7 luasnya alokasi kawasan lindung yang telah dirambah oleh masyarakat sehingga
kawasan lindung Jabodetabek hanya tinggal 0,60 dibandingkan dengan total wilayah Jabodetabek Panuju 2004. Kejadian demikian menunjukkan bahwa
penggunaan lahan aktual tidak konsisten terhadap Rencana Tata Ruang RTR Kawasan yang telah ditetapkan. Hal ini jika dibiarkan terus menerus akan dapat
mengancam keberlanjutan dari wilayah Jabodetabek sendiri.
Terdapat beberapa sasaran penyelenggaraan penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur yang tercantum dalam Peraturan Presiden RI No. 54 tahun
2008 pada bab I pasal 2 tentang penataan ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, diantaranya adalah 1 terwujudnya
kerjasama penataan ruang antar pemerintah kabupaten dan kota dalam kawasan Bopunjur, 2 terwujudnya peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara,
flora, dan fauna dengan ketentuan-ketentuan tertentu, 3 terciptanya optimalisasi fungsi budidaya, dan yang 4 adalah terciptanya keseimbangan antara fungsi
budidaya dan lindung.
1.3. Kemampuan Lahan
Evaluasi lahan adalah proses dalam menduga potensi lahan untuk penggunaan tertentu, baik untuk pertanian maupun untuk nonpertanian. Potensi
suatu wilayah untuk suatu pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, terrain
yang terdiri dari lereng, topografi, batuan di permukaan dan di dalam penampang tanah serta singkapan batuan dan hidrologi, serta persyaratan penggunaan lahan
dan persyaratan tumbuh lainnya.
Menurut Rustiadi et al. 2010 terdapat dua metode yang dikenal dalam penilaian suatu lahan yaitu evaluasi kemampuan lahan dan evaluasi kesesuaian
lahan. Evaluasi kemampuan lahan merupakan evaluasi potensi suatu lahan yang didasarkan atas kecocokkan lahan untuk penggunaan secara umum misalnya
daerah pertanian, penggembalaan, hutan, dan cagar alam. Evaluasi kemampuan lahan ini menjelaskan bahwa lahan yang mempunyai kemampuan lahan tinggi
akan mempunyai pilihan penggunaan yang lebih banyak dan baik untuk pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya. Lahan dengan kemampuan yang tinggi
bahkan dapat juga digunakan untuk keperluan non pertanian seperti permukiman, industri dan lain-lain. Sebaliknya lahan dengan kemampuan rendah
mengindikasikan bahwa lahan tersebut mempunyai hambatan yang lebih banyak. Produk yang diharapkan dari lahan yang berkemampuan rendah adalah jasa
lingkungan, misalnya lahan tersebut digunakan sebagai daerah perlindungan atau kawasan lindung.
Menurut Sitorus 1986 klasifikasi kemampuan lahan merupakan pengelompokan tanah kedalam satuan-satuan khusus menurut kemampuannya
untuk penggunaan intensif dan perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan secara terus menerus maupun berkelanjutan. Klasifikasi penggunaan lahan ini
menetapkan jenis penggunaan lahan yang sesuai dan jenis perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan bagi produksi khususnya tanaman secara
lestari.
Terdapat beberapa keuntungan yang didapatkan dari evaluasi kemampuan lahan ini sehingga evaluasi kemampuan lahan dapat juga digunakan dalam
8 penilaian permulaan secara umum terhadap sumberdaya lahan di daerah-daerah
yang belum berkembang yaitu dengan alasan-alasan sebagai berikut Sitorus 1985:
1. Sistem ini didasarkan pada evaluasi dari keadaan dan tingkat penghambat
sifat-sifat fisik, maka sistem ini berguna untuk penilaian obyektif, penilaian perbandingan, dan menghindarkan bias pengaruh subyektif bagi
wilayah yang sedang diklasifikasaikan.
2. Sistem ini hampir keseluruhan didasarkan pada sifat-sifat fisik lahan, dan
faktor ekonomis tidak dipertimbangkan kecuali asumsi untuk tindakan pengelolaan tertentu yang digunakan.
