imagined communities menemukan kembali sejarahnya yang mengikat berbagai suku bangsa unity dalam satu kesatuan.
Inilah yang akan mewujudkan integrasi bangsa ditengah kemajemukan plural.
Teori tersebut seakan tampak realitasnya saat diskursus mengenai bangsa lebih diitik beratkan pada hakekat bangsa kini.
Suatu tulisan menarik dari Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar berjudul “Integrasi Nasional Indonesia” diterbitkan oleh Badan Komunikasi
Penghayatan Kesatuan Bangsa BAKOM – PKB Pusat pada tahun 1994. Dalam tulisannya, secara gamblang menguraikan
mengenai apakah sebenarnya nasionalisme Indonesia dan bangsa Indonesia, bahwa seorang merupakan bangsa
7
Indonesia jika dirinya menganggap bagian dari
nation Indonesia yaitu satu kesatuan solidaritas seseorang terhadap tujuan bersama
masyarakat Indonesia. Kesatuan diatas kemajemukan bangsa seperti ini berasal dari
nation – nation yang sudah ada di Kepulauan Nusantara seperti ; bangsa Jawa, bangsa Minang,
bangsa Minahasa, bangsa – bangsa Papua. Demikian pula suku – suku keturunan Cina, arab, dan bangsa lainnya yang telah
menganggap kepulauan Nusantara ini sebagai tanah airnya. Tumbuhnya nation Indonesia kita lihat bermdual dari kebangkitan
nasional dnegan lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908, dan terbentuk sebuah bangsa nation Indonsia dalam Sumpah
Pemuda tahun 1928. Historis ini adalah kebangsaan yang tak boleh kehilanagn kadarnya. Sebabnya, bangsa ini telah lama
memiliki sahnya dalam Bhinneka Tunggal Ika berbeda – beda tapi tetap satu dalam Proklamasi kemerdekaan RI dalam
integrasi bangsa.
2.2 Bhinneka Tunggal Ika
7
11
lihat Abdurachman. Pancasila : Beberapa Catatan Mengenai Pancasila dan
Dihubungkan dengan Filsafat Hidup Orang Jawa, 1979 : hlm. 23
Bhinneka Tunggal ika menjadi sesanti yang dimiliki Indonesia untuk menjembatani kemajemukan bangsa. Prof. Dr.
Udin S. Winataputra 2009 menyebutkan, Bhinneka Tunggal Ika seperti kita pahami sebagai motto negara, yang diangkat dari
penggalan kakawin Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada jaman keprabonan Majapahit abad – 14 secara harfiah diartikan
sebagai bercerai berai tetapi satu. Motto ini digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural, dan
sosio – kultural dibangun diatas keanekaragaman. Hal ini serupa disampaikan oleh Abdurachman 1979 : 62 dalam bukunya
“Pancasila”, kemungkinan timbul pertanyaan, mengapa Ramayana dapat diterima oleh rakyat Indonesia kala itu,
khususnya penduduk Jawa?
11
Padahal terdapat dua aliran agama saat itu. Maka timbulah filsafat : momot, momong, memangkat,
nglurung tanpa wadya, menang tanpa ngasoroke, yang artinya bersedia untuk saling menghargai, mengisi, dan menghormati
kepercayaan lain. Tidak mungin meleburkan kedua – duanya, sehingga timbulah semboyan “berbeda – beda tetapi
sesungguhnya satu:, dan pada abad ke XIV Empu Tantular dalam kitabnya Sutasoma menulis Bhinneka Tunggal Ika Tanhana
Dharma Mangrwa. Taufik Indah Setyani 2009 selanjutnya berpendapat, frasa
Bhinneka Tunggal Ika tersebut berasal dari bahasa kawi Jawa Kuna. Ini artinyam bahwa sudah sejak dulu hingga saat ini
kesadaran akan hidup bersama dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat bangsa neger ini.
Sehingga dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya, kebhinekaan bangsa Indonesia sudah
membumi dalam kenyataan sejarah berabad – abad lamanya, yang terefleksi secara kuat dalam berbagai karakter tatanan
kemasyarakatan meliputi ; tatanan ekonomi, sosial, budaya, politik, dan penegakkan hukum.
Betapa hebatnya filsafat dan ideologi para pendiri NKRI, sepakat mempergunakan kalimat sesanti “Bhinneka Tunggal Ika”
dari Empu Tantular untuk menangkal aspek negatif dari multikultur ini. Namun sangat disayangkan, akhir – akhir ini
pemahaman dan penghayatan dari sesanti itu oleh sebagian besar masyarakat kita mulai menyimpang dari apa yang
dimaksudkan para pendiri negara ini. Dari sisi keragaman suku maupun dari sesi keragaman agama. Dimana letak salahnya?
Apakah pada pemahamannya? Apakah kita sudah kurang “pas” lagi untuk memelihara persatuan ini?
Swami Vivekanda dalam pidato beliau tanggal 26 September 1983 di depan Sidang Parlemen Agama – Agama
Dunia di Chicago, Amerika Serikat menguatkan kembali tesis Empu Tantular tentang Bhinneka Tunggal Ika, dimana Vivekanda
mengatakan bahwa : “agama hindu tidak dapat hidup tanpa agama budha, demikian pula sebaliknya agama budha tidak bisa
hidup tanpa agama hindu. Kemudian menyadari apa yang diperlihatkan oleh perpisahan ini kepada kita adalah bahwa
8
orang – orang budha tak tahan tanpa otak dan filsafat orang hindu, sebaliknya orang – orang hindu tidak bisa hidup tanpa hati
nurani orang – orang budha. Perpisahan antara orang – orang hindu dengan orang – orang budha adalah penyebab kehancuran
India”.
12
Jadi, penngingkaran terdhadap “keragaman” membawa konsekuensi melemahnya perekat kesatuan kita sebagai bangsa
dan persatuan kita sebagai penghuni “bumi yang satu ini”, yang
8
12
Swami Vivekanda : 1993, terj. Hlm 51
13
Wayan Suwira, “Bhinneka Tunggal Ika dan Multikultural di Era Globalisasi” : 2010
bermuara pada disintegrasi, kehancuran bangsa. Bhinneka Tunggal Ika kayaknya “hati”, didalamnya ada etos yang tak bisa
ditinggalkan begitu saja oleh Indonesia demi integrasi bangsa.
13
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian