Choice Model

Choice Model

Pilihan IV

Sistem Komunal Sistem Komunal Jaringan Limbah Status Quo Status Quo Status Quo Status Quo Status Quo Status Quo

Pilihan III

Status Quo Status Quo MCK Plus MCK Plus MCK Plus MCK Plus Jaringan Limbah Sistem Komunal MCK Plus

Pilihan II

MCK Plus Jaringan Limbah Status Quo Jaringan Limbah Sistem Komunal Jaringan Limbah MCK Plus Jaringan Limbah Jaringan Limbah

Pilihan I

Jaringan Limbah MCK Plus Sistem Komunal Sistem Komunal Jaringan Limbah Sistem Komunal Sistem Komunal MCK Plus Sistem Komunal

Kota

Bandung Banjarmasin Blitar Jambi Denpasar Payakumbuh Surabaya Surakarta Gabungan 8 Kota

dilengkapi dengan IPAL. Dengan pe- ngelolaan yang baik, sistem ini cukup aman bagi lingkungan dan kesehatan dan cukup nyaman digunakan walau- pun sifat pelayanan yang diberikan bu- kanlah sambungan rumah.

Secara umum, sistem komunal me- rupakan sistem yang paling banyak di- sukai, yaitu sebagai pilihan pertama dari 4 kota yang terlibat dalam survei ini, yaitu Blitar, Jambi, Payakumbuh, dan Surabaya. Cukup menarik untuk diamati bahwa selagi sistem komu- nal ini merupakan pilihan yang paling disukai di 4 dari 8 kota yang disurvei, responden di 2 kota yang lain, yaitu Bandung dan Banjarmasin, justru tidak menghendaki sistem komunal sama se- kali dan menganggap bahwa sistem ini lebih buruk dari fasilitas sanitasi mere- ka sekarang. Jaringan limbah sebagai pilihan pertama dipilih oleh responden di kota Bandung dan Denpasar, se- mentara responden di kota Banjarmasin dan Surakarta lebih memilih MCK plus sebagai pilihan pertama. Yang juga me- narik adalah fakta bahwa hanya 1 kota, yaitu Blitar yang respondennya meng- anggap bahwa MCK Plus merupakan pi- lihan yang lebih buruk dari sarana sani- tasi mereka sekarang. Hal ini konsisten dengan kondisi responden yang pada umumnya miskin dengan akses ke sa- rana sanitasi pribadi yang umumnya buruk sehingga dalam kesehariannya- pun sebagian dari mereka memilih untuk menggunakan MCK umum. Hal ini umum terjadi pada masyarakat pen- datang dan pengontrak dengan fasilitas sanitasi pada lokasi kontrakan yang sangat terbatas.

Pola pilihan seperti tersebut di atas merupakan agregat dari pola pilihan di tingkat rumah tangga pada lokasi survei. Walaupun pada pelaksanan sur- vei ini responden telah dijelaskan me- ngenai karakteristik ketiga alternatif yang ditawarkan tersebut, pengetahuan dan pengalaman responden atas ketiga alternatif tersebut tampak jelas mewar-

nai pola pilihan mereka. Dari 8 kota yang disurvei, hanya Denpasar dan Bandung yang respondennya menem- patkan jaringan air limbah perkotaan sebagai pilihan pertama. Pada kenya- taannya, sebenarnya ada 3 kota yang saat ini telah memiliki jaringan air lim- bah terpusat, yaitu Bandung, Denpasar, dan Surakarta. Jaringan air limbah di Denpasar saat ini sedang dalam tahap pembangunan dan dapat dikatakan sebagian besar penduduk Denpasar tahu mengenai hal ini. Kota Bandung telah memiliki jaringan air limbah sejak lama, walaupun cakupannya masih ter- batas, tetapi telah cukup dikenali oleh warganya. Sementara untuk Surakarta, cakupan jaringan air limbahnya masih sangat terbatas dan kebetulan tidak ada yang berdekatan dengan lokasi sam- pling pada studi ini. Pengalaman lang- sung berhubungan dengan jaringan air limbah perkotaan tampaknya memang berpengaruh pada pilihan responden. Responden di Surakarta hanya menem- patkan jaringan air limbah sebagai pi- lihan kedua, setelah MCK Plus.

Pengalaman dan pengetahuan me- ngenai sistem yang ditawarkan ini pula yang menyebabkan sistem komunal merupakan sistem yang paling banyak dipilih, mengingat sistem ini paling banyak digunakan (melalui program SANIMAS) dengan tingkat keberha- silan yang cukup baik. Masyarakat tampaknya cukup diyakinkan bahwa sistem ini dapat berhasil dengan baik dan pada kenyataannya cukup mudah

direalisasikan. Masyarakat Blitar sudah sangat mengenal sistem komunal, se- hingga buat mereka tampaknya sistem yang diharapkanpun hanya sistem ko- munal; terbukti dari pola pilihan yang menempatkan jaringan air limbah dan MCK Plus di bawah sarana sanitasi me- reka sekarang (status quo). Kasus yang senada tampaknya juga menjelaskan mengapa MCK Plus merupakan pilihan pertama di Surakarta. Pada lokasi-lo- kasi survei di kota ini, MCK umum yang ada pada umumnya dalam kondisi yang cukup baik, masyarakat sudah terbiasa dengan MCK, dan sebagian besar res- ponden merupakan warga pendatang yang tinggal di rumah kontrakan yang tentunya tidak memiliki kewenangan untuk menentukan jenis fasilitas ditem- pat mereka mengontrak sehingga alter- natif yang membutuhkan sambungan rumah jadi tidak terlalu menarik.

