Tri Pantangan

e) Tri Pantangan

Ki Hajar Dewantara juga mengajarkan Tri pantangan, suatu pedoman untuk dapat hidup aman, damai, salam dan bahagia. Adapun yang dimaksud dengan tri pantangan, yaitu:

a. Jangan menyalahgunakan wewenang

b. Jangan menyeleweng di bidang keuangan

c. Jangan melanggar kesusilaan Tri pantangan merupakan usaha preventif agar suatu masyarakat tidak dilanda “bencana” keretakan hidup kekeluargaannya (Suratman, 1984). Suratman (1984) menjelaskan mengenai Tri Pantangan dari Ki Hajar Dewantara, yaitu sebagai berikut: Pertama, ialah “jangan menyalahgunakan wewenang (kekuasaan)”

sumber utama adalah adanya nafsu untuk berkuasa, yang agaknya diwujudkan dengan agak keterlanjuran. Karena nafsu, terjadilah penyalahgunaan wewenang; Kedua adalah “jangan menyeleweng di bidang keuangan”. Secara kodrati manusia memang ada nafsu kebendaan, yang bisa menjadi pendorong ke arah penguasaan uang sebanyak-banyaknya. Jika dalam kehidupan organisasi terjadi penyelewengan di bidang keuangan, maka hal tersebuat akan mengganggu jalannya organisasi dan menghambat perkembangan organisasi tersebut; Ketiga adalah “jangan melanggar kesusilaan”. Di dalam masyarakat apabila terjadi pelanggaran kesusilaan, maka sumber utamanya adalah nafsu seksual. Pelanggaran kesusilaan akan terjadi apabila manusia sudah kehilangan kontrol atas dirinya, atau dengan kata lain sudah tidak mampu mengendalikan dirinya (hlm. 8- 9).

Ki Hajar Dewantara sudah sejak awal melihat dan menyadari segi kelemahan manusia sebagai individu, kemudian diciptakanlah “pengawasan melekat” atau “waskat” melalui Tri pantangan tersebut. Hal yang sama ternyata dianggap penting dan menjadi program pemerintah sejak kabinet

commit to user

Dewantara tentang eksistensi manusia, yaitu sebagai individu dan makhluk sosial, maka dari itu semua ajaran Ki Hajar Dewantara selalu bermuara kepada manusia dan kepentingan kehidupan manusia bersama (Suratman, 1989).

Tri Pantangan itu sangat penting dalam untuk membina masyarakat Taman Siswa, maka bagi setiap individu anggota dari Taman Siswa, hal tersebut juga sangat penting, sebab dengan menganut pedoman tersebut, akan selamat dalam menjalankan kehidupan di dunia ini (Suratman, 1984).

2). Perbandingan pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan Paulo Freire dan Montessori a). Pendidikan menurut Paulo freire

Paulo Freire seorang penggagas teori pendidikan kritis, sering menyebut paradigma pendidikan kritis dengan nama pendidikan humanis atau pendidikan yang membebaskan (Freire, 1999).

Pemikiran Freire tentang filsafat pendidikan diungkapkan pertama kali pada tahun 1959 dalam disertasi doktornya di Universitas Recife, juga dalam berbagai percobaannya dalam pengajaran kaum buta huruf di kota yang sama. Metodologi yang dikembangkan dan telah digunakan secara luas oleh kalangan gereja Katolik dan yang lainnya dalam kampanye melek-huruf di seluruh pelosok Timur Laut Brazil, lalu dianggap sebagai sebuah ancaman bagi pemerintahan ketika itu hingga Freire dipenjara setelah kudeta militer tahun 1964. Setelah dibebaskan kemudian Freire diperintahkan segera meninggalkan Brazil, Freire pergi ke Chili dan menghabiskan waktu lima tahun untuk bekerja pada UNESCO dan Lembaga Pembaruan Pertanian Chili dalam program-program pendidikan masyarakat (Freire, 1985).

Pendidikan kritis merupakan proses dimana pendidikan mengkondisikan peserta didik untuk mengenal, memahami dan mengungkapkan kenyataan secara kritis. Berbeda dengan pendidikan umumnya seperti diungkapkan oleh Paulo Freire dan disebut juga pendidikan

commit to user

kepada peserta didik sehingga peserta didik mengikuti saja alur kehidupan ini. Pendidikan kritis atau pendidikan yang membebaskan tidak dapat direduksi menjadi sekedar usaha pendidik untuk memaksakan kebebasan kepada peserta didik (1999).

