatu expenditure untuk suatu
konstruksi secara insidental pada tahun-tahun tertentu terlihat besar, tetapi tahun selanjutnya kecil lagi. Kesimpulannya adalah kecurigaan terhadap daerah akan
dominan konstruksi fisik kesehatan sangat tidak beralasan karena rata-rata proporsi anggaran kesehatan fisik sektor kesehatan sebesar 10 – 15 merupakan
angka yang cukup toleransi. c. Biaya kesehatan antar program, biaya kesehatan antar program agak sulit untuk
dipilah, misalnya program yang bersifat promotif, preventif dan kuratif. Pendekatan yang digunakan adalah memilah anggaran di masing-masing sub
dinas kabupaten. Pada desentralisasi administrasi dan prosedur perencanaan dirasakan cukup
mudah karena dilakukan di daerah, dan SPM-pun dikeluarkan oleh Pemda dan tidak lagi oleh KPKN. Tapi yang menarik adalah waktu pelaksanaan anggaran sama saja.
Dalam era sentralisasi, anggaran dimulai bulan April, tetapi umumnya realisasi pada bulan Juli atau Agustus. Waktu pelaksanaan anggaran kira-kira harus mampu
menghabiskan anggaran satu tahun dalam setengah tahun.
Universitas Sumatera Utara
5.4. Anggaran dan Pencapaian Program Kesehatan