Akurasi Satelit Aqua MODIS

1996 vide Sunarto 2008 mengkategorikan pola ini kedalam jenis upwelling tetap stationary type, yang terjadi sepanjang tahun meskipun intensitasnya dapat berubah - ubah. Lokasi terjadinya upwelling jenis ini berada di wilayah pesisir. Banyak faktor yang dapat menyebabkan kondisi ini terjadi, seperti kondisi arus ekman, pasang surut, termohaline, geostropik, dll, struktur dasar perairan, ataupun karena ITF Indonesian Through Folow, seperti yang dikemukakan oleh Sukresno dan Kasa 2008 bahwa upwelling di bagian barat Laut Banda lebih disebabkan oleh ITF Indonesian Through Folow yaitu suatu aliran massa air dalam jumlah besar yang terjadi antara samudera Pasifik dan samudera Hindia yang melalui wilayah perairan Indonesia akibat ada perbedaan tekanan pada kedua samudera tersebut . Namun s ejauh pengamatan yang dilakukan bahwa hingga saat ini pola upwelling yang kedua belum ada penelitian yang memberikanan penjelasan secara mendetail mengenai pola upwelling di wilayah tersebut .

5.3 Akurasi Satelit Aqua MODIS

Akurasi satelit Aqua MODIS level 3 secara umum mengindikasikan ada trend nilai SPL yang cenderung underestimated dari pengukuran in-situ. Asumsipenjelasan yang paling sering digunakan untuk menjelaskan kondisi ini yaitu akibat adanya tutupan awan ketika proses perekaman satelit berlangsung, penggunaan alat serta kesesuaian waktu pengukuran lapangan dengan waktu perekaman satelit berlangsung. akibatnya terkadang tidak memberikan gambaran sebenarnya mengenai kondisi SPL perairan. Dokumen ATBD 25, memberikan penjelasan bahwa nilai error dari standart algoritma SPL satelit Aqua MODIS sebesar 0,337K Brown and Minnet, 1999. Namun beberapa penelitian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat akurasi satelit MODIS, antara lain Khalil 2007 yang melakukan uji tingkat akurasi SPL dan klorofil-a satelit MODIS level 2, memperoleh nilai RMSE IDW SPL sebesar 1,35 o C dan RMSE Kriging sebesar 1,21 o C dan RMSE IDW klorofil-a sebesar 1,01 mgm 3 dan RMSE Kriging 1,22 mgm 3 , lebih lanjut dijelaskan bahwa SPL hasil satelit Aqua MODIS cederung underestimate dan klorofil-a cenderung overestimated jika dibandingkan dengan hasil pengukuran lapangan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Barbini et al 2004 bahwa adanya trend overestimated terhadap klorofil-a satelit MODIS yang memiliki nilai konsentrasi yang rendah dan cenderung underestimated untuk konsentrasi klorofil-a yang tinggi. Namun ada juga penelitian yang dilakukan oleh Uiboupin dan Sipelgas 2007. yang menyakatan bahwa tingkat akurasi satelit Aqua MODIS untuk memprediksi SPL di perairan Hiiumaa, Estonia tergolong cukup akurat dengan nilai RMSE berkisar antara 0,5 - 0,7. Terdapat dua penjelasan yang paling dianggap sesuai untuk menjelaskan kondisi ini yaitu 1 validasi in-situ wilayah yang dilakukan dalam penyusunan algoritma klorofil-a satelit MODIS Gambar 37 tidak dilakukan oleh SeaWiFS Bio Optical Archive and Storage System SeaBass pada wilayah penelitiannya perairan Indonesia Khalil, 2007, 2 Karena adanya perubahan suhu harian yang ekstrim karena nilai radiansi yang direkam oleh sensor berasal dari lapisan permukaan laut yang sangat tipis yakni sekitar 0,1 mm, sehingga menyebabkan suhu permukaan laut saat siang hari akan meningkat dari suhu sebenarnya. Sebaliknya pada malam hari, udara dingin menyebabkan suhu permukaan laut satelit menjadi lebih rendah Gaol, 2003. Sumber : Khalil, 2007 Gambar 37 Lokasi pengamatan SeaBass Tahun 2006. Kondisi SPL yang cenderung underestimate dan klorofil-a yang cenderung overestimate, di perairan Indonesia, kemudian menimbulkan adanya wacana mengenai penyusunan algoritma yang berskala lokal, sehingga hasil perekaman satelit dapat memberikan gambaran mengenai kondisi yang sebenarnya dalam segala kondisi. Sebagaimana yang dikemukakan Nababan et al 2009 bahwa salah satu tantangan yang di hadapi teknologi remote sensing di Indonesia adalah pentingnya penggunaan algoritma yang bersifat lokalitas. 