BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hasil Penelitian Terdahulu
Keadaan gizi kurang terjadi karena tubuh kekurangan satu atau beberapa jenis zat gizi yang dibutuhkan. Gejala awal kurang energi protein dimulai dengan anak
yang tidak mengalami pertambahan tinggi maupun berat badan, bila keadaan lebih lanjut maka anak akan menjadi kurus dan berat badan terus menurun serta mudah
terserang penyakit infeksi. Masalah gizi sangat terkait dengan kemiskinan dan pola hidup yang tidak
sesuai dengan standard kesehatan. Kasus-kasus gizi buruk yang ditemukan di provinsi Jawa Barat tidak saja ditemukan di kantong-kantong kemiskinan tetapi juga
ditemukan pada keluarga yang kaya. Di Jawa Barat diperkirakan 70 kasus gizi buruk terjadi pada keluarga miskin dan 30 terjadi pada keluarga tidak miskin Elly,
2002 Hasil penelitian Kartini, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi anak balita dan tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi anak balita.
Hasil penelitian Tarigan U.I 2003, diketahui bahwa anak yang menderita diare kemungkinan akan menderita gizi kurang 2,1 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan anak yang tidak diare.
Fauzi Romeli: Analisa Determinan Kurang Energi Protein Pada Anak Balita Di Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2007, 2007.
USU e-Repository © 2008
2.2. Teori-Teori Yang Berkaitan Dengan penelitian
2.2.1. Pengertian Masalah Gizi Masalah gizi adalah gangguan pada beberapa segi kesejahteraan perorangan
dan atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Zat gizi merupakan zat kimia yang terdapat dalam
bahan makanan yang diperlukan manusia untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan tubuhnya dimana zat gizi dapat dikelompokkan menjadi zat gizi makro
karbohidrat, lemak dan protein dan zat gizi mikro vitamin dan mineral Soekirman, 2002.
Masalah gizi dapat dibedakan menjadi 2 dua yaitu masalah gizi makro dan masalah gizi mikro.Masalah gizi makro yang ada di Indonesia adalah kurang energi
protein sedangkan masalah gizi mikro adalah kurang vitamin A, kurang zat besi dan kurang zat yodium Soekirman, 2002.
2.2.2. Penilaian Status Gizi Anak balita Penilaian status gizi anak balita dapat dilakukan secara langsung dan tidak
langsung. Secara langsung penilaian status gizi anak balita dapat dibagi menjadi 4 penilaian yaitu : Antropometri, Klinis, Biokimia dan Biofisik Supariasa, 2002.
a. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri
Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi dimana ketidakseimbangan dapat terlihat pada pertumbuhan
fisik. Indeks antropometri yang umum digunakan adalah berat badan
Fauzi Romeli: Analisa Determinan Kurang Energi Protein Pada Anak Balita Di Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2007, 2007.
USU e-Repository © 2008
terhadap umur BBU, tinggi badan terhadap umur TBU dan berat badan terhadap tinggi badan BBTB.
b. Penilaian Status Gizi Secara Klinis
Pemeriksaan klinis merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang didasarkan pada perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan
dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata dan rambut. Penggunaan metode klinis biasanya untuk
survey klinis secara cepat dimana dapat mendeteksi secara cepat tanda- tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi yang
dapat juga digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda dan gejala atau riwayat
penyakit. c.
Pemeriksaan Status Gizi Secara Biokimia Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang
diuji secara laboratorium yang dilakukan pada jaringan tubuh manusia seperti darah, urine dan tinja. Metode ini digunakan untuk suatu
peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi.
Fauzi Romeli: Analisa Determinan Kurang Energi Protein Pada Anak Balita Di Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2007, 2007.
USU e-Repository © 2008
d. Penilaian Status Gizi Secara Biofisik
Penilaian status gizi secara biofisik yaitu dengan melihat kemampuan fungsi dan perubahan struktur dari jaringan tubuh misalnya tes adaptasi
gelap untuk melihat kejadian buta senja. Dari ke 4 cara penilaian status gizi secara langsung, antropometri merupakan
cara yang sering digunakan untuk menilai status gizi anak balita karena pengukuran antropometrik merupakan relatif paling sederhana. Dalam pengukuran antropometrik
dilakukan beberapa pengukuran yang menjadi indikator antropometri yaitu pengukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan atas kemudian indikator
tersebut dibandingkan dengan umur. Indeks berat badan terhadap umur BBU menunjukaan secara sensitif status
gizi saat ini karena mudah berubah, indeks TBU dapat menggambarkan status gizi masa lalu dan indeks BBTB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi
saat ini Soekirman, 2002. a.
