3. Sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur pada umumnya ditentukan oleh
sifat-sifat struktur secara keseluruhan 4.
Objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu dengan lainnya, cenderung ditanggapi bagian dari struktur yang sama.
2.3. Perhatian
Perhatian merupakan syarat psikologis dalam individu mengadakan persepsi, yang merupakan langkah persiapan yaitu adanya kesediaan individu untuk
mengadakan persepsi. Ditinjau dari segi timbulnya perhatian, perhatian dapat dibedakan atas perhatian spontan dan perhatian tidak spontan Walgito, 1980:
1. Perhatian Spontan
Perhatian yang timbul dengan sendirinya dan erat hubungannya dengan minat individu. Apabila individu telah menaruh minat pada sesuatu objek, maka
terhadap objek itu biasanya timbul perhatian yang spontan. 2.
Perhatian Tidak Spontan Perhatian yang ditimbulkan dengan sengaja, karena itu harus ada kemauan untuk
menimbulkannya.
2.4. Pemerintah Daerah
Berdasarkan menurut UU No 32 Tahun 2004, pemerintahan Daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah
yaitu Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD,
Universitas Sumatera Utara
Penyelenggaraan pemerintahan daerah kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah. Secara umum perangkat daerah terdiri dari unsur staff yang membantu
penyusunan kebijakan dan koordinasi diwadahi dalam lembaga sekretariat, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah
yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah, serta unsur pelaksanaan daerah yang diwadahi dalam lembaga dinas daerah.
2.5. Anggaran Kesehatan
Perkembangan kesehatan sangatlah berpengaruh dan dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi. Berkaitan dengan hal tersebut, besarnya alokasi dana
merupakan salah satu unsur strategis dalam pembangunan kesehatan. Tersedianya alokasi dana yang memadai dan pemanfaatan yang efisien, serta pemerataan akan
mendukung suksesnya pembangunan kesehatan Akhirani dan Trisnantoro, 2004. Berbicara tentang anggaran kesehatan di Indonesia menurut Ascobat Gani
2006, ada 6 enam hal yang berkaitan yaitu: 1.
jumlahnya kecil, 2.
kurangnya biaya operasional , 3.
kurangnya biaya untuk preventif dan promosi, 4.
terlambat realisasi 5.
tidak terkait dengan kinerja serta 6.
inefisien.
Universitas Sumatera Utara
Pembiayaan kesehatan berubah setelah desentralisasi kabupatenkota. Dana pembangunan kesehatan bisa berasal Dana Alokasi Umum DAU, Dana Alokasi
Khusus DAK, pinjaman luar negeri yang ditanggung pemerintah pusat juga bisa dari APBD, namun demikian masih ada daerah yang terbatas dalam penganggaran
kesehatannya baik oleh karena anggaran daerah terbatas sekali atau memang daerah tidak memprioritaskan pembangunan kesehatan. Untuk menyiasati keterbatasan
anggaran kesehatan tersebut diperlukan langkah-langkah yaitu berupa: 1.
Upaya meningkatkan anggaran kesehatan. Perlu ada upaya dari Daerah untuk meningkatkan anggaran kesehatan secara
sistematis. Salah satu yang bisa dilakukan adalah melakukan advocacy 2.
Pemetaan mapping daerah yang tidak mampu. Langkah selanjutnya yang penting dilakukan adalah mapping, seperti misalnya
melakukan phisical capacity budget tiap kabupaten. Hal ini merupakan langkah untuk mengetahui daerah-daerah yang kurang mampu sehingga dapat dijadikan
dasar dilakukannya prioritas subsidi dari Pusat. 3.
Patokan persentase tidak tepat untuk menentukan besaran anggaran kesehatan daerah. Hal ini dikarenakan akan terdapat daerah kaya yang sangat berlebihan dan
untuk daerah miskin sangat memberatkan. Untuk mengetahui besaran anggaran yang dibutuhkan, dianjurkan Daerah melakukan health account. Instrumen untuk
Health Account sudah dikembangkan oleh WHO. 4.
Memperbesar biaya kesehatan yang “direct cost”.
Universitas Sumatera Utara
Rendahnya biaya kesehatan yang langsung merupakan salah satu penyebab mutu pelayanan kesehatan belum seperti yang diharapkan. Perlu dipikirkan mekanisme
yang bersifat langsung untuk meningkatkan anggaran kesehatan. 5.