5.4 Hubungan Antara Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Layang di Laut Banda Korelasi antara suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan layang menunjukkan nilai korelasi yang cukup signifikan, walaupun nilai koefisien determinasi R 2 parameter SPL dan klorofil-a terlihat rendah. Kondisi ini mengindikasikan adanya faktor - faktor lain yang berpengaruh selain suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap dinamika pergerakan ikan layang seperti salinitas dan arus. Menurut Burhanuddin et al 1983 vide Adrius 2007 bahwa a da empat parameter oseanografi yang utama dalam mempengaruhi ruaya migrasi dan sebaran distribusi ikan layang yaitu: salinitas perairan, suhu permukaan laut SPL, kelimpahan makanan dan arus laut. Ikan layang melakukan ruaya migrasi mengikuti kadar garam bersalinitas tinggi. Asikin 1971 vide Adrius 2007 menyatakan bahwa kisaran salinitas yang disenangi ikan layang antara 32,00 - 33,75 o oo . Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Amri 2008 menunjukkan ikan layang tertangkap pada kisaran salinitas antara 31,00 - 33,7 o oo . Secara umum suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap CPUE ikan layang antara tahun 2008 - 2010 menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Setiap kenaikan SPL dan penurunan klorofil-a akan diikuti penurunan CPUE ikan layang begitu pula sebaliknya penurunan SPL dan peningkatan klorofil-a akan diikuti oleh peningkatan CPUE. Musim timur menunjukkan CPUE ikan layang yang lebih tinggi dibandingkan dengan musim yang lain dengan nilai rata - rata SPL berkisar antara 28,29 - 28,17 o C dan konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,183 - 0,380 mgm 3 . Nilai CPUE rendah terjadi pada musim barat dengan rata - rata SPL antara 26,96 - 28,75 o C dan klorofil-a sebesar 0,121 - 0,198 mgm 3 . Menurut Prasetyo dan Suwarso 2010 ikan layang pada dasarnya tertangkap sepanjang tahun, namun terjadi fluktuasi secara bulananmusiman, dalam kondisi ini musim puncak penangkapan terjadi pada musim timur dan musim paceklik terjadi pada musim barat. Perbandingan secara temporal antara tahun 2008 - 2010 menunjukkan nilai rata - rata SPL lebih rendah dan klorofil-a lebih tinggi pada tahun 2008 dibandingkan dengan tahun 2009 dan 2010 yang cederung stabil, namun nilai CPUE tahun 2008 lebih rendah. Kondisi ini diindikasikan berkaitan dengan adanya siklus tahunan perubahan iklim global El Nino dan La Nina. Pada saat terjadi La Nina suhu permukaan laut di kawasan tengah dan timur ekuator samudera pasifik menjadi lebih dingin sekitar 4,0 - 6,0 o C dibandingkan dengan tahun yang lainnya, sehingga suhu perairan Indonesia menjadi lebih hangat akibat adanya aliran massa air dari wilayah samudera pasifik ke perairan Indonesia karena adanya perbedaan tekanan, sedangkan peristiwa El Nino merupakan kebalikan, yaitu suhu muka laut di ekuator pasifik tengah lebih tinggi dibandingkan dengan rata - rata suhu perairan Indonesia, sehingga terjadi aliran massa air dari perairan Indonesia ke wilayah samudera pasifik. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukresno dan Suniada 2008 juga menyimpulkan bahwa adanya korelasi antara periode ENSO terhadap produktifitas primer di Laut Banda yang pada akhirnya mempengaruhi pergerakan dan kelimpahan ikan, selanjutnya dijelaskan bahwa sekitar bulan Agustus pada tahun 2004, 2005 dan 2006 menunjukkan produktifitas primer perairan melonjak naik seiring dengan naiknya index ENSO. 5.5 Prediksi Daerah Penangkapan Potensial Ikan Pelagis Kecil di Perairan Kendari dan Laut Banda Peta prediksi daerah penangkapan potensial tinggi dan sedang ikan layang saat musim peralihan barat - timur dan musim timur menunjukkan bahwa ikan tersebut terkonsetrasi di perairan Laut Banda sebelah utara hingga timur seiring dengan peningkatan konsentrasi klorofil-a dan SPL yang sesuai akibat adanya upwelling dan thermal front, walaupun di wilayah barat juga menunjukkan adanya lokasi DPI yang tergolong potensial sedang saat musim timur. Hal ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya seperti penelitian yang dilakukan Irham et al 2008 di perairan Maluku Utara sekitar pulau Seram menunjukkan bahwa puncak musim penangkapan ikan Layang Decapterus spp terjadi pada bulan Agustus musim timur. Luasunaung 2011 juga melakukan penelitian tentang musim penangkapan ikan