3. Sistem tersebut menunjukkan macam penggunaan lahan yang sesuai untuk
lahan dengan faktor-faktor penghambat tertentu, sekaligus dengan tindakan pengelolaan yang dibutuhkan untuk dapat mengatasi faktor
penghambat tersebut. Menurut Arsyad 2006 klasifikasi kemampuan lahan terbagi ke dalam
tiga kategori yang digunakan yaitu kelas, sub kelas, dan satuan kemampuan capability unit. Kelas merupakan tingkat yang tertinggi dan bersifat luas dalam
struktur klasifikasi. Pengelompokan sub kelas didasarkan atas dasar jenis utama faktor penghambat atau ancaman yang dikenal yaitu ancaman erosi, kelebihan air,
pembatas perkembangan akar tanaman, dan pembatas iklim. Pengelompokan di dalam satuan kemampuan yaitu pengelompokan tanah-tanah yang mempunyai
keragaan dan persyaratan yang sama terhadap sistem pengelolaan yang sama bagi usaha tani tanaman pertanian pada umumnya atau tanaman rumput untuk
makanan ternak atau yang lainnya.
Kelas kemampuan lahan dibagi menjadi 8 kelas yaitu dari kelas I sampai pada kelas VIII Tabel 1. Kelas I samapai kelas IV adalah kelas yang dapat
ditanamai digarap, sedangkan kelas V sampai kelas VIII tidak dapat ditanami. Uraian tentang kelas kesesuaian lahan dapat diterangkan sebagai berikut:
Kelas I
Kelas I mempunyai sedikit penghambat yang membatasi penggunaannya. Kelas ini sesuai untuk segala macam penggunaan pertanian. Tanah pada kelas ini
tidak mempunyai penghambat ataupun ancaman kerusakan yang berarti dan cocok untuk usaha tani yang intensif.
Kelas II
Tanah pada kelas II mempunyai sedikit penghambat yang dapat mengurangi pilihan penggunaannya atau membutuhkan tindakan pengaawetan
yang sedang. Tanah pada kelas II ini membutuhkan pengelolaan tanah secara hati- hati. Di dalam penggunaannya diperlukan tindakan-tindakan pengawetan yang
ringan seperti pengolahan tanah menurut kontur. Kelas III
Tanah pada lahan kelas III ini mempunyai lebih banyak penghambat dari tanah di lahan kelas II, dan bila digunakan untuk tanaman pertanian memerlukan
tindakan pengawetan khusus, yang umumnya lebih sulit baik dalam pelaksanaan maupun pemeliharaannya. Apabila lahan ini diusahakan untuk pertanian
membutuhkan pengawetan khusus seperti perbaikan drainase, pembuatan teras dll. Kelas IV
Tanah pada lahan kelas IV ini mempunyai lebih banyak penghambat yang lebih besar dibandingkan dengan lahan kelas III sehingga pemilihan jenis
9 penggunaan atau jenis tanaman juga lebih terbatas. Tanah pada lahan kelas IV ini
dapat digunakan untuk berbagai jenis penggunaan pertanian dengan ancaman dan bahaya kerusakan yang lebih besar dibandingkan lahan kelas III. Apabila lahan ini
diusahakan maka dibutuhkan tindakan pengelolaan khusus, yang relatif lebih sulit baik dalam pelaksanaan maupun dalam pemeliharaannya dibandingkan dengan
kelas-kelas sebelumnya. Kelas V
Tanah pada kelas V ini tidak sesuai untuk ditanami dengan tanaman semusim, tetapi lebih sesuai untuk ditanami dengan vegetasi permanen seperti
makanan ternak atau dihutankan. Tanah pada kelas ini terletak pada tempat yang hampir datar, basah atau tergenang air dan terlalu banyak batu di atas permukaan
tanah. Kelas VI
Tanah pada lahan kelas VI ini tidak sesuai untuk digarap bagi usaha tani semusim. tetapi sesuai untuk vegetasi permanen yang dapat digunakan sebagai
makanan ternakpadang rumput atau dihutankan dengan penghambat yang sedang. Tanah ini mempunyai lereng yang curam sehingga mudah tererosi, mempunyai
solum yang sangat dangkal. Jika digunakan untuk tanaman semusim diperlukan tindakan pengawetan khusus seperti pembuatan teras bangku, pengolahan
menurut kontur dan sebagainya. Kelas VII
Tanah pada kelas VII ini tidak sesuai untuk digarap bagi usaha tani tanaman semusim, dan sebaiknya digunakan untuk penanaman dengan vegetasi
permanen seperti padang rumput atau hutan yang disertai dengan tindakan pengelolaan yang tepat dan lebih intensif dari yang diperlukan pada lahan kelas
VI. Kelas VIII
Tanah pada lahan kelas VIII tidak sesuai untuk tanaman semusim dan usaha produksi pertanian lainnya dan harus dibiarkan pada keadaan alami di
bawah vegetasi alami. Tanah pada lahan ini dapat digunakan untuk cagar alami, hutan lindung, atau rekreasi.
