Kesenjangan Multidimensional Masalah yang Tak Kunjung Selesai Problematika “Abadi”

seakan digoyahkan agar hancur tak berbekas. Kesenjangan multidimensional yang berdampak pada krisis identitas menjadi akibat. Jika bangsa ini terus berharap, maka problematika tak boleh jadi abadi dibanding Bhinneka Tunggal Ika

4.1.1 Kesenjangan Multidimensional

Kesenjangan multidimensional ditengarahi sebagai kausalitas controversial berkurangnya etos untuk bersatu ditengah keberagaman, bukan keseragaman. Kesenjangan multidimensional mencakup ; kesenjangan kemasyarakatan, kesenjangan sosio – grafis, kesenjangan material, kesenjangan sosio – kultural, dan kesenjangan sosio – struktural. Harapan bangsa, kesenjangan mencakup beberapa indikator tersebut dapat menjadi “obat” atau sekedar “mnemonic” agar mau belajar dari realitas yang terjadi. Bahwa inilah tantangan sesanti Bhinneka Tunggal Ika. 1. Kesenjangan Kemasyarakatan Kesenjangan pertama yang mencolok sebagai tantangan sekaligus problematika bagi masyarakat Indonesia adalah kesenjangan dalam apa yang dalam antropologi disebut sebagai aspek kemasyarakatan. Dalam realisasinya, aspek kemasyarakatan itu mencakup penyelenggaraan organisasi sosial, sistem politik, dan sistem hukum. Dalam 11 masyarakat – masyarakat yang modern, dalam arti sudah memasuki atau berada dalam tahap negara kebangsaan, realisasi aspek kemasyarakatan itu terutama terselenggara melalui proses pembuatan keptusan politik yang dilembagakan. Proses pembuatan keputusan politik itulah yang sejak zaman Penjajahan Belanda, zaman Orde Lama, Orde Baru, maupun zaman 11 16 Lihat Budi Kusumohamidjojo dalam “Kebhinekaan Masyarakat Indonesia”, 2006 : hlm. 79 reformasi merupakan masalah yang tak kunjung tuntas. Padahal suatu masyarakat modern dicirikan terutama oleh faktor, seberapa jauh proses pembuatan keputusan politik itu melibatkan partisipasi rakyat. Dalam sejarah Indonesia sebelum maupun sesudah merdeka, proses pembuatan keputusan politik ternyata tidak pernah melibatkan partisipasi rakyat : “..baik Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru tetap menganut struktur sebelum perang. Setidak – tidaknya di segi ini, Indoneisa yang merdeka tidak saja serupa melainkan sama dengan di masa sebelum perang”. 16 Dalam sejarah Indonesia merdeka partisipasi rakyat itu memang dilembagakan melalui konstitusi, tetapi tidak dilaksanakan secara nyata. Hasilnya adalah keterpisahan yang nyata juga antara mereka yang memerintah dan mereka yang diperintah. Namun, kenyataan itu juga sudah diawali di zaman penjajahan Belanda , yang menyandarkan system politik hukum yang ironisnya didasarkan pada pengakuan mereka akan hukum adat. Masalahnya adalah : “The legal system they created, with is emphasis on separateness, inequality and strong central control, passed more or less unchanged into the hands of the newly independent government.” Hukum memang adalah lapisan yang kaya untuk digali, karena hukum mencatat secara harfiah struktur negara dan memberi gambaran tanpa tedeng aling – aling pembagian keuntungan politik, social, dan ekonomi”. Dan pembagian keuntungan itu dalam konteks masyarakat Indonesia adalah berat keatas, sebagaimana oleh Vatikiotis khusus dalam Orde Baru : “Wisdom is the monopoly of the rulers, ignorance ia a burden the people must bear relieved only by the generosity and charity of the wise and powerful. Corruption is regarded as a preogrative of the elite”. 2. Kesenjangan sosio – geografis 12 Kesenjangan besar yang kedua adalah kesenjangan sosio – geografis antara Pulau Jawa dan pulau – pulau Indonesia lainnya, kecuali mungkin sekali Pulau Bali. Bahkan Pulau Madura yang oleh Belanda tidak dimasukkan kedalam Buitengewesten, 17 memperlihatkan adanya kesenjangan sosio – geografis dengan Jawa Timur. Kesenjangan sosio – geografis antara Pulau Jawa dan pulau – pulau Indonesia lainnya dapat dipahami sebagai kesenjangan dalam hal kepadatan penduduk, kemajuan pendidikan dan tingkat kemakmuran. Serta disparitas teknologi antara kota dengan desa, masih belum dapat teratasi secara total sepanjang tahun 2012. 