~ POLA MAKAN

~ 14 ~ POLA MAKAN

Waryono Abdul Ghafur …makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan (QS. al-A’raf [7]: 31)

B agi orang yang berpunya, puasa mungkin hanya satu bulan.

Namun tidak demikian bagi orang miskin-papa. Mereka relatif puasa lebih panjang, sepanjang tahun karena kesulitan mencari makan. Mereka menjadi kelompok masyarakat yang tidak sempat memikirkan bagaimana menyimpan makanan dalam kulkas, apalagi memikirkan pendidikan. Menyisihkan makanan, apalagi dalam kulkas, makan makanan bergizi, dan pendidikan bagi mereka adalah barang istimewa. Karena itu, bagi mereka bagaimana menyambung hidup dan terus survive dengan mengais rizki di tempat-tempat pembuangan sampah seperti di Bantar Gebang meski dengan penuh resiko adalah sebuah keniscayaan. Mereka mengumpulkan barang-barang buangan yang sering dianggap oleh mereka yang punya tidak bermanfaat. Semuanya demi untuk makan dan terus hidup, meski dengan berbagai keterbatasan.

Menurut para ulama, ustadz, kyai, dan ahli, puasa terutama puasa Ramadhan mendidik orang yang punya

Mutiara Nasihat Seribu Bulan kelebihan yang puasa agar memiliki etika sosial berupa sikap

empatik terhadap mereka yang miskin. Dengan pengalaman langsung, orang yang berpuasa diajak mengalami hal serupa seperti yang banyak dialami oleh orang-orang miskin, yakni lapar dan haus, karena tidak atau kurang makan. Namun, dalam realitasnya apakah demikian, perlu masing-masing kita yang puasa dan kebetulan memiliki kelebihan untuk koreksi diri.

Menarik untuk mencermati fenomena pasar dan ekonomi menjelang dan saat masa puasa berlangsung. Menjelang dan masa puasa Ramadhan biasanya ditandai oleh fenomena naiknya harga-harga barang, akibat semakin meningkatnya permintaan masyarakat. Ironis tapi menarik untuk dicermati, media massa menginformasikan bahwa pada bulan Ramadhan ini beredar daging sapi campur daging celeng, daging sapi yang di glonggong dan daging-daging ilegal lainnya serta daging kadaluarsa.

Bagi pelaku ekonomi, permintaan yang meningkat tersebut sebuah kesempatan untuk menarik keuntungan yang besar dan bagi pemerintah dianggap sebagai indikator bahwa daya beli sebagian masyarakat meningkat. Namun, dalam konteks puasa, semua itu patut menjadi renungan dan kritik diri. Bagaimana puasa akan menjadi media edukasi sosial, kalau meningkatnya permintaan dan daya beli itu justru semakin menunjukkan kesenjangan sosial?

Maka menjadi ironis bila pada masa puasa ini justru pada satu sisi banyak orang miskin berkeliaran, menampakkan ‘wajahnya’ yang paling kongkrit mengemis untuk menyambung hidup, sementara pada sisi lain banyak yang puasa tapi justru menumpuk dan menambah menu makanan. Puasa, tapi malah berlebihan dan boros, sehingga wajar kalau

Kumpulan Kultum Ramadhan pada bulan puasa justru kebutuhan meningkat dan harga

barang naik serta banyak beredar daging ilegal. Pada satu sisi, ada sebagian masyarakat yang dapat menambah menu dan menyimpanan makanan di kulkas, tapi pada sisi lain masih banyak bermunculan orang-orang miskin yang tidak dapat dibaca, kecuali sebagai kritik sosial atas kita yang memiliki perilaku menambah menu dan menyimpan makanan.

Puasa sejatinya sebagai media pembelajaran agar kita semakin peduli dengan tidak berlebihan menambah menu atau menyimpan dan menyisihkan makanan itu dalam kulkas. Kalaupun sampai menyimpannya, maka tidak di kulkas, tapi pada perut orang-orang miskin. Ayat yang dikutip di atas mengingatkan kita tentang bagaimana pola makan yang benar, bukan saja di bulan puasa tapi juga di luar puasa. Pola tersebut adalah tidak berlebihan. Ayat yang lain misalnya QS. al-Baqarah [2]: 168, menambah dengan yang dikonsumsi adalah halal dan toyyib (sangat baik). Pola ini diajarkan, bukan saja agar kita makan dengan baik tapi juga agar kita terhindar dari berbagai macam penyakit akibat makanan dan mau berbagi makanan. Semoga dalam momentum Ramadhan kali ini kita dapat merenunginya dengan baik (introspeksi diri)!

Mutiara Nasihat Seribu Bulan