Persepsi Pemerintah Daerah Tentang Kesehatan Dan Pengaruhnya Terhadap Penganggaran Biaya Kesehatan Di Kota Pematangsiantar
PERSEPSI PEMERINTAH DAERAH TENTANG KESEHATAN
DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENGANGGARAN BIAYA
KESEHATAN DI KOTA PEMATANGSIANTAR
T E S I S
Oleh
RITHA NAINGGOLAN
057012025/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
PERSEPSI PEMERINTAH DAERAH TENTANG KESEHATAN
DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENGANGGARAN BIAYA
KESEHATAN DI KOTA PEMATANGSIANTAR
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
RITHA NAINGGOLAN
057012025/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
Judul Tesis : PERSEPSI PEMERINTAH DAERAH TENTANG KESEHATAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENGANGGARAN BIAYA KESEHATAN DI KOTA PEMATANGSIANTAR
Nama Mahasiswa : Ritha Nainggolan Nomor Induk Mahasiswa : 057012025
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Endang Sulistya Rini, SE, M.Si) (Drs. Amru Nasution, M.Kes) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (dr. Ria Masniari Lubis, M.Si)
(4)
Telah diuji pada
Tanggal : 17 Maret 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Endang Sulistya Rini, SE, M.Si Anggota : 1. Drs. Amru Nasution, M.Kes
2. Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, M.Si 3. Siti Khadijah Nasution, SKM, M.Kes
(5)
PERNYATAAN
PERSEPSI PEMERINTAH DAERAH TENTANG KESEHATAN
DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENGANGGARAN BIAYA
KESEHATAN DI KOTA PEMATANGSIANTAR
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 17 Maret 2010
(6)
ABSTRAK
Pembiayaan kesehatan di Kota Pematangsiantar masih jauh dari yang diharapkan, sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2008 pembiayaan kesehatan di Kota Pematangsiantar antara 6-8% dari seluruh APBD. Kebijakan pembiayaan kesehatan sangatlah tergantung dari cara pandang dan persepsi pemerintah daerah tentang kesehatan. Persepsi maupun cara pandang para pengambil keputusan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti peran dan perilaku eksekutif dan legislatif.
Penelitian kualitatif untuk menganalisis persepsi pemerintah daerah yang terkait dengan penganggaran kesehatan di Kota Pematangsiantar. Informan dalam penelitian ini adalah eksekutif dan legislatif yang terlibat dalam penganggaran biaya kesehatan sebanyak 5 orang, didukung petugas program kesehatan di Puskesmas Kota Pematangsiantar sebanyak 102 orang. Pengumpulan data meliputi data primer yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan data sekunder melalui cek data atau dokumen kepada 102 orang pelaksana program kesehatan di 17 puskemas serta instansi terkait. Data dianalisis dengan menggunakan teknik contents analysis.
Hasil penelitian menunjukkan informan eksekutif mengungkapkan persepsi lebih luas tentang program kesehatan yang bersifat lebih lengkap dibandingkan informan legislatif. Hal ini terkait dengan faktor fungsional eksekutif sebagai tenaga kesehatan, sehingga memiliki kerangka rujukan tentang kesehatan. Meski persepsinya baik namun anggaran sektor kesehatan di Kota Pematangsiantar tahun 2008 masih sebesar 8,16% dari total APBD. Jumlah ini belum sesuai dengan komitmen Bupati dan Walikota se-Indonesia tahun 2000 sebesar 15% alokasi anggaran pembangunan kesehatan. Anggaran pelaksanaan program kesehatan di Puskesmas Kota Pematangsiantar secara umum belum memadai untuk pelaksanaan program, sehingga tingkat pencapaian program kesehatan di puskesmas belum mencapai target.
Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar disarankan memiliki perda tentang penarikan sumber-sumber yang dapat meningkatkan pendapat asli daerah khususnya di bidang kesehatan, membuat sistem advokasi dan sosialisasi serta pendidikan dan pelatihan tentang penyusunan anggaran kesehatan.
(7)
ABSTRACT
Health financing in Pematangsiantar City still far from the expected. Since the year 2003 up to year 2008 health financing ranges from 6-8% of the entire budget. Health financing policy is depend on the perspective and perceptions about the health of local government. Perception and perspective decision makers are influenced by various factors such as the role and behavior of the executive and legislative.
The purpose of this research was to analyze the perceptions of local government relating to health budgeting in Pematangsiantar City. Its type was qualitative research. Informants in this research were the executive and legislative budgeting involved in health care financing as much as 5 Informants, supported by the program officer at the health center Pematangsiantar of 102 informants. The data for this study were obtained through in-depth interviews based on interview guidelines. The data obtained were analyzed using content analysis techniques.
The results showed the perception of executive informants about health is more completed than perception of legislatif informant. Its was related to their function as health officer, therfore they had reference in health. Although the perception were good, but the health sector budget in the year 2008 Pematangsiantar still 8.16% of the total budget. This amount was not in accordance with the commitment of District and Mayors across Indonesia in 2000 for 15% of health development budget allocation. Budget implementation of health programs at the health center Pematangsiantar are generally not sufficient for the implementation of the program, so that the level of achievement of health programs in health centers have not reached the target.
Pematangsiantar District of Health recommended to have regulation in accordance with program requirements to increase budget in health sector, enhance advocacy and socialization that the health budget process..
(8)
KATA PENGANTAR
Segala Puji Syukur penulis dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul " Persepsi Pemerintah Daerah tentang Kesehatan dan Pengaruhnya terhadap
Penganggaran Biaya Kesehatan di Kota Pematangsiantar".
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penulis, dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K). dr.Ria Masniari Lubis, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, dan juga kepada Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si selaku sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Endang Sulistya Rini, SE, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan Drs. Amru Nasution, M.Kes selaku
(9)
membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, M.Si dan Siti Khadijah Nasution, SKM, M.Kes selaku anggota komisi penguji yang memberikan masukan kepada penulis dalam perbaikan dan penyempurnaan penulisan tesis ini sampai selesai.
Terima kasih kepada Walikota Pematangsiantar Ir. RE. Siahaan yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan sekaligus memberikan izin belajar pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, serta menjadi informan. Terima kasih kepada seluruh informan: Bapak Drs. Midian Sianturi, Bapak dr. Ronald Saragih, Ibu Juniarito Pardede, SKM serta Bapak Drs. Zainal Purba, yang telah bersedia memberikan masukan dan keterangan yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
Terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada keluarga tercinta yang telah memberikan suport membantu dalam doa, moril dan materil. Khususnya kepada Ibunda Ny. Dolseria Nainggolan br. Siahaan dan anakku tercinta Tia Romarta Uli Siahaan.
Terima kasih juga para dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan,
(10)
semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, Maret 2010 Penulis
(11)
RIWAYAT HIDUP
Ritha Nainggolan, lahir pada tanggal 17 November 1961 di Pematangsiantar, anak ke tiga dari enam bersaudara dari pasangan Ayahanda Almarhum Drs. FA Nainggolan dan Ibunda D. Br Siahaan.
Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 1 Pematangsiantar selesai tahun 1973, Sekolah Menengah Pertama Negeri
1 Pematangsiantar selesai tahun 1976, Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Pematangsiantar selesai tahun 1980, Fakultas Kedokteran Gigi USU selesai tahun
1987.
Mulai bekerja sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil tahun 1987 di Puskesmas Seberlawan Kabupaten Simalungun, Tahun 1988 diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Puskesmas Seberlawan Kabupaten Simalungun sampai April tahun 1996. Tahun 1996 diangkat sebagai Kepala Seksi Penyuluhan Kesehatan Masyarakat di Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun sampai tahun 2000. Tahun 2000 diangkat menjadi Kepala Sub Dinas Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun sampai akhir tahun 2005. Tahun 2006 pindah tugas ke Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar sebagai Kepala Sub Dinas Kesehatan Masyarakat sampai Agustus tahun 2008. Kemudian sejak September 2008 diangkat menjadi Kepala Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar sampai saat ini.
Tahun 2005 penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN... xi
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 10
1.3. Tujuan Penelitian ... 10
1.4. Manfaat Penelitian ... 10
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 12
2.1. Persepsi ... 12
2.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Persepsi ... 17
2.3. Perhatian... 19
2.4. Pemerintah Daerah ... 19
2.5. Anggaran Kesehatan ... 20
2.6. Landasan Teori... 27
2.7. Ruang Lingkup dan Kerangka Pikir Penelitian... 27
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 29
3.1. Jenis Penelitian... 29
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29
3.3. Informan Penelitian... 29
3.4. Metode Penelitian ... 29
3.5. Definisi Istilah ... 31
3.6. Metode Analisis Data... 32
BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 33
4.1. Gambaran Umum Kota Pematangsiantar... 33
4.2. Karakteristik Informan ... 33
4.3 . Persepsi tentang Kesehatan ... 36 4.4. Anggaran Kesehatan dan Pencapaian Program Pelayanan
(13)
BAB 5 PEMBAHASAN ... 70
5.1. Persepsi tentang Kesehatan ... 70
5.2. Persepsi tentang Anggaran Kesehatan ... 74
5.3. Alokasi Anggaran Kesehatan... 79
5.4. Anggaran dan Pencapaian Program Kesehatan ... 84
5.5. Keterbatasan Penelitian... 89
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 91
6.1. Kesimpulan ... 91
6.2. Saran... 93
(14)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
4.1. Karakteristik Informan ... 35 4.2. Matrik Jawaban Informan tentang Pentingnya Kesehatan di Kota
Pematangsiantar ... 36 4.3. Matrik Jawaban Informan tentang Upaya Promotif dalam Pelayanan
Kesehatan di Kota Pematangsiantar... 37 4.4. Matrik Jawaban Informan tentang Upaya Preventif dalam Pelayanan
Kesehatan di Kota Pematangsiantar... 39 4.5. Matrik Jawaban Informan tentang Upaya Kuratif dalam Pelayanan
Kesehatan di Kota Pematangsiantar... 40 4.6. Matrik Jawaban Informan tentang Upaya Reabilitatif dalam Pelayanan
Kesehatan di Kota Pematangsiantar... 42 4.7. Angaran Kesehatan di Puskesmas Kota Pematangsiantar tahun 2008... 63 4.8. Pencapaian Program Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Kota
(15)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1.1. Trend Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Usulan serta Alokasi Dana untuk Sektor Kesehatan di Kota Pematangsiantar tahun
2003-2008 ... 6 2.1. Bagan Persepsi ... 13 2.2. Ruang Lingkup dan Kerangka Pikir Penelitian ... 28
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 98 2. Izin Penelitian dari Sekolah Pascasarjana USU Medan... 103
(17)
ABSTRAK
Pembiayaan kesehatan di Kota Pematangsiantar masih jauh dari yang diharapkan, sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2008 pembiayaan kesehatan di Kota Pematangsiantar antara 6-8% dari seluruh APBD. Kebijakan pembiayaan kesehatan sangatlah tergantung dari cara pandang dan persepsi pemerintah daerah tentang kesehatan. Persepsi maupun cara pandang para pengambil keputusan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti peran dan perilaku eksekutif dan legislatif.