Selama ini masalah dehumanisasi dipandang sebagai masalah utama manusia. Dehumanisasi yang menandai bukan saja mereka yang telah dirampas kemanusiaannya, tetapi juga (biarpun dalam cara yang berbeda) mereka yang telah merampasnya adalah sebuah penyimpangan fitrah untuk menjadi manusia sejati. Akan tetapi untuk membebaskan diri dari kaum penindas, pelajaran dan praktek ini harus datang dari kaum tertindas itu sendiri, atau kelompok yang memang berpihak pada kaum tertindas itu sendiri dengan berjuang menata kembali kemanusiaan kaum tertindas (Freire, 1985).

Perbedaan antara Pendidikan yang membelenggu dan pendidikan kritis seperti dijelaskan Freire (1999) yaitu: Pendidikan yang membelenggu bersifat perspektif, sedangkan

pendidikan kritis bersifat dialogis. Pendidikan kritis menuntut adanya dialog, karena dialog merupakan bentuk perjumpaan di antara manusia, dengan perantaraan dunia, dalam rangka menamai dan memahami dunia. Pendidikan yang membelenggu hanyalah semata-mata proses transfer pengetahuan, sedangkan pendidikan kritis merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan menjadikannya sebagai proses transformasi yang diuji di alam nyata (hlm. 176).

Pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung, dimana murid adalah celengan dan guru adalah penabung. Yang terjadi bukanlah proses komuniksi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan “gaya bank”, dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan (Freire, 1985).

commit to user

terhadap perkembangan kejiwaan secara individual terhadap peserta didik, karena anak dianggap sebagai bagian obyek ilmu yang tak berkesadaran (Sarjono dan Nurudin, 2000).

Bagi Freire, fitrah manusia yang sejati adalah menjadi pelaku atau subyek, dan bukan menjadi penderita atau obyek. Oleh karena itu manusia yang sejati adalah pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. Untuk memperoleh pengetahuan manusia dituntut untuk berperan sebagai subyek. Manusia harus mampu menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta. Hal ini meniscayakan perlu dikembangnya langkah orientatif sebagai pengembangan bahasa pikiran (Tought of Language). Yakni, pada hakekatnya manusia mampu memahami hakekat keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya dengan bekal pikiran dan tindakan praksis manusia merubah diri, dunia dan realitas sosialnya (Freire, 1999).

Pendidikan gaya bank memelihara dan bahkan mempertajam kontradiksi melalui cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan sebagai berikut seperti disebutkan Paulo Freire (1985) yang mencerminkan suatu keadaan masyarakat tertindas secara keseluruhan :

1. Guru mengajar murid diajar

2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa

3. Guru berpikir, murid dipikirkan

4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan

5. Guru menentukan peraturan, murid diatur

6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui

7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya

8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu

9. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid

10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka (hlm. 51-52).

commit to user

(humanism) ini akan menciptakan masyarakat bisu (silence society). Yaitu, sebuah masyarakat yang memiliki rasa ketergantungan, ambigu, antara menjadi dirinya sendiri dan sebaliknya, dan mudah terpengaruh. Beberapa ciri mendasar masyarakat demikian diantaranya masyarakat ini memiliki ketaatan semu (quasi adherence) pada kondisi yang ada, atau seolah-olah mengikuti arus namun sebenarnya tidak (quasi immerson) (Sarjono dan Nurudin, 2002).

Mu’arif (2008) mengemukakan bahwa sejauh ini terdapat tiga paradigma dalam pendidikan: Pertama, paradigma pendidikan konservatif. Paradigma pendidikan

ini cenderung mengabaikan potensi-potensi manusia yang menimbulkan penindasan serta melahirkan kesadaran magis. Pendidikan konservatif diorientasikan untuk meneguhkan sekaligus melestarikan notrma-norma sakral sehingga menenggelamkan eksistensi manusia itu sendiri. Kedua, paradigma pendidikan liberal. Paradigma ini memiliki ruh kebebasan pasar yang menjadi ciri khas kapitalis. Pendidikan ini cenderung berpihak pada golongan kelas atas. Pendidikan dengan berbagai macam standar kualitasnya akan ditentukan oleh seberapa banyak modal yang dimiliki. Ketiga, paradigma pendidikan kritis, yang merupakan paradigma pendidikan yang hendak mengembalikan hak-hak kemanusiaan masyarakat untuk menghapus segala bentuk penindasan di bumi (hlm. 83-87).