Menghitung biaya untuk keluarga miskin gakin. Kebutuhan biaya pelayanan kesehatan untuk gakin belum pernah dihitung secara
akademik. Untuk itu perlu melakukan analisis biaya dengan terlebih dahulu mendefinisikan jenis pelayanan esensial untuk penduduk miskin. Di samping itu
juga perlu dilakukan mapping penduduk miskin. Ada dua kemungkinan yang menyebabkan rendahnya biaya kesehatan di
Indonesia, yaitu keuangan negara yang memang minim untuk membiayai pelayanan kesehatan serta kesehatan tidak termasuk dalam prioritas pembangunan.
Kebijakan yang pernah disepakati oleh para Bupati dan Walikota dalam era desentralisasi adalah alokasi dana APBD sebesar 15, namun persentase anggaran
kesehatan dibanyak daerah hanya berkisar antara 2,5-4,0 dan maksimal 7 Brotowasisto, 2000. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa besarnya pembiayaan
kesehatan dalam era desentralisasi tergantung pada daerah. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi anggaran yang diperoleh oleh Dinas Kesehatan belum dapat
mencukupi kebutuhannya. Hasil penelitian Laode dkk. 2005, menyatakan bahwa rendahnya alokasi
anggaran yang diperoleh Dinas Kesehatan Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi Tenggara dimungkinkan karena terdapat beberapa kegiatan yang diusulkan dalam
Universitas Sumatera Utara
anggaran tetapi tidak mendapat persetujuan dari eksekutif. Ada dua faktor yang memungkinkan terjadinya hal tersebut, yaitu:
1. rendahya pengetahuan tim anggaran eksekutif tentang kesehatan, sehingga
kebijakan eksekutif dalam mengalokasikan anggaran APBD tidak didasarkan pada kebutuhan Dinas Kesehatan,
2. ketidakmampuan Sumber Daya Manusia SDM perencana Dinas Kesehatan
dalam menyakinkan eksekutif tentang pentingnya pengalokasian anggaran untuk kegiatan tersebut.
Selain itu, hasil penelitian juga menjelaskan bahwa tidak dialokasikannya anggaran sesuai usulan, karena adanya kecenderungan Pemerintah Daerah untuk lebih
memprioritaskan pembangunan fisik. Arum 2006 menyatakan bahwa proses perencanaan dan penganggaran pada
masa lalu bersifat top down, historical budget, waktu realisasi anggaran yang terlambat, pembangunan kesehatan berorentasi fisik, penganggaran yang komposisi
investasi, operasional dan pemeliharaan yang tidak seimbang, dan proporsi biaya yang dikeluarkan berdasarkan tingkat institusional.
Penelitian di Tasikmalaya menunjukkan bahwa alokasi pembiayaan sektor kesehatan di tiap daerah, termasuk Kabupaten Tasikmalaya masih relatif rendah.
Ditinjau dari sisi jumlah alokasi untuk sektor kesehatan, memang menunjukkan peningkatan jumlah, walaupun masih diperuntukkan bagi pengadaan obat-obatan dan
peralatan. Sedangkan dana khusus pelayanan kesehatan dan lain-lainnya, hanya sekira 30 dari total anggaran kesehatan. Memang rata-rata daerah alokasi anggaran ada
Universitas Sumatera Utara
tren kenaikan, tapi bila dilihat nilainya masih jauh dari harapan, misalnya saran bank dunia biaya ideal Rp 42.000,00kapitatahun. Pada umumnya dana yang ada lebih
mengarahkan pada kebijakan pembiayaan pembangunan Gani, 2004. Pembangunan sektor sosial, seperti kesehatan dan pendidikan, tidak memberikan hasil yang
langsung tampak dibandingkan dengan pembangunan fisik, seperti pembuatan jalan, gedung dan sebagainya. Dikhawatirkan, pemerintah daerah pemda cenderung
mengutamakan pembangunan fisik untuk memperlihatkan kinerjanya. Padahal dampak jangka panjang dari kurangnya investasi di bidang kesehatan dan pendidikan
sudah terasa saat ini dan akan makin parah di masa mendatang. Muharso 2001, menyatakan bahwa sumber dana di tingkat kabupatenkota
begitu banyak. Selain DAU ada dana bagi hasil dari Pajak Bumi dan Bangunan PBB serta sumber daya alam, Dana Alokasi Khusus, pinjaman, sumbangan, serta
Pendapatan Asli Daerah PAD berupa pajak, retribusi, dan keuntungan dari Badan Usaha Milik Daerah BUMD.
Alokasi anggaran di bidang kesehatan sangat minim, ini tercermin pada alokasi anggaran kesehatan belum pada peringkat atas. Alokasi anggaran kesehatan
dalam APBN 2006 sebesar 10,8 triliun, atau 2,9 dari APBN. Artinya, anggaran tersebut masih berada di urutan keenam, di bawah sektor pelayanan umum,
pendidikan, ekonomi, pertahanan dan ketertiban dan keamanan. Seharusnya, alokasi anggaran kesehatan mencapai sekurang-kurangnya 5 dari APBN sesuai anjuran
WHO. Dengan kondisi sekarang dan keterbatasan anggaran dari Pemerintah, cita-cita luhur untuk meningkatkan SDM Indonesia terutama di bidang kesehatan menjadi
Universitas Sumatera Utara
tidak mudah. Dalam hal kesehatan ini, Pemerintah memang harus bertanggung jawab atas pemenuhan hak dasar rakyatnya berupa kesehatan. Namun kita juga menyadari
bahwa tidak ada satu bangsapun di dunia yang menjadi sehat hanya dengan komitmen Pemerintah. Kesertaan masyarakat dalam upaya mencapai derajat kesehatan yang
baik sangat diperlukan. Dalam jangka panjang, keberhasilan pembangunan kesehatan hanya bisa dicapai bila masyarakat didorong untuk berperan serta aktif dalam
memperoleh haknya memperoleh kesehatan Anonymous, 2006. Menurut Syaukani, dkk. 2003, hubungan legislatif dan eksekutif
mengandung implikasi positif dan negatif. Implikasi positif hubungan legislatif dan eksekutif, terutama peran legislatif yang diharapkan dapat lebih aktif dalam
menangkap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, kemudian mengadopsinya dalam berbagai bentuk kebijakan publik di daerah bersama-sama dengan eksekutif.
Implikasi negatif, apabila legislatif kurang aktif dalam menangkap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, sehingga serta kemungkinan terjadinya konflik
berkepanjangan antara Eksekutif Kepala Daerah dengan Legislatif DPRD. Hal tersebut dapat terjadi karena:
1. Gaya kepemimpinan Kepala Daerah dengan Pimpinan DPRD;
2. Latar belakang kepentingan;
3. Latar belakang pengalaman dalam berpolitik dan penyelenggaraan pemerintahan.
Fungsi utama Legislatif mencakup fungsi representasi, legislasi, dan fungsi kontrol. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kebijakan publik yang
Universitas Sumatera Utara
menguntungkan masyarakat akan bisa terwujud bila legislatif mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Permasalahan yang mungkin muncul adalah, bahwa kebijakan
publik tidak akan muncul bila anggota legislatif kurang mempunyai kemauan dan kemampuan yang memadai sebagai wakil rakyat. Diperkirakan tidak semua wakil
rakyat mampu menangkap aspirasi arus bawah dan memahami secara utuh kondisi masyarakatnya, keinginan, harapan dan kebutuhannya. Bila ini terjadi maka
kemungkinan akan muncul kebijakan daerah yang justru tidak memihak kepada rakyat.
Permasalahan lain yang mungkin dihadapi daerah otonom adalah kenyataan adanya perbedaan kemampuan tiap daerah, baik dari segi keterbatasan anggaran
maupun keterbatasan sumber daya manusia SDM yang tersedia. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa otonomi daerah satu sisi telah memberikan peluang kepada
daerah untuk mengurus rumahtangganya sendiri; tapi pada sisi lain daerah menghadapi keterbatasan-keterbatasan sumber yang dimiliki. Pada kondisi yang
demikian peran dan dukungan pemerintah pusat masih tetap diperlukan, baik dalam bentuk dana maupun berbagai kebijakan dan program kesehatan bagi seluruh rakyat.
Upaya ini akan menghadapi kendala, terutama bila legislatif maupun ekskutif di daerah tidak mampu menangkap kebijakan dan program pusat atau tidak mempunyai
pemahaman, persepsi atau pandangan yang sama terhadap kebijakan maupun program dimaksud.
Universitas Sumatera Utara
Memperhatikan berbagai permasalahan tersebut di atas, tampaknya diperlukan upaya untuk membangun komitmen pemerintah dengan legislatif, serta persepsi atau
pandangan lembaga tinggi di daerah eksekutif dan legislatif dalam kerangka realisasi pembangunan kesehatan. Upaya-upaya dimaksud akan lebih tepat sasaran,
bila didukung dengan data dan informasi yang lengkap dan akurat. Data dan informasi dapat dihimpun melalui berbagai cara, antara lain melalui suatu studi,
kajian atau penelitian. Sebagai langkah awal dalam membangun komitmen pemerintah dan legislatif maka diperlukan penelitian yang berkaitan dengan persepsi
atau pandangan legislatif terhadap pembangunan kesehatan di daerah.
2.6. Landasan Teori