implikasi ketentuan teknisnya terkadang menjadi tidak sejalan dengan misi pemilu.
Misalnya saja,
keinginan menjaga
proporsionalitas dan kadar keterwakilan lebih tingi
tidak akan
terpenuhi dengan
cara perhitungan suara ala pemilu 2004. Pembagian
daerah pemilihan pada Pemilu 2004 menghadirkan ketimpangan derajat keterwakilan.
Kompas, 14 Februari 2008, cetak tebal oleh penulis
Dengan ilustrasi yang dimunculkan tersebut, peneliti melihat Harian Umum Kompas ingin menyampaikan ketidak setujuanya bila dalam perumusan
UU Pemilu 2009 dituntaskan melalui mekanisme penarikan kompromi dan adu kuat-kuatan oleh fraksi-fraksi di DPR. Karena hal tersebut sama saja dengan
sistem perhitungan Pemilu 2004 yang tidak dapat menjaga proporsinalitas dan kadar keterwakilan rakyat dalam parlemen.
Dari kedua uraian teks diatas, dapat kita cermati bahwa dalam keadaan yang chaos dalam perumusan RUU Pemilu 2009, Harian Umum Kompas secara
tegas dan formal menyampaikan sikapnya dalam menyikapi masalah pro-kontra penyelesaian pembahasan RUU Pemilu. Dengan memberikan gambaran yang
konkret ketidak setujuannya bila pemilu 2009 menggunakan kembali UU No. 122003. Sedangkan Harian Umum Republika dengan pola penulisan semacam
itu hanya menunjukkan posisi wakil rakyat di DPR yang tidak legitimate, tanpa memberikan sikap yang tegas terhadap kontroversi mekanisme pengesahan RUU
Pemilu 2009.
4. Maksud
Elemen maksud juga hampir sama dengan elemen detail. Dalam detail informasi yang menguntungkan akan diuraikan dengan detail yang panjang.
Sedangkan elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas. Sebaliknya, yang merugikan akan
diuraikan secara tersamar, implisit dan tersembunyi. Tujuan akhirnya adalah publik hanya disajikan informasi yang menguntungkan komunikator.
79
Kutipan – kutipan dibawah ini menunjukkan bagaimana sikap DPR dan keinginan dari pemerintah terhadap RUU Pemilu yang akan diundangkan nanti.
Banyaknya pandangan dari tiap fraksi mengenai setiap persoalan, membuat persoalan itu tidak bisa diputuskan melalui musyawarah dan menemui jalan
buntu. Sehingga jalan terakhir yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan voting untuk mengambil keputusan dan sebagai penetapan Rancangan Undang-
Undang RUU Pemilu. Sedangkan pemerintah tidak menginginkan keputusan diambil secara voting. Sebisa mungkin dimusyawarahkan lagi dan dibuka
kesempattan untuk lobi antar fraksi-fraksi. Seperti ditulis Harian Umum Republika yang mengutip pernyatan Andi
Yuliani Paris, Anggota tim lobi Fraksi PAN, sebagai berikut : ”Soal lobi antar fraksi-fraksi DPR dengan
pemerintah pada
Ahad malam
242, Andi
mengatakan pemerintah masih memberi sejumlah masukan. Tapi, bila masukan pemerintah itu tak
disepakati, dia mengatakan mau tidak mau harus divoting. Pemerintah memang tak punya hak
79
Eriyanto a, Op. Cit, hlm. 240
voting, sehingga usulannya bisa ditolak. Tapi, pemerintah bisa menolak seluruh RUU.
”Pemerintah bisa menyatakan penolakan itu saat memberikan
tanggapan akhir.
Sehingga, pelaksanaan
pemilu 2009
akan kembali
menggunakan UU No. 122003 tentang Pemilu Legislatif.”
Republika, 26 Februari 2008 Kalau kita cermati, dari teks diatas sepertinya terjadi situasi yang sulit bagi
DPR. Posisi DPR jadi serba salah, karena teks diatas bermaksud menunjukkan bahwa peran pemerintah dalam membuat RUU Pemilu menjadi UU sangatlah
penting. Meskipun pemerintah tidak mempunyai hak untuk ikut dalam pemungutan suara, namun jika hasil voting nanti tidak sesuai dengan usulan
pemerintah maka pemerintah kemungkinan akan menolak hasil tersebut. Dan terpaksa KPU menggunakan UU Pemilu lama, dan semua jerih payah anggota
DPR untuk merumuskan RUU Pemilu 2009 akan sia-sia. Dari kutipan teks diatas secara implisit Harian Umum Republika ingin
memperlihatkan ketakutan DPR terhadap pemerintah. Karena pada dasarnya DPR tidak sepaham dengan usulan-usulan dari pemerintah. Namun DPR belum berani
menolak dengan tegas masukan dari pemerintah tersebut. Karena dikhawatirkan jika pemerintah menyatakan menolak RUU Pemilu. Meskipun pemerintah tidak
mempunyai kewenangan untuk ikut andil dalam rapat pembahasan RUU Pemilu, namun pemerintah dapat menolah seluruh RUU yang disahkan oleh DPR saat
memberikan pandangan akhir, dan Pemilu 2009 harus menggunakan UU No. 122003. Maka, usaha dan jeripayah fraksi-fraksi untuk saling melobi akan sia-
sia. Namun di sisi lain, pemerintah juga tidak menginginkan penundaan pelaksanaan Pemilu 2009 nanti.
Namun pada akhirnya pemerintah memang tidak menolak hasil keputusan sidang paripurna yang telah mengesahkan RUU Pemilu 2009 manjadi UU
Pemilu 2009. Seperti ditulis Harian Umum Kompas :
”Secara terpisah, Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng menyampaikan, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menghormati proses demokrasi yang terjadi di DPR terkait dengan pengesahan
RUU Pemilu. ”Meskipun tidak sesui dengan usul pemerintah,
ya oke. Rakyat yang menilai,” ujar Andi. Ususl pemerintah mengenai sistem pemilu yang
ideal
adalah yang
jelas keterwakilannya,
akuntabilitasnya, kedekatan dengan rakyatnya, serta mudah, murah, dan cepat dalam proses
penyelenggaraan pemilu. Jika penghitungan itu ditarik ke provinsi, itu artinya menjauhkan
proses pemilu dari rakyat,” ujar Andi.”
Kompas, 1 Maret 2008 Tapi yang menarik, peneliti mencermati peryataan pemerintah lewat Juru
Bicara Kepresidenan, Andi Mallarangeng, yang menyayangkan bahwa usulan pemerintah tidak diadopsi oleh DPR terkait masalah perhitungan sisa suara yang
ditarik ke provinsi. Peneliti melihat Harian Umum Kompas ingin menunjukan bahwa keterpaksaaan pemerintah menyetujui UU Pemilu yang disahkan oleh
DPR dikarenakan waktu yang sudah terlalu memepet dari yang telah dijadwalkan, dan pemerintah tidak mau dianggap gagal dalam penyelenggaraan Pemilu 2009
nanti.
5. Pengandaian