Melawan Undang-undang Sekolah Liar Ki Hajar Dewantara melawan Undang-undang Sekolah Liar

3. Melawan Undang-undang Sekolah Liar Ki Hajar Dewantara melawan Undang-undang Sekolah Liar

Sejak tahun 1930 Taman Siswa menjadi lebih kuat daripada masa sebelumnya, selain itu di Yogyakarta juga dibuka Taman Guru yang tujuannya agar perluasan pendidikan nasional di kalangan masyarakat lebih cepat. Darsiti Suratman (1985) menyatakan:

Perkembangan Taman Siswa yang cepat sejalan dengan perkembangan pergerakan Kebangsaan partai-partai. Bahasa Indonesia merupakan alat untuk membangun kebudayaan Indonesia dengan tanah air Indonesia sebagai wilayahnya dan bangsa Indonesia sebagai pendukungnya. Sejak saat itu persatuan di kalangan bangsa Indonesia menjadi semakin kuat. Bahasa Indonesia mengikat persatuan yang akan meningkatkan nasionalisme. Tindakan-tindakan partai politik semakin radikal untuk mencapai Indonesia yang merdeka, akibatnya Pemerintah Kolonial melakukan tindakan kekerasan, antara lain melarang pegawai negeri menjadi anggota suatu partai. Di negeri Belanda perkumpulan Indische Vereniging, yang pada tahun 1922 telah berganti nama menjadi “Perhimpunan Indonesia” makin bersikap radikal (hlm. 95).

commit to user

Taman Siswa, selain itu juga banyak organisasi-organisasi pendidikan lain baik yang bersifat nasional, agama atau netral yang ikut membela Taman Siswa (Soeprapto, 1973).

Perjalanan sejarah bangsa Belanda menunjukkan bagaimana bangsa Belanda menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan menghalangi pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada, Rifa’i (2011) menyatakan:

Pada tahun 1905, Belanda mengeluarkan peraturan bahwa orang yang akan memberi pengajaran harus minta izin dulu. Pada 1925, terbit goeroe ordonnantie yang menetapkan bahwa para kiai, yang akan memberi pelajaran, cukup memberitahukan kepada pihak Belanda. Peraturan-peraturan itu semua merupakan rintangan perkembangan pendidikan yang diselenggarakan oleh para pengikut agama islam (hlm. 56).

Pada tahun 1932 Gubernur Jenderal De Jong mengeluarkan peraturan “Ordonansi Pengawasan terhadap sekolah-sekolah swasta/ Wilde Schoolen Ordonantie/ Undang-undang Sekolah Liar” untuk menekan dan membatasi kegiatan pengajaran partikelir (Soeprapto, 1973).

Ketika Pergerakan Nasional semakin kuat, maka Pemerintah Kolonial menjadi khawatir dan lebih waspada. Tindakan itu juga diarahkan pada pergerakan sosial, terutama yang menitikberatkan kegiatannya dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu dibuatlah “Undang-Undang Pengajaran” yang berlaku mulai 1 Oktober 1932. Undang- Undang Pengajaran ini dikenal sebagai “ Undang-Undang Sekolah Liar” (Darsiti Suratman, 1985).

Kehadiran Taman Siswa mendorong lahirnya sejumlah lembaga pendidikan partikelir yang bercorak agama. Perkembangan Taman Siswa yang cepat menimbulkan kekhawatiran pada pemerintah kolonial Belanda sehingga dikeluarkanlah Undang-Undang Sekolah Liar (Onderwijs Ondonantie) pada 1932 (Rahardjo, 2009).

Dengan O.O (Onderwijs Ordonantie) yang dikeluarkan tahun 1932, pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk menghantam Taman Siswa, dan

commit to user

Siswa dapat menangkisnya dengan mudah, didukung kalangan pers dan tokoh-tokoh pergerakan nasional, meskipun diakui memang ujian bagi Taman Siswa waktu itu sangat berat (Probohening, 1987).