Penelitian kualitatif untuk menganalisis persepsi pemerintah daerah yang terkait dengan penganggaran kesehatan di Kota Pematangsiantar. Informan dalam penelitian ini adalah eksekutif dan legislatif yang terlibat dalam penganggaran biaya kesehatan sebanyak 5 orang, didukung petugas program kesehatan di Puskesmas Kota Pematangsiantar sebanyak 102 orang. Pengumpulan data meliputi data primer yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan data sekunder melalui cek data atau dokumen kepada 102 orang pelaksana program kesehatan di 17 puskemas serta instansi terkait. Data dianalisis dengan menggunakan teknik contents analysis.
Hasil penelitian menunjukkan informan eksekutif mengungkapkan persepsi lebih luas tentang program kesehatan yang bersifat lebih lengkap dibandingkan informan legislatif. Hal ini terkait dengan faktor fungsional eksekutif sebagai tenaga kesehatan, sehingga memiliki kerangka rujukan tentang kesehatan. Meski persepsinya baik namun anggaran sektor kesehatan di Kota Pematangsiantar tahun 2008 masih sebesar 8,16% dari total APBD. Jumlah ini belum sesuai dengan komitmen Bupati dan Walikota se-Indonesia tahun 2000 sebesar 15% alokasi anggaran pembangunan kesehatan. Anggaran pelaksanaan program kesehatan di Puskesmas Kota Pematangsiantar secara umum belum memadai untuk pelaksanaan program, sehingga tingkat pencapaian program kesehatan di puskesmas belum mencapai target.
Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar disarankan memiliki perda tentang penarikan sumber-sumber yang dapat meningkatkan pendapat asli daerah khususnya di bidang kesehatan, membuat sistem advokasi dan sosialisasi serta pendidikan dan pelatihan tentang penyusunan anggaran kesehatan.
(18)
ABSTRACT
Health financing in Pematangsiantar City still far from the expected. Since the year 2003 up to year 2008 health financing ranges from 6-8% of the entire budget. Health financing policy is depend on the perspective and perceptions about the health of local government. Perception and perspective decision makers are influenced by various factors such as the role and behavior of the executive and legislative.
The purpose of this research was to analyze the perceptions of local government relating to health budgeting in Pematangsiantar City. Its type was qualitative research. Informants in this research were the executive and legislative budgeting involved in health care financing as much as 5 Informants, supported by the program officer at the health center Pematangsiantar of 102 informants. The data for this study were obtained through in-depth interviews based on interview guidelines. The data obtained were analyzed using content analysis techniques.
The results showed the perception of executive informants about health is more completed than perception of legislatif informant. Its was related to their function as health officer, therfore they had reference in health. Although the perception were good, but the health sector budget in the year 2008 Pematangsiantar still 8.16% of the total budget. This amount was not in accordance with the commitment of District and Mayors across Indonesia in 2000 for 15% of health development budget allocation. Budget implementation of health programs at the health center Pematangsiantar are generally not sufficient for the implementation of the program, so that the level of achievement of health programs in health centers have not reached the target.
Pematangsiantar District of Health recommended to have regulation in accordance with program requirements to increase budget in health sector, enhance advocacy and socialization that the health budget process..
(19)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pendekatan pelayanan kesehatan yang digunakan pada abad ke-21, mengacu kepada pandangan terhadap konsep sehat dengan perspektif yang lebih luas. Luasnya aspek itu seperti definisi sehat menurut WHO (World Health Organization), bahwa sehat merupakan suatu keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek fisik, emosi, sosial dan spiritual. Sehat itu sendiri dapat diartikan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UU No 36 Tahun 2009).
Upaya mencapai kondisi sehat tersebut dilakukan upaya kesehatan yaitu setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat (UU No 36 Tahun 2009).
Pelayanan kesehatan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang (UU) Nomor: 44 Tahun 2009, dinyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab melaksanakan pelayanan kesehatan, sehingga setiap penduduk memiliki kesempatan
(20)
yang sama dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan tanpa memandang latar belakang agama, suku, jenis kelamin, dan tingkat sosial ekonomi harus memperhatikan hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Implementasi UU Nomor: 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor: 34 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, memungkinkan daerah untuk mengatur keuangannya sendiri. Bila dulu kesehatan dibiayai dari pusat, sekarang alokasi anggaran untuk kesehatan tergantung kepada Pemerintah Daerah (Pemda).
Berbagai upaya telah dilakukan Departemen Kesehatan untuk memperbaiki dan meningkatkan alokasi dana kesehatan. Salah satu upaya adalah mengadakan pertemuan Bupati dan Walikota se-Indonesia Tahun 2000 dengan hasil kesepakatan bahwa porsi anggaran kesehatan akan ditingkatkan sehingga sesuai dengan kebutuhan berdasarkan standar WHO, yaitu minimal 5% dari Product Domestic Regional Bruto (PDRB) atau setara dengan minimal 15% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun dalam realisasinya kesepakatan tersebut masih merupakan wacana karena persentase anggaran kesehatan di banyak daerah di Indonesia tidak banyak bergeser dari kondisi sebelum desentralisasi yaitu berkisar antara 2,5%-4,0% dan maksimal 7% (Hendrartini dan Ali Mukti Gufron, 2004). Padahal alokasi anggaran kesehatan sesuai kesepakatan bupati-walikota se Indonesia pada tahun 2000 sebesar 15 % dari APBD. Selain itu upaya peningkatan alokasi anggaran untuk kesehatan diharapkan juga didukung oleh pemerintah daerah (Shihab, 2005).
(21)
Perhatian pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan saat ini masih sangat kurang. Hal ini dapat dilihat dari alokasi anggaran untuk Departemen Kesehatan dari tahun ke tahun sangat rendah, kurang dari 5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada tahun 1997/1998, alokasi anggaran untuk Departemen Kesehatan adalah 4,7% dari APBN dan hal ini mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 3,6%. Sementara itu di negara-negara yang sudah maju, alokasi anggaran untuk kesehatan mencapai 6%-15%. WHO menyatakan alokasi anggaran untuk kesehatan yang ideal adalah sekurang-kurangnya 5% dari anggaran belanja negara (APBN). Dari anggaran yang kecil ini, pengalokasiannya untuk pelayanan kesehatan masyarakat (promotif, kuratif, preventif dan rehabilitatif) sangat timpang atau tidak seimbang. Hal ini dapat dilihat dari alokasi anggaran rutin Departemen Kesehatan (Juanita, 2002).
Menurut Aryastami dkk. (2006), anggaran kesehatan sangat tergantung kepada pendapatan daerah dan anggaran daerah sepanjang adanya komitmen politik dari para penguasa daerah (pengambil keputusan). Komitmen para pengambil keputusan sangat mempengaruhi penganggaran atau alokasi biaya untuk sektor kesehatan.
Indonesia memiliki derajat kesehatan yang jauh tertinggal dibandingkan dengan derajat kesehatan penduduk negara-negara tetangga di ASEAN. Dalam suatu sistem input-process-output-outcome, derajat kesehatan yang biasa diukur dengan angka kematian ibu, angka kematian bayi dan usia harapan hidup merupakan suatu
(22)
outcome atau hasil akhir dari suatu sistem kesehatan. Laporan WHO tahun 2000
menunjukkan bahwa peranan dana sebagai salah satu input sangat menentukan derajat kesehatan suatu negara (Thabrany, 2005).
Menurut hasil penelitian Laode dkk. (2006) di Dinas Kesehatan Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara, alokasi anggaran yang diperoleh Dinas Kesehatan pada era desentralisasi tidak sesuai dengan usulan anggaran, sehingga belum dapat mencukupi kebutuhan program dan ada beberapa kegiatan maupun program puskesmas yang tidak dapat dilaksanakan karena keterbatasan anggaran. Diskusi Kelompok Terarah (DKT) terhadap para Kasubdin Dinas Kesehatan Kabupaten Muna menunjukkan bahwa masih banyak program dan kegiatan-kegiatan di Dinas Kesehatan yang tidak terbiayai karena rendahnya alokasi anggaran. Hasil cross-check terhadap dokumen usulan anggaran dalam Dokumen Usulan Proyek (DUP) dan Rincian Anggaran Satuan Kerja (RASK) dan dokumen yang telah disahkan dalam Daftar Isian Proyek (DIP) dan Daftar Anggaran Satuan Kerja (DASK) menunjukkan bahwa masih banyak usulan anggaran Dinas Kesehatan Kabupaten Muna yang tidak diakomodasi, sehingga realisasi anggaran hanya berkisar antara 47%-55% dari usulan anggaran. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi anggaran yang diperoleh belum dapat mencukupi kebutuhan Dinas Kesehatan Kabupaten Muna.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa komitmen daerah menjadi salah satu faktor penentu dalam pembiayaan kesehatan. Hal ini dikemukakan oleh beberapa peneliti, di mana salah satu faktor yang menentukan kecukupan alokasi anggaran
(23)
kesehatan di daerah adalah skala prioritas bidang kesehatan di mata para pimpinan daerah dalam hal ini komitmen daerah (Harmana dan Wiku, 2006). Mutu pelayanan kesehatan pemerintah yang rendah diakibatkan oleh subsidi pemerintah yang terbatas. Kegagalan pemerintah dalam memberikan subsidi yang mencukupi bagi operasionalisasi maupun program/kegiatan, menyebabkan mutu pelayanan semakin rendah (Trisnantoro, 2006).
Indonesia Sehat 2010 yang dirinci ke dalam indikator-indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM) khususnya di Kota Pematangsiantar belumlah tercapai sedemikian rupa karena sangat erat kaitannya dengan pendanaan di daerah itu sendiri. Misalnya pencapaian cakupan pelayanan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan pelayanan dan perawatan balita gizi buruk pencapaiannya sekitar 80% di mana target SPM adalah 100%. Beberapa kegiatan yang semestinya dilakukan oleh pemerintah daerah khususnya Dinas Kesehatan selaku pelaksana kegiatan untuk sektor kesehatan, tidak terlaksana karena tidak didukung oleh dana yang semestinya tertampung dalam anggaran pemerintah daerah untuk sektor kesehatan. Kondisi di Kota Pematangsiantar Tahun 2008, anggaran yang dialokasikan kepada Dinas Kesehatan selaku pelaksana kesehatan di Kota Pematangsiantar hanya 8,16% dari APBN. Anggaran sektor kesehatan di Kota Pematangsiantar tahun 2003-2008 selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut.