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terdapat pada bab I pasal 1, pengertian daya dukung
lingkungan merupakan kemampuan lingkungan hidup dalam mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lainnya, dan keseimbangan antar
keduanya. Daya dukung lahan tergantung pada presentasi lahan yang dapat digunakan untuk penggunaan yang berkelanjutan dan lestari. Penghitungan daya
dukung lahan yang didasarkan pada kemampuan lahan ini dapat ditentukan apakah penggunaan suatu lahan sudah melampaui daya dukungnya atau belum.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi daya dukung lahan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hadi 2010 di Desa Ciaruteun
Ilir, antara lain adalah 1 kemampuan lahan dan penggunaan lahan, 2 degradasi lahan, 3 keterbatasan lahan dan kepadatan penduduk yang tidak dapat diatasi, 4
perilaku negatif masyarakat. Penggunaan suatu lahan seharusnya sesuai dengan kemampuan lahan atau daya dukungnya. Pemanfaatan lahan yang baik
memerlukan suatu perencanaan yang baik pula. Perencanaan penggunaan ruang yang baik adalah perencanaan yang berbasis pada kemampuan lahan yaitu
berbasis pada daya dukung lahan Rustiadi et al. 2010.
10
Tabel 1 . Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan
No Faktor Penghambat
Kelas Kemampuan Lahan I
II III
IV V
VI VII
VIII 1
Tekstur Tanah t Lapisan Atas 40 cm
h-s h-s
h-ak h-ak
h-ak h-ak
K
2 Lereng Permukaan
0-3 3-8
8-15 15-30
0-3 30-45
45-65 65
3 Drainase
d1 d2
d3 d4
d5 d0
4 Kedalaman Efektif
cm
90 90-50
50-25 25
5 Keadaan Erosi
e0 e1
e2 e3
e4 e5
6 Kepekaan Erosi
KE1 KE2
KE3 KE4
KE5 KE6
7 Kerikilbatuan
Volume
0-15 0-15
15-50 50-90
90 90
8 Banjir
O0 O1
O2 O3
O4 Keterangan :
: dapat mempunyai sembarang sifat faktor penghambat
: tidak berlaku
Tekstur :
ah = agak halus; h = halus; ak = agak kasar; k = kasar; s = sedang Erosi
: e0 = tidak ada; e1 = ringan; e2 = sedang; e3 = agak berat; e4 = berat; e5 = sangat
berat Drainase
: d0 = berlebih; d1 = baik; d2 = agak baik; d3 = agak buruk; d4= buruk; d5 = sangat
buruk Kepekaan
Erosi :
KE1= sangat rendah; KE2 = rendah; KE3 = sedang; KE4 = agak tinggi; KE5 = tinggi; KE6 = sangat rendah
Sumber: Konservasi Tanah dan Air Arsyad 2006.
1.4. Kawasan Jabodetabek