Pemerintah mengumumkan suatu ‘peraturan sekolah-sekolah liar’ (wilde scholen ordonantie) yang mengharuskan adanya izin dari pihak penguasa sebelum sebuah sekolah swasta yang tidak mendapat subsidi pemerintah (yang menempatkan suatu sekolah di bawah pengawasan pemerintah) dapat didirikan. Timbullah protes yang sifatnya nasional atas campur tangan terhadap sekolah-sekolah swasta ini, justru tepat pada waktu sistem sekolah dibatasi karena alasan-alasan keuangan. Ki Hajar Dewantara dari Taman Siswa memimpin suatu kampanye nasional bersama-sama dengan kelompok Islam, termasuk Budi Utomo, bergabung dengan kaum oposisi. Bahkan Volksraad mengecam peraturan baru itu dan pada tahun 1932 menolak anggaran belanja pendidikan pemerintah sebagai protes. Pada bulan Februari 1933 Gubernur Jenderal de Jonge mundur dan mencabut peraturan tersebut (Rickhlefs, 1989).

Onderwijs Ordonantie tersebut terutama ditujukan kepada sekolah sekolah yang berbau politik. Dengan kata lain Onderwijs Ordonantie tersebut memberi keleluasaan untuk menindak terhadap sekolahan yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda. Ordonansi tersebut mengancam hak asasi rakyat yang penting (Soegijono, 1989).

Dikeluarkannya peraturan sekolah – sekolah liar sangat merugikan bagi perguruan Taman Siswa, Sagimun menyatakan bahwa guru-guru Taman Siswa banyak yang terkena larangan mengajar, karena dianggap berbahaya bagi keamanan umum, yang dimaksudkan yaitu berbahaya bagi kepentingan kaum penjajah. Selain itu banyak pula guru-guru Taman Siswa yang ikut tersangkut dalam gerakan-gerakan menentang pemeritah Belanda. Pegawai- pegawai pemerintah Hindia Belanda dilarang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah Taman Siswa dengan berbagai ancaman (1983).

commit to user

lembaga-lembaga pendidikan Islam yang semakin berkembang, yang dianggap sebagai ancaman yang potensial terhadap rezim kolonial. Goeroe Ordonantie yang dikeluarkan tahun 1905 ini tampaknya hanya menimbulkan dampak yang terbatas. Pengeluaran Goeroe Ordonantie yang baru tahun 1925 diberlakukan untuk seluruh Indonesia dan dalam beberapa hal bersifat lebih lunak, yang diminta hanyalah pemberitahuan tertulis tentang tujuan pemberian pelajaran agama, tetapi daftar murid dan rincian kurikulum harus tunduk di atas formulir-formulir resmi (Richklefs, 1989).

Menyusul rentetan percobaan berat berikutnya, Probohening (1987) mengungkapkan bahwa, “ada 62 orang Taman Siswa yang dilarang mengajar karena tuduhan politis. Kegiatan politik orang Taman Siswa tersebut dihubung-hubungkan dengan Partindo dan PNI” (hlm. 3).

Dalam bidang pendidikan, suatu hal yang dirasakan umat Islam sangat diskriminatif adalah ordonansi guru tahun 1905. Daulay (2007) menyatakan :

Ordonansi guru tahun 1905 mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Ordonansi guru ini dirasakan oleh guru-guru agama sangat berat, dampak negatif yang disebabkan adanya ordonansi guru ini bisa untuk menekan Islam. Perkembangan berikutnya ordonansi guru tahun 1905 akhirnya dicabut karena dianggap tidak relevan lagi maka diganti dengan ordonansi tahun 1925, yang isinya hanya mewajibkan guru agama untuk memberi tahu ketika akan mengajar bukan meminta izin (hlm. 34-35).

Taman Siswa mengetahui apabila Undang-Undang Sekolah Liar dilaksanakan, maka sekolah-sekolah swasta yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah akan menderita, bahkan bisa gulung tikar, karena keadaan yang sangat mendesak ini maka Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa Harian yang berkedudukan di Yogyakarta, dalam sidang pada 29 September 1932, memutuskan memberi hak pada Ki Hajar Dewantara untuk melaksanakan kekuasaan untuk segera bersikap terhadap Undang-Undang Sekolah Liar tersebut ( Darsiti Suratman, 1985).

commit to user

Siswa sulit dalam melaksanakan fungsi dan tujuannya, Rahardjo menyatakan bahwa Undang-undang Sekolah Liar melarang sekolah partikelir (swasta) beroperasi bila tanpa izin pemerintah. Sekolah-sekolah partikelir itu harus menggunakan kurikulum dari pemerintah dan gurunya harus tamatan dari sekolah guru pemerintah. Apabila ordonansi Sekolah Liar dilaksanakan, Perguruan Taman Siswa akan tutup karena sebagai sekolah swasta kebangsaan, Taman Siswa menggunakan kurikulum sendiri dan pamong dari sekolah guru sendiri (2009).

Diberlakukannya Undang-undang Sekolah Liar menimbulkan dampak yang cukup mengejutkan bagi pemerintah Belanda, Sagimun mengungkapkan bahwa pada awal tahun 1933 diadakan rapat-rapat protes menentang Ordonansi Sekolah Liar. Bahkan dengan tegas dinyatakan bahwa kaum penjajah memang dengan sengaja menghalang-halangi kemajuan rakyat Indonesia. Mengingat suara-suara rakyat Indonesia yang semakin lantang, maka tidak lama kemudian pemerintah Hindia Belanda untuk sementara membekukan berlakunya Ordonansi Sekolah Liar itu (1983).

Ki Hajar Dewantara mengirimkan surat protes kepada Gubernur Jendral De Jonge yang mengemukakan rasa keberatannya atas pemaksaan diberlakukannya undang-undang tersebut. Surat tersebut Ki Hajar tulis dengan menggunakan bahasa Belanda yaitu antara lain kami pun bersikeras melawan ordonansi (undang-undang) itu dengan cara lifdelijk verset sampai tenaga penghabisan. Yang dimaksud dengan kata lifdelijk verset dalam surat Ki Hajar yaitu perlawanan tenaga diam. Demikianlah cara Ki Hajar menentang penjajahan, tanpa kekerasan (Gustamin, 1993).

Pada tanggal 1 Oktober 1932 Ki Hajar Dewantara mengirim protes keras dengan telegram kepada Gubernur Jenderal dengan pernyataan “Apabila Ordonantie itu tidak dicabut, maka kemungkinan bangsa Indonesia akan mengadakan perlawanan tanpa kekerasan” dan pada saat itu semua pergerakan Nasional yang bercorak apapun berpihak pada Ki Hajar Dewantara (Soeprapto, 1973).

commit to user

Pemerintah Belanda. Ordonansi dapat menghambat kemajuan rakyat Indonesia. Isi telegram tersebut adalah sebagai berikut

“Gubernur Jenderal Buittenzorg”

“Yang Mulia. Ordonansi yang disajikan amat tergesa-gesa dan dijalankan dengan cara paksaan dan mengenai sendi tulangnya masyarakat dan adab, sesudah rencana pengajaran (dari pemerintah) dibatalkan (oleh Volksraad) seolah-olah membuktikan kebingungan dan kegetaran pada pemerintah, yang dengan sifat berbahaya salah mengerti dan salah raba terhadap kepentingan hidup matinya rakyat. Bolehlah saya memperingatkan, bahwa walaupun makhluk yang tak berdaya mempunyai rasa asali (insting) untuk menangkis bahaya guna menjaga diri dan demikianlah juga boleh jadi kami karena terpaksa akan mengadakan perlawanan sekuat-kuatnya dan selama-lamanya dengan cara tenaga diam.”

“ Ki Hajar Dewantara”

Akhirnya Gubernur Jendral De Jonge menyerah dan mengundang Ki Hajar untuk berunding. Hasilnya pemerintah Belanda bersedia mencabut kembali undang-undang (ordonansi tersebut yang berlaku selama 4 bulan) melalui lembaran negara nomor IV 1933. Perlawanan Ki Hajar dengan “tenaga diam” nya berhasil meruntuhkan kewibawaan pemerintah Belanda (Gustamin, 1993).

Undang-undang Sekolah Liar tersebut dapat merebut hak ibu-bapak atau rakyat untuk memilih cara pendidikan bagi anaknya. Selain itu, Undang- undang tersebut juga sangat menghina kedudukan pengajaran partikelir yang tidak bersubsidi, dikarenakan sifatnya bukan lagi mengamati, akan tetapi menguasai (Darsiti Suratman, 1985).

commit to user

sebagai salah satu pelopor munculnya keinginan untuk merdeka, maka pemerintah

membuat Undang-undang

Sekolah

Liar, Sagimun mengungkapkan bahwa, ordonansi sekolah liar sengaja dibuat untuk melumpuhkan dan menghancurkan perguruan-perguruan nasional bangsa Indonesia, terutama perguruan Taman Siswa yang mencita-citakan kemerdekaan Indonesia. Berdasarkan ordonansi ini cabang-cabang Taman Siswa mulai banyak yang diperintahkan untuk ditutup oleh Pemerintah Hindia Belanda (1983).

Masalah Undang-undang Sekolah Liar kemudian dibawa ke Dewan Rakyat. Banyak pertanyaan diajukan kepada pemerintah, dan ketika jawaban pemerintah tidak memuaskan, maka pada 10 Januari 1933 Wiranatakusumah dan kawan-kawan mengusulkan untuk membuat undang-undang baru. Akhirnya usul Wiranatakusumah dan kawan-kawan diterima dan dimufakati oleh Pemerintah. Maka usul inisiatif itu menjadi undang-undang. Undang- undang Sekolah Liar ditunda untuk satu tahun lamanya dan sebagai penggantinya, dihidupkan lagi ordonansi lama dari tahun 1923/ 1925. Ketetapan penundaan Undang-undang Sekolah Liar 1932 itu telah disahkan dalam staatsblad 21 Februari 1933, no. 66 (Darsiti Suratman, 1985).

Adanya Undang-undang Sekolah Liar menyebabkan munculnya berbagai perlawanan, Darsiti Suratman (1985) menyatakan, “perlawanan Ki Hajar Dewantara bersama Taman Siswa dalam menghadapi Undang-undang Sekolah Liar mendapat sambutan yang sangat besar di kalangan masyarakat luas. Seluruh pergerakan rakyat baik yang bersifat politik, agama, maupun sosial secara serentak mendukung perlawanan Ki Hajar Dewantara” (hlm: 100).

Tahun 1933 Pemerintah Hindia Belanda merasa kewalahan dalam menghadapi tekad bulat dari seluruh rakyat Indonesia dan terpaksa mnecabut kembali Ordonantie tersebut (Soeprapto, 1973).

Dengan adanya aksi serentak tersebut, maka Gubernur Jendral pada tanggal 13 Februari 1933 mengeluarkan ordonansi baru yang membatalkan

commit to user

Februari 1933. Kemenangan sikap Taman Siswa yang didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia itu menyebabkan Ki Hajar Dewantara memberikan peringatan kepada seluruh masyarakat agar tetap waspada. Tetapi setelah ordonansi tersebut dicabut, pemerintah Hindia Belanda mengadakan ordonansi lagi untuk menutup malu yaitu ordonansi larangan hak mengajar (Soegijono, 1989).

Berbagai usaha dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk melumpuhkan dan menghancurkan Taman Siswa, Sagimun menyebutkan antara lain, selain Onderwijs Ordonantie juga adanya penuntutan pajak upah dan bermacam-macam jenis pajak lainnya. Pada tanggal 19 Juni 1924 barang- barang Taman Siswa dilelang di depan umum. Barang-barang yang dilelang itu berwujud bangku-bangku dan meja sekolah. Barang-barang Taman Siswa yang dilelang dibeli oleh para pecinta Taman Siswa kemudian dikembalikan pada Taman Siswa. Suatu bukti bahwa Taman Siswa dicintai dan dibutuhkan oleh rakyat Indonesia yang mendambakan kemerdekaan (Sagimun, 1983: 23).

Pada tahun 1935 pemerintah kolonial mencoba menghalang-halangi kegiatan Taman Siswa lagi dengan mengeluarkan surat edaran bahwa Pegawai Negeri dicabut tunjangan ankanya apabila menyekolahkan anaknya di sekolah partikelir (Soeprapto, 1973).

Pada 1935 sampai 1937, Taman Siswa dihadapkan pada masalah- masalah baru: masalah “Tunjangan Anak” dan “Pajak Upah”. Untuk menyelesaikan masalah yang kedua tersebut, Ki Hajar terpaksa berunding dengan Gubernur Jenderal. Menurut Peraturan Pemerintah (1935), hak atas “Tunjangan Anak” kepada Pegawai Negeri diberikan, jika anaknya bersekolah di:

a. Sekolah Negeri

b. Sekolah yang mendapat subsidi

c. Sekolah-sekolah lainnya yang mendapat hak memakai salah satu nama seperti sekolah negeri

commit to user

ada pula sebagian cabang-cabang Taman Siswa yang tidak dapat dimasukkan pada golongan c. Majelis Luhur memperjuangkan agar semua cabang mempunyai kedudukan yang sama, semuanya dapat digolongkan kelompok c atau semuanya tidak. Sesudah berjuang selama dua tahun, nampaklah hasilnya bahwa mulai tahun 1938 berlaku peraturan, bahwa semua pegawai negeri, yang anaknya dikirimkan ke sekolah Pemerintah, bersubsidi atau pertikelir, mempunyai hak atas “Tunjangan Anak” (Darsiti Suratman, 1985).

Masalah lain yang dihadapi Taman Siswa adalah mengenai upah. Sebagai suatu lembaga pendidikan yang bersifat kekeluargaan. Taman Siswa tidak mengenal adanya buruh dan majikan. Untuk jasa guru atau pamong dibagikan upah yang diatur menurut dasar kekeluargaan. Oleh karena itu guru-guru berpendapat bahwa guru tidak seharusnya membayar pajak upah, akan tetapi membayar pajak penghasilan (Darsiti Suratman, 1985).

Peraturan mengenai anak Pegawai Negeri yang bersekolah di sekolah partikelir tidak akan mendapat tunjangan, hal ini ditolak lagi oleh Taman Siswa, kemudian setelah Ki Hajar menemui Gubernur Jenderal pada 1932, dan akhirnya peraturan ini ditarik kembali (Soeprapto, 1973).

Ordonansi yang pada hakekatnya untuk melemahkan perjuangan rakyat menentang pemerintah Hindia Belanda. Tetapi bagaimanapun rintangan yang dihadapi Taman Siswa, namun Taman Siswa tetap tumbuh subur. Cabang-cabang Taman Siswa di seluruh Nusantara dari Sabang sampai Merauke berdiri dengan dukungan dari berbagai pihak dari masyarakat. Sampai pada penjajahan yang hanya berlaku sampai tiga setengah tahun itu Taman Siswa tetap berdiri meskipun dengan berbagai cara untuk menyesuaikan diri dengan situasi pada waktu itu. Beberapa bagian antara lain bagian Taman Dewasa harus ditiadakan dan diganti dengan Taman Tani, meskipun dalam praktek yang diajarkan juga kurikulum Taman Dewasa (Soegijono, 1989).

commit to user

Dokumen yang terkait

1. No. Responden: 2. Nama : 3. Umur : 4. Kelas : - Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Tentang Dismenorea dan Tindakan Dalam Penanganan Dismenorea di SMP Swasta Kualuh Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2015

0 0 22

Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Tentang Dismenorea dan Tindakan Dalam Penanganan Dismenorea di SMP Swasta Kualuh Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2015

0 1 16

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Tentang Dismenorea dan Tindakan Dalam Penanganan Dismenorea di SMP Swasta Kualuh Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2015

0 1 10

BAB II PROFIL PERUSAHAAN 2.1 Sejarah Singkat dan Kegiatan Operasional Perusahaan ` 2.1.1 Sejarah Singkat Perusahaan PT Perkebunan Nusantara II (persero) Kebun Sampali berkedudukan di pasar - Efisiensi Pengelolaan Dana Dalam Rangka Meningkatkan Rentabilita

0 1 15

BAB II PROFIL PERUSAHAAN A. Sejarah Perusahaan - Analisis Pinjaman Polis di AJB Bumiputera 1912 Kantor Wilayah Medan

0 1 27

BAB II BALAI WILAYAH SUNGAI SUMATERA II DIREKTORAT JENDERAL SUMBER DAYA AIR KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT A. Sejarah Ringkas 1. Kementerian Pekerjaan Umum - Pengendalian Internal Penerimaan Dan Pengeluaran Kas Pada Balai Wilayah Sungai S

0 0 30

BAB II PT PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO) MEDAN A. Sejarah Ringkas - Sistem Informasi Akuntansi Pada PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan

0 1 31

BAB II DINAS PERHUBUNGAN KOTA MEDAN A. Sejarah Ringkas - Sistem Akuntansi Penerimaan dan Pengeluaran Kas Pada Dinas Perhubungan Kota Medan

0 0 26

BAB II PROFIL INSTANSI A. Sejarah Singkat PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk - Peranan Kepimimpinan Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT.Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk Kcu Universitas Sumatera Utara.

0 0 11

PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul : Perbedaan Tingkat Depresi pada M ahasiswi S1 yang Sudah Menikah dan Belum Menikah di Unversitas Sebelas Maret Surakarta

0 1 46