(24)
467,506.63 76,315.32 38,157.66 396,752.57 46,914.55 23,457.28 314,236.48 35,869.66 17,934.83 219,287.90 33,986.11 16,993.06 214,843.26 28,464.11 14,232.05 165,944.00 20,735.86 10,367.93 2003 2004 2005 2006 2007 2008 APBD Usulan Alokasi
Gambar 1.1. Trend APBD dan Usulan serta Alokasi Dana untuk Sektor Kesehatan di Kota Pematangsiantar tahun 2003-2008 (dalam jutaan rupiah)
Sumber: Data diolah dari APBD Kota Pematangsiantar Tahun 2003 s/d 2008.
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa persentase alokasi biaya kesehatan di Kota Pematangsiantar mengalami peningkatan selama enam tahun terakhir yaitu dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2008. Hal ini tentu saja masih jauh dari harapan atau hasil komitmen Bupati dan Walikota se-Indonesia tahun 2000, di mana alokasi anggaran untuk sektor kesehatan adalah sebesar 15%. Dari Gambar 1 tersebut, bila dibandingkan dengan hasil kesepakatan tersebut maka Sektor Kesehatan di Kota Pematangsiantar masih kurang 6,84% atau dengan kata lain alokasi anggaran
(25)
pembangunan kesehatan masih sangat kurang yang tentu saja berdampak tidak terlaksananya beberapa program pembangunan kesehatan yang diusulkan.
Pengalokasian anggaran kesehatan sangat erat kaitannya dengan persepsi maupun cara pandang ataupun pemahaman para pengambil kebijakan di Kota Pematangsiantar tentang kesehatan. Bila saja para pengambil kebijakan memberi perhatian terhadap pembangunan sektor kesehatan maka porsi anggaran kemungkinan akan mendapat porsi yang sesuai dengan hasil komitmen tersebut. Akan tetapi, sering terjadi di berbagai daerah dan Kota Pematangsiantar khususnya, para pengambil kebijakan lebih beriorientasi terhadap pembangunan fisik sehingga usulan anggaran dari sektor kesehatan yang lebih berfokus kepada pembangunan non fisik menjadi terabaikan atau tidak mendapat persetujuan sehingga usulan anggaran tersebut tidak tertampung dalam APBD.
Kebijakan sistem pembiayaan kesehatan sangatlah tergantung dari cara pandang dan persepsi pemerintah daerah tentang kesehatan yang dalam hal ini para pengambil keputusan khususnya di Kota Pematangsiantar yang tentu saja berdampak terhadap dana yang akan dialokasikan. Persepsi maupun cara pandang para pengambil keputusan tentu saja dipengaruhi oleh berbagai kemungkinan faktor penyebab seperti pengetahuan para pengambil keputusan tentang kesehatan maupun kurangnya sosialisasi Dinas Kesehatan tentang program yang akan diusulkan serta
setting prioritas yang tidak jelas.
Berbagai program-program pembangunan kesehatan yang telah direncanakan di Kota Pematangsiantar tidak terlaksana, diakibatkan oleh alokasi dana yang
(26)
bersumber dari pemerintah daerah tidak sesuai dengan usulan maupun rencana yang diusulkan sebelumnya. Usulan anggaran untuk pembangunan kesehatan di Kota Pematangsiantar sering tidak ditampung di dalam APBD, seperti tahun 2008 usulan anggaran kesehatan sebesar Rp.76.315.320.000, namun yang disetujui hanya Rp. 38.157.600.000, sehingga banyak program maupun kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan disebabkan keterbatasan maupun tidak adanya anggaran untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Hal ini menyebabkan pembangunan kesehatan di Kota Pematangsiantar kurang berhasil dan bahkan sangat jauh dari target-target yang telah disusun sebelumnya.
Menurut Hasbullah (2005), ada dua masalah pembiayaan kesehatan di Indonesia yang merupakan isu penting pada saat ini dan sangat dirasakan akibatnya oleh masyarakat yaitu di satu pihak biaya kesehatan semakin mahal, dipihak lain adanya keterbatasan anggaran pemerintah untuk kesehatan. Dengan demikian sebagian besar biaya kesehatan (70 %) ditanggung oleh masyarakat dan dari biaya tersebut 85 % dibayar secara langsung oleh masyarakat dari kantong sendiri dan hanya sebagian kecil (sekitar 15 %) saja dibayar melalui asuransi. Akibatnya masyarakat harus menyediakan dana tunai apabila mereka memerlukan pemeliharaan kesehatan dan bagi yang tidak mampu menyediakan dana tunai, mereka tidak akan akses atau mendapatkan pelayanan kesehatan. Dampaknya adalah meningkatnya kejadian sakit yang diikuti kematian. Hal ini berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat yaitu menjadi semakin buruk.
(27)
Pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin diupayakan pemerintah melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Program Jamkesmas mulai digulirkan awal tahun 2008, tujuannya untuk meningkatkan akses keluarga miskin dan kurang mampu dengan menyediakan jaminan pelayanan kesehatan gratis pada rumah sakit, puskesmas atau penyedia layanan kesehatan lainnya. Melalui Jamkesmas diharapkan kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat miskin makin meningkat dan pengelolaan keuangan lebih transparansi dan akuntabel (Depkes RI, 2008).
Pelayanan kesehatan di puskesmas dengan paradigma pembangunan kesehatan menjadi ‘paradigma sehat’, maka pembangunan kesehatan menjadi lebih fokus pada upaya preventif dan kuratif tanpa mengabaikan kuratif-rehabilitatif. Upaya pelayanan kuratif di puskesmas dilakukan melalui program kesehatan dasar sebagai program minimal yang harus dilaksanakan oleh tiap puskesmas, yang dikemas dalam “basic six” (Depkes RI, 2004)
Mengacu kepada kondisi pembiayaan sektor kesehatan yang telah diuraikan di atas, maka fokus penelitian yang terkait dengan anggaran sektor kesehatan di Kota Pematangsiatar adalah persepsi pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) tentang kesehatan, meliputi aspek pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Selanjutnya bagaimana pemerintah daerah mempersepsikan anggaran kesehatan dan bagaimana proses penganggaran sektor kesehatan yang akan digunakan dalam pelaksanaan program pelayanan kesehatan, termasuk peningkatan sarana kesehatan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang kesehatan. Serta untuk menelah hambatan-hambatan yang ditemukan dalam proses penganggaran sektor kesehatan.
(28)
Berdasarkan paparan di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang cara pandang atau persepsi pemerintah daerah tentang kesehatan dan pengaruhnya terhadap alokasi penganggaran biaya kesehatan di Kota Pemantang Siantar untuk menjamin pemeliharaan pelayanan kesehatan masyarakat serta tercapainya Indonesia Sehat 2010.
1.2. Permasalahan
Bagaimana persepsi Pemerintah Daerah tentang kesehatan dan pengaruhnya terhadap penganggaran biaya kesehatan dalam upaya pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat di Kota Pematangsiantar ?
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis persepsi Pemerintah Daerah tentang kesehatan dan pengaruhnya terhadap penganggaran biaya untuk sektor kesehatan dan pencapaian program kesehatan di Kota Pematangsiantar.
1.4. Manfaat Penelitian
1 Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi para pemerintah daerah Kota Pematangsiantar sebagai pengambil kebijakan anggaran sektor kesehatan.
2. Sebagai bahan masukan untuk Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar dalam upaya pengusulan anggaran kesehatan dimasa yang akan datang.
(29)
3. Sebagai bahan referensi dalam pengembangan keilmuan khususnya di Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan (AKK) Universitas Sumatera Utara.
(30)
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Persepsi
Secara umum perilaku mempunyai pengertian, segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh mahluk hidup dan perilaku itu sendiri dapat pula bersifat potensial yakni dalam bentuk pengetahuan, motivasi dan persepsi (Notoadmojo, 1984). Dengan kata lain bahwa persepsi tersebut merupakan bentuk perilaku manusia dalam tindakannya keseharian.
Defenisi lain dari persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan pada proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Stimulus yang diindera itu kemudian oleh individu diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diindera itu (Walgito, 1980).
Setiap orang dapat berbeda persepsi meskipun objek yang dilihatnya sama dan setiap orang juga secara bebas dapat mempersepsikan segala sesuatunya dan tentu saja sangat tergantung kepada bagaimana seseorang itu melihat objek tersebut.
Pengertian persepsi seperti yang dikemukakan oleh Mar’at (1981), bahwa persepsi merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen
(31)
kognisi dan persepsi itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses yang dimulai dari diterimanya suatu rangsangan (penginderaan=sensation) yang meliputi objek, kualitas, hubungan antargejala, maupun peristiwa; interpretasi terhadap rangsangan-rangsangan tersebut sampai rangsangan-rangsangan itu disadari dan dimengerti. Oleh karena itu persepsi boleh dikatakan sebagai interpretasi/penafsiran dari pengalaman (the
interpretation of experience). Persepsi terjadi sesudah penginderaan.
Manusia mengamati suatu objek psikologis dengan kacamatanya sendiri yang diwarnai oleh nilai dari kepribadiannya. Sedangkan objek psikologis itu sendiri dapat berupa kejadian, ide atau situasi tertentu. Faktor-faktor pengalaman, proses belajar maupun sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap apa yang dilihat. Sedangkan cakrawalanya memberikan arti terhadap objek psikologis tersebut. Melalui komponen tersebut akan timbul ide, kemudian konsep mengenai apa atau sesuatu yang dilihat. Selanjutnya komponen afeksi memberikan evaluasi emosional (senang atau tidak senang) terhadap objek tersebut, selanjutnya komponen konasi yang menentukan kesediaan/kesiapan jawaban berupa tindakan terhadap objek. Atas dasar tindakan ini maka situasi yang semula kurang seimbang menjadi seimbang kembali. Keseimbangan ini berarti bahwa antara objek yang dilihat sesuai dengan penghayatannya dimana unsur nilai dan norma dirinya dapat menerima secara rasional dan emosional. Jika situasi ini tercapai maka individu menolak dan reaksi yang timbul adalah sikap apatis acuh tak acuh. Keseimbangan ini dapat kembali jika
(32)
persepsi dapat diubah melalui komponen kognisi atau pengamatan. Untuk menyimpulkan uraian di atas, Mar’at (1981) membuat Gambar 2.1 berikut ini.
Gambar 2.1. Bagan persepsi Sumber : Mar’at (1981)
Menurut Walgito (1980) bahwa dalam persepsi, stmulus dapat datang dari luar, tetapi juga dapat datang dalam diri individu sendiri. Namun demikian sebagian besar stimulus datang dari luar individu yang bersangkutan. Sekalipun persepsi dapat melalui bermacam-macam alat indera yang ada pada diri individu, tetapi sebagian besar persepsi melalui alat indera penglihatan.
