Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan Ki Hajar Dewantara

1. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan Ki Hajar Dewantara

a. Kehidupan Masa Kecil

Ki Hajar Dewantara dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1889 di Soerjaningratan yang terletak di sebelah Timur pura Paku Alaman Yogyakarta. Ibu Ki Hajar adalah putri keraton di Yogyakarta, lebih dikenal sebagai pewaris Kadilangu, keturunan langsung dari Sunan Kalijogo. Ayah Ki Hajar adalah keturunan Sultan Hamengku Buwana II, putra sulung Paku Alam III yaitu G.P.H. Suryaningrat (Irna, 1985).

Ki Hajar Dewantara dilahirkan di kalangan kaum ningrat, kaum bangsawan, yang pada saat itu masih sangat dibedakan dengan lapisan masyarakat yang lain (Soeprapto, 1973).

Ki Hajar Dewantara menikah dengan Raden Ajeng Sutartinah, putri dari G.P.H. Sasraningrat, adik dari G.P.H. Suryaningrat yang merupakan ayah dari Ki Hajar Dewantara, jadi Ki Hajar dan istrinya adalah saudara sepupu (Suratman, 1990).

Ki Hajar selesai dari Sekolah Dasar kemudian melanjutkan ke Stovia Jakarta pada tahun 1905. Sebagai seorang murid Ki Hajar tidak hanya mendengarkan dan mencatat apa yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi pikiran Ki Hajar sendiri berkembang jauh, bahkan kadang-kadang sampai menimbulkan kejutan di kalangan teman-temannya. Kadang-kadang Suwardi menampilkan sifatnya yang berani, demonstratif. Hal itu selalu dilandasi dengan pikiran dan keyakinannya yang mapan dan mantap, di samping semangat perjuangan Ki Hajar yang membara (Oetomosoekranah, 1981).

Mengenai pendidikan Ki Hajar Dewantara, Komandoko (2006) berpendapat: Nama kecil Ki Hajar Dewantara adalah Raden Mas Suwardi

Suryaningrat. Ki Hajar bersekolah di ELS (Europesche Lagere School - Sekolah Dasar Belanda), setelah lulus ELS Ki Hajar

commit to user

(Kweekschool) di Yogyakarta namun tidak sampai tamat. Pada tahun 1905 Ki Hajar Dewantara mendapat beasiswa dan bersekolah di STOVIA, singkatan dari School tot Opleiding van Indische Artsen yang disebut juga Sekolah Dokter Jawa, di Batavia (Jakarta) (hlm. 172).

Di Jakarta inilah pandangan kebangsaan Suwardi semakin luas. Pelajar-pelajar STOVIA datang dari berbagai daerah di Indonesia. Pergaulan Suwardi dengan pelajar-pelajar STOVIA ini memperluas dan memperdalam rasa kebangsaan Suwardi (Sagimun, 1983).

Suwardi ternyata juga mempunyai kegemaran menulis. Melalui jiwa kerakyatannya yang kuat mendasar, Suwardi sering menuangkan masalah- masalah, pemikiran-pemikiran yang akurat di penerbitan-penerbitan pers waktu itu (Oetomosoekranah, 1981).

Ketika belajar di STOVIA, Ki Hajar sudah memperlihatkan bakat mengarangnya. Karangannya dimuat di surat kabar Sedyo Tomo (bahasa Jawa), De Express (bahasa Belanda) dan Midden Java (bahasa Belanda). Hatinya pun tergerak oleh penderitaan rakyat yang diperlakukan sewenang- wenang oleh pemerintah Belanda (Gustamin, 1993).

Mengenai pengalaman bekerja Ki Hajar Dewantara selain dalam bidang jurnalistik, Harahap & B. S. Dewantara (1980) berpendapat, “ Ki Hajar Dewantara meninggalkan STOVIA, lalu bekerja pada pabrik gula KaliBagor di Banyumas, kemudian sebagai asisten apoteker pada Rathkamp di Yogyakarta. Pekerjaan sebagai apoteker ternyata kurang cocok bagi Ki Hajar, kemudian Ki Hajar terjun ke dunia jurnalistik (hlm. 3).

Ki Hajar Dewantara telah mencoba bermacam-macam pekerjaan, kemudian ternyata Ki Hajar lebih tertarik pada pekerjaan di lapangan jurnalistik, Mudyahardjo menerangkan bahwa Ki Hajar Dewantara memulai karier perjuangannya di lapangan jurnalistik, yang dipergunakan sebagai alat memberikan pendidikan politik kepada rakyat, melalui tulisan-tulisannya yang berisi cita-cita perjuangannya. Karier jurnalistik Ki Hajar dimulai di Yogyakarta sebagai pembantu harian “Sedyo Utomo” dan harian bahasa

commit to user

koresponden “De Expres” yang dipimpin oleh Douwes Dekker (2001).

Ki Hajar Dewantara kemudian memutuskan untuk tetap berkecimpung dalam bidang persuratkabaran, dan ternyata Ki Hajar lebih tertarik di lapangan jurnalistik daripada semua pekerjaan yang telah dijalani (Irna, 1985).

Bakat yang dimiliki Ki Hajar Dewantara dalam bidang jurnalistik digunakan sebagai alat memberikan pendidikan politik kepada rakyat dan mencurahkan rasa hati serta cita-cita perjuangan Ki Hajar Dewantara (Tauchid, 1963).

Ki Hajar Dewantara selain banyak berperan dalam bidang pendidikan juga aktif dalam berbagai bidang, sehingga mempunyai banyak predikat. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Suratman (1984) yang menyatakan:

Ki Hajar Dewantara mempunyai banyak predikat, sesuai dengan kepribadian Ki Hajar yang memang beraneka ragam (multifact), sehingga tergantung dari sudut mana memandangnya. Meskipun demikian dapat dirinci dalam tiga kategori predikat yang utama, yaitu pendidik, budayawan dan pemimpin rakyat (hlm. 2).

Perkenalan pertama antara Ki Hajar Dewantara dengan Douwes Dekker berlangsung sekitar tahun 1908. Ketika Douwes Dekker menjabat redaktur Bataviaasch Nieuwsblad yang dipimpin oleh Zaalberg, Douwes Dekker memasukkan beberapa pembantu redaksi dari orang Indonesia antara lain, Suryopranoto, Cipto Mangunkusumo dan Gunawan Mangunkusumo. Douwes Dekker dianggap berbahaya bagi keamanan orang-orang Belanda karena memasukkan pembantu redaksi dari orang Indonesia maka oleh redaksi dipecat dari Bataviaasch Nieuwsblad (Suratman, 1990).

Hubungan antara Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara menjadi semakin akrab setelah Douwes Dekker membaca tulisan Ki Hajar Dewantara dalam harian-harian di Jawa Tengah, juga dalam harian De Express yang diasuh oleh Douwes Dekker sendiri akhirnya mengetahui tentang kehebatan Ki Hajar dalam jurnalistik. Douwes Dekker mengundang Suwardi untuk

commit to user

Bandung Suwardi kemudian menjadi Ketua Perhimpunan SAREKAT ISLAM didampingi oleh Abdul Muis dan A.H Wignyadisastra, pemimpin redaksi harian Kaoem Moeda (Harahap & B.S Dewantara, 1980).

Pada tahun 1912 Suwardi, Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo mendirikan Indische Partij, yang secara terang-terangan menamakan dirinya sebagai badan “partai politik”, menuju kearah kemerdekaan nusa dan bangsa (Dewantara, 1952).

Usaha yang dilakukan oleh Ki Hajar dan kawan-kawannya dalam mempropagandakan “Indische Partij” sangat bermacam-macam, Harahap dan Dewantara (1980) menjelaskan:

Tiga Serangkai (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo)

Jawa untuk mempropagandakan “Indische Partij” dan akhirnya mencapai sukses besar. Melalui alat media De Express dan penulisan serta penyebaran buletin dan brosur, gerakan nasional dari Tiga Serangkai ternyata menggemparkan masyarakat dan menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan kolonial Hindia Belanda (hlm. 4).

Pada bulan Juli 1913 bersama Cipto Mangunkusuko, mendirikan panitia untuk memperingati 100 tahun kemerdekaan “Nederland”, disingkat “komite bumiputera”, untuk memperotes rencana perayaan 100 tahun kemerdekaan Nederland dari penjajahan Perancis, yang akan dilaksanakan pada tanggal 15 November 1913 di Indonesia dengan memungut biaya dari rakyat secara paksa (Sudiyat, 1989).

Program-program dalam Indische Partij menunjukkan perlawanan terhadap pemerintah Belanda sehingga Ki Hajar, Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo dibuang ke negeri Belanda selama 6 tahun (1913-1919) (Komandoko, 2006).

Tindakan yang dilakukan oleh Tiga Serangkai itu ternyata menimbulkan akibat yang cukup serius, Tauchid (1963) mengatakan “berdasarkan keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 18 Agustus 1913 no. 2a, Ki Hajar Dewantara di internir ke Bangka, Tjipto Mangunkusumo ke Banda dan Douwes Dekker ke Timur Kupang” (hlm. 22).

commit to user

Douwes Dekker boleh meninggalkan Hindia Belanda. Berdasarkan persetujuan dan kehendak ketiganya, maka negeri Belanda dipilih sebagai tempat pengasingan, dengan pertimbangan agar di luar negeri nanti masih dapat melanjutkan kegiatan politik (Irna, 1985).

Dalam pembuangan Suwardi, tentunya Belanda menginginkan agar Suwardi bisa jinak, akan tetapi putra bangsawan itu memang tidak mudah menyerah dengan keadaan, justru keadaan yang sulit itu dimanfaatkan untuk belajar di bidang pendidikan. Suwardi juga mendirikan Persbiro Indonesia dan juga menyibukkan diri dalam organisasi mahasiswa Indische Vereniging (Oethomosoekranah, 1981).

Masa pengasingan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Ki Hajar Dewantara, diantaranya dengan memperdalam jurnalistik, belajar seni drama, menjadi redaktur majalah “Hindia Poetera”, membantu mingguan “De Indier”, berkeliling memberi ceramah tentang aspirasi rakyat Indonesia yang sesungguhnya, memperoleh Akta Mengajar (12 Juni 1915) (Sudiyat, 1989).

Tanggal 17 Agustus 1917, sesudah empat tahun kurang satu hari dalam pembuangan, putusan hukuman pembuangan Ki Hajar Dewantara dicabut, boleh kembali ke tanah air sebagai orang bebas, tetapi berhubung dengan masih mengamuknya perang dunia, baru dapat kembali ke tanah air pada tanggal 6 September 1919 (Tauchid, 1963).

Pada tahun 1919 Ki Hajar Dewantara diundang oleh kongres yang pertama di Den Haag, sebagai ahli kesusastraan Jawa yang dibuktikan dengan pandangan Ki Hajar Dewantara yang tajam dan diarahkan jauh ke depan, yaitu Ki Hajar Dewantara menyatakan keyakinan bahwa bahasa Melayulah yang nantinya akan menjadi dasar dari bahasa persatuan bangsa Indonesia (Soeprapto, 1973).

Ki Hajar Dewantara yakin bahwa, keadaan yang berjiwa kolonial tidak akan hilang jika hanya dilawan dengan pergerakan politik, tetapi harus mampu menyebarkan benih hidup merdeka dikalangan rakyat Indonesia

commit to user

1961). Ki Hajar Dewantara semasa hidupnya selalu mengumandangkan aspirasinya tentang pendidikan, sehingga pemerintah kemudian memberikan penghargaan baik yang berupa satya Lencana Kemerdekaan, Pahlawan Nasional Perintis Kemerdekaan, termasuk pemberian gelar doktor honoris causa oleh UGM karena pengabdian Ki Hajar yang dalam di bidang kebudayaan (Pikiran Rakyat, 1979).

b. Pendidikan yang diperoleh

Dokumen yang terkait

1. No. Responden: 2. Nama : 3. Umur : 4. Kelas : - Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Tentang Dismenorea dan Tindakan Dalam Penanganan Dismenorea di SMP Swasta Kualuh Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2015

0 0 22

Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Tentang Dismenorea dan Tindakan Dalam Penanganan Dismenorea di SMP Swasta Kualuh Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2015

0 1 16

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Tentang Dismenorea dan Tindakan Dalam Penanganan Dismenorea di SMP Swasta Kualuh Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2015

0 1 10

BAB II PROFIL PERUSAHAAN 2.1 Sejarah Singkat dan Kegiatan Operasional Perusahaan ` 2.1.1 Sejarah Singkat Perusahaan PT Perkebunan Nusantara II (persero) Kebun Sampali berkedudukan di pasar - Efisiensi Pengelolaan Dana Dalam Rangka Meningkatkan Rentabilita

0 1 15

BAB II PROFIL PERUSAHAAN A. Sejarah Perusahaan - Analisis Pinjaman Polis di AJB Bumiputera 1912 Kantor Wilayah Medan

0 1 27

BAB II BALAI WILAYAH SUNGAI SUMATERA II DIREKTORAT JENDERAL SUMBER DAYA AIR KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT A. Sejarah Ringkas 1. Kementerian Pekerjaan Umum - Pengendalian Internal Penerimaan Dan Pengeluaran Kas Pada Balai Wilayah Sungai S

0 0 30

BAB II PT PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO) MEDAN A. Sejarah Ringkas - Sistem Informasi Akuntansi Pada PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan

0 1 31

BAB II DINAS PERHUBUNGAN KOTA MEDAN A. Sejarah Ringkas - Sistem Akuntansi Penerimaan dan Pengeluaran Kas Pada Dinas Perhubungan Kota Medan

0 0 26

BAB II PROFIL INSTANSI A. Sejarah Singkat PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk - Peranan Kepimimpinan Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT.Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk Kcu Universitas Sumatera Utara.

0 0 11

PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul : Perbedaan Tingkat Depresi pada M ahasiswi S1 yang Sudah Menikah dan Belum Menikah di Unversitas Sebelas Maret Surakarta

0 1 46