Kelebihan dan kelemahan Indeks BBU a.1. Kelebihan Indeks BBU
Kelebihan Indeks BBU yaitu mudah dan cepat, Sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam waktu pendek dan dapat
mendeteksi kegemukan
Fauzi Romeli: Analisa Determinan Kurang Energi Protein Pada Anak Balita Di Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2007, 2007.
USU e-Repository © 2008
a.2. Kelemahan Indeks BBU Kelemahan Indeks BBU yaitu Interpretasi status gizi dapat keliru
apabila terdapat oedeem, data umur yang akurat sering sulit diperoleh, .kesalahan pada saat pengukuran dan masalah sosial budaya karena
anak balita tidak mau ditimbang. b.
Kelebihan dan kelemahan Indeks TBU b.1. Kelebihan Indeks TBU
Kelebihan Indeks TBU yaitu dapat memberikan gambaran keadaan gizi masa lampau, dan dapat dijadikan indikator sosial ekonomi
penduduk. b.2. Kelemahan Indeks TBU
Kelemahan Indeks TBU yaitu tidak dapat menggambarkan status gizi saat ini, memerlukan data umur yang akurat yang sering sulit
diperoleh, dan kesalahan pada pembacaan skala ukur. c. Kelebihan dan Kelemahan Indeks BBTB
c.1. Kelebihan Indeks BBTB kelebihan Indeks BBTB yaitu independen terhadap umur dan ras
dan dapat menilai status kurus dan gemuk. c.2. Kelemahan Indeks BBTB
Kelemahan Indeks BBTB yaitu kesalahan pada waktu pengukuran, Masalah sosial budaya karena anak balita tidak mau ditimbang,
Fauzi Romeli: Analisa Determinan Kurang Energi Protein Pada Anak Balita Di Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2007, 2007.
USU e-Repository © 2008
kesulitan dalam mengukur tinggi badan dan kesalahan dalam membaca skala ukur.
Status gizi yang diukur dengan BBU, TBU dan BBTB dapat dikatakan normal apabila angka atau nilainya terletak antara minus dua -2 SD sampai dengan
plus dua +2 SD dari nilai median standard WHO. Status gizi dapat dikatakan kurang apabila angka atau nilainya kurang dari
minus dua -2 SD dan jika dibawah minus tiga -3 SD dikategorikan status gizi buruk.
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga yaitu : survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
Survey konsumsi makanan adalah metode penilaian status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Metode yang
dapat dilakukan untuk pengumpulan data pada survey konsumsi makanan adalah Baliwati,2004.
a. Recall Method
Metode ini digunakan untuk estimasi jumlah makanan yang dimakanan oleh seseorang selama 24 jam yang lalu atau sehari sebelum
wawancara dilakukan. Dengan metode ini akan diketahui besarnya porsi makanan berdasarkan ukuran rumah tangga kemudian dikonversi ke ukuran
metrik gram.
Fauzi Romeli: Analisa Determinan Kurang Energi Protein Pada Anak Balita Di Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2007, 2007.
USU e-Repository © 2008
b. Food records Dengan metode ini responden mencatat semua makanan dan minuman
yang dikonsumsi selama seminggu dan pencatatan dilakukan oleh responden dengan menggunakan ukuran rumah tangga atau menimbang
langsung berat makanan yang dimakan. c.
Weighing method Metode penimbangan mengukur secara langsung berat setiap jenis
makanan yang dimakan oleh seseorang pada hari wawancara. d.
Food frequensi questionnaire Metode ini dikenal metode frekwensimakanan dimana untuk memperoleh
infomasi pola konsumsi makanan seseorang. Oleh karena itu diperlukan kuesioner yang terdiri dari daftar jenis makanan dan frekwensi konsumsi
makanan. e.
Dietary history Metode ini sebagai metode riwayat pangan yang mempunyai tujuan untuk
menemukan pola inti pangan sehari-hari pada jangka waktu yang lama untuk melihat kaitan anatara inti makanan dan kejadian penyakit tertentu.
Metode ini meliputi tiga komponen dasar yaitu wawancara mendalam pola makan sehari-hari, cheklist frekuensi makanan dan pencatatan makanan
dua tiga hari sebagai teknik pemeriksaan silang.
Fauzi Romeli: Analisa Determinan Kurang Energi Protein Pada Anak Balita Di Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2007, 2007.
USU e-Repository © 2008
2.2.3. Kurang Energi Protein Kurang energi protein merupakan suatu bentuk masalah gizi yang
disebabkan oleh berbagai faktor terutama faktor makanan yang tidak memenuhi kebutuhan anak akan energi dan protein serta kerena penyakit
infeksi yang berdampak pada penurunan status gizi anak dari berstatus gizi baik menjadi berstatus gizi kurang atau gizi buruk.
Dua gejala kurang energi protein pada bayi yang terkenal adalah marasmus dan kwashiorkor. Marasmus adalah gejala kelaparan yang hebat
sehingga badan menjadi sangat kecil dan tinggal kulit pembalut tulang, hal ini disebabkan karena makanan yang dikonsumsi tidak dapat menyediakan kalori
untuk mempertahankan hidupnya dan memaksa metabolisme terus berlangsung dengan cara menggunakan bahan makanan dari tubuhnya sendiri.
Bayi yang menderita marasmus biasanya kecil, kurus, kurang berat badan, wajah seperti orang tua, kepala nampak membesar, malas, apatis dan sangat
peka. Kwashiorkor merupakan penyakit yang disebabkan kekurangan protein
dan kalori dimana gejala utamanya adalah pertumbuhan terhalang dan badan bengkak, tangan dan kaki serta wajah tampak sembab, pandangan kosong,
sering menangis, rambut berwarna coklat, perut buncit, serta kaki kurus dan bengkok.
Fauzi Romeli: Analisa Determinan Kurang Energi Protein Pada Anak Balita Di Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2007, 2007.
USU e-Repository © 2008
2.2.4. Faktor-Faktor Penyebab Kurang Energi Protein Menurut Soekirman 2002, Kurang energi protein dapat disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu faktor penyebab langsung dan faktor penyebab tidak langsung. Faktor
langsung penyebab
terjadinya kurang energi protein yaitu konsumsi makanan dan penyakit infeksi yang diderita oleh anak balita. Timbulnya kurang
energi protein tidak hanya karena makan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak balita yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare
atau demam akan dapat menderita kurang energi protein. Sebaliknya anak balita yang mengkonsumsi makanan yang tidak cukup baik dapat mengakibatkan daya tahan
tubuhnya melemah yang akan mudah diserang penyakit infeksi yang akhirnya dapat menderita kurang energi protein.
Faktor tidak langsung penyebab terjadinya kurang energi protein yaitu ketahanan pangan dikeluarga, pola pengasuhan anak serta pelayanan kesehatan dan
kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi
kebutuhan pangan seluruh keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya.
Pola pengasuhan anak adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan
sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu dalam hal kedekatannya dengan anak untuk memberikan makan,
merawat, kebersihan, kasih sayang dan sebagainya.
Fauzi Romeli: Analisa Determinan Kurang Energi Protein Pada Anak Balita Di Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2007, 2007.
USU e-Repository © 2008
Pelayanan kesehatan dan air bersih merupakan faktor tidak langsung penyebab terjadinya kurang energi protein, dimana pelayanan kesehatan yang perlu
diperhatikan adalah imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, pendidikan kesehatan dan gizi serta sarana kesehatan seperti
posyandu, puskesmas, praktek bidan, dokter dan rumah sakit. Tersedianya air bersih yang cukup untuk keluarga dan mudahnya jangkauan pelayanan kesehatan serta
pemahaman ibu terhadap kesehatan dapat memperkecil resiko anak balita terkena penyakit kurang energi protein.
Ketiga faktor tidak langsung penyebab kurang energi protein tersebut saling berkaitan dan bersumber pada akar masalah yaitu pendidikan dan ekonomi keluarga.
2.2.5. Akibat Yang Ditimbulkan Dari Kurang Energi Protein Anak balita yang menderita kurang energi protein akan mengalami akibat
sebagai berikut : a.
Frekwensi kemungkinan terserang penyakit bertambah tinggi dan penyakit yang dideritanya bertambah berat
b. Pertumbuhan badan anak balita tidak sempurna
c. Dapat menyebabkan kematian
d. Dapat menghambat perkembangan fisik dan mental Winarno F.G, 1987
Keadaan kurang energi dan protein yang terjadi pada usia yang sangat muda mempengaruhi perkembangan fisik dan kecerdasan. Penelitian di Korea terhadap 141
anak perempuan yang terdiri dari 42 orang penderita KEP berat, 52 orang anak
Fauzi Romeli: Analisa Determinan Kurang Energi Protein Pada Anak Balita Di Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2007, 2007.
USU e-Repository © 2008
menderita KEP ringan dan sedang dan 47 orang anak berstatus gizi baik didapatkan hasil bahwa anak-anak yang sebelumnya menderita kurang energi protein, tinggi
badannya lebih rendah dari anak yang berstatus gizi baik rata-rata IQ anak yang sebelumnya menderita KEP berat adalah 102.5, KEP ringan dan sedang adalah
105.95 dan anak berstatus gizi baik adalah 111.68. Muchtar, 1999. Anak balita yang berstatus gizi kurang akan menciptakan generasi yang secara
fisik dan mental lemah dan menjadi beban masyarakat dan pemerintah. Akibat dari gizi kurang pada anak balita dapat menyebabkan tingginya angka kematian pada anak
balita yang sebenarnya dapat dicegah apabila keadaan gizi anak balitanya baik. Pemerintah R.I, 2000.
Dari penelitian di 5 negara berkembang Bangladesh, India, Malawi, Tanzania dan Papua New Guinea menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara
kurang energi protein dan kematian. Resiko kematian anak yang menderita kurang energi protein ringan, sedang dan berat yaitu 2,5; 4,6; dan 8,4 kali dari anak yang
tidak menderita kurang energi protein. Soekirman, 2002. 2.2.6. Program Perbaikan Gizi
Dalam rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 telah dibuat pokok program upaya kesehatan yang salah satunya adalah program perbaikan
gizi. Program perbaikan gizi bertujuan untuk meningkatkan status gizi masyarakat
maupun di institusi dalam rangka meningkatkan kemandirian, intelektualitas dan produktifitas sumber daya manusia.
Fauzi Romeli: Analisa Determinan Kurang Energi Protein Pada Anak Balita Di Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2007, 2007.
USU e-Repository © 2008
Sasaran program perbaikan gizi ; 1.
Turunnya prevalensi KEP Total menjadi setinggi-tingginya 16. 2.
Prevalensi GAKY berdasarkan prevalensi gondok total menurun dari 18,0 menjadi 13.
3. Prevalensi anemia gizi pada ibu hamil turun menjadi 20, pada anak
balita menjadi 16 dan pada wanita pekerja menjadi 13. 4.
Terbebasnya masyarakat dari masalah kekurangan vitamin A. 5.
Sekurang-kurangnya 80 ibu menyusui memberikan ASI secara ekslusif. 6.
80 remaja di perkotaan dan 70 ramaja di pedesaan mempunyai tinggi badan normal.
7. Meningkatnya penduduk yang mengkonsumsi gizi seimbang dan
menurunnya jumlah penduduk yang mengalami gizi kurang atau gizi lebih.
8. Meningkatnya penganekaragaman pangan menuju swasembada pangan.
Kegiatan Program Perbaikan Gizi : 1.
Penyuluhan gizi masyarakat, penanggulangan kurang energi protein. 2.
Penanggulangan anemia gizi besi dan kekurangan vitamin A. 3.
Penanggulangan gizi mikro. 4.
Penanggulangan gizi lebih. 5.
Pembinaan dan peningkatan status gizi. 6.
Pemantapan pelaksanaan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
Fauzi Romeli: Analisa Determinan Kurang Energi Protein Pada Anak Balita Di Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2007, 2007.
USU e-Repository © 2008
2.3. Landasan Teori