(33)
Persepsi merupakan aktifitas yang integrated dalam diri individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan karena perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan individu lain. Persepsi itu bersifat individual.
Proses pemaknaan yang bersifat psikologis sangat dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan dan lingkungan sosial secara umum. Sarwono mengemukakan bahwa persepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman dan cara berpikir serta keadaan perasaan atau minat tiap-tiap orang sehingga persepsi seringkali dipandang bersifat subjektif. Karena itu tidak mengherankan jika seringkali terjadi perbedaan paham yang disebabkan oleh perbedaan persepsi antara 2 orang terhadap 1 objek.
Walgito (1980) juga mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) faktor yang berperan dalam persepsi yaitu:
1. Objek yang dipersepsi; objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor, namun sebagian besar stimulus datang dari luar individu.
2. Alat indera, syaraf dan pusat susunan syaraf; alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus yang diteruskan ke pusat susunan syaraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran.
(34)
3. Perhatian; untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, dimana perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktifitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekelompok objek.
4. Makin diperhatikan sesuatu objek akan makin disadari objek itu dan makin jelas bagi individu (Harriman, 1958).
Berbagai penelitian yang dilakukan oleh Wertheimer, dkk., tentang persepsi yang melahirkan berbagai hukum-hukum yang dikemukakan oleh Walgito (1980) adalah sebagai berikut:
1. Hukum Pragnanz
Pragnanz artinya penting, meaningsful, penuh arti atau berarti. Jadi apa yang
dipersepsi itu mempunyai penuh arti atau meaningsful. 2. Hukum Figure-Ground
Dalam persepsi dikemukakan adanya dua bagian dalam perceptual field, yaitu
figure yang merupakan bagian yang dominan dan merupakan fokus perhatian dan ground yang melatarbelakangi atau melengkapi. Hal ini juga bergantung pada
perhatian seseorang dalam mengadakan persepsi itu. 3. Hukum Kedekatan
Apabila stimulus itu saling berdekatan satu dengan yang lain, akan adanya kecenderungan untuk dipersepsi sebagai suatu keseluruhan atau suatu gestalt. 4. Hukum Kesamaan (similitary)
(35)
5. Hukum Kontinuitas
Stimulus yang mempunyai kontinuitas satu dengan yang lain, akan terlihat dari
ground dan akan dipersepsi sebagai suatu kesatuan atau keseluruhan.
6. Hukum Kelengkapan atau Ketertutupan (closure)
Adanya kecenderungan orang mempersepsi sesuatu yang kurang lengkap menjadi lengkap, sehingga menjadi sesuatu yang penuh arti atau berarti.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Baltus (1983) adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan dan keterbatasan fisik dari alat indera dapat mempengaruhi persepsi untuk sementara waktu ataupun permanen.
2. Kondisi lingkungan.
3. Pengalaman masa lalu. Bagaimana cara individu untuk menginterpretasikan atau bereaksi terhadap suatu stimulus tergantung dari pengalaman masa lalunya.
4. Kebutuhan dan keinginan. Ketika seorang individu membutuhkan atau menginginkan sesuatu maka ia akan terus berfokus pada hal yang dibutuhkan dan diinginkannya tersebut.
5. Kepercayaan, prasangka dan nilai. Individu akan lebih memperhatikan dan menerima orang lain yang memiliki kepercayaan dan nilai yang sama dengannya. Sedangkan prasangka dapat menimbulkan bias dalam mempersepsi sesuatu.
2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
(36)
1. Faktor Fungsional
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan lain-lain yang termasuk dengan apa yang disebut sebagai faktor-faktor personal yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada stimulus tersebut. Faktor-faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi ini lazim disebut sebagai kerangka rujukan, sedangkan didalam kegiatan komunikasi, kerangka rujukan mempengaruhi bagaimana orang memberi makna pada pesan yang diterimanya. Misalnya seorang ahli komunikasi tidak akan memberikan pengertian apa-apa apabila seorang ahli kedokteran berbicara tentang fluor albus, adnesitis dan lain-lain, karena ahli komunikasi tidak memiliki kerangka rujukan untuk memahami istilah-istilah kedokteran.
2. Faktor Struktural
Faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimulus fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Bila kita mempersepsikan sesuatu, maka kita mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan, bukan melihat bagian-bagiannya lalu menghimpunnya. Misalnya untuk dapat memahami seseorang maka kita harus melihatnya dalam konteksnya, dalam lingkungannya dan dalam masalah yang dihadapi.
Menurut Krech dan Crutchfield Tahun 1977 dalam Mar’at (1981), ada empat dalil tentang persepsi yakni:
(37)
3. Sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur pada umumnya ditentukan oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan
4. Objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu dengan lainnya, cenderung ditanggapi bagian dari struktur yang sama.
2.3. Perhatian
Perhatian merupakan syarat psikologis dalam individu mengadakan persepsi, yang merupakan langkah persiapan yaitu adanya kesediaan individu untuk mengadakan persepsi. Ditinjau dari segi timbulnya perhatian, perhatian dapat dibedakan atas perhatian spontan dan perhatian tidak spontan (Walgito, 1980):
1. Perhatian Spontan
Perhatian yang timbul dengan sendirinya dan erat hubungannya dengan minat individu. Apabila individu telah menaruh minat pada sesuatu objek, maka terhadap objek itu biasanya timbul perhatian yang spontan.
2. Perhatian Tidak Spontan
Perhatian yang ditimbulkan dengan sengaja, karena itu harus ada kemauan untuk menimbulkannya.
2.4. Pemerintah Daerah
Berdasarkan menurut UU No 32 Tahun 2004, pemerintahan Daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
(38)
Penyelenggaraan pemerintahan daerah kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah. Secara umum perangkat daerah terdiri dari unsur staff yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi diwadahi dalam lembaga sekretariat, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah, serta unsur pelaksanaan daerah yang diwadahi dalam lembaga dinas daerah.
2.5. Anggaran Kesehatan
Perkembangan kesehatan sangatlah berpengaruh dan dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi. Berkaitan dengan hal tersebut, besarnya alokasi dana merupakan salah satu unsur strategis dalam pembangunan kesehatan. Tersedianya alokasi dana yang memadai dan pemanfaatan yang efisien, serta pemerataan akan mendukung suksesnya pembangunan kesehatan (Akhirani dan Trisnantoro, 2004).
Berbicara tentang anggaran kesehatan di Indonesia menurut Ascobat Gani (2006), ada 6 (enam) hal yang berkaitan yaitu:
1. jumlahnya kecil,
2. kurangnya biaya operasional ,
3. kurangnya biaya untuk preventif dan promosi, 4. terlambat realisasi
5. tidak terkait dengan kinerja serta 6. inefisien.
(39)
Pembiayaan kesehatan berubah setelah desentralisasi kabupaten/kota. Dana pembangunan kesehatan bisa berasal Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), pinjaman luar negeri yang ditanggung pemerintah pusat juga bisa dari APBD, namun demikian masih ada daerah yang terbatas dalam penganggaran kesehatannya baik oleh karena anggaran daerah terbatas sekali atau memang daerah tidak memprioritaskan pembangunan kesehatan. Untuk menyiasati keterbatasan anggaran kesehatan tersebut diperlukan langkah-langkah yaitu berupa:
1. Upaya meningkatkan anggaran kesehatan.
Perlu ada upaya dari Daerah untuk meningkatkan anggaran kesehatan secara sistematis. Salah satu yang bisa dilakukan adalah melakukan advocacy
2. Pemetaan (mapping) daerah yang tidak mampu.
Langkah selanjutnya yang penting dilakukan adalah mapping, seperti misalnya melakukan phisical capacity budget tiap kabupaten. Hal ini merupakan langkah untuk mengetahui daerah-daerah yang kurang mampu sehingga dapat dijadikan dasar dilakukannya prioritas subsidi dari Pusat.
3. Patokan persentase tidak tepat untuk menentukan besaran anggaran kesehatan daerah. Hal ini dikarenakan akan terdapat daerah kaya yang sangat berlebihan dan untuk daerah miskin sangat memberatkan. Untuk mengetahui besaran anggaran yang dibutuhkan, dianjurkan Daerah melakukan health account. Instrumen untuk
Health Account sudah dikembangkan oleh WHO.
(40)
Rendahnya biaya kesehatan yang langsung merupakan salah satu penyebab mutu pelayanan kesehatan belum seperti yang diharapkan. Perlu dipikirkan mekanisme yang bersifat langsung untuk meningkatkan anggaran kesehatan.
5. Menghitung biaya untuk keluarga miskin (gakin).
Kebutuhan biaya pelayanan kesehatan untuk gakin belum pernah dihitung secara akademik. Untuk itu perlu melakukan analisis biaya dengan terlebih dahulu mendefinisikan jenis pelayanan esensial untuk penduduk miskin. Di samping itu juga perlu dilakukan mapping penduduk miskin.
Ada dua kemungkinan yang menyebabkan rendahnya biaya kesehatan di Indonesia, yaitu keuangan negara yang memang minim untuk membiayai pelayanan kesehatan serta kesehatan tidak termasuk dalam prioritas pembangunan.
Kebijakan yang pernah disepakati oleh para Bupati dan Walikota dalam era desentralisasi adalah alokasi dana APBD sebesar 15%, namun persentase anggaran kesehatan dibanyak daerah hanya berkisar antara 2,5%-4,0% dan maksimal 7% (Brotowasisto, 2000). Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa besarnya pembiayaan kesehatan dalam era desentralisasi tergantung pada daerah. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi anggaran yang diperoleh oleh Dinas Kesehatan belum dapat mencukupi kebutuhannya.
Hasil penelitian Laode dkk. (2005), menyatakan bahwa rendahnya alokasi anggaran yang diperoleh Dinas Kesehatan Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi Tenggara dimungkinkan karena terdapat beberapa kegiatan yang diusulkan dalam
(41)
anggaran tetapi tidak mendapat persetujuan dari eksekutif. Ada dua faktor yang memungkinkan terjadinya hal tersebut, yaitu:
1. rendahya pengetahuan tim anggaran eksekutif tentang kesehatan, sehingga kebijakan eksekutif dalam mengalokasikan anggaran APBD tidak didasarkan pada kebutuhan Dinas Kesehatan,
2. ketidakmampuan Sumber Daya Manusia (SDM) perencana Dinas Kesehatan dalam menyakinkan eksekutif tentang pentingnya pengalokasian anggaran untuk kegiatan tersebut.
Selain itu, hasil penelitian juga menjelaskan bahwa tidak dialokasikannya anggaran sesuai usulan, karena adanya kecenderungan Pemerintah Daerah untuk lebih memprioritaskan pembangunan fisik.
