arti, bukan hanya diucap, melainkan menjadi pekerjaan besar bagi bangsa ini untuk tetap
survive bertahan terhadap tantangan keberagaman heterogen. Kita tidak boleh ‘gandrung’
akan keseragaman, karena Bhinneka Tunggal Ika adalah ‘nafas’ yang memberikan etos kepada integrasi bangsa.
4.2.1 Reintrepretasi dan Revitalisasi Etos Bhinneka Tunggal Ika
Bila dalam pemahaman setiap warga Negara tentang Sasanti “Bhinneka Tunggal Ika” adalah berbeda – beda tapi tetap satu
jua, namun menurut sejumlah pakar tanpa bermaksud meremehkan pemahaman dari saudara – saudara yang lain,
tidaklah begitu jelas pemahamannya seperti yang dimaksud oleh semangat pencetusnya secara intrinsic, apalagi penghayatan
oleh semua warga Negara kita. Yang tergambar dalam pikiran kita adalah perbedaan dalam suku bangsa tertampung dalam
wadah tunggal Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa kita pernah mencari makna terdalamnya. Pemahaman dan
penghayatan yang kurang sempurna inilah, merupakan faktor penyebab dari keterpurukan kita sebagai bangsa dewasa ini.
Perlu adanya pemahaman dan penghayatan yang lebih luas dan mendalam, lebih baik lagi bila dihadapkan pada
kemajuan IPTEK yang begitu cepat di era globalisasi. Bhinneka tunggal ika harus diartikan sebagai keragaman dalam yang satu
dan kesatuan dalam yang beragam di dalam keseluruhan aspek manusia Indonesia, baik sebagai individu, sebagai anggota
masyarakat, ataupun warganegara. Hal ini mengandung suatu pemikiran bahwa kebhinnekatunggalikaan itu harus terwujud
dalam tataran berpikir, berwacana dan berbuat, dimana ketiga tataran ini merupakan satu kesatuan aksi tak dapat dipisahkan
satu sama lainnya. Pada tataran berpikir bahwa dirinya
“berbeda” dengan saudaranya yang lain, oleh karena itu hanya dirinya saja dapat mencapai kebenaran dan saudaranya yang
lain tidak. Hal yang sama juga dapat terjadi dalam tataran berwacana, berdiskusi, berdialog. Dialog harus dimaknai sebagai
wujud komunikasi yang setara, sama tinggi, dan tak ada dominasi antaa yang satu dengan yang lain. Bila ini terjadi maka
dialog akan berubah menadi monolog dengan prinsip menang – kalah. Dalam tataran aksi, secara adil mendistribusikan
kesempatan dan kesejahteraan sehingga secara bersama – sama anak bangsa ini menjadi lebih maju dan berkualitas hidupnya.
Tapi ini tak berarti bahwa kita harus seragam dalam segala sesuatu tanpa mempertimbangkan keragaman kita.
Frithjof Schuon dengan tesisnya yang memberikan inspirasi untuk mengintrepretasi ulang sesanti “Bhinneka Tunggal Ika”.
Adapun tesisnya sebagai berikut : kemampuan manusia beerkembang secara beragam. Perkembangan kemampuan yang
beragam itu dapat diuraikan dari yang terendah sampai tertinggi, dari yang kongkrit hingga abstrak, dari yang jamak hingga yang
tunggal, dari yang sementara sampai yang kekal, dari fenomena – fenomena sampai yang hakiki, dari perwujudan sampai
hakekat. Semua dua kutub kemampuan manusia yang selalu ada pada setiap orang harus dikelola secara harmonis Lihat diagram
tesis F. Schuon Via Media : Frithjof Schuon
Eksoteris partikular
Iman en
Isoteris Universal
Tuhan YME
Hindu Budha Konghucu Katolik Kristen Islam
Walaupun masing – masing kita berbeda secara ras, suku bangsa, agama, budaya, ini merupakan perwujudan yang
menurut Schuin masih berada pada tataran eksoteris yang melihat secara kongkrit kekehususan – kekhususan yang
tentunya sangat berbeda antara ras yang satu dengan yang lainnya, antara suku bangsa satu dengan lain, dan agama satu
dengan yang lain. Apabila kesadaran kita sebagai anak bangsa semakin dpata kita tingkatkan keatas seperti apa yang dimaksud
oleh Schuan menuju kearah tataran eksoteris, maka masing – masing kita akan menyadari bahwa jurang perbedaan diantara
kita terjembatani, semakin mengecilkan, bahkan menyatu pada satu titik dimana perbedaan diantara kita sudah tidak ada lagi.
Suku – suku bangsa Jawa, Batak, padang, Makassar, Sunda, Aceh, Bali, Cina secara bersama – sama berjalan dari perbedaan yang
sangat besar menuju ke tataran yang lebih tinggi yang akhirnya berkulminasi pada satu titik persamaan yaitu kita sebagai rakyat
Indonesia dalam kerangka atau bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai umat – umat beragama, umat
agama Islam, Kristen, katolik, hindu, Budha, Kong Hu Cu, secara bersama – sama berjalan dari perbedaan yang sangat besar
dalam ritus dan upacara menuju ketataran yang lebih tinggi berkulminasi pada titik yang sama yaitu hakekat Tuhan Yang
Maha Esa yang transenden.
18
Bila meminjam istilah para ahli multikulturalisme, apa yang disebut sebagai Metoda
Crossing Over dan Coming Back
27
18
27
Budhi Munawar Rahman, Islam Pluralis, 2004 : Hlm. 126
28
Peter Evans, Dependent Development, dalam Miriam Budiardjo “Dasar –
Dasar Ilmu Politik”, 2010 : 90
atau “fusion of horizons” dari Hans Georg Gadamer, dapat menjadi referensi untuk merajut kembali keretakan – keretakan
diantara kita sebagai anak bangsa. Metoda ini mengajar kita untuk keluar dari adat istiadat, suku, atau ibadah agama tersebut
yang selanjutnya dimatangkan kembali dengan suatu bekal “insight” yang baru. Hal ini akan asing lagi, sebab masyarakat
sudah mulai mengadakan dialog antaragama, antarsuku, dengan etnis dalam bingkai integrasi bangsa. Inilah revitalisasi etos
Bhinneka Tunggal Ika yang patut mendapat tataran implementatif secara totalitas.
4.2.2 Peran Besar Elit dan Masyarakat