BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA MENGATASI PERBUATAN
NOTARIS YANG MENIMBULKAN DELIK-DELIK PIDANA DALAM JABATANNYA
A. Kebijakan Hukum Pidana
Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi mungkin tidak akan pernah berakhir sejalan dengan perkembangan dan dinamika sosial yang
terjadi dalam masyarakat. Masalah tindak pidana ini nampaknya akan terus berkembang dan tidak pernah surut baik dilihat dari segi kualitas maupun
kuantitasnya, perkembangan ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat dan pemerintah. Tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku menyimpang yang
selalu ada dan melekat pada setiap bentuk masyarakat, dalam arti bahwa tindak pidana akan selalu ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti
halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun.
Hukum pidana sebagai alat atau sarana bagi penyelesaian terhadap problematika ini diharapkan mampu memberikan solusi yang tepat. Oleh karena itu,
pembangunan hukum dan hukum pidana pada khususnya, perlu lebih ditingkatkan dan diupayakan secara terarah dan terpadu, antara lain kodifikasi dan unifikasi
bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat dibutuhkan guna menjawab semua tantangan dari semakin meningkatnya
kejahatan dan perkembangan tindak pidana.
Kebijakan hukum pidana tidak semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematis
dogmatik, tetapi juga memerlukan pendekatan yuridis faktual berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan pula pendekatan
komprehensif dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya.
Kebijakan hukum pidana tidak terlepas dari politik hukum pidana itu sendiri. Menurut Sudarto kebijakan hukum pidana atau politik hukum adalah :
Universitas Sumatera Utara
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu saat.
104
b. Kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa
yang dicita-citakan.
105
Selanjutnya Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana
yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna, karena melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-
undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.
106
Oleh karena itu politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-
undangan pidana yang baik. Menurut Marc Ancel yang menyatakan bahwa tiap masyarakat yang
terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari :
107
a. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya.
b. Suatu prosedur hukum pidana.
c. Suatu mekanisme pelaksanaan pidana.
104
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1981, halaman 159.
105
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983, halaman 20.
106
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996, halaman 28.
107
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian usaha untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat terlepas dari tujuan penanggulangan kejahatan, jadi
kebijakan atau politik hukum juga merupakan bagian dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana dan usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan bagian dari usaha kebijakan penegakan hukum law enforcement policy.
Menurut Muladi
108
penegakan kebijakan hukum pidana merupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Penegakan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap : a.
Tahap informasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang, tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislatif.
b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum
mulai dari kepolisian sampai pengadilan, tahap ini disebut dengan tahap kebijakan yudikatif.
c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh
aparat-aparat pelaksana pidana, tahap ini disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.
Usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian usaha perlindungan masyarakat social
protection. Kebijakan ini termasuk salah satu yang menjadi perhatian kriminologi,
108
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, halaman 8-13.
Universitas Sumatera Utara
terutama kejahatan penyalahgunaan wewenang, penipuan, pemaksaan, pemalsuan, dan ini salah satu bentuk realita yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.
Pengaktualisasian kebijakan hukum pidana merupakan salah satu faktor penunjang bagi penegakan hukum pidana, khususnya penanggulangan tindak
kejahatan. Kebijakan hukum pidana sebagai suatu bagian dari upaya untuk menanggulangi kejahatan dalam rangka mensejahterakan masyarakat, maka tindakan
untuk mengatur masyarakat dengan sarana hukum pidana terkait erat dengan berbagai bentuk kebijakan dalam suatu proses kebijakan sosial yang mengacu pada tujuan
yang lebih luas. Sebagai salah satu alternatif penanggulangan kejahatan, maka kebijakan hukum pidana adalah bagian dari kebijakan kriminal criminal policy.
Universitas Sumatera Utara
Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu :
109
1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari
reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. 2.
Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.
3. Dalam arti paling luas yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen, ialah keseluruhan
kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Dalam ketentuan hukum pidana kita, dikenal beberapa bentuk kejahatan pemalsuan, antara lain sumpah palsu, pemalsuan uang, pemalsuan merek dan materai,
dan pemalsuan surat. Dalam perkembangannya, dari berbagai macam tindak pidana pemalsuan tersebut, jika kita melihat objek yang dipalsukan yaitu berupa surat, maka
tentu saja hal ini mempunyai dimensi yang sangat luas. Surat sebagai akta otentik tidak pernah lepas dan selalu berhubungan dengan aktivitas masyarakat sehari-hari.
Dewasa ini banyak oknum notaris melakukan pelanggaran menjalankan tugasnya khususnya dalam hal pembayaran BPHTB dan PPh, seperti
contoh kasus: Notaris Dahlan Ginting, SH yang pada saat baru membuka kantor notarisnya
dihubungi oleh Kusnadi Luhur salah satu pemegang saham NV. Sumatera Match Factory untuk melakukan transaksi jual beli sebidang tanah. Sebelum
dilakukan transaksi jual beli sebidang tanah, notaris tersebut menyuruh Kusdani Luhur agar diselenggarakan dulu RUPS Rapat Umum Pemegang Saham
sesuai dengan Anggaran Dasar perusahaan, dan di dalam RUPS tersebut agar diputuskan untuk menjual aset berupa tanah dan bangunan sesuai Sertipikat Hak
Guna Bangunan HGB No. 120Tg. Mulia. Setelah RUPS selesai
109
http:bardanawawi.blogspot.com200710bung-rampai-kebijakan-hukum-pidana.html, tanggal 25 Agustus 2009.
Universitas Sumatera Utara
diselenggarakan, maka Kusnadi Luhur yang mewakili pihak penjual bersama saksi korban kembali datang untuk bertemu notaris tersebut untuk
melaksanakan Pengikatan Jual Beli. Setelah jual beli terjadi dan dengan harga tanah yang disepakati oleh para pihak, maka pada hari itu juga sanksi korban
menyerahkan 1 lembar cek sebesar Rp. 660.000.000,- enamratus enampuluh juta rupiah untuk pembayaran BPHTB dan PPh. Akan tetapi setelah
dicairkannya cek tersebut, ternyata uang tersebut tidak dibayar untuk pembayaran pajak. Malahan notaris tersebut bersama karyawannya membuat
setoran BPHTB dan PPh secara fiktif, seakan-akan setoran pajak tersebut telah disetorkan ke Bank BTN Medan. Setoran palsu itu diberikan kepada
NotarisPPAT Adi Pinem, SH, agar bisa dilaksanakan Akte Jual Belinya. Setelah AJB selesai dilaksanakan, maka berkas-berkas yang berhubungan untuk
proses Balik Nama diserahkan ke Badan Pertanahan Nasional BPN. Kemudian selang beberapa waktu, selesailah Sertipikat HGB No. 120Tg. Mulia
atas nama saksi korban. Setelah beberapa harinya sanksi korban menerima surat dari BPN Kota Medan yang isinya bukti setoran Pajak BPHTB dan PPh sebagai
syarat peralihan balik nama adalah palsu, sehingga sanksi korban langsung kembali membayar pajak-pajak yang terhutang. Karena merasa ditipu, saksi
korban mendatangi notaris tersebut untuk meminta kembali uang yang telah diterimanya, akan tetapi notaris tersebut malah menghindar dan mengelak dari
tanggung jawab.
Dengan perbuatan yang dilakukan notaris tersebut, maka bisa dijerat dengan Pasal 263, Pasal 372, dan Pasal 378 KUHPidana, yang berbunyi :
Pasal 263 KUHPidana 8.
Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian kewajiban atau sesuatu pembebasan
utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan
surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena
pemalsuan surat, dengan hukuman pejara selama-lamanya enam tahun.
9. Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barang siapa dengan sengaja
menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu
kerugian.
Pasal 372 KUHPidana : Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang
sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan
Universitas Sumatera Utara
hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-.
Pasal 378 KUHPidana : Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan
bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun.
Hal ini terjadi kemungkinan penyebabnya adalah kode etik tidak mempunyai sanksi yang keras terhadap pelanggaran kode etik profesi. Dimana keberlakuan kode etik
profesi hanya semata-maata berdasarkan kesadaran moral anggota profesi, berbeda dengan undang-undang yang bersifat memaksa dan dibekali dengan sanksi yang
keras.
110
Selain dari hal diatas, peningkatan kejahatan ini juga tidak lepas dari faktor sosial budaya dalam masyarakat kita, yaitu adanya orientasi masyarakat yang lebih
menghargai atau memandang seseorang dari sisi jabatannya dari pada kerjanya. Dilihat dari tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh notaris yang
bersangkutan, maka perbuatan tersebut dapat digolongkan ke dalam pelanggaran berat suatu perbuatan yang telah mencemarkan, serta merendahkan martabat dan
kehormatan profesi. Ditinjau dari Undang-undang Nomor 30 tahun 2004, maka notaris tersebut dapat dikenakan sanksi yang berupa pemberhentian dari jabatan.
Selain itu pula, apabila dikaji dari Pasal 12 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004, dikaitkan dengan Pasal 17 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004, mengenai
larangan bagi notaris, khsusnya huruf I dari Pasal tersebut, yang berbunyi “melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau
kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan notaris”, maka dengan demikian notaris tersebut telah melanggar ketentuan larangan bagi notaris.
Dikatakan demikian karena dengan tindakan pidana yang dilakukan oleh notaris yang bersangkutan tidak sesuai dengan kepatutan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh
seseorang yang menjabat sebagai profesi notaris.
110
Abdul Kadir Muhammad, Op.cit, halaman 80.
Universitas Sumatera Utara
Adapun alasan lain seorang notaris dapat diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri, apabila notaris tersebut dijatuhi hukuman pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan peradilan. Dengan demikian, praktek pemalsuan, penggelapan dan penipuan pajak
merupakan suatu bentuk penyerangan terhadap kepercayaan masyarakat kepada notaris dan juga merupakan bentuk
tindakan penyerangan martabat atau penghinaan terhadap kode etik notaris.
Dengan demikian, dalam upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan tidak cukup hanya dengan pendekatan secara integral, tetapi
pendekatan sarana penal dan non penal harus didukung juga dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat.
Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian dari budaya hukum. Padahal budaya hukum juga mencakup
kesadaran hukum dari pihak pelaku usaha, parlemen, pemerintah dan aparat penegak hukum.
Hal ini perlu ditegaskan karena pihak yang paling tabu hukum dan wajib menegakkannya, justru oknumlah yang melanggar hukum. Ini
menunjukkan kesadaran hukum yang masih rendah dari pihak yang seharusnya menjadi tauladan bagi masyarakat dalam
mematuhi dan menegakkan hukum.
B. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Mengatasi Perbuatan Notaris.