Arum (2006) menyatakan bahwa proses perencanaan dan penganggaran pada masa lalu bersifat top down, historical budget, waktu realisasi anggaran yang terlambat, pembangunan kesehatan berorentasi fisik, penganggaran yang komposisi investasi, operasional dan pemeliharaan yang tidak seimbang, dan proporsi biaya yang dikeluarkan berdasarkan tingkat institusional.
Penelitian di Tasikmalaya menunjukkan bahwa alokasi pembiayaan sektor kesehatan di tiap daerah, termasuk Kabupaten Tasikmalaya masih relatif rendah. Ditinjau dari sisi jumlah alokasi untuk sektor kesehatan, memang menunjukkan peningkatan jumlah, walaupun masih diperuntukkan bagi pengadaan obat-obatan dan peralatan. Sedangkan dana khusus pelayanan kesehatan dan lain-lainnya, hanya sekira 30% dari total anggaran kesehatan. Memang rata-rata daerah alokasi anggaran ada
(42)
tren kenaikan, tapi bila dilihat nilainya masih jauh dari harapan, misalnya saran bank dunia biaya ideal Rp 42.000,00/kapita/tahun. Pada umumnya dana yang ada lebih mengarahkan pada kebijakan pembiayaan pembangunan (Gani, 2004). Pembangunan sektor sosial, seperti kesehatan dan pendidikan, tidak memberikan hasil yang langsung tampak dibandingkan dengan pembangunan fisik, seperti pembuatan jalan, gedung dan sebagainya. Dikhawatirkan, pemerintah daerah (pemda) cenderung mengutamakan pembangunan fisik untuk memperlihatkan kinerjanya. Padahal dampak jangka panjang dari kurangnya investasi di bidang kesehatan dan pendidikan sudah terasa saat ini dan akan makin parah di masa mendatang.
Muharso (2001), menyatakan bahwa sumber dana di tingkat kabupaten/kota begitu banyak. Selain DAU ada dana bagi hasil dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta sumber daya alam, Dana Alokasi Khusus, pinjaman, sumbangan, serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa pajak, retribusi, dan keuntungan dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Alokasi anggaran di bidang kesehatan sangat minim, ini tercermin pada alokasi anggaran kesehatan belum pada peringkat atas. Alokasi anggaran kesehatan dalam APBN 2006 sebesar 10,8 triliun, atau 2,9 % dari APBN. Artinya, anggaran tersebut masih berada di urutan keenam, di bawah sektor pelayanan umum, pendidikan, ekonomi, pertahanan dan ketertiban dan keamanan. Seharusnya, alokasi anggaran kesehatan mencapai sekurang-kurangnya 5% dari APBN sesuai anjuran WHO. Dengan kondisi sekarang dan keterbatasan anggaran dari Pemerintah, cita-cita
(43)
tidak mudah. Dalam hal kesehatan ini, Pemerintah memang harus bertanggung jawab atas pemenuhan hak dasar rakyatnya berupa kesehatan. Namun kita juga menyadari bahwa tidak ada satu bangsapun di dunia yang menjadi sehat hanya dengan komitmen Pemerintah. Kesertaan masyarakat dalam upaya mencapai derajat kesehatan yang baik sangat diperlukan. Dalam jangka panjang, keberhasilan pembangunan kesehatan hanya bisa dicapai bila masyarakat didorong untuk berperan serta aktif dalam memperoleh haknya memperoleh kesehatan (Anonymous, 2006).
Menurut Syaukani, dkk. (2003), hubungan legislatif dan eksekutif mengandung implikasi positif dan negatif. Implikasi positif hubungan legislatif dan eksekutif, terutama peran legislatif yang diharapkan dapat lebih aktif dalam menangkap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, kemudian mengadopsinya dalam berbagai bentuk kebijakan publik di daerah bersama-sama dengan eksekutif. Implikasi negatif, apabila legislatif kurang aktif dalam menangkap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, sehingga serta kemungkinan terjadinya konflik berkepanjangan antara Eksekutif (Kepala Daerah) dengan Legislatif (DPRD). Hal tersebut dapat terjadi karena:
1. Gaya kepemimpinan Kepala Daerah dengan Pimpinan DPRD; 2. Latar belakang kepentingan;
3. Latar belakang pengalaman dalam berpolitik dan penyelenggaraan pemerintahan. Fungsi utama Legislatif mencakup fungsi representasi, legislasi, dan fungsi kontrol. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kebijakan publik yang
(44)
menguntungkan masyarakat akan bisa terwujud bila legislatif mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Permasalahan yang mungkin muncul adalah, bahwa kebijakan publik tidak akan muncul bila anggota legislatif kurang mempunyai kemauan dan kemampuan yang memadai sebagai wakil rakyat. Diperkirakan tidak semua wakil rakyat mampu menangkap aspirasi arus bawah dan memahami secara utuh kondisi masyarakatnya, keinginan, harapan dan kebutuhannya. Bila ini terjadi maka kemungkinan akan muncul kebijakan daerah yang justru tidak memihak kepada rakyat.
Permasalahan lain yang mungkin dihadapi daerah otonom adalah kenyataan adanya perbedaan kemampuan tiap daerah, baik dari segi keterbatasan anggaran maupun keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang tersedia. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa otonomi daerah satu sisi telah memberikan peluang kepada daerah untuk mengurus rumahtangganya sendiri; tapi pada sisi lain daerah menghadapi keterbatasan-keterbatasan sumber yang dimiliki. Pada kondisi yang demikian peran dan dukungan pemerintah pusat masih tetap diperlukan, baik dalam bentuk dana maupun berbagai kebijakan dan program kesehatan bagi seluruh rakyat. Upaya ini akan menghadapi kendala, terutama bila legislatif maupun ekskutif di daerah tidak mampu menangkap kebijakan dan program pusat atau tidak mempunyai pemahaman, persepsi atau pandangan yang sama terhadap kebijakan maupun program dimaksud.
(45)
Memperhatikan berbagai permasalahan tersebut di atas, tampaknya diperlukan upaya untuk membangun komitmen pemerintah dengan legislatif, serta persepsi atau pandangan lembaga tinggi di daerah (eksekutif dan legislatif) dalam kerangka realisasi pembangunan kesehatan. Upaya-upaya dimaksud akan lebih tepat sasaran, bila didukung dengan data dan informasi yang lengkap dan akurat. Data dan informasi dapat dihimpun melalui berbagai cara, antara lain melalui suatu studi, kajian atau penelitian. Sebagai langkah awal dalam membangun komitmen pemerintah dan legislatif maka diperlukan penelitian yang berkaitan dengan persepsi atau pandangan legislatif terhadap pembangunan kesehatan di daerah.
2.6. Landasan Teori
Persepsi merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi dan persepsi itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan (Mar’at 1981). Kemudian menurut Jalaluddin Rakhmat, persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (2005:51). Jadi persepsi merupakan pemahaman seseorang terhadap suatu objek tertentu secara keseluruhan.
Anggaran adalah besaran biaya yang dialokasikan untuk suatu rencana kegiatan. Aryastami dkk. (2006), anggaran kesehatan sangat tergantung kepada pendapatan daerah dan anggaran daerah sepanjang adanya komitmen politik dari para penguasa daerah (pengambil keputusan). Komitmen para pengambil keputusan sangat
(46)
mempengaruhi penganggaran atau alokasi biaya untuk sektor kesehatan. Salah satu faktor yang menentukan kecukupan alokasi anggaran kesehatan di daerah adalah skala prioritas bidang kesehatan di mata para pimpinan daerah dalam hal ini komitmen daerah (Harmana dan Wiku, 2006)
2.7. Ruang Lingkup dan Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat disusun ruang lingkup dan kerangka konsep penelitian, selengkapnya pada Gambar 2.2 berikut ini.
Alokasi Anggaran Kesehatan Persepsi Pemerintah
Daerah tentang Kesehatan:
Upaya (Promotif, preventif, Kuratif, Rehabilitatif) Sarana
SDM Kesehatan
Hambatan-hambatan
Pencapaian Program Kesehatan
(47)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian untuk mengungkapkan fenomena atau isu tentang persepsi tentang kesehatan dan anggaran kesehatan serta bagaimana pencapaian program kesehatan (Hamidi, 2005).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Pemerintah Kota Pematangsiantar. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai November 2008.
3.3. Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini terdiri dari kelompok atau unsur eksekutif dan legislatif pada Pemerintahan Kota Pematangsiantar pada periode 2004-2009 yang merupakan para pengambil keputusan di Pemerintah Daerah Kota Pematangsiantar yaitu sebanyak 5 (lima) orang yang terdiri dari Kepala Sub Dinas Bina Program dan Perencanaan Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar, Kepala Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar, Kepala Bappeda Kota Pematangsiantar, Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Pematangsiantar serta Walikota Pematangsiantar.
(48)
3.4. Metode Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen utama adalah peneliti sendiri dengan menggunakan panduan wawancara (lampiran 1).
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, yang diperoleh dari:
1. Data primer bersumber dari wawancara mendalam kepada Kepala Seksi Perencanaan Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar, Kepala Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar, Kepala Bappeda Kota Pematangsiantar, Ketua DPRD Kota Pematangsiantar serta Walikota Pematangsiantar, menggunakan panduan wawancara di mana hasil wawancara tersebut direkam secara langsung dengan menggunakan tape recorder. Wawancara mendalam ini dilaksanakan untuk memperoleh informasi tentang persepsi pemerintah daerah tentang kesehatan yang kaitannya dengan pengalokasian anggaran untuk sektor kesehatan
2. Data sekunder diperoleh dari: (a) 102 orang pelaksana program kesehatan di 17 puskemas yang ada di Kota Pematangsiantar meliputi: Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Gizi, Kesehatan Lingkungan, Promosi Kesehatan, Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit dan Pelayanan Kesehatan Dasar, tentang pencapaian program pelayanan kesehatan di Kota Pemtangsiantar, dan (b) Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar, Kantor Walikota Pematangsiantar dan Kantor DPRD kota Pematangsiantar, serta data yang lain yang mendukung dalam penelitian ini seperti keadaan geografis, distribusi penduduk dan penyebaran sarana pelayanan
(49)
3.5. Definisi Istilah
1. Pemerintah Daerah adalah Kepala Pemerintahan (Walikota) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Persepsi pemerintah daerah tentang kesehatan adalah pendapat atau tanggapan dalam bentuk ungkapan atau pernyataan dari Pemerintah Daerah (pengambil keputusan) yang dipengaruhi oleh informasi, pengalaman, wawasan dan pengetahuan yang berkaitan dengan kesehatan.
Secara spesifik definisi dari unsur-unsur persepsi tersebut adalah :
a. Informasi adalah keterangan atau pemberitahuan yang bersumber dari media cetak maupun media elektronik yang berkaitan dengan sektor kesehatan.
b. Pengalaman adalah aktivitas maupun bentuk kegiatan yang pernah dilaksanakan oleh seseorang pada masa lalu yang berkaitan dengan sektor kesehatan.
c. Wawasan adalah pemahaman maupun cara pandang seseorang terhadap sektor kesehatan
d. Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui oleh seseorang dalam memahami sektor kesehatan.
3. Biaya kesehatan adalah sejumlah biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di sarana pelayanan kesehatan.
(50)
4. Alokasi anggaran kesehatan adalah sejumlah biaya yang berasal dari APBD II (dua) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah untuk membiayai seluruh kegiatan maupun program yang berkaitan dengan pembangunan kesehatan.
5. Pencapaian program kesehatan adalah persentase keberhasilan pencapaian pelaksanaan program kesehatan di puskesmas, meliputi program KIA, Gizi, Kesehatan Lingkungan, Promosi Kesehatan, Pencebahan dan Pemberantasan Penyakit dan Pelayanan Kesehatan Dasar dibandingkan sasaran program tersebut.
3.6. Metode Analisis Data
Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, maka analisis data dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan editing data, mengorganisir data sesuai dengan variabel penelitian kemudian dilakukan analisis. Uji keabsahan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah triangulasi, dimana triangulasi meliputi triangulasi sumber, triangulasi metode dan triangulasi data (Hamidi, 2005). Analisis data penelitian ini menggunakan analisis isi (Content Analysis), yaitu menguraikan jawaban-jawaban berdasarkan fakta, dan dibuat matrik-matrik yang menjelaskan pengkategorisasian terhadap hasil yang ditemukan di lapangan dan dibandingkan dengan teori yang ada (Bungin, 2008).
(51)
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Kota Pematangsiantar
Kota Pematangsiantar berada di Provinsi Sumatera Utara pada garis 3001’09’’ - 2054’40’’ Lintang Utara dan 9906’23’’ - 9901’10’’ Bujur Timur, yang berada di tengah Kabupaten Simalungun, dengan jarak ke Ibukota Propinsi Sumatera Utara yaitu Kota Medan sejauh 128 km. Wilayah Kota Pematangsiantar memiliki luas daratan seluas 79,971 km2 yang terletak 400 meter di atas permukaan laut.
Struktur Wilayah Kota Pematangsiantar berwujud daerah perkotaan dengan pertanian berupa sawah dan ladang di pinggiran kota. Berhubung letaknya dekat garis khatulistiwa, Kota Pematangsiantar tergolong kedalam daerah tropis, daerah datar, beriklim sedang dengan suhu maksimum rata-rata 30,10C dan suhu maksimum rata-rata 20,60C.
Secara geografis wilayah Kota Pematangsiantar berbatasan dengan : sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Bahapal dan Desa Sinaksak, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Marihat Baris, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Karang Sari, dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Talun Kondot.
Wilayah administrasi Kota Pematangsiantar terbagi dalam 8 kecamatan dan 43 kelurahan, dengan luas masing-masing kecamatan sebagai berikut:
1. Kecamatan Siantar Marihat : 7,781 Km2 2. Kecamatan Siantar Selatan : 2,020 Km2 3. Kecamatan Siantar Barat : 3,205 Km2
(52)
4. Kecamatan Siantar Utara : 3,650 Km2 5. Kecamatan Siantar Timur : 3,520 Km2 6. Kecamatan Siantar Martoba : 19,022 Km2 7. Kecamatan Siantar Sitalasari : 22,723 Km2 8. Kecamatan Siantar Marimbun : 18,050 Km2
Jumlah penduduk Kota Pematangsiantar berdasarkan data Statistik Tahun 2008 adalah 249.983 jiwa dengan kepadatan penduduk 3.126 jiwa per km². Berdasarkan jenis kelamin, penduduk Kota Pematangsiantar lebih banyak perempuan daripada laki-laki yaitu 126.999 jiwa perempuan dan laki-laki sebanyak 122.986 jiwa, dengan sex ratio sebesar 96,8%.
Sarana pelayanan kesehatan di Kota Pematangsiantar terdiri dari 17 unit puskesmas, 1 unit rumah sakit pemerintah daerah (RSUD. Dr. Djasamen Saragih), 1 unit rumah sakit TNI/tentara, serta 5 unit rumah sakit swasta (RS. Harapan, RS. Horas Insani, RS. Vita Insani, RS. Tiara, dan RS.Suaka Insan).
Setiap sarana pelayanan kesehatan dilengkapi dengan fasilitas yang digunakan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat, sesuai dengan tingkatan atau status sarana pelayanan kesehatan tersebut. Sebagai unit pelayanan kesehatan masyarakat yang utama, puskesmas mampunyai unit pelayanan seperti Puskesmas Pembantu sebanyak 10 unit.
Selain sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah, klinik pengobatan swasta juga ada dan tersebar di seluruh wilayah Kota Pematangsiantar, yaitu: Balai
(53)
Pengobatan Umum sebanyak 22 unit, praktek dokter (spesialis, umum dan gigi) sebanyak 147 unit (Pematangsiantar Dalam Angka, 2008).
Sumber daya manusia tenaga kesehatan di Kota Pematangsiantar secara keseluruhan berjumlah 896 orang, dengan persentase tertinggi adalah perawat dan bidan sebanyak 603 orang, sedangkan paling sedikit adalah tenaga sanitasi dan kesehatan masyarakat masing-masing 7 orang.
4.2. Karakteristik Informan
Informan dalam penelitian ini berjumlah 5 orang, terdiri dari 4 orang mewakili eksekutif yaitu : Walikota Pematangsiantar, Kepala Badan Perencanaan Pembanguan Daerah (Bappeda) Kota Pematangsiantar, Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Seksi Perencanaan Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar, serta 1 orang mewakili legislatif yaitu Komisi Kesehatan DPRD, dengan karakteristik seperti pada Tabel 4.1. berikut.
Tabel 4.1. Karakteristik Informan
Informan Jenis Kelamin Umur Pendidikan
Walikota Pematangsiantar Laki-laki 49 S.1 Pertanian Kepala Bappeda
Kota Pematangsiantar Laki-laki 52 S.1 Ekonomi
Kepala Dinas Kesehatan
Kota Pematangsiantar Laki-laki 46 S.1 Kedokteran Kepala Sub. Dinas Bina Program
dan Perencanaan Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar
Perempuan 38 S.1 Kesehatan Masyarakat Komisi Kesehatan DPRD
(54)
Berdasarkan Tabel 4.1. di atas menunjukkan sebagian besar informan berjenis kelamin laki-laki (4 orang) dan hanya 1 orang perempuan, berusia antara 38 sampai 52 tahun, dengan tingkat pendidikan seluruhnya adalah tingkat Sarjana (S.1) dengan jurusan yang bevariasi.
Walikota Pematangsiantar dilihat dari tugas dan fungsinya sebagai kepala pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan, termasuk sebagai penentu usulan anggaran bidang kesehatan sebelum diajukan ke DPRD. Kepala Badan Perencanaan Pembanguan (Bappeda) Kota Pematangsiantar berperan sebagai mediator antara usulan anggaran yang diajukan dari Dinas Kesehatan sebelum disampaikan ke Walikota.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar merupakan pelaksana kegiatan pembangunan di sektor kesehatan, dimana dalam hal perencanaan dibantu Kepala Sub Dinas Bina Program dan Perencanaan Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar. Komisi Kesehatan DPRD Kota Pematangsiantar merupakan pihak legislatif yang mempunyai peran atau hak budget, khusus untuk sektor kesehatan melakukan pengkajian tentang usulan anggaran kesehatan sebelum disahkan dalam APBN.
4.3. Persepsi tentang Kesehatan
a. Persepsi Pemerintah Daerah tentang Pentingnya Kesehatan
Hasil penelitian menunjukkan pemahaman tentang pentingnya sektor kesehatan pada setiap informan relatif sama sesuai tingkat pengetahuannya, sesuai dengan item pertanyaan. Adapun jawaban informan dapat dilihat pada Tabel 4.2
(55)
Tabel 4.2. Matrik Jawaban Informan tentang Pentingnya Kesehatan di Kota Pematangsiantar
Informan Jawaban
Walikota Ya….kesehatan sangat penting, karena merupakan sektor utama dalam mencapai tujuan pembangunan nasional
Kepala Bappeda Berbicara tentang kesehatan terutama di kota Pematangsiantar sangat penting sekali karena menurut UUD 1945 yang dilakukan tentang kesehatan masyarakat. Jadi untuk itu kami menginginkan juga di Kota Pematangsiantar ini kesehatan masyarakat perlu ditingkatkan karena beberapa hal yang perlu disampaikan disini tentang pelayanan kepada masyarakat terutama di puskesmas yang perlu pelayanan cepat kepada masyarakat.
Kepala Dinas Kesehatan
Beberapa indikator utama keberhasilan pembangunan merupakan hasil dari upaya kesehatan, karena itu pembangunan sektor kesehatan sangat penting Kepala Sub Dinas
Bina Program dan Perencanaan Dinas Kesehatan
Pembangunan sektor kesehatan ya….dapat dikatakan yang paling penting dari semua sektor, oleh karena itu dibutuhkan perencanaan yang baik, sehingga program kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Komisi
Kesehatan DPRD
Ya…., kesehatan itu sangat penting, mengapa saya katakan begitu, karena memang manusia yang sehat tentu pikirannya juga sehat. Ya itu otomatis juga sehat, apa namanya…rohani dan lain- lainnya
Berdasarkan Tabel 4.2 di atas, maka dapat diketahui seluruh informan mengemukakan bahwa sektor kesehatan merupakan hal yang penting sesuai dengan pemahaman dan pengetahuannya tentang kesehatan. Dari keseluruhan ungkapan informan terdapat hal yang lebih spesifik tentang kualitas pelayanan, yang diperoleh dari jawaban sebagai berikut”
” Di Kota Pematangsiantar ini kesehatan masyarakat perlu ditingkatkan karena beberapa hal yang perlu disampaikan disini tentang pelayanan kepada masyarakat terutama di puskesmas yang perlu pelayanan cepat kepada masyarakat.”
b. Persepsi Pemerintah Daerah tentang Upaya Kesehatan: Promotif, Preventif, Kuratif dan Rehabilitatif Kesehatan di Kota Pematangsiantar
Hasil penelitian menunjukkan pemahaman tentang upaya kesehatan upaya yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif serta perkembangannya di
(56)
Kota Pematangsiantar pada setiap informan relatif sama dengan tingkat pengetahuannya dan informasi tentang kesehatan yang diperolehnya, sesuai dengan item pertanyaan. Adapun jawaban informan dapat dilihat pada Tabel 4.3
Tabel 4.3. Matrik Jawaban Informan tentang Upaya Promotif dalam Pelayanan Kesehatan di Kota Pematangsiantar
Informan Jawaban
Walikota Memang…dalam pembangunan kita bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Jadi ..ya.. kegiatan promotif harus ditingkatkan pada setiap sarana pelayanan kesehatan. Saya kira di Kota Siantar kegiatan promotif sudah dapat berjalan sesuai dengan program yang ada, meskipun disana sini masih perlu peningkatan
Kepala Bappeda Ya….promotif kan untuk meningkatkan kualitas kesehatan, seperti penyuluhan misalnya, untuk itu sarana kesehatan berperan utama dalam upaya ini. Namun sepengetahuan saya, di Kota Siantar promosi kesehatan baru belakangan ini disosialisasikan, ya.. mungkin karena program ini masih baru dikembangkan. Kepala Dinas
Kesehatan
Upaya kesehatan promotif merupakan tanggung jawab sektor kesehatan, disamping upaya lainnya. Untuk mendukung upaya ini di setiap unit pelayanan kesehatan seperti puskesmas sudah ada program promkes dengan tujuan utama untuk meningkatkan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS). Di Kota Pematangsiantar upaya promkes ini kita upayakan dengan adanya program Promkes secara khusus didukung tenaga fungsional penyuluh kesehatan. Kepala Sub Dinas
Bina Program dan Perencanaan Dinas Kesehatan
Sesuai dengan kondisi kesehatan masyarakat saat ini, ya...perlu ditingkatkan. Oleh karena itu pemerintah membuat program Promkes, dimana progam ini merupakan bagian dari pembangunan kesehatan secara keseluruhan. Kita rencanakan di Kota Siantar promkes dapat dikembangkan dengan dukungan dari pemerintah dan masyarakat
Komisi
Kesehatan DPRD
Promotif...! itu penting saya kira... ya... pelayanan kesehatan memang harus terus diupayakan dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dinas Kesehatan Kota Siantar dan jajarannya tentunya harus berperan lebih aktif lagi untuk melakukan pelayanan penyuluhan kepada masyarakat.
Berdasarkan Tabel 4.3 di atas, maka dapat diketahui ada 2 (dua) informan yang mengemukakan upaya pelayanan promotif dan perkembangannya di Kota Pematangsiantar secara umum, sementara 2 (dua) orang lainnya mengungkapkan indikator upaya promotif yang diperoleh dari jawaban sebagai berikut”
” Upaya kesehatan promotif merupakan tanggung jawab sektor kesehatan, disamping upaya lainnya. Untuk mendukung upaya ini di setiap unit pelayanan kesehatan seperti puskesmas sudah ada program promkes dengan
(57)
tujuan utama untuk meningkatkan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)...”
” Ya….promotif kan untuk meningkatkan kualitas kesehatan, seperti penyuluhan misalnya, untuk itu sarana kesehatan berperan utama dalam upaya ini....”
Informan yang mewakili legislatif (Komisi Kesehatan DPRD) mengungkapkan upaya promotif di Kota Pematangsiantar di ikuti dengan peningkatan peran Dinas Kesehatan, yang diperoleh dari jawaban sebagai berikut”
” Promotif...! itu penting saya kira... ya... pelayanan kesehatan memang harus terus diupayakan dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat....”
Tabel 4.4. Matrik Jawaban Informan tentang Upaya Preventif dalam Pelayanan Kesehatan di Kota Pematangsiantar
Informan Jawaban
Walikota Pelayanan preventif, ya….itu kan konsepnya pencegahan, Jadi memang mencegah tidak sakit masyarakat memang lebih baik, jadi perlulah lebih dikembangkan bagaimana sebaiknya melakukan pencegahan. Kegiatan preventif ini di Kota Siantar kita lakukan secara lintas sektor
Kepala Bappeda Menurut saya…. preventif dalam pelayanan kesehatan harus dikedepankan, ya….artinya mencegah kan lebih baik daripada mengobati, gitu kan… Namun kita sering kurang melakukan kegiatan preventif ini, kalau sudah sakit baru kita rasakan bahwa preventif itu penting. Sepanjang yang saya ketahui di Kota Siantar kegiatan preventif sudah berjalan sesuai program yang direncanakan. Kepala Dinas
Kesehatan
Pelayanan kesehatan yang bersifat preventif atau pencegahan, merupakan kegiatan atau program kesehatan yang senantiasa dilakukan terus menerus, karena dampak setiap penyakit yang timbul akan lebih besar bagi penderita sendiri, keluarganya bahkan masyarakat disekitarnya, apalagi penyakit yang timbul tersebut adalah penyakit menular. Dalam program kesehatan di Kota Siantar, upaya preventif ini tetap kita utamakan disamping juga pelaksanaan upaya lainnya.
Kepala Sub Dinas Bina Program dan Perencanaan Dinas Kesehatan
Konsep preventif di sini kan mencegah orang sehat tidak sampai jatuh sakit. Oleh karena itu memang dalam perencanaan pembangunan kesehatan di Kota Siantar selalu kita anggarkan secara berimbang
Komisi
Kesehatan DPRD
Program kesehatan kan sebenarnya memang harus dilakukan untuk mencegah …itukan preventif. jadi saya kira preventif dalam sektor kesehatan perlu dilakukan. Khusus di Kota Siantar saya kira… preventif harus ditingkatkan, ya.. disini peran Dinas Kesehatan harus ditingkatkan.
(58)
Berdasarkan Tabel 4.4 di atas, maka dapat diketahui ada 2 (dua) informan yang mengemukakan upaya pelayanan preventif dan perkembangannya di Kota Pematangsiantar secara umum, sementara 2 (dua) orang lainnya mengungkapkan indikator upaya preventif dengan menjelaskan dari aspek program dan perencanaan yang diperoleh dari jawaban sebagai berikut”
” Pelayanan kesehatan yang bersifat preventif atau pencegahan, merupakan kegiatan atau program kesehatan yang senantiasa dilakukan terus menerus, karena dampak setiap penyakit yang timbul akan lebih besar bagi penderita sendiri, keluarganya bahkan masyarakat disekitarnya, apalagi penyakit yang timbul tersebut adalah penyakit menular. Dalam program kesehatan di Kota Siantar, upaya preventif ini tetap kita utamakan disamping juga pelaksanaan upaya lainnya...”
” Konsep preventif di sini kan mencegah orang sehat tidak sampai jatuh sakit. Oleh karena itu memang dalam perencanaan pembangunan kesehatan di Kota Siantar selalu kita anggarkan secara berimbang....”
Informan yang mewakili legislatif (Komisi Kesehatan DPRD) mengungkapkan upaya preventif di Kota Pematangsiantar di ikuti dengan peningkatan peran Dinas Kesehatan, yang diperoleh dari jawaban sebagai berikut”
” Program kesehatan kan sebenarnya memang harus dilakukan untuk mencegah …itukan preventif. jadi saya kira preventif dalam sektor kesehatan perlu dilakukan. Khusus di Kota Siantar yasa kira… preventif harus ditingkatkan, ya.. disini peran Dinas Kesehatan harus ditingkatkan....”
Tabel 4.5. Matrik Jawaban Informan tentang Upaya Kuratif dalam Pelayanan Kesehatan di Kota Pematangsiantar
Informan Jawaban
Walikota Kegiatan kuratif, menurut saya….bagian utama dari fungsi sektor kesehatan, karena… pengobatan yang dilakukan di rumah sakit maupun puskesmas sampai saat ini merupakan kegiatan yang utama. Di Kota Siantar pelayanan pengobatan bagi pasien sudah didukung dengan pusksmas, rumah sakit dan rumah sakit
(59)
Tabel 4.5. Lanjutan
Kepala Bappeda Kuratif itu kan pengobatan ya….jadi pengobatan bagi penduduk Kota Siantar saat ini sudah didukung dengan sarana pelayanan yang memadai, karena saya lihat perkembangan dan pertambahan rumah sakit swata cukup banyak, misalnya Rumah Sakit Vita Insani, menurut saya…. rumah sakit ini cukup besar lah…! Kepala Dinas
Kesehatan
Pelayanan kuratif atau pengobatan itu kan merupakan tugas dan fungsi sektor kesehatan, maka setiap sarana pelayanan kesehatan harus melakukan upaya kuratif secara optimal. Pencapaian upaya kuratif di puskesmas dan rumah sakit di Kota Siantar tentunya …ya. dapat dilihat dari indikator kinerja rumah sakit misalnya BOR rumah sakit sudah cukup baik. Peningkatan pengobatan di rumah sakit ini semakin berkembang karena sekarang kan…ada pelayanan pengobatan secara gratis bagi penduduk miskin yaitu Jamkesmas.
Kepala Sub Dinas Bina Program dan Perencanaan Dinas Kesehatan
Upaya kesehatan dalam hal kuratif, menurut saya merupakan bagian terpenting dari program kesehatan. Jadi ya... dalam setiap perencanaan kegiatan kesehatan, bagian dari pengobatan masyarakat dialokasikan sesuai dengan kebutuhan. Program pengobatan saat ini saya kira mendapat dukungan yang baik dari pemerintah, dengan adanya anggaran kesehatan melalui Jamkesmas...ya...dengan demikian masyarakat miskin sangat terbantu.
Komisi Kesehatan DPRD
Kuratif dilakukan dengan pengobatan, begitukan kan ?… Menurut saya setiap orang yang sakit berhak mendapatkan pengobatan yang layak, itukan sudah sudah diatur dalam ketentuan pemerintah. Pengobatan masyarakat di Kota Siantar saat ini menurut saya sudah didukung dengan sarana dan tenaga kesehatan yang ada.
Berdasarkan Tabel 4.5 di atas, maka dapat diketahui ada 2 (dua) informan yang mengemukakan upaya pelayanan kuratif dan perkembangannya di Kota Pematangsiantar secara umum, sementara 2 (dua) orang lainnya mengungkapkan upaya kuratif dengan menjelaskan dari aspek program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bagi masyarakat miskin yang diperoleh dari jawaban sebagai berikut”
” Pencapaian upaya kuratif di puskesmas dan rumah sakit di Kota Siantar tentunya …ya. dapat dilihat dari indikator kinerja rumah sakit misalnya BOR rumah sakit sudah cukup baik. Peningkatan pengobatan di rumah sakit ini semakin berkembang karena sekarang kan…ada pelayanan pengobatan secara gratis bagi penduduk miskin yaitu Jamkesmas...”
” Program pengobatan saat ini saya kira mendapat dukungan yang baik dari pemerintah, dengan adanya anggaran kesehatan melalui Jamkesmas...ya...dengan demikian masyarakat miskin sangat terbantu....”
(60)
Informan yang mewakili legislatif (Komisi Kesehatan DPRD) mengungkapkan upaya kuratif di Kota Pematangsiantar di ikuti dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah, yang diperoleh dari jawaban sebagai berikut”
” Kuratif dilakukan dengan pengobatan, begitukan… Menurut saya setiap orang yang sakit berhak mendapatkan pengobatan yang layak, itukan sudah sudah diatur dalam ketentuan pemerintah....”
Tabel 4.6. Matrik Jawaban Informan tentang Upaya Reabilitatif dalam Pelayanan Kesehatan di Kota Pematangsiantar
Informan Jawaban
Walikota Program kesehatan di Kota Siantar ini tentunya dilakukan secara komprehensif, termasuk kegiatan rehabilitatif itu tadi…jadi, Dinas Keshatan Kota Siantar beserta jajarannya perlu meningkatkan kinerjanya dalam pelayanan rehabilitatif kepada masyarakat.
Kepala Bappeda
Melakukan rehabilitasi menurut saya…perlu dilakukan pada masyarakat dengan kondisi kesehatan tertentu, karena dalam konteks pembangunan sektor kesehatan harus dilakukan secara terpadu, termasuk melakukan rehabilitatif, Dinas Kesehatan Kota Siantar dalam hal ini tentunya berupaya sesuai rencana program yang telah dibuat.
Kepala Dinas Kesehatan
Upaya kesehatan dalam aspek rehabilitatif ditujukan kepada orang yang akibat penyakit yang dideritnya membutuhkan penanganan lebih lanjut, ya…kegiatan penanganan ini diharapkan dapat mengupayakan kondisi pasien kembali berfungsi seperti semua, atau paling tidak mengurangi beban bagi keluarganya. Pelayanan rehabilitatif yang kita lakukan di Kota Siantar disesuaikan dengan kebutuhan yang ada di masyarakat.
Kepala Sub Dinas Bina Program dan Perencanaan Dinas Kesehatan
Rencana kegiatan atau program kesehatan di Kota Siantar, ya...tentunya mencakup seluruh aspek yang diwajibkan dalam konsep pembangunan kesehatan secara nasional, tentu.... ya termasuk upaya rehabilitatif. Upaya rehabilitatif yang kita lakukan di Kota Siantar mengacu kepada sasaran yang membutuhkannya, sesuai dengan kondisi kesehatannya.
Komisi Kesehatan DPRD
Melakukan rehabilitasi dalam program kesehatan, menurut saya penting juga dilakukan…… ya…. jadi dalam pembangunan kesehatan kegiatan rehabilitatif di Kota Siantar selayaknya dikembangkan dengan mempertimbangkan kondisi kesehatan masyarakat di wilayah ini.
Berdasarkan Tabel 4.6 di atas, maka dapat diketahui ada 2 (dua) informan yang mengemukakan upaya pelayanan rehabilitatif dan perkembangannya di Kota
(1)
4. Anggaran sektor kesehatan di Kota Pematangsiantar tahun 2008 sebesar 8,16% dari total APBD. Jumlah ini belum sesuai dengan komitmen Bupati dan Walikota se-Indonesia tahun 2000 sebesar 15% alokasi anggaran pembangunan kesehatan.
5. Dalam penetapan anggaran sektor kesehatan di Kota Pematangsiantar terjadi
disonansi kognitif yaitu tidak sesuai persepsi dengan perilaku. Hal ini terjadi
karena persepsi yang baik tentang kesehatan tidak dapat diimplementasikan dalam perilaku dengan menganggarkan biaya kesehatan sesuai dengan usulan dan kebutuhan Dinas Kesehatan.
6. Anggaran pelaksanaan program kesehatan di Puskesmas Kota Pematangsiantar (KIA, Gizi, Kesehatan Lingkungan, Promosi Kesehatan, Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit dan Pelayanan Kesehatan Dasar) secara umum belum memadai untuk pelaksanaan program, sehingga tingkat pencapaian program kesehatan di puskesmas belum mencapai target.
(2)
6.2. Saran
1. Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar hendaknya mengusulkan pembuatan perda tentang perluasan sumber-sumber pendapatan asli daerah dari sektor kesehatan, serta advokasi dan sosialisasi kepada eksekutif dan Komisi Kesehatan DPRD Kota Pematangsiantar dalam proses penyusunan anggaran sehingga diperoleh anggaran sesuai kebutuhan program.
2. Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar hendaknya membuat sistem training
and development (pendidikan dan pelatihan) yang berkaitan dengan
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Akhirani dan L. Trisnantoro, 2004. Analisis Pembiayaan Kesehatan yang Bersumber dari Pemerintah melalui District Health Account di Kabupaten Sinjai. Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 07 (01):19-26.
Anonymous, 2006. Pembangunan Kesehatan Belum Jadi Prioritas. http://www.koalisi.org. Diakses tanggal 05 Mei 2007.
Arum, 2006. Pembiayaan Pembangunan Kesehatan di Kabupaten/Kota dalam Era
Desentralisasi. http://www.bappenas.go.id. Diakses tanggal 17 April 2007.
Aryastami, K., Ridwan Malik, Sang Ayu Made Tjerita, Ratih Ariningrum dan Selma Siahaan. 2006. Studi Optimalisasi Anggaran Pembangunan Kesehatan Di
Kabupaten/Kota. Abstrak Hasil Penelitian DIPA 2006. Jakarta: Puslitbang
Sistem dan Kebijakan Kesehatan.
Baltus, R.K. (1983). Personal Psychology for Life and Work. New York : Mc Graw Hill.
Bappenas., 2008. Pembiayaan pembangunan kesehatan di kabupaten/kota Dalam era
desentralisasi, Deputi Bidang Sumberdaya Manusia dan Kebudayaan, Jakarta. Brotowasisto, 2000. Pembiayaan kesehatan dan Permasalahannya di Indonesia.
Pusat Informasi Penanggulangan Krisis Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Bugin, Burhan., 2008. Penelitian Kualitatif, Komunikasi Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial lainnya, Jakarta: Penerbit Prenada Media Group.
Daft, RL, 2003. Manajemen, Edisi Kelima Jilid II, (alih bahahasa : Emil Salim dan Iman Karmawan), Jakarta: Penerbit Erlangga.
Gani, A., 2006. What Do You Think About Limited Health Financing In District. http://www.desentralisasi-kesehatan.net. Diakses tanggal 17 April 2007. _______________, 2004. Pembiayaan Kesehatan Masih Rendah.
http://www.pikiran-rakyat.com. Diakses tanggal 27 April 2007. Gani A.
Gottret, P. dan Schieber, G. 2006. Health Financing Revisited: A Practitioner’s
(4)
Hadi, E.N., 2000. Aplikasi Metode Kualitatif dalam Penelitian Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia bekerjasama dengan CIMU-Health The British Council.
Hamidi, 2005. Metode Penelitian Kualitatif, Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal
dan Laporan Penelitian, Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah
Malang.
Harmana T. dan Wiku B.A., Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembiayaan Kesehatan Daerah Bersumber Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun 2006. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 03
September: 134-145.
Harriman, P.L., 1958. An Outline of Modern Psychology. New Jersey: Littlefield Adams & Co.
Hendrartini, J. dan Ali Mukti Gufron., 2004. Perubahan dalam Pembiayaan
Kesehatan: Desentralisasi dan Jaminan Sosial Kesehatan. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional 3 Tahun Pelaksanaan Desentralisasi Kesehatan di Indonesia. Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK-UGM. Yogyakarta.
Indrawati, S.M., 2005. Rangkuman Hasil Konferensi Nasional Penanggulangan
Kemiskinan Dan Pencapaian Tujuan Milenium: Meningkatkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin. http://www.bappenas.go.id. Diakses tanggal 27
April 2007.
Irawa, Bambang., 2007. Analisis Perilaku Eksekutif dan Legislatif dalam Perencanaan Kesehatan di Kota Langsa. Master Theses / Public Health / Administrasi & Kebijakan Kesehatan, Universitas Sumatera Utara, Medan Rakhmat, Jalaluddin., 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Juanita, 2002. Peran Asuransi Kesehatan Dalam Benchmarking Rumah Sakit Dalam
Menghadapi Krisis Ekonomi. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Jurusan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Universitas Sumatera Utara.
Kusnanto, H., 2000. Metode Kualitatif dalam Riset Kesehatan. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Laode, A.S., Nanis Budiningsih dan Sigit Riyarto, 2005. Analisis Kesiapan Dinas Kesehatan dalam Mengalokasikan Anggaran Kesehatan pada Era Desentralisasi. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol.09, No. 01 Maret 2006: 10-18.
(5)
Mar’at, 1981. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Muharso, 2001. Perlu Dijamin, Alokasi Pembangunan Kesehatan di Daerah. http://www.kompas.com. Diakses tanggal 17 April 2007.
Muliadin, Mukti, A.G., dan Nanis Budinigsih, 2005. Analisis Pembiayaan Kesehatan
Keluarga Miskin di Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 08/No.03/September/2005.
Notoadmojo, S., 1984. Pengantar Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: BPKM FKM-UI.
Pemerintah Republik Indonesia, 1992. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
_______________, 2004. Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
_______________, 1999. Undang-undang nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Kota Pematang Siantar. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota
Pematang Siantar Tahun 2003 s/d 2006. Pemerintah Kota Pematang Siantar.
Shihab, A., 2005. Anggaran Kesehatan Maksimal Belum dapat Terpenuhi. http://www.tempointeraktif.com. Diakses tanggal 17 April 2007.
Syaukani, dkk., 2003. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tandon. A, 2006., Measuring Eficiency of Macro Systems: An Application to
Millennium Development Goal Attainment.” Asian Development Review,
22(2). Manila: Asian Development Bank
Thabrany, H., 2005. Pendanaan Kesehatan dan Alternatif Mobilisasi Dana
Kesehatan di Indonesia. Edisi I, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Trisnantoro, L., 2006. Tarif Pelayanan Kesehatan; Sekarang dan Kecenderungannya. Disajikan pada Konfrensi Nasional Praktik Pelayanan Kesehatan di Indonesia. 29-31 Agustus 2006 di Hotel Borobudur Jakarta.
Wagsta, A. and Claeson, M. 2004. The Millennium Development Goals for Health:
(6)
Walgito, B., 1980. Pengantar Psikologi Umum. Edisi IV. Yogyakarta: Andi Offset. Witono, Banu. 2003. Optimalisasi Peran DPRD dalam Pengawasan Keuangan
Daerah. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 2.
World Bank, 2007. World Development Indicators. WDI Online. Tersedia di: http://devdata.worldbank./dataonline.
Yin, R.K., 2004. Studi Kasus, Desain dan Metode. Penerjermah: M. Djauzi Mudzakir, Edisi Revisi, Cetakan Kelima, Jakarta: Rajagrafindo Persada.