partisipasi mereka menjadi tidak berkembang sama sekali. Sebagai imbasnya, bhinneka tunggal ika demi tercapainya
persatuan akan sangat sulit diwujudkan. Lalu bagaimana supaya hal ini tidak terjadi? Tidak mudah
mengatakannya. Satu hal yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana mengembangkan kultur
polyarchal.
20
di daerah, yaitu sebuah kultur yang disana memungkinkan segenap stakeholders
melembagakan trust saling percaya, memiliki toleransi
terhadap perbedaan, serta memberi kesempatan masing – masing kalangan untuk mengekspresikan pandangannya untuk
kepentingan bersama. Dalam konteks ini perbedaan pandangan konflik seharusnya tidak dipahami sebagai upaya saling
mengerdilkan, tetapi perlu diletakkan sebagai upaya penting dari meluruskan kembali konsesus – konsesus yang selama ini
berkembang di daerah. Kerena itu, perbedaan pandangan konflik itu perlu dikelola dengan kearifan.
4.1.2 Diskursus Krisis Identitas
Untuk Indonesia, sebuah negara dengan keistimewaan keragaman yang kompleks. Nusantara yang plural akan etnisitas
dan kultural, komunitas relijius – tradisional, serta berisi orang – orang
indigenous. Tak salah memang jika banyak penulis menyebutnya ‘amazing’, “..her diversity is so amazing”, ungkap
Franz Magnis Suseno. Juga tak pernah tepat sasaran jika menganggap perbedaan di Indonesia tak pernah mendapat
tempat. Barangkali, ungkapan tersebut hanya melihat dari satu sisi. Relijius yang terlalu fundamentalis, sisi politis, serta
ekonomis, besar kemungkinannya hanya demi pengikutan arus globalisasi. Pun sisi – sisi yang lain menjelaskan kekacauan –
kekacauan bumi pertiwi. Identitas kebangsaan rupa - rupanya
harus menemui tanda tanya. Memang hal ini tak pelak terbantahkan secara radikalis.
Indonesia. Sekali lagi sebuah negara, negara dengan keberagaman plural yang tak dapat menuntut keseragaman.
Berbeda adalah hal biasa dalam wawasan negara – bangsa ini. Ironisnya, mozaik kekacauan mulai ‘bertingkah’ dalam kehidupan
bumi pertiwi, bahkan semakin menjadi. Tak terbantahkan secara radikalis memang jika negeri ini sedang ‘kacau’, lagi – lagi karena
soal sektarianisme, dan sukuisme. Nuansa disintegrasi dan tribal mulai dirasakan bangsa ini. Tentu masih lekat di pikiran
masyarakat soal – soal mengenai kekerasan yang setiap hari menjadi tayangan wajib di berbagai media, cetak ataupun siaran
televisi. Berbagai elemen masyarakat dari kaum marhen, intelektual, hingga elit secara vertikal memiliki problematika
yang tak jauh berbeda untuk membuat krisis identitas semakin menjadi, rasa kebhinekaan pun kian merosot.
Ibaratkan sebuah gedung bertingkat yang masing – masing tingkat memiliki penghuni. Di lantai atas, ada kaum elit yang
setiap harinya mampu ‘menyimpan’ milyaran atau triliunan rupiah, barangkali untuk proyek – proyek seperti Banggar,
sekedar menutupi ‘Century’, ataupun menebar citra saat kelalaian terbongkar di depan publik. Di lantai dua terdapat para
pebisnis berjumlah 40 juta lebih penghuni yang
15
dapat memfasilitasi anak – anaknya sekedar bersekolah di tingkat
tinggi, dan terkadang lebih memilih tak peduli pada konflik – konflik yang sedang berlaku. Adapun di lantai terbawah, dihuni
oleh ‘masyarakat’. Mereka bukan orang – orang ‘gagal’ dan ‘putus asa’, melainkan para penanggung “ekonomi rakyat” : para
pengolah tanah, penangkap ikan, pekerja di perkebunan dan di
15
21
F.M. Suseno,”Berebut Jiwa Bangsa”, 2006 : hlm. 145
22
Tv.one, 10 Juli 2012
23
Metro tv, 16 Juli 2012
pabrik – pabrik, para pegawai bawah dan pengusaha di kaki lima.
21
Disinilah para penghuni lantai tiga dapat menyuarakan reaksi dengan seruan – seruan ideologis praktis yang radikal
terhadap elit, ketika negara sedang tak berpihak pada rakyat mudah saja bagi mereka untuk memilih kekerasan sebagai jalan
keluar. Bahkan saat gaung globalisasi semakin ‘menggerus’ kedamaian para kaum tradionalis – relijius.
Dalam artian bahwa tak mungkin sebagian besar rakyat di wilayah – wilayah pedalaman indonesia akan mampu
menukarkan cara – cara tradisional mereka di berbagai bidang : ekonomi, sosial – budaya, dan kultur untuk membayar tuntutan
dunia global, maka disinilah akan terjadi berbagai konflik. Masalah – masalah kontemporer akhir – akhir ini yang belum
mendapat penyelesaian : konflik antar suku Papua
22
, konflik agraria mesuji, konflik fundamentalisme keagamaan, bahkan
degradasi moral generasi, yakni tawuran antar pelajar yang siang hari tadi diberitakan ada dan marak terjadi
23
. Satu hal yang akan menjadi pertanyaan besar adalah dimana identitas bangsa
ini, sudah lenyapkah di tengah dentuman keras globalisasi? Apakah ini yang dinamakan krisis identitas?
Pertanyaan keras diatas seakan semakin memperkuat bahwa problematika bangsa semakin radix mengakar, dan
terjadi bukan karena sebab, ada api ada asap. Jika saat ini konflik menjadi causalitas internal, maka ada ‘globalisasi’ sebagai pihak
eksternal yang turut menjadi indikator tersulutnya berbagai konflik yang mengemuka di Indonesia. Globalisasi bahkan tak
hanya sekedar artian politis, namun juga mempengaruhi gaya pikir sosial, menyangkut nilai dan pola hidup kita, melalui jalan
ini,
16
gagasan – gagasan seperti : hak asasi manusia, demokrasi,
16
24
David Hurvey, “Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis”, 2010 : 1
25
Kayan Swastika dalam Jurnal Hitorica : Global Paradoks, Negara Kebangsaan
Indonesia, dan Pendidikan Multikultural, Universitas Jember, 2012
ekonomi pasar, pola – pola konsumsi, kemudian disebarkan dan diminati dimana – mana. Ini hanyalah ‘bualan’ lain tentang
kebebasan.
24
Jika tak mampu memfilter, maka identitas bangsa akan mengalami kebingungan. Rasa ke-kitaan dan ke-kamian yang
berlebihan karena adanya desentralisasi politis, banyak dari generasi kini bangga akan merek – merek luar negeri menjadi
penyebab sifat konsumerisme tingkat tinggi, lalu tekanan dari pihak elit untuk menstadarkan perekonomian lokal dengan
internasional agar terhindar dari resesi ekonomi macam Yunani membuat rakyat jelata serba kesusahan. Ditambah lagi struktur
sosial tradisional yang mulai berbenturan keras dengan dunia global, mengharuskan mereka bertahan survive tanpa lelah,
agar komunitas miliknya tak hilang tertelan ruang publik negara yang kian kasar, gersang, dan hambar.
25
Krisis identitas harusnya tak menjadi disukursus lagi. Ada Bhinneka Tunggal Ika sebagai perekat,
the way of life bagi keragaman bangsa, sesanti tiada tara untuk mengatasi berbagai
konflik akibat prasangka. Apabila benar – benar direvitalisasi etosnya, maka identitas Indonesia akan stabil, meski terdapat
berbagai pengaruh dari yang tak sejalan dengan pandangan hidup bangsa. Meminjam istilah Benedict Anderson tentang
‘imagined communnity’ 1993, yakni seorang individual yang merasa suatu bagian dari komunitas bangsanya. Hal serupa
terjadi kala seorang Indonesia memiliki rasa ‘we feeling’ dan ‘kebhinekaan’ terhadap negara – bangsanya sendiri, maka
disitulah bangsa yang bermula dari ‘seorang’ akan menggambarkan adanya suatu
imaged communities, dan menemukan kembali sejarahnya yang mengikat berbagai suku
bangsa di dalam satu kesatuan integrasi bangsa.
4.2 Ejawantah Bhinneka Tunggal Ika