Pendidikan menurut montessori
b). Pendidikan menurut montessori
Menurut Montessori ada hubungan yang erat antara gerakan jiwa anak-anak dengan gerakan badannya. Setiap gerakan anak-anak adalah akibat dari tuntutan jiwa dan badan anak-anak sendiri, psychologis dan physiologis. Itulah sebabnya Montessori memakai dasar kemerdekaan dan kebebasan yang sering disebut “spontanitet”. Spontanitet berarti gerak atau tindakan bebas dari anak-anak, keluar dari keinginan sendiri, secara tiba-tiba dan tidak terfikirkan lebih dahulu. Anak janganlah dipaksa untuk melakukan sesuatu yang diinginkan seesorang, karena sering kali bertentangan dengan proses pertumbuhan jiwa raga anak-anak sehingga bisa menghambat perkembangan jasmani dan rohani anak (Dewantara, 1977).
Menurut Montessori periode awal umur 0-6 adalah periode sensitif, masa peka atau usia emas, dimana pikiran anak mudah sekali menyerap apapun dari lingkungannya. Dengan mengutip Dr. Alexis Carrel, Montessori mengatakan: “ Masa kanak-kanak merupakan masa yang paling kaya, masa ini seyogianya didayagunakan oleh pendidikan sebaik-baiknya, jika tersia-sia kehidupan masa ini tidak akan pernah dapat dicari gantinya. Tugas kita adalah memanfaatkan tahun-tahun awal kanak-kanak dengan kepedulian yang tertinggi, bukannya menyia-nyiakannya” (2008).
Menurut Montessori telah terjadi tidak pemanusiaan terhadap manusia di dalam pendidikan. Sebuah sinyalemen yang yang dianggap
commit to user
yang selama ini dikenal berupaya mewujudkan manusia dewasa ternyata masih belum mencapai harapan yang diinginkan. Dimana dalam konteks psikologi, manusia dewasa berarti bagaimana membuat manusia menjadi manusia (Sarjono dan Nurudin, 2000).
Dasar dari sistem pendidikan Montessori yaitu kemerdekaan dan spontanita dari seseorang, Ki Hajar Dewantara (1977) menyebutkan :
Dasar pertama yang fundamental dari metode Montessori yaitu kebebasan dan spontanita seseorang, kemerdekaan hidup yang seluas-luasnya, mengurangi penguasaan guru dan orang tua terhadap hidupnya anak-anak, kembali kepada kodrat-iradatnya anak-anak, yaitu menguasai penguasa dari yang mengadakan hidup serta mengembalikan penguasa itu kepada-Nya. Kemudian Montessori juga mengajarkan bebaskanlah rohani maupun batiniah sang anak dari peraturan masyarakat yang merugikan, sebab hanya dengan kebebasan yang mutlak yang bergantung pada alam dan yang memberikan hidup, baru mungkin ada pertumbuhan yang wajar dari seseorang (127).
Sistem pendidikan yang diterapkan montessori mementingkan pelajaran pancaindra, hingga ujung jaripun dihidupkan rasanya, lagipula mengadakan beberapa alat untuk latihan panca indra, semua itu bersifat pelajaran. Anak diberi kemerdekaan dengan luas, tetapi permainan tidak dipentingkan (Hariyadi, 1985).
Montessori menganggap bahwa pendidikan dan pengajaran di Eropa sangat menyuburkan intelektual, akan tetapi mematikan perasaan sehingga membalikkan jiwa manusia dari derajat “budi” menjadi “mesin”. Montessori ingin melepaskan ikatan-ikatan yang sangat menyempitkan budi dan menurunkan derajat kemanusiaan itu. Montessori ingin memerdekakan manusia (Dewantara, 1977).
Banyaknya muncul universitas seperti sekarang ini, yang pada dasarnya juga tidak berbeda dengan jenis sekolah yang mendahuluinya, kecuali mungkin dari sisi intensitas belajarnya. Dijumpai guru besar berbicara sedangkan murid mendengarkan. Menurut Montessori (2008), “masa kehidupan yang paling penting bukanlah usia kuliah, namun masa
commit to user
tahun. Hanya kerja dan pengalaman praktislah yang mengarahkan anak muda menuju kedewasaan” (hlm. 34-37).
Tentang latihan panca-indera, yang menjadi salah satu pokok dalam sistem Montessori, supaya diketahui bahwa maksudnya adalah memajukan keterampilan panca-indra, yaitu menyempurnakan pekerjaan mata, telinga, hidung, lidah dan kulit seluruh tubuh. Itu semua penting untuk membantu kemajuan fikiran anak-anak. Menurut Montessori latihan panca-indra tidak saja bermanfaat bagi kemajuan anak-anak biasa, namun dapat juga menolong tumbuhnya kekuatan jiwa dalam hidup anak-anak yang kekurangan fikiran. Sistem pendidikan Montessori tidak saja menghilangkan adanya paksaan, tetapi menghilangkan hukuman pada anak-anak, jangan sampai anak-anak belajar itu karena takut akan hukuman (Dewantara, 1977).