1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Untuk dunia yang begitu dinamis dan modern. Tak pernah terbayangkan negara - negara di setiap detail belahannya
memiliki rakyat dengan kultur, bahasa, dan keyakinan yang ragam. Pun secara politik dan ekonomi dengan kepentingan yang
berbeda - beda, kemajuan suatu negara memiliki pencapaian masing - masing. Entah sudah berapa kali dunia ini mengalami
pergantian zaman. Dari pra aksara jadi aksara, Dari kerajaan menjadi republik dan republik menjadi global. Sekat setiap
zaman memiliki ceritera tersendiri. Ada yang mengalami pencapaian sangat maju, ada pula sebaliknya. Padahal umur
bumi ini sama bagi seluruh negara. Bedanya terletak pada mekanisme. Duverger menyebutkan
bahwa Negara maju tidak suatu negara terletak pada teknologi sebagai determinisme awal, perekonomian, kemudian social
budaya yang mengalami kemajuan, selaras dengan pengurangan konfllik dalam msyarakat di suatu negara.
1
Sudah dapat dipastikan tak seluruhnya negara mencapai kemajuan yang
sama. Para pakar dunia membagi pakar dunia ke dalam sebutan dunia pertama, dunia kedua, dan dunia ketiga. Di lantai pertama
terdapat negara maju, kaya dan memiliki penyelesaian lagi yang sudah tuntas, sebut saja AS dan Cina. Lantai kedua dihuni oleh
negara - negara sedang dengan pendapatan perkapita yang juga sedang. Adapun di lantai dunia yang terakhir, dunia ketiga. Diisi
oleh negara - negara berkapita rata rata rendah, disparitas
1 The Study of Politic 1982, page 80
2
dalam jarah sejarah, ketika itu Indonesia dihadapkan pada zaman kolonial. Nederland dan dunia sudah mengenal bangunan – bangunan besar, roda
berputar, dan koran – koran, menandakan peradaban maju. Berkebalikan dengan keadaan rakyat hindia – belanda yang terjajah, masih jauh dari maju.
teknologi, dan rentan terhadap konflik. Pencapaian yang memang tidak pernah sama di setiap dunia, tiap negara, beserta
kondisi rakyatnya. Inilah yang dimaksud Pramoedya Ananta Toer sebagai jarak sejarah dalam “Semua Anak Bangsa, 2010
2
Tampaknya memang sedang dialami Indonesia sebagai dunia ketiga.
Ketika itu tahun 1950-an. Dunia berada dalam transisi zaman. Sebutan itu di masing - masing negara pun telah terbit.
Itulah abad ke 20 mengalami sesuatu yang
2
baru dalam sejarah. Munculnya gerakan - gerakan keras ideologis yang mau
menghapus bersih tatanan tradisional masyarakat, untuk diatas reruntuhannya membangun suatu tatanan baru total, murni atas
dasar ideologi masing masing. Apakah ideologi - ideologi itu berada fasis, komunis, ataupun liberal, tidak mengubah prinsip
yang mereka pakai : masyarakat harus ditata baru dari dasar – dasarnya karena kamilah yang memiliki ajaran benar tentang
masyarakat. Tak ada kompromi antara kebenaran dan kepalsuan, tatanan baru itu seperlunya harus dipaksakan, atas nama
mereka yang tidak mau. Namun fasis hancur, tinggalah komunis dan liberal yang diwakili oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Tepat seperti perkataan Daniel Estulin bahwa ketika ada dua raksasa dunia menghendaki A dan B, maka manusia yang lebih
kecil turut terbelah ke dalam A dan B. Tak peduli seberapa rumit kondisi internal manusia Baca: social dan ekonomi. Legitimasi
dua raksasa itu terus bergerak massif
3
Sehingga apa dampaknya? Elite - elite dari berbagai pelosok dunia tanpa memperhitungkan korban rakyatnya untuk
membangun negara demi terciptanya ‘masyarakat sempurna’. Merupakan salah satu pandangan mengerikan di abad 20.
2
3
Daniel Estulin, “The Bilderberg Group”, bagian Dua : The Council on Foreign
Relations CFR, 2009 : hlm. 99
4
lihat Syauhadi dalam “Konflik dan konsesus”, cetakan Uniiversitas Gadjah Mada
Indonesia bagaimana? Tak luput. Negara Kesatuan Republik Indonesia saat itu adalah bangsa pluralistrik yang baru saja
mengalami kemerdekaan. Awal kepemimpinan Presiden Soekarno menegakkan Indonesia pada
National Building. Sebuah Negara kebangsaan dengan falsafah ideologi Pancasila ditengah bangsa
yang bhinneka. Bagaimanapun caranya Indonesia harus menerapkan Demokrasi. Perpolitikan nasional ketika itu sungguh
tak lepas dari pengaruh komunis ataupun liberal. Sehingga ketika Presiden Soekarno memproklamasikan demokrasi terpimpin dan
mendukung Partai Komunis Indonesia masyarakat tidak mempunyai peluang mewujudkan aspirasinya, demokrasi
terpimpin menjadi nama lain dari otoritarianisme. Pengaruh Ideologis antar dua negara raksasa itu rupanya masih berjalan.
Kehadiran Jenderal Soeharto dengan Orde Baru, syarat dengan dominasi tentara militer dalam kehidupan politik nasional,
membawa dampak yang sangat luas bagi disintegrasi bangsa di masa depan.
4
3
Bayangkan saja Indonesia masa Orde baru. Rakyat terngiang - ngiang dengan kata sentralistik, lembaga - lembaga
formalitas dan pers yang ‘Bungkam’. Karena hal tersebut membuat rakyat hanya menjadi penonton. Pemerintah berlomba
- lomba membangun Negara untuk citra di mata dunia tanpa melihat penderitaan rakyat mereka. Secara singkat, terjadilah 1
disparitas pembangunan , yang saat itu lebih terpusat di kota kota besar, dan Jawanisasi, perasaan - perasaan masyarakat
yang merasa dikucilkan, dan nantinya menjadi konflik berkepanjangan di masa depan. 2 Pemimpin kepala daerah
bukanlah amanat rakyat, di periode ini jabatan - jabatan penting diisi oleh militer tanpa memperhatiikan sipil. 3 Rakyat tanpa
aspirasi akibat seluruh kegiatan rakyat saat itu dimonitori oleh pemerintah, mereka semakin asing akan ‘kreativitas’ dan
3
5
Syaukani dkk , “Otonomi daerah dan Disintegrasi Bangsa”, 2002 : hlm. 48
pemanfaatan daerah terbengkalai, ditambah lagi DPRD dan pers sebagai penyambung lidah rakyat bungkam, maka kepenatan
rakyat semakin bertambah.
5
Akibat dari semua itu, masyarakat mengalami proses alienasi, yang kemudiah membawa implikasi yang sangat jauh,
yaitu terbentuknya sentiment kedaerahan yang berlebihan, sebagaimana dialami sekarang dalam pemerintahan daerah di
Indonesia. Sekedar beristirahat sejenak dari ‘Kepenatan’ yang terjadi
di Indonesia di abad 20an. Kini dunia tengah memasuki era globalisasi, zaman dimana komunisme telah runtuh, teknologi
berjalan kian canggih, dan disini masyarakat berbasis pengetahuan Knowledge Based Society. Suatu bentuk tatanan
masyarakat ‘cerdas’ akan IPTEK yang menuntut pencapaian tinggi,
bargaining position yang menguntungkan dari setiap negara dan budaya global. Manusia yang saling ketergantungan
interdependency satu sama lain, dan kerap mengalami perubahan. Tak salah kemudian negara - negara dunia ketiga
‘mau tak mau harus mengikuti arus’ termasuk Indonesia. Masyarakat Indonesia yang saling ketergantungan
interpendency satu sama lain dan kerap mengalami perubahan. Meski telah melewati masa – masa yang melelahkan dari
transisi Orba menuju reformasi, Indonesia tetaplah negara multikulturalistik, dikenal sebagai negara bersemboyan ‘berbeda
– beda tapi tetap satu Bhinneka Tunggal Ika’ berdasar Pancasila sebagai paham dengan wawasan nusantara sebagai ketahanan
4
nasional tentu harus dipahami oleh setiap warga negara Indonesia untuk tetap melestarikan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
4
6
Wahono Puji, Laporan Penelitian : Wawasan Nusantara sebagai Suatu
Konsep Strategis dalam Upaya Mewujudkan Stabilitas Politik dan Keamanan Nasional, hlm. 5 : 1989, Univ. Jember
Predikatnya sebagai negara pluralistik bermusabab oleh ragamnya suku, bahasa, agama, dan budaya. Gugusan
kepulauan yang membentuk suatu konfigurasi territorial sebagai Nusantara. Indonesia yang berjajar dari Sabang hingga Merauke,
dengan ragam budaya terdiri dari 2500 suku bangsa dan 500 bahasa daerah yang tersebar di
Archipelago State menjadi saksi kuatnya kemajemukan bangsa.
6
Bahkan jika hal ini ditarik hingga garis historisnya, masyarakat Indonesia telah lama hidup
berdampingan dengan kekhasan, keragaman, dan keberbedaan diversity masing – masing.
Ironis, Indonesia sempat tertatih – tatih di abad 20, akibat benturan ideologis, dan politis notabene memperlambat
kemajuan bangsa. Seperti yang sudah – sudah pada penjelasan sebelumnya, hal ini menjadi keterpurukan yang tak pernah usai.
Pun ketika Indonesia dihadapkan pada masa transisi reformasi, otonomi daerah desentralisasi yang diselenggarakan berdasar
UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999, masih mendapatkan pemahaman yang “keliru” bahwa otonomi adalah
segala – galanya, yang menyeragamkan masyarakat lain yang berbeda, etnosentrisme berlebihan yang merasa kelompoknya
adalah yang paling benar, serta kebebasan kekuasaan oleh raja – raja kecil baca : kepala daerah. Hingga hari ini, konflik – konflik
yang terjadi tak pernah lepas dari penderitaan rakyat di masa lalu.
Determinisme globalisasi rupanya juga menjadi sebab. Meski dituntut untuk memenuhi
knowledge based society, namun globalisasi menyangkut nilai dan pola hidup. Lewat
dirinya, gagasan – gagasan seperti : hak asasi manusia, demokrasi, ekonomi pasar, tetapi juga cara – cara produksi, pola
– pola konsumsi, dan kebiasaan – kebiasaan rekreatif tertentu, disebarkan dan diminati dimana – mana. Realitas ini serupa
dengan apa yang disampaikan oleh Franz Magnis Suseno 2006,
bahwa peran dominan nilai – nilai perelasasian diri dan kesejahteraan materiil yang berkaitan dengannya globalisasi di
satu pihak mengakibatkan berkurangnya makna bentuk – bentuk sosial – tradisional dengan simbol – simbol relijius. Di pihak
lainnya, memajukan otonomi manusia HAM, demokrasi, pluralism, namun dampaknya ada
5
pada krisis identitas. Kelompok relijius – tradisonal harus dan mau menjadi follower
kelompok global. Akibatnya, kelas – kelas bawah mengikuti dan dengan menanggapi konflik kekerasan. Seakan menemui
faktanya, hal ini terjadi selama hampir Indonesia berdiri diatas panji Reformasi, sebelum itu nampaknya bangsa tertumpah pada
satu tujuan sama ditengah keperbedaan. Masih ingatkah saat para pemuda terdahulu notabene berasal dari ragam suku
bersatu membentuk Sumpah Pemuda tertanggal 28 Oktober 1928. Mereka tidak lagi melihat bangsa Jawa, bangsa Sunda,
ataupun bangsa Batak, yang ada hanya bangsa Indonesia. Iniah kebhinekaan sesungguhnya. Sangat disayangkan beberapa
kepemimpinan hingga hari ini, iklim pluralistik masyarakat menunjukkan angka kerawanan yang cukup tinggi, terdapat 143
daerah menjadi daerah rawan konflik social.
7
Konflik antar etnis yang terjadi di tanah Papua akibat diskriminasi, akibat tidak menyamakan hak dan kewajiban warga
dengan saudara – saudara mereka yang ada di tanah Jawa, otomatis masalah keterbelakangan tak mendapat jawaban, dan
pertumpahan darah berkepanjangan terjadi hingga hari ini.
8
Perseteruan antar golongan agama, sebagai konflik keagamaan radikalistik juga kian mendapat tempat, seperti yang terjadi pada
kasus GKI Yasmin. Konflik kepentingan yang berlangsung secara vertikal antara pihak berwenang ataupun berwajib melawan
kegrariaan. Dalam keadaan seperti ini, ada segmen mayoritas
5
7
Tvone, 8 Mei 2012
8
Kompas, 22 Juni 2012
meminggirkan minoritas, umat tidak seagama, tidak sesuku dianggap orang asing yang harus dihapuskan. Memang begini
adanya, konflik ideologi baik secara terbuka ataupun tertutup ingin mencederai makna keluhuran Ideologi Pancasila, dan
kerekatan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dua pilar penting negara.
Jika hal tersebut benar adanya terjadi, sebagai akibat masa lalu dan dampak tak langsung globalisasi, maka pluralistik
bangsa tinggalah kenangan. Keberbedaan semacam ini menuntut perpisahan, harusnya keragaman pluralis mendapat
penghormatan. Memang Indonesia rupanya masih berada diambang usia muda demokratisasi, tak menutup kemungkinan
besar didera oleh konflik berkepanjangan, namun pilar kebangsaan harus tetap berdiri. Benang merahnya,
sektarianisme diatas keperbedaan harus teralienasi dari seluruh pihak.
Yang harus dilakukan oleh banyak pihak adalah kesadaran baru yang progresif, bahwa bangsa ini dibangun diatas pilar
Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa ini wajibnya dapat mengingat setiap saat, dimana saja, secara benar bahwa
diversity adalah kekayaan, pluralistik menjadi simbol kemajemukan bangsa,
berbeda – beda namun tetap satu jua menjadi semangat untuk menjunjung tinggi keragaman demi kesatuan bangsa.
1.2 Uraian Singkat Gagasan