Kebijakan Penal Pidana terhadap

Adapun alasan lain seorang notaris dapat diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri, apabila notaris tersebut dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan peradilan. Dengan demikian, praktek pemalsuan, penggelapan dan penipuan pajak merupakan suatu bentuk penyerangan terhadap kepercayaan masyarakat kepada notaris dan juga merupakan bentuk tindakan penyerangan martabat atau penghinaan terhadap kode etik notaris. Dengan demikian, dalam upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan tidak cukup hanya dengan pendekatan secara integral, tetapi pendekatan sarana penal dan non penal harus didukung juga dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian dari budaya hukum. Padahal budaya hukum juga mencakup kesadaran hukum dari pihak pelaku usaha, parlemen, pemerintah dan aparat penegak hukum. Hal ini perlu ditegaskan karena pihak yang paling tabu hukum dan wajib menegakkannya, justru oknumlah yang melanggar hukum. Ini menunjukkan kesadaran hukum yang masih rendah dari pihak yang seharusnya menjadi tauladan bagi masyarakat dalam mematuhi dan menegakkan hukum.

B. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Mengatasi Perbuatan Notaris.

Mengingat keberadaan kode etik yang tidak memiliki sanksi dan memaksa, kemudian pelaksanaannya hanya mendasarkan kesadaran moral belaka. Selanjutnya menurut Muladi 111 upaya penanggulangan kejahatan dilingkungan profesional dapat dilakukan secara penal dan non-penal.

1. Kebijakan Penal Pidana terhadap

notaris yang melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pembayaran BPHTB dan PPh 111 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, halaman 72. Universitas Sumatera Utara Kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundangan-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik, akan tetapi kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif serta pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya. 112 Dengan demikian, kebijakan pidana termasuk salah satu bidang kriminologi. Istilah kebijakan diambil dari istilah policy Inggris atau politiek Belanda. Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek. 113 Menurut Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. 114 Dalam kesempatan lain beliau juga menyatakan, bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 115 112 Ibid, halaman 22. 113 Ibid, halaman 24. 114 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983, halaman 161. 115 Ibid, halaman 93. Universitas Sumatera Utara Menurut Marc Ancel, Penal Policy merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Peraturan hukum positif disini yaitu peraturan perundang-undangan hukum pidana. Oleh karena itu, istilah penal policy menurut March Ancel adalah sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana. Penggunaan upaya penal sanksihukum pidana dalam mengatur masyarakat lewat perundang-undangan pada hakikatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan policy. Mengingat berbagai keterbatasan dan kelemahan hukum pidana, maka penggunaan upaya penal seyogianya dilakukan dengan lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif dan limitatif. Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan nampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktek perundang-undangan yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia, dimana penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak lagi dipersoalkan 116 . Sudarto mengemukakan bahwa apabila hukum pidana hendak digunakan hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik criminal atau social defence planning. 117 Politik kriminal ialah pengaturan atau penyusunan secara rasional usaha- usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat. Adapun tujuan akhir dari kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama disebut 116 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, halaman 156. 117 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1977, halaman 104. Universitas Sumatera Utara dengan berbagai istilah, misalnya kebahagiaan warga masyarakatpenduduk, kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan, kesejahteraan masyarakat atau untuk mencapai keseimbangan. Maka dilihat dari sudut politik kriminal, politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan hanya bersifat kurieren am symptom dan bukan sebagai faktor yang menghilangkan sebab-sebab terjadinya kejahatan. Adanya sanksi pidana hanyalah berusaha mengatasi gejala atau akibat dari penyakit dan bukan sebagai obat remidium untuk mengatasi sebab- sebab terjadinya penyakit. Hukum pidana memiliki kemampuan yang terbatas dalam upaya penanggulangan kejahatan yang begitu beragam dan kompleks. Berkaitan dengan kelemahan penggunaan hukum pidana, Roeslan Saleh menyatakan bahwa keragu-raguan masyarakat terhadap hukum pidana semakin besar sehubungan dengan praktek penyelenggaraan hukum pidana yang terlalu normatif- sistematis. Adapun batas-batas kemampuan hukum pidana sebagai sarana kebijakan kriminal dalam penanggulangan kejahatan adalah 118 : b. Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana. c. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil sub-sistem dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks sebagai masalah sosio- psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural, dsb. d. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan ”kurieren am sympton”, oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan pengobatan simptomatik dan bukan pengobatan kausatif. e. Sanksi hukum pidana merupakan remidium yang mengandung sifat kontradiktifparadoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif. f. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individualpersonal, tidak bersifat strukturalfungsional. 118 http:cetak.bangkapos.comopiniread69.html, tanggal 25 Agustus 2009. Universitas Sumatera Utara f. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif. g. Bekerjanyaberfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut biaya tinggi. Herbert L. Packer menyatakan bahwa penggunaan sanksihukuman pidana secara sembarangantidak pandang bulumenyamaratakan indiscriminately yang digunakan secara paksa coercively akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu pengancam yang utama prime threatener. 119 Ada dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal hukum pidana ialah masalah penemuan : 120 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan 2. Sanksi apa yang sebaliknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Misalnya apabila notaris telah melakukan tindak pidana dengan unsur sengaja dolus ataupun telah mempunyai niat untuk tidak menyetorkan biaya pajak yang dikenakan terhadap penjual dan pembeli atas Sertipikat SHGB No. 120Tg. Mulia dan juga secara sah telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan Pasal 16 UU No. 30 Tahun 2004, maka notaris tersebut akan dikenakan sanksi sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 85 Undang-undang No. 30 Tahun 2004, selain itu notaris juga dapat dikenakan sanksi pidana dan kode etik. Yang mana sanksi-sanksi tersebut berdiri sendiri yang akan dijatuhkan oleh instansi yang diberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi tersebut. 119 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005, halaman 76. 120 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. Cit., halaman 29. Universitas Sumatera Utara Jika terbukti melakukan pelanggaran dan dijatuhi sanksi tersebut diatas, dapat diberhentikan sementara dari jabatannya Pasal 9 ayat 1 UUJN atau diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya Pasal 12 UUJN, seperti : 1. Sanksi pidana, berupa : Dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum dengan ancaman pidana penjara 5 lima tahun atau lebih Pasal 13 UUJN. 2. Sanksi kode etik, berupa : a. Melakukan perbuatan tercela Pasal 9 ayat 1 huruf c UUJN. b. Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan notaris Pasal 12 huruf c UUJN. 3. Sanksi administratif, berupa : a. Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan Pasal 9 ayat 1 huruf d UUJN. b. Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan Pasal 12 huruf d UUJN. Adapun upaya pencegahan terhadap kejahatan di lingkungan profesional menurut Abdul Kadir Muhammad 121 dapat dilakukan melalui upaya penal dengan cara : 122 a. Klausula penundukan pada undang-undang. 121 Abdul Kadir Muhammad, Op. cit, halaman 86. 122 http:perpustakaan.uns.ac.idjurnalupload_file53-fullteks.pdf, tanggal 25 Agustus 2009 Universitas Sumatera Utara Setiap undang-undang mencantumkan dengan tegas sanksi yang dapat diancamkan kepada pelanggarnya. Dengan demikian menjadi pertimbangan bagi warga, tidak ada jalan lain kecuali taat. Jika terjadi pelanggaran berarti warga yang bersangkutan bersedia dikenai sanksi yang cukup memberatkan atau merepotkan baginya. Ketegasan sanksi ini lalu diproyeksikan kepada rumusan kode etik profesi yang memberlakukan sanksi undang-undang kepada pelanggarnya. Dalam rumusan kode etik dicantumkan ketentuan ”pelanggaran terhadap kode etik dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku”. b. Legalisasi kode etik. Dalam rumusan kode etik ditentukan apabila terjadi pelanggaran, kewajiban mana yang cukup diselesaikan melalui dewan kehormatan, mana yang harus diselesaikan lewat pengadilan. Untuk memperoleh legalisasi, ketua profesi yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri setempat agar kode etik profesi disahkan dengan akte penetapan pengadilan yang berisi perintah penghukuman kepada setiap anggotanya. Dengan demikian, penggunaan hukum pidana atau sarana penal harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materil spiritual berdasarkan Pancasila, maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengurangan terhadap tindakan penganggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. 123

2. Kebijakan Sanksi Administrasi Non-Penal

Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

9 111 123

Analisa Yuridis Putusan Pengadila Terhadap Akta Notaris Yang Batal Demi Hukum (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

10 200 88

Penerapan Sanksi Pidana Pada Kasus Kelalaian Pengemudi Yang Menimbulkan Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No.854 /Pid.B/2012/Pn.Mdn )

2 81 84

Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris Yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Bphtb) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/Pn.Mdn)

4 50 123

Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat Kuasa Yang Dibuat Notaris (Study Kasus Putusan MA NO. 303 K/PID/2004)

9 140 135

Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Akta Notaris (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan)

24 189 131

Analisis Yuridis Atas Perbuatan Notaris Yang Menimbulkan Delik-Delik Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan NO. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

0 60 119

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

0 0 24

Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

0 0 14

Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris Yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Bphtb) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/Pn.Mdn)

0 0 14