Pendidikan sebagai pembebasan (ada perbandingan antara pemikiran Ki Hajar dengan pemikiran Paulo Freire dan Montessori)

a. Pendidikan sebagai pembebasan (ada perbandingan antara pemikiran Ki Hajar dengan pemikiran Paulo Freire dan Montessori)

1). Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara

Pengertian dari pendidikan sangatlah luas. Rahardjo (2009) mengartikan pendidikan sebagai berikut: Pendidikan merupakan tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-

anak. Artinya, pendidikan akan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar anak-anak sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang tinggi (hlm. 75).

Mengenai konsep pendidikan yang diberikan oleh Belanda kepada bangsa Indonesia, Ki Hajar Dewantara (1977) berpendapat, “Pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada rakyat Indonesia, didasarkan pada azas dan dasar kolonial, yaitu untuk kepentingan penjajahan dari bangsa Belanda” (hlm. 147).

Lahirnya Taman Siswa dinyatakan Ki Hajar Dewantara sebagai jalan kembalinya pendidikan bangsa Indonesia ke yang nasional, yang ditandai dalam usaha pengajarannya dengan penggunaan bahasa ibu menjadi bahasa pengantar dalam pelajaran di Taman Siswa, serta penghapusan permainan dan nyanyian anak-anak Belanda dengan yang nasional (Tauchid, 1979).

Tujuan pendidikan selama periode kolonial Belanda memang tidak pernah diwujudkan, Rifa’i menyimpulkan mengenai tujuan dari pendidikan yang diberikan pemerintah kolonial bahwa tujuan pendidikan antara lain untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar kaum modal Belanda, sebagian ada yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan pekerjaan lain yang dianggap pekerja- pekerja kelas dua atau kelas tiga (2011).

Pengajaran yang tidak didasarkan pada semangat kebudayaan hanya akan membentuk intelektual saja, sehingga intelektualisme akan semakin berkembang di kalangan sebagian rakyat, yang akan menuntut pendidikan dan pengajaran secara Eropa, dengan sendirinya melepaskan diri dari

commit to user

dari sistem pengajaran secara Barat yaitu rasa perseorangan atau individualisme yang memisahkan orang yang satu dengan orang lain, sehingga hilanglah “rasa keluarga” antara rakyat Indonesia yang sebenarnya bisa menjadi tali yang suci dan kuat serta dasar yang kokoh untuk menciptakan kehidupan yang tertib dan damai. Individualisme inilah yang dapat mengakibatkan terpecah belahnya rasa persatuan keluarga bahkan bangsa (Dewantara, 1977).

Tujuan pendidikan mengalami pergeseran, yang awalnya memiliki target menciptakan manusia memiliki watak kemanusiaan, berubah kearah materialisme (Sarjono dan Nurudin, 2000)

Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional dan pendiri perguruan Taman Siswa telah menciptakan suatu sistem pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia, berdasarkan garis hidup dan kebudayaan bangsanya. Lahirnya pendidikan nasional merupakan reaksi positif terhadap pendidikan kolonial yang berlaku waktu itu dengan kultur yang melandasinya (Suratman, 1980).

Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan bahwa untuk menciptakan hasil pendidikan yang memiliki lahir dan batin yang luhur maka pengajaran yang didasarkan pada semangat keduniawian (materialisme), semangat kenadlaran (intelektualisme), serta semangat perseorangan (individualisme) dengan demokrasi Barat yang memecah belah rasa keluarga maupun kekuatan yang lain, harus diganti dengan semangat ketimuran, yaitu sebagai berikut:

a. Pengajaran rakyat harus didasarkan pada semangat keluhuran budi manusia, sehingga mementingkan nilai-nilai kebatinan (mental culture) dan menghidupkan semangat idealisme.

b. Pengajaran rakyat harus mendidik ke arah kecerdasan budi pekerti, yaitu matangnya jiwa seseorang secara utuh (character building)

c. Pengajaran rakyat harus mendidik ke arah kekeluargaan, yaitu merasa bersama-sama hidup, bersama-sama susah dan senang, bersama-sama tanggung jawab; mulai keluarga dalam lingkup kecil sampai keluarga yang besar, misalnya kekeluargaan bangsa- bangsa (hlm. 139).

commit to user

berkembang. Suratman (1989) menyatakan: Di negara-negara berkembang, masalah pendidikan memang

merupakan masalah nasional dan masalah sosial. Masalah nasional karena pendidikan terkait langsung dengan masa depan bangsa tersebut. Menjadi masalah sosial, karena pendidikan melibatkan kepentingan seluruh warganya” (hlm. 17).

Pendidikan adalah untuk mendidik manusia, jadi sebenarnya merupakan kewajiban utama bagi setiap pemerintah dan menjadi hak bagi setiap warga untuk menikmati pendidikan, akan tetapi kesempatan pendidikan bukan semakin bertambah tetapi sebenarnya berkurang. Masalah yang dihadapi manusia bukannya berkurang tapi sebaliknya bertambah kompleks. Ini ironis karena sebenarnya oleh penguasaan manusia terhadap teknologi, manusia berhasil mengontrol alam untuk kebutuhannya. Suatu ancaman besar muncul dari horison kemanusiaan dalam bentuk eksploitasi penduduk dunia disertai disertai dengan eksploitasi polusi lingkungan manusia sendiri. Apabila masalah ini tidak segera diatasi, berarti manusia sedang menciptakan “bom waktu” untuk dirinya sendiri (Pikiran Rakyat, 1975).

