Kunci Utama

Kunci Utama

Berdasarkan pengalaman, secanggih apa pun teknologi yang diterapkan un- tuk mengolah sampah, tidak akan ber- hasil tanpa adanya dukungan/partisipa- si masyarakat. Masyarakat, termasuk mereka yang tinggal di pinggiran TPA/TPST, kaum perempuan, pemu- lung dan sekor informal selayak diajak menyusun desain pengelolaan sampah, implementasi, monitoring dan review (berkala).

Master plan akan dapat dilaksa- nakan dengan sukses bila mengadopsi dan mengeloborasi Rekomendasi Se- miloka Pembahasan Rencana Aksi Pe- ngelolaan Sampah Jakarta 2005-2015 di Hotel Millenium Jakarta, 23 No- pember 2005. Semiloka tersebut meru- pakan kerja sama Koalisi LSM untuk Persampahan Nasional dan Dinas Kebersihan DKI. Tiga butir rekomen- dasi adalah: (1) Melakukan Review To- tal terhadap pelibatan berbagai stake- holder dalam pengelolaan sampah di

Jakarta, juga pemberdayaan masyara- kat dalam pengelolaan sampah, (2) Me- lakukan kaji ulang terhadap pemilihan lokasi tempat pembuangan akhir/ tem- pat pengolahan sampah terpadu (TPA- /TPST) yang berdekatan dengan permu- kiman penduduk, dan (3) Menyediakan berbagai alternatif dan kaji ulang peng- gunaan teknologi pengolahan sampah di Jakarta. Hendaknya menekankan teknologi yang ramah lingkungan, tidak menimbulkan pemborosan sumber alam dan sumber dana, melindungi ke- sehatan, dan dapat mendorong pening- katan kesejahteraan masyarakat.

Upaya ini dibarengi adanya pemi- sahan antara regulator, operator, dan pengawas. Tentu semuanya itu harus tertuang dalam klausul-klausul UU Per- sampahan, selanjutnya diturunkan da- lam PP dan Perda.

Sejauh ini kita belum memiliki UU Persampahan, informasi yang diterima penulis, bahwa RUU Pengelolaan Sam- pah masih diharmonisasi di Departe- men Hukum dan HAM. Saat ini RUU itu belum masuk program legislasi nasional (Prolegnas). Demi kepentingan bersa-

ma selayaknya pembahasan itu diperce- pat dan segera dikeluarkan amanat pre- siden (Ampres) guna dimasukkan da- lam Prolegnas dan segera diagenda di DPR RI. Banyak kalangan menunggu lahirnya RUU tersebut.

Berbagai persoalan sampah seperti kasus TPA Bantar Gebang, TPST Bo- jong, TPA Leuwigajah, kasus Bandung lautan sampah telah menciptakan stig- ma buruk dan merupakan bagian seja- rah hitam pengelolaan sampah di Indo- nesia. Kementerian Lingkungan Hidup menduga, apa yang dialami Bandung akan terulang di kota-kota lain. Jika su- atu hari TPA Bantar Gebang ditutup total, sementara Jakarta belum siap dengan implementasi master plan maka bahayanya akan lebih dahsyat beberapa kali lipat dibanding kasus sampah Ban- dung. Karena timbulan sampah Jakarta jauh lebih banyak dibanding Bandung. DKI harus mengambil langkah-langkah cepat, konkrit, terencana dan kompre- hensif untuk mengantisipasinya. „

*) Ketua Koalisi LSM Untuk Persampahan Nasional, Ketua Dewan Daerah WALHI Jakarta

Percik „ Oktober 2006 „

17

FOTO: BAGONG S

A bad ke-21 dimulai dengan se-

buah kondisi pembangunan manusia yang mendasar yang

belum tertanggulangi, yaitu akses kepa-

da layanan air minum, khususnya bagi penduduk miskin di daerah kumuh per- kotaan. Sementara akses ke air minum merupakan sumber daya atau modal da- sar bagi keberlangsungan hidup. Akses ke air minum merupakan salah satu komponen dalam klasifikasi kemiskinan (Howard, 2004). Kegagalan dalam pe- nyediaan air membawa dampak ke se- mua kelompok. Akan tetapi, yang paling besar dampaknya adalah terhadap pen- duduk miskin kota sehingga mereka se- makin tidak mampu keluar dari siklus kemiskinan.

Beberapa faktor ditengarai menjadi penyebab minimnya akses air minum, khususnya bagi penduduk miskin, yaitu sebagai berikut.

Lahan yang ditempati bukan meru- pakan miliknya yang sah. Pada daerah perkotaan, penyedia la- yanan air minum tidak melayani dae- rah permukiman liar, dengan pertim- bangan akan memberi legitimasi dan alasan bagi penduduk untuk terus menempati lokasi tersebut. Walau- pun kebijakan nasional menyatakan bahwa air minum diperuntukkan bagi semua orang, dalam prakteknya hal ini tidak akan terjadi pada penduduk di permukiman liar. Kemampuan penduduk miskin sa- ngat terbatas untuk membayar bia- ya sambungan sekaligus di depan. Keterbatasan kemampuan untuk membayar biaya sambungan itu akan berakibat bahwa penduduk miskin ti- dak akan pernah memperoleh layan- an air perpipaan. Harga satuan air perpipaan jauh lebih rendah dari air

yang dijajakan keliling, tetapi biaya sambungan air perpipaan mahal (McIntosh, A. C, 2003). Ketika tanggung jawab penyediaan air minum dialihkan ke swasta, ke- pentingan penduduk miskin bukan menjadi perhatian. Perusahaan penyedia layanan air mi- num swasta tidak tertarik melayani penduduk miskin sebab penduduk miskin berkonsumsi rendah, mereka tidak mampu membayar biaya pema- sangan sekaligus di depan. Di sam- ping itu, mereka sering berlokasi di kawasan permukiman liar. Bagi sebagian besar pengambil ke- putusan, penduduk miskin dianggap tidak mampu dan/atau tidak mau membayar. Penduduk miskin dianggap tidak mampu untuk membayar. Walaupun

demikian, pada saat tertentu seperti menjelang pemilihan umum, pendu- duk miskin perkotaan memperoleh perhatian berupa janji perbaikan ling- kungan dan penyediaan air gratis. Lokasi tempat tinggal jauh dari ja- ringan perpipaan. Ketika penduduk berlokasi di ka- wasan kumuh, atau berjarak jauh dari jaringan perpipaan, akses air minum menjadi berkurang.

Kekurangan air dan sanitasi ber- dampak pada kemiskinan melalui em- pat dimensi, yaitu (i) kesehatan, (ii) pendidikan, (iii) jender, dan (iv) penda- patan dan konsumsi (Bosch, Hom- mann, Sadoff dan Travers, 2000). Hal itu selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Ketika penduduk miskin tidak mem- peroleh akses air minum, penduduk miskin khususnya di perkotaan me- nanggung konsekuensinya, di antaranya

Percik „ Oktober 2006 „