teri Stolephorus sp di Teluk Dodinga Kabupaten Halmahera Barat menyimpulkan bahwa pada tahun 2008 puncak musim penangkapan terjadi pada bulan Juni dan pada tahun 2009 terjadi pada bulan Juli, kemudian mengalami penurunan pada bulan selanjutnya Gambar 38. a b Sumber : Luasunaung 2011 Gambar 38 Musim Penangkapan Ikan Teri di Teluk Dodinga, Kabupaten Halmahera Barat, a Tahun 2008, b Tahun 2009. Saat memasuki musim peralihan timur - barat dan musim barat, ikan layang kemudian diprediksi melakukan migrasi kearah barat Laut Banda Hal ini terlihat dari adanya daerah penangkapan potensial tinggi dan sedang pada wilayah tersebut. Menurut Burhanuddin et al 1983 vide Simbolon 2011 bahwa kehidupan ikan layang khususnya jenis Decapterus russelli dan D. layang sangat tergantung pada plankton, terutama zooplankton, sehingga kedua jenis ini akan mencari daerah yang banyak mengandung plankton, sehingga salah satu tujuan ikan melakukan migrasi adalah untuk mencari sumber makanan feeding migration. Terkait dengan adanya berbagai model klasifikasi serta penentuan parameter yang berpengaruh terhadap pembentukan sebuah daerah penangkapan ikan khususnya parameter suhu permukaan laut dan klorofil-a telah banyak diterapkan dalam berbagai penelitian pada bidang perikanan tangkap menjadi alasan utama mengenai perlunya penyusunan sebuah indeks atau klasifikasi yang lebih baku. Hal ini menjadi penting ketika dihadapkan pada sebuah pertanyaan mendasar tentang keakuratan sebuah prediksi daerah penangkapan ikan. Pada sektor pertanian telah banyak dilakukan penyusunan indeks atau klasifikasi yang lebih seragam, seperti kelas kesesuaian lahan pertanian, indeks kekeringan pertanian, kelas kemampuan lahan. Sektor kehutanan juga telah memberikan berbagai pengkategorian dan penyusunan indeks, seperti klasifikasi hutan dan indeks kebakaran hutan. Penyusunan indeks atau klasifikasi daerah penangkapan ikan khusunya ikan layang tentunya akan terus mengalami perubahan dalam perkembangannya, namun diharapakan hal ini akan menjadi langkah awal dalam mempelajari dan pengembangan klasifikasi daerah penangkapan ikan sehingga pada akhirnya nanti dapat dihasilkan peta prediksi daerah penangkapan yang lebih baik dan akurat yang pada akhirnya membantu nelayan dalam memberikan hasil tangkapan yang lebih baik. Sebagai contoh, misalnya penelitian mengenai pengaruh suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap kelimpahan ikan telah banyak dilakukan yang pada kesimpulannya menunjukkan adanya pengaruh signifikan terhadap pola migrasi dan pergerakan ikan diperairan, tetapi belum adanya klasifikasi SPL dan klorofil-a yang lebih seragam, menyebabkan adanya kecenderungan penentuan daerah penangkapan ikan berdasarkan SPL dan klorofil-a menjadi lebih beragam dan kurang jelas. Penentuan daerah penangkapan ikan layang di Laut Banda berdasarkan parameter suhu permukaan laut SPL dan klorofil-a yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari pengumpulan data lapangan in-situ di perairan Kendari. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi hasil analisis peta prediksi daerah penangkapan ikan layang di Laut Banda. Keterbatasan data dan informasi secara time series mengenai waktu, lokasi penangkapan serta kondisi oseanografi yang mempengaruhi dinamika pergerakan ikan layang in-situ dari stakeholder yang terlibat menjadi kendala utama. Sehingga kedepannya diperlukan adanya upaya secara sistematis dan terencana dari pihak yang terkait baik level pusat hingga daerah untuk mendorong pelaksanaan pendataan log book aktifitas penangkapan yang dilakukan nelayan khususnya nelayan skala kecil. Hal ini menjadi penting, sebab pendataan log book ini menjadi kunci bagi keberlanjutan industri perikanan tangkap karena sulitnya mengetahui secara langsung keberadaan ikan layang di perairan dengan kasat mata bahkan teknologi satelit sekalipun. Adanya pendataan yang terintegrasi dan dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan dapat melihat dengan jelas bagaimana trent tangkapan ikan layang setiap tahunnya, lokasi penangkapan potensial, jumlah hasil tangkapan, pengawasan aktifitas penangkapan dan lain sebagainya.

6. KESIMPULAN DAN SARAN