KeterpaduanIntegrasi Pasar Analisis Margin Tata Niaga dan KeterpaduanIntegrasi Pasar .1 Analisis Margin Tata Niaga

Menteri Kehutanan Nomor P.49Menhut-II2008 jo nomor P.14Menhut-II2010 tentang Hutan Desa. Dalam peraturan-peraturan di atas disebutkan bahwa hutan produksi dapat dimanfaatkan menjadi hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan dan hutan desa. Hutan tanaman rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat dan hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izinhak. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 6 tahun 2007 jo PP nomor 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan pada Pasal 17 disebutkan bahwa: 1 Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. 2 Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan melalui kegiatan: a. pemanfaatan kawasan; b. pemanfaatan jasa lingkungan; c. pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan d. pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Pada pasal 18 disebutkan bahwa pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 2, yaitu kawasan: a. hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional; b. hutan lindung; dan c. hutan produksi. Pada pasal 23 disebutkan bahwa pemanfaatan hutan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat dilakukan melalui kegiatan : a. pemanfaatan kawasan; b. pemanfaatan jasa lingkungan; atau c. pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pada Pasal 31 disebutkan bahwa: 1 Pada hutan produksi, pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat 1 dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip untuk mengelola hutan lestari dan meningkatkan fungsi utamanya. 2 Pemanfaatan hutan pada hutan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan, antara lain, melalui kegiatan: a. usaha pemanfaatan kawasan; b. usaha pemanfaatan jasa lingkungan; c. usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam; d. usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman; e. usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam; f. usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman; g. pemungutan hasil hutan kayu dalam hutan alam; h. pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam; i. pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman. Pada Pasal 40 disebutkan bahwa: 1. Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf b dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya. 2. Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat 2 meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran. 3. Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat 2, diutamakan pada hutan produksi yang tidak produktif. 4. Tanaman yang dihasilkan dari IUPHHK pada HTR merupakan aset pemegang izin usaha, dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku. 5. Pemerintah, sesuai ketentuan peraturan perundangundangan, membentuk lembaga keuangan untuk mendukung pembangunan HTR Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor: 6 tahun 2007 jo PP nomor 3 tahun 2008 tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.37Menhut-II2007 tentang Hutan Kemