Persepsi tentang Anggaran Kesehatan

5.2. Persepsi tentang Anggaran Kesehatan

Peningkatan anggaran kesehatan ini merupakan gambaran dari adanya respon yang baik dari pihak yang berperan dalam penyusunan anggaran kesehatan. Komisi Kesehatan DPRD Kota Pematangsiantar sebagai pihak legislatif mengungkapkan bahwa pembangunan sektor kesehatan merupakan bagian yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan secara keseluruhan. Persepsi legislatif tersebut sejalan dengan persepsi eksekutif tentang kesehatan, namun kesepahaman tersebut belum sepenuhnya mendukung penetapan anggaran kesehatan sesuai dengan usulan, hal ini terkait dengan keterbatasan kemampuan APBD Kota Pematangsiantar. Perencanaan dan penganggaran merupakan proses politik, hal ini akan menghasilkan kebijakan dan alokasi anggaran yang kurang optimal. Misalnya dalam sektor kesehatan, beberapa program yang dikenal sedikit mengeluarkan biaya namun efektif lebih disukai karena program-program tersebut lebih banyak menghasilkan keluaran yang nyata. Selain itu, pertimbangan rencana kerja dan anggaran sektoral oleh legislatif terkadang diperpanjang dengan rincian-rincian pelaksanaan, seperti bagaimana dan di mana fasilitas layanan masyarakat sebaiknya dibangun, sehingga mengacaukan rencana kerja yang telah dibuat berdasarkan fakta yang logis. Pemerintah dan legislatif, untuk memastikan bahwa kebijakan dan proses penganggaran mencapai hasil yang dimaksudkan dapat mempertimbangkan hal-hal berikut; i merujuk pada dokumen rencana kerja pemerintah yang telah disetujui yang menunjukkan prioritas dan kegiatan sektoral, ii Dengan terwujudnya penganggaran berbasis kinerja menjadi realitas di Indonesia, bidang khusus dan Universitas Sumatera Utara dengan tingkat yang lebih kecil, harus diberikan wewenang untuk menetapkan prioritas dan merancang kegiatan, dan iii membatasi peranan legislatif untuk penyediaan masukan umum dan pedoman selama pertimbangan anggaran dan rencana kerja pemerintah. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan penelitian, secara keseluruhan mengungkapkan perlunya alokasi anggaran sektor kesehatan sekitar 15 sesuai dengan kesepakatan bupati dan walikota seluruh Indonesia. Namun untuk mencapai anggaran kesehatan sesuai dengan kesepakatan tersebut dirasakan masih banyak menghadapi tantangan, mengingat secara keseluruhan anggaran pembangunan dan belanja daerah belum mencukupi untuk kebutuhan setiap sektor. Karena selain sektor kesehatan, beberapa sektor lainnya juga telah mempunyai komitmen untuk besaran tertentu, seperti anggaran sektor pendidikan sebesar 20. Walikota Pematangsiantar mengambil kebijakan yang dirasakan cukup logis berdasarkan kondisi keuangan saat ini. Kebijakan yang dimaksud disebutkan dengan konsep kerjasama lintas sektoral dalam pembangunan yang mendukung sektor kesehatan, misalnya untuk peningkatan kesehatan lingkungan dapat ditunjang oleh sektor lain seperti pembangunan drainase pembuangan air di sarana pelayanan umum seperti pusat pasar. Menurut pandangan walikota persentase anggaran kesehatan sebesar 15 dapat dicapai dengan anggapan anggaran sektor lain yang mendukung sektor kesehatan sebagai anggaran untuk kesehatan. Sikap dan pandangan Walikota Pematangsiantar serta kebijakan yang diambilnya terkait besaran anggaran kesehatan dapat dimengerti, namun pada tahun Universitas Sumatera Utara anggaran berikutnya Dinas Kesehatan sebagai institusi pelaksana pembangunan kesehatan harus memperjuangkan angaran kesehatan sebesar 15, karena mengacu kepada kesepakatan awal, bahwa jumlah 15 untuk anggaran kesehatan merupakan anggaran yang langsung dikelola oleh sektor kesehatan, bukan termasuk anggaran sektor lain yang mendukung pembangunan sektor kesehatan. Permasalahan yang dihadapi sektor kesehatan terkait dengan masalah anggaran, menurut Gani 2006 adalah: jumlahnya kecil, kurangnya biaya operasional, kurangnya biaya untuk preventif dan promosi, terlambat realisasi, tidak terkait dengan kinerja serta inefisien. Pembiayaan kesehatan berubah dengan adanya perubahan komposisi pembiayaan. Setelah desentralisasi kabupatenkota, dana pembangunan kesehatan bisa berasal Dana Alokasi Umum DAU, Dana Alokasi Khusus DAK, pinjaman luar negeri yang ditanggung pemerintah pusat juga bisa dari APBD, namun demikian masih ada daerah yang terbatas dalam penganggaran kesehatannya baik oleh karena anggaran daerah terbatas sekali atau memang daerah tidak memprioritaskan pembangunan kesehatan. Menurut Aryastami dkk. 2006, bahwa anggaran kesehatan sangat tergantung kepada pendapatan daerah dan anggaran daerah sepanjang adanya komitmen politik dari para penguasa daerah pengambil keputusan. Komitmen para pengambil keputusan sangat mempengaruhi penganggaran atau alokasi biaya untuk sektor kesehatan. Universitas Sumatera Utara Penelitian Harmana dan Wiku 2006, bahwa salah satu faktor yang menentukan kecukupan alokasi anggaran kesehatan di daerah adalah skala prioritas bidang kesehatan di mata para pimpinan daerah dalam hal ini komitmen daerah. Persepsi pemerintah daerah eksekutif dan legislatif di Kota Pematangsiantar tentang kesehatan dan anggaran kesehatan pada masing-masing informan dapat dijelaskan dengan mengacu kepada konsep persepsi menurut Mar’at 1981, yaitu merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi dan persepsi itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan. Berdasarkan konsep persepsi di atas, informan eksekutif maupun legislatif mengungkapkan pemahamannya tentang arti pentingnya peran sektor kesehatan dalam pembangunan daerah. Menurut Syaukani, dkk 2003, bahwa dalam konsep penganggaran terjadi hubungan yang mengandung implikasi positif dan negatif antara legislatif dengan eksekutif. Implikasi positif antara legislatif dan eksekutif, bila legislatif lebih aktif dalam menangkap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, kemudian mengadopsinya dalam berbagai bentuk kebijakan publik di daerah bersama-sama dengan eksekutif. Berdasarkan hasil penelitian dikaitkan dengan konsep implikasi positif hubungan legislatif dan eksekutif menurut Syaukani, dkk. 2003, dapat dijelaskan bahwa pada tatanan persepsi implikasi positif tersebut digambarkan dari kesamaan persepsi tentang pentingnya sektor kesehatan. Meskipun secara umum hasil penelitian menggambarkan kesamaan persepsi, namun informan eksekutif sebagai pelaksana Universitas Sumatera Utara program pembangunan kesehatan tentunya lebih mengetahui secara mendetail dan menyeluruh tentang program kesehatan. Misalnya tentang program kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, informan eksekutif lebih memahami apa dan bagaimana konsep dan kegiatan dalam program kesehatan tersebut secara terinci, hal ini dianggap wajar mengingat hal-hal tersebut merupakan bagian dari tugas dan fungsinya sebagai aparatur pemerintah di sektor kesehatan. Sedangkan informan legislatif mengungkapkan persepsinya tentang program kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif berdasarkan telaah secara umum tanpa menguraikan secara mendetail. Perbedaan persepsi tersebut sesuai pendapat Mar’at 1981 tentang faktor- faktor yang mempengaruhi persepsi, salah satunya adalah faktor fungsional. Faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi ini lazim disebut sebagai kerangka rujukan, kerangka rujukan tersebut mempengaruhi bagaimana orang memberi makna pada masalah yang ada. Dalam konteks ini seorang petugas kesehatan sebagai informan eksekutif akan memberikan pengertian secara luas dan lengkap tentang program kesehatan, sementara anggota Komisi Kesehatan DPRD sebagai informan legislatif apabila berbicara tentang kesehatan hanya akan mampu menjelaskan secara umum, karena anggota Komisi Kesehatan DPRD tidak memiliki kerangka rujukan yang cukup untuk memahami istilah-istilah kesehatan. Perbedaan yang nyata antara informan eksekutif maupun legislatif terlihat pada tatanan proses penetapan anggaran sektor kesehatan, dimana pihak eksekutif khususnya Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Sub Dinas Bina Program dan Universitas Sumatera Utara Perencanaan senantiasa mengharapkan anggaran sektor kesehatan dapat disetujui sesuai dengan usulan yang disampaikan, mengingat usulan tersebut disusun sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat. Sementara informan legislatif Komisi Kesehatan DPRD harus mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah sebagai acuan untuk menetapkan anggaran setiap sektor pembangunan, termasuk sektor kesehatan. Pada saat kondisi jumlah anggaran pembangunan terbatas, pihak legislatif hanya menyetujui sebagian dari usulan yang ada.