Dalam situasi masyarakat yang seolah-olah tunduk pada kenyataan, kesadaran ini tidak akan berhasil memahami adanya banyak perbedaan dan tantangan atau memahaminya tetapi dengan cara yang distortif. Akibat fatal yang ditimbulkan dari masyarakat bisu ini adalah melahirkan kekerasan- kekerasan sebagai perwujudan pemberontakan sosial maupun sikap ketidakmampuanya menanggapi realitas perbedaan yang ada (Sarjono dan Nurudin, 2000).

Freire menggambarkan secara skematis pendidikan kritis yang bersifat dialogis dan pendidikan “gaya bank” yang bersifat anti-dialogis sebagai berikut :

commit to user

Subjek Subjek Subjek

(pemimpin,

(anggota masyarakat

(kaum elite berkuasa) pembaharu,

membaharu, misalnya:

misalnya: guru) murid)

(keadaan yang harus (mayoritas kaum

dipertahankan)

tertindas sebagai

Objek

realitas)

Realitas yang harus diperbaharui dan dirubah (sebagai objek bersama)

Humanisasi

Dehumanisasi

Sebagai proses tanpa henti

berlangsungnya situasi

(sebagai tujuan)

penindasan (sebagai tujuan)

Gambar 4.1

Perbandingan pendidikan kritis dan Pendidikan “Gaya Bank” (Sumber: Paulo Freire, 1999, xvi)

Langkah awal yang cukup menentukan dalam upaya penerapan paradigma pendidikan kritis, yaitu sebuah proses yang disebut oleh Freire dengan sebutan “commencement” atau proses yang dilakukan terus menerus yang “selalu mulai dan mulai lagi”. Yang dimaksud dengan proses terus

commit to user

tidak boleh berhenti. Konsientisasi merupakan proses yang inhern dari keseluruhan proses pendidikan. Konsientisasi merupakan inti atau hakekat dari proses pendidikan itu sendiri (Freire, 1999).

Melihat realitas yang demikian, Sarjono dan Nurudin (2000) mengungkapkan: Langkah yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengembalikan

pendidikan kepada kesadaran penuh untuk menciptakan manusia yang memiliki watak kemanusiaan. Manusia yang memiliki kemampuan seimbang, bukan saja mempunyai kemampuan intelektual tetapi juga memiliki kesadaran manusia.

Dokumen yang terkait

1. No. Responden: 2. Nama : 3. Umur : 4. Kelas : - Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Tentang Dismenorea dan Tindakan Dalam Penanganan Dismenorea di SMP Swasta Kualuh Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2015

0 0 22

Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Tentang Dismenorea dan Tindakan Dalam Penanganan Dismenorea di SMP Swasta Kualuh Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2015

0 1 16

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Tentang Dismenorea dan Tindakan Dalam Penanganan Dismenorea di SMP Swasta Kualuh Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2015

0 1 10

BAB II PROFIL PERUSAHAAN 2.1 Sejarah Singkat dan Kegiatan Operasional Perusahaan ` 2.1.1 Sejarah Singkat Perusahaan PT Perkebunan Nusantara II (persero) Kebun Sampali berkedudukan di pasar - Efisiensi Pengelolaan Dana Dalam Rangka Meningkatkan Rentabilita

0 1 15

BAB II PROFIL PERUSAHAAN A. Sejarah Perusahaan - Analisis Pinjaman Polis di AJB Bumiputera 1912 Kantor Wilayah Medan

0 1 27

BAB II BALAI WILAYAH SUNGAI SUMATERA II DIREKTORAT JENDERAL SUMBER DAYA AIR KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT A. Sejarah Ringkas 1. Kementerian Pekerjaan Umum - Pengendalian Internal Penerimaan Dan Pengeluaran Kas Pada Balai Wilayah Sungai S

0 0 30

BAB II PT PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO) MEDAN A. Sejarah Ringkas - Sistem Informasi Akuntansi Pada PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan

0 1 31

BAB II DINAS PERHUBUNGAN KOTA MEDAN A. Sejarah Ringkas - Sistem Akuntansi Penerimaan dan Pengeluaran Kas Pada Dinas Perhubungan Kota Medan

0 0 26

BAB II PROFIL INSTANSI A. Sejarah Singkat PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk - Peranan Kepimimpinan Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT.Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk Kcu Universitas Sumatera Utara.

0 0 11

PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul : Perbedaan Tingkat Depresi pada M ahasiswi S1 yang Sudah Menikah dan Belum Menikah di Unversitas Sebelas Maret Surakarta

0 1 46