3. Kesenjangan Material Kesenjangan yang ketiga berkaitan denagn aspek material, meliputi upaya manusia dan karyanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang multikompleks. Basic need manusia yang utama dalah memng pangan dan pengobatan untuk dapat survive secara fisik. Tetapi sejarah kebudayaan manusia memperlihatkan bahwa basic need manusia terus berkembang menjadi basic need yang meliputi berbagai aspek kehidupan manusia lainnya. Mula – mula dapat disebut kebutuhan untuk berpakaian dan memiliki hunian rumah dalam arti sempit, dan hunian dalam arti luas. Selanjutnya adalah kebutuhan untuk menjalin komunikasi, dengan manca masyarakat. Penyelenggaraan dari basic drives itu pada akhirnya dapat dibaca sebagai kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia. Penyelenggaraan ekonomi masyarakat Indonesia itulah yang mengalami perubahan structural selama Orde Baru. Orde baru tampil dengan kebijakan baru : “ekonomi dulu, politik menyusul kemudian”. Dalam tataran realitas, penyelenggaraan 12 17 dalam Pramoedya Ananta Toer, Semua Anak Bangsa, 2010 : hlm. 234 18 Politik Kota dan Hak Warga Kota, 2006 ekonomi sebagai primat dalam kehidupan bernegara itu telah mengubah struktur masyarakat Indonesia menjadi suatu masyarakat yang lebih urban. Sensus penduduk tahun 2000, memperlihatkan bahwa hampir sepertiga dari penduduk Indonesia hidup di kota. 18 Masalahnya adalah, industrialisasi itu terutama terjadi di Pulau Jawa dengan 13 alasan yang dapat dikembalikan kepadaan tersediannya infrastruktur yang lebih maju bila dibandingkan dengan daerah – daerah lainnya. Namun, industrialisasi yang terkonsentrasi di Pulau Jawa itu membawa konsekuensi besar dan jauh dari membesarkan hati. Terjadi kesenjangan antara Jawa dengan luar jawa. Mentri Otda menyampaikan “Ayolah, masa orang – orang pintar harus terpusat di Jakarta, bagaimana dengan daerah – daerah lain. 19 Tentu hal ini jika tak segera diatasi, keretakan bhinneka tunggal ika akan lebih mengancam lagi. 4. Kesenjangan sosio – struktural Kesenjangan yang keempat berkaitam langsung dengan manusia sendiri sebagai faktor utama dalam kebudayaan. Sturktur sosio – cultural seperti sekarang yang sedang diamati pada masyarakat Indonesia adalah suatu struktur yang boleh dianggap sebagai warisan dari masa penjajahan Belanda. Struktur itu mencerminkan suatu dikotomi mayoritas – minoritas sosio – cultural yang untuk sebagian besar berlanjut ke zaman kemerdekaan. sebenarnya, dikotomi itu merupakan suatu gejala yang dapat diamati pada hampir semua masyarakat di dunia. Karena itu, upaya untuk membahas dikotomi mayoritas – minoritas sosio – cultural sebaiknya tidak dipandang sebagai upaya untuk mempertajam persoalan yang ditimbulkannya. Upaya itu malahan harus lebih banyak dipandang sebagai manifestasi dari maksud untuk memahami substansi 13 19 Managing The Nation, Metro Tv, 2 Agustus 2012 persoalannya dan sebisa mungkin meminimalkan atau kalu bisa menetralisasikan dimensi konfliknya. Dikotomi itu mungkin tidak dikenal hanya pada sejumlah submasyarakat yang terbatas seperti pada orang Eskimo yang hidup di pantai – pantai utara Kanada atau orang – orang Bedouin yang hidup di padang – padang pasir sumenanjung Arabia. Karena itu, dikotomi mayoritas – minoritas dalam konteks sosio – cultural untuk banyak masyarakat mancanegara bisa dipandang sebagai persoalan yang bisa diselesaikan. Namun persoalannya adalah, di Indonesia dikotomi mayoritas – minoritas sosio – cultural itu tidak bisa diabaikan bergitu saja karena dua alasan utama. Pertama, dikotomi mayoritas – minoritas itu dapat diamati pada tiga sector kemasyarakatan utama : sector etnik, sector religi dan sector kekuatan ekonomi. Kedua, dan kurang beruntungnya adalah, bahwa dikotomi mayoritas – minoritas dalam masyarakat Indonesia itu berlangsung sejajar dan tidak “cross – sectional”, sangat sulit sekali untuk mampu terselesaikan. 5. Kesenjangan sosio – struktural Kesenjangan terakhir yang harus dibicarakan adlaah kesenjangan yang bersifat sosio – structural. Dikatakan demikian, karena kesenjangan itu memang menyangkut struktur pyramidal “masyarakat Indonesia”. Struktural masyarakat Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan ternyata menjadi semakin tidak seimbang dengan adanya elite politik yang sangat kuat di satu sisi, baik di zaman orla, orba, ataupun era reformasi, yang sisi lainnya dibayangi oleh lapisan akar rumput grass roots yang sangat luas tetapi relative tidak berdaya. Dalam konteks Max Weber, orang beranggapan bahwa potensi konflik antara kelas elite dan lapisan akar rumput bisa diimbangi oleh kehadiran dari suatu ‘kelas menengah’ yang kuat. Pandangan umum biasanya melihat kelas menengah itu meliputi kalangan professional di berbagai bidang dokter, pengacara, guru, insinyur, pedagang menengah, dan lain sebagainya, sedangkan lapisan akar rumput itu pada umumnya meliputi petani penduduk pedesaan maupun buruh industry penduduk kota. Masalahnya adalah, di masa lalu baca : Orba, kaum menengah yang ada di lantai dua berdasar penafsiran Franz Magnis Suseno, dibuat “lumpuh” oleh pemerintah. Alhasil, di kehidupan saat ini terjadi kegagalan kontrol. Meski UU No. 22 tahun 1999 dan Nomor 25 tahun 1999 telah disahkan untuk daerah memegang kewenangannya memberdayakan potensi local, ironis tetap saja gagal. Euforia reformasi yang “overdosis” dan “kekeliruan” menafsirkan makna “otonomi” serta pengalaman sejarah yang tak selalu indah. Rupanya menjadi indikator utama. Sebut saja dalam masyarakat terdapat empat stakeholders penting yaitu : pemerintah, komunitas politik, pelaku bisnis, dan masyarakat sipil, masing – masing memiliki fungsi yang berbeda tetapi sesungguhnya saling berkaitan satu sama lain. Fungsi pemerintah, termasuk pemerintah daerah adalah mengatur, memberi pelayanan dan memfasilitasi kebutuhan stakeholders yang lain sehingga tercipta situasi yang kondusif bagi setiap upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat. Komunitas politik melakukan fungsi yang terkait dengan pembentukan pemerintah, pembuatan perundang – undangan, pendidikan politik dan memperkuat kepemimpinan daerah. Kemudian pelaku bisnis adalah komunitas yang melakukan kegiatan ekonomi terutama yang berorientasi pada profit, menciptakan kesempatan kerja, memberikan kredit, disamping membayar pajak dan retribusi pendapatan daerah. Selanjutnya masyarakat sipil adalah kalangan yang difasilitasi, dilayani, dan diberdayakan. Kalangan ini memperoleh kekuasaan melalui adat atau tradisi. Di samping itu ada lagi bagian stakeholders yang dikategorikan sebagai kalangan yang bergerak pada sector sukarela, antara lain meliputi : lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan, kelompok kepentingan, kelompok professional, dan koperasi. Mereka bisa menjadi agen perubahan agent of change sekaligus melakukan fungsi kontrol terhadap kinerja pemerintah, komunitas politik, dan pelaku bisnis. Proses demokratisasi akan berjalan manakala hubungan diantara stakeholders tersebut menjalin hubungan keseimbangan tanpa harus mereduksi fungsi dan perannya masing – masing. Pertanyaannya kemudian adalah seberapa jauh stakeholders tersebut membangun kegiatan kolaboratif yang memiliki implikasi positif bagi pembangunan derah? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, hanya nampaknya dalam era otonomi daerah ini, bentuk hubungan yang terjadi antara stakeholders di daerah – daerah cukup beragam. Sejumlah daerah kelihatan telah mampu meletakkan prinsip – prinsip jalinan hubungan yang harmonis diantara stakeholders, bahkan sudah ada yang mampu merealisasikannya dalam kehidupan nyata. Indikasinya antara lain adalah pihak legislative bukan hanya bisa memilih kepala daerah yang memiliki kapabilititas atau komitmen yang tinggi, tetapi lebih daripada itu pihak eksekutif telah mampu membangun kolaborasi kegiatan dengan para pelaku bisnis dalam usaha meningkatkan pendapatan asli daerah PAD atau menciptakan kesempatan kerja di daerah. Daerah – daerah semacam ini biasanya juga berhasil menumbuhkan prinsip check and balances, dengan menempatkan kalangan lembaga swadaya masyarakat, pers, dan organisasi keagamaan melakukan fungsi control dan koreksi terhadap kinerja pihak legislative maupun eksekutif. Hanya sayangnya, daerah yang telah mampu menumbuhkan prinsip check and balances semacam itu masih belum banyak. Sebagian besar daerah dalam era otonomi daerah ini masih belum mampu menciptakan situasi ayng kondusif bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat. Daerah – daerah semacam ini ditandai oleh hubungan yang kurang harmonis antara pihak eksekutif dengan legislative, lembaga swadaya masyarakat, pers, dan pelaku bisnis. Masing – masing stakeholders berjalan menurut konstruksi pikir yang dikembangkannya sendiri. hubungan antara kekuatan – kekuatan politik juga kerap diwarnai konflik, tanpa ada alternative solusi yang efektif. Pemilihan bupati dan walikota di daerah – daerah semacam itu seringkali juga diwarnai money politic, karena itu yang terpilih sebagai kepala daerah bukan orang yang memiliki kompetensi, visi, dan komitmen tetapi adalah mereka yang memiliki uang. Mereka yang dalam era reformasi ini seharusnya memberantas kolusi, korupsi, dan nepotisme tetapi dalam kenyataannya malah terlibat. Salah satu implikasi penting dari kondisi seperti ini adalah melemahnya fungsi dan peran elemen – elemen yang terdapat dalam pemerintah, komunitas politik, pelaku bisnis, pers, lembaya swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan kelompok profesional. Konsekuensinya kemudian adalah terjadi distorsi yang sangat memprihatinkan di seputar hubungan diantara elemen – elemen tersebut. Distorsi tersebut terefleksi pada tendensi bahwa masyarakat di daerah – daerah semacam ini tidak merasa harus tunduk pada kemauan pemerintah, karena pemerintah seperti dikatakan oleh Mochtar Pabotinggi, tidak ditempatkan sebagai pengayom tetapi dianggap sebagai pemangsa, atau James Scott adalah sebagai predatory state atau menurut istilah Yoshihara Kunio sebagai rent seekers. Pemerintah juga tidak berkepentingan mengayomi atau menyantuni masyarakat karena merasa bisa berjalan sendiri tanpa harus menyentuh kepentingan masyarakat. Sementara itu, kalangan pelaku bisnis tidak merasa harus mengikuti aturan main yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan memberi santunan kepada masyarakat karena bagi mereka, 14 pemerintah adalah institusi penuh korupsi sehingga harus dipecundangi dengan berbagai cara. Bagi kalangan pelaku bisnis, masyarakat adalah lahan yang bisa dieksploitasi dengan cara bersekongkol dengan pemerintah. Situasinya menjadi semakin parah ketika kalangan sektor sukarela tidak mampu melakukan fungsi kontrol, tetapi justru terjebak pada konflik yang tidak perlu. Di berbagai daerah yang mengalami distorsi semacam itu, masyarakat juga terlibat melakukan berbagai perlawanan baik kepada pemerintah maupun pelaku bisnis. Perlawanan itu bagian dari respons masyarakat terhadap penindasan yang dilakukan oleh mereka. Karena itu, daerah – daerah tersebut bentuk perlawanan itu tidak kalah seru dengan bentuk penindasan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pelaku bisnis. Bentuk perlawanan mereka dijiwai oleh spirit antagonistis, sehingga tidak mengherankan apabila yang nampak kemudian adalah sebuah gerakan yang tidak menjunjung tinggi peradaban, dan menempatkan pemerintah serta pelaku bisnis pada titik yang tidak layak untuk dihormati. Gerakan itu nampak kasar, kadangkala merusak, disamping tidak menentu arah, dan tidak jelas apa yang menjadi targetnya. Apabila gerakan masyarakat masih seperti ini, maka sangat sulit diciptakan dialog dan itu berarti bahwa proses demokratisasi di daerah – daerah itu menjadi stagnan, terutama karena elemen – elemen demokrasi seperti prinsip kompetisi yang sehat, transparansi, dan 14 20 Woshinskky, Oliver H., Culture and Politics, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, 199, Hlm. 65 partisipasi mereka menjadi tidak berkembang sama sekali. Sebagai imbasnya, bhinneka tunggal ika demi tercapainya persatuan akan sangat sulit diwujudkan. Lalu bagaimana supaya hal ini tidak terjadi? Tidak mudah mengatakannya. Satu hal yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana mengembangkan kultur polyarchal. 20 di daerah, yaitu sebuah kultur yang disana memungkinkan segenap stakeholders melembagakan trust saling percaya, memiliki toleransi terhadap perbedaan, serta memberi kesempatan masing – masing kalangan untuk mengekspresikan pandangannya untuk kepentingan bersama. Dalam konteks ini perbedaan pandangan konflik seharusnya tidak dipahami sebagai upaya saling mengerdilkan, tetapi perlu diletakkan sebagai upaya penting dari meluruskan kembali konsesus – konsesus yang selama ini berkembang di daerah. Kerena itu, perbedaan pandangan konflik itu perlu dikelola dengan kearifan.

4.1.2 Diskursus Krisis Identitas