5.3. Alokasi Anggaran Kesehatan

Dokumen yang terkait

Persepsi Santri Tentang Pelayanan Kesehatan Dan Pengaruhnya Terhadap Pemanfaatan Balai Pengobatan Santri Dan Masyarakat (BPSM) “An-Nur" Di Pondok Pesantren Ar Raudhatul Hasanah Paya Bundung Medan Tahun 2003

2 56 89

Persepsi Pasien Tentang Mutu Pelayanan Rawat Inap Dan Pengaruhnya Terhadap Pulang Atas Permintaan Sendiri (Paps) Di Rsup H Adam Malik Medan

5 71 78

Persepsi Tunawisma Tentang Kesehatan Dan Pelayanan Kesehatan Terhadap Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Pemerintah Di Kota Medan Tahun 2003

1 28 80

Pengaruh Persepsi Mutu Pelayanan Terhadap Kepuasan Dan Minat Berkunjung Kembali Pasien Rawat Inap Di Puskesmas Bromo Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2009

16 84 108

Persepsi Auditor Dan User Tentang Independensi Akuntan Sebagai Perilaku Profesional Dan Pengaruhnya

0 20 1

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 922/MENKES/SK/X/2008 tentang Pedoman teknis pembagian urusan pemerintahan bidang kesehatan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota - [PERATURAN]

0 4 2

Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Kota di Dinas Kesehatan Kota Medan

0 3 88

Analisis Kinerja Pemerintah Daerah Kota padang di Bidang Kesehatan.

0 0 6

PERDA KABUPATEN OKU NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG TENTANG PBB

0 0 15

HUBUNGAN PERSEPSI KELUARGA TENTANG KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN DI FASILITAS KESEHATAN MILIK PEMERINTAH DENGAN PEMANFAATAN FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DI KECAMATAN DEPOK SLEMAN NASKAH PUBLIKASI - HUBUNGAN PERSEPSI KELUARGA TENTANG KUALITAS PELAYANAN KES

0 0 19