Ketika bangsa Indonesia belum kedatangan bangsa Belanda, Indonesia sudah memiliki sistem pendidikan yang lebih sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, Tauchid (1979) berpendapat:

Sistem pendidikan baru yang berdasarkan kebudayaan dan kepribadian nasional, yang mengutamakan pembentukan watak untuk manusia merdeka lebih tinggi nilainya, yaitu sistem paguron, dengan tidak mengabaikan segi-segi baik dari nilai-nilai sistem sekolah yang modern (hlm. 29).

Ketika Menteri Pendidikan Sjarif Thajeb berpidato menyambut Hari Pendidikan, Sjarif Thajeb menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan meneruskan garis-garis pokok kebijaksanaan pembaharuan pendidikan yang telah dijalani selama ini. Tapi pembaharuan itu memerlukan proses yang cukup lama, dan mungkin hasil pembaharuan pendidikan itu baru bisa dilihat pada satu generasi yang akan datang (Pikiran Rakyat, 1974).

commit to user

Pengajaran Nasional bertujuan untuk mendidik intelektual masyarakat Indonesia, agar masyarakat kelak menjadi penegak keluhuran tanah dan bangsa Indonesia, sedangkan Pengajaran Kolonial itu bertujuan mendidik rakyat untuk dijadikan sebagai pembantu kekuasaan kolonial. Syarat-syarat dari pengajaran kolonial itu sangat merugikan rakyat, karena guru-gurunya harus orang Belanda sehingga masyarakat Indonesia mendapatkan saran- saran keliru bahwa kita orang Indonesia tidak pandai dalam memberikan pengajaran, kemudian masyarakat kita dididik oleh orang Belanda, sehingga lambat laun bisa saja memiliki watak seperti orang Belanda dan jauh dari kehidupan rakyat. Ilmu-ilmu yang seharusnya diberikan kepada anak-anak Indonesia misalnya saja kebudayaan nasional, rasa cinta tanah air malah tidak diberikan sehingga sangat merugikan bagi anak-anak Indonesia, kemudian karena sangat kurangnya guru (Belanda) sehingga masih banyak yang buta huruf (Dewantara, 1977).

Sebenarnya banyak sekali gagasan dan cita-cita Ki Hajar Dewantara, tetapi inti dari cita-cita Ki Hajar berkisar pada “Pembinaan suatu masyarakat tertib damai dan sadar bahagia, berdasarkan asas kekeluargaan dimana setiap orang mempunyai kemerdekaan untuk menyelenggarakan hidupnya menurut nilai-nilai budinya yang tertinggi di dalam batas-batas kepentingan umum, kepentingan nusa dan bangsa dan kepentingan seluruh manusia” (Obor Rakyat, 1961).

Ki Hajar Dewantara dalam melaksanakan pendidikan bagi bangsa Indonesia pasti menerapkan suatu prinsip atau asas yang digunakan agar pendidikan itu bisa tercapai sesuai dengan yang diinginkan, yaitu berakar pada nasionalisme/ kebudayaan sendiri. Berikut ini adalah beberapa ajaran yang dipakai oleh Ki Hajar Dewantara dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia, terutama dalam perguruan Taman Siswa:

Dokumen yang terkait

1. No. Responden: 2. Nama : 3. Umur : 4. Kelas : - Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Tentang Dismenorea dan Tindakan Dalam Penanganan Dismenorea di SMP Swasta Kualuh Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2015

0 0 22

Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Tentang Dismenorea dan Tindakan Dalam Penanganan Dismenorea di SMP Swasta Kualuh Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2015

0 1 16

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Tentang Dismenorea dan Tindakan Dalam Penanganan Dismenorea di SMP Swasta Kualuh Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2015

0 1 10

BAB II PROFIL PERUSAHAAN 2.1 Sejarah Singkat dan Kegiatan Operasional Perusahaan ` 2.1.1 Sejarah Singkat Perusahaan PT Perkebunan Nusantara II (persero) Kebun Sampali berkedudukan di pasar - Efisiensi Pengelolaan Dana Dalam Rangka Meningkatkan Rentabilita

0 1 15

BAB II PROFIL PERUSAHAAN A. Sejarah Perusahaan - Analisis Pinjaman Polis di AJB Bumiputera 1912 Kantor Wilayah Medan

0 1 27

BAB II BALAI WILAYAH SUNGAI SUMATERA II DIREKTORAT JENDERAL SUMBER DAYA AIR KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT A. Sejarah Ringkas 1. Kementerian Pekerjaan Umum - Pengendalian Internal Penerimaan Dan Pengeluaran Kas Pada Balai Wilayah Sungai S

0 0 30

BAB II PT PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO) MEDAN A. Sejarah Ringkas - Sistem Informasi Akuntansi Pada PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan

0 1 31

BAB II DINAS PERHUBUNGAN KOTA MEDAN A. Sejarah Ringkas - Sistem Akuntansi Penerimaan dan Pengeluaran Kas Pada Dinas Perhubungan Kota Medan

0 0 26

BAB II PROFIL INSTANSI A. Sejarah Singkat PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk - Peranan Kepimimpinan Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT.Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk Kcu Universitas Sumatera Utara.

0 0 11

PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul : Perbedaan Tingkat Depresi pada M ahasiswi S1 yang Sudah Menikah dan Belum Menikah di Unversitas Sebelas Maret Surakarta

0 1 46