Pola pilihan yang berhasil digali da- ri studi ini juga mengindikasikan priori- tas pemecahan permasalahan di ling- kungan sendiri terlebih dahulu. Sebe- lum ditanya mengenai pilihan alternatif yang diinginkan, responden telah dije- laskan terlebih dahulu bahwa kelebihan dari sistem jaringan limbah perkotaan adalah permasalahan lingkungan yang lebih luas pada skala kota dapat lebih baik ditangani. Fakta bahwa sistem komunal tetap lebih banyak diminati dari jaringan air limbah perkotaan se- dikit banyak mengindikasikan bahwa buat para responden yang penting ada- lah memecahkan masalah di tingkat mereka sendiri dahulu. Sekalipun studi ini tidak mengelaborasi lebih jauh alasan-alasan di balik pilihan respon- den, gejala ini konsisten dengan kecen- derungan dari penduduk yang berpen- dapatan rendah untuk hanya peduli pada masalah-masalah mendesak yang langsung mereka hadapi. Bagi mereka, masalah lingkungan yang lebih luas masih merupakan hal yang terlalu "mewah" dibandingkan dengan tuntut- an masalah hidup mereka yang sangat

Percik „ Oktober 2006 „

39

Kota Bandung telah

memiliki jaringan air limbah sejak lama, walaupun cakupannya

masih terbatas, tetapi telah cukup dikenali oleh warganya.

didominasi oleh masalah keseharian, dengan pola pendapatan yang juga ha- rian, ditambah lagi dengan tidak adanya jaminan pekerjaan yang menerus dan stabil.

Selain pola pilihan, studi ini juga meng- ukur keinginan masyarakat miskin di 8 kota yang disurvei untuk membayar dalam upaya peningkatan sarana sanitasi mereka. Tingkat keinginanan membayar (willing- ness to pay) ini tentunya sejalan dengan tingkat preferensi mereka terhadap alter- natif yang ditawarkan. Yang diukur pada studi ini adalah berapa banyak responden mau membayar setiap bulannya untuk beralih dari sarana sanitasi yang mereka miliki sekarang ke salah satu dari ketiga al- ternatif yang ditawarkan tersebut. Dengan demikian, untuk alternatif-alternatif yang mereka anggap tidak lebih baik dari kon- disi status quo mereka, perkiraan ke- mauan membayar mereka menjadi nega- tif, atau dengan kata lain mereka tidak ingin beralih ke alternatif yang dita-

warkan tersebut. Secara ringkas kondisi kemauan membayar per bulan per rumah tangga untuk ketiga alternatif yang ditawarkan pada 8 kota yang di- survei dapat dilihat pada grafik berikut:

Grafik di atas menunjukkan bahwa masyarakat miskin pada lokasi yang disurvei memiliki keinginan membayar untuk salah satu alternatif yang ditawarkan antara Rp.4.700 sampai Rp. 67.000 per rumah tangga per bulan. Yang terendah adalah untuk pi- lihan jaringan air limbah di Banjar- masin, dan yang tertinggi adalah untuk sistem komunal di Payakumbuh. Ke- inginan membayar untuk MCK Plus berkisar antara Rp. 8.300 per KK per bulan (di Bandung) sampai dengan Rp. 53.000 per KK per bulan (di Su- rabaya). Untuk sistem komunal, ke- inginan membayar per KK per bulan berkisar antara Rp. 28.400 (di Surakarta) sampai dengan Rp. 67.000 (di Payakumbuh). Sedangkan untuk

jaringan limbah perkotaan, yang teren- dah adalah Rp. 4.700 per KK per bulan (di Banjarmasin) dan yang tertinggi adalah Rp. 54.000 per KK per bulan di Payakumbuh).

Perkiraan keinginan membayar tersebut di atas cukup menggambarkan realitas yang ada. Pengalaman dengan program SANIMAS selama ini menun- jukkan bahwa masyarakat pengguna ra- ta-rata mengeluarkan antara Rp. 15.000 sampai Rp. 35.000 per KK per bulan untuk fasilitas MCK Plus. Sementara untuk sistem komunal SA- NIMAS, selama ini setiap keluarga yang tersambung pada sistem tersebut mem- bayar antara Rp. 20.000 sampai de- ngan Rp. 45.000 setiap bulannya. Perkiraan keinginan membayar terse- but menunjukkan bahwa sistem SANI- MAS yang selama ini digunakan sebagai alternatif penanganan permasalahan sanitasi di daerah (miskin) perkotaan cukup menjanjikan untuk juga diterap- kan pada kota-kota lain di Indonesia.

Mengenai keinginan untuk memba- yar fasilitas jaringan limbah perkotaan yang rata-rata pada kisaran Rp 30.000 sampai Rp. 40.000 per KK per bulan, jumlah ini juga menunjukkan potensi yang cukup baik walaupun belum cukup untuk menjamin pembiayaan sistem jaringan air limbah yang berdasarkan literatur membutuhkan rata-rata Rp. 50.000 sampai Rp. 100.000 per KK per bulan. Walaupun demikian, angka te- muan ini tetap menjanjikan.Kom- binasinya dengan subsidi pemerintah, pola subsidi silang pada pentarifan pelayanan air limbah, dan pengaturan yang ketat dan konsisten yang mewa- jibkan masyarakat berpenghasilan menengah - tinggi untuk tersam- bung ke sarana limbah perkotaan, diyakini dapat membuka jalan bagi realisasi pembangunan sistem jaringan air limbah perkotaan, yang untuk sebagian besar kota-kota besar di Indonesia mau tidak mau harus dilaksanakan di masa-masa men- datang. „

Percik 40 „ Oktober 2006 „

m ckplus

m ckplus

s ewer sewer

sewer

s ewer s ewer

P ayaku

S u rab

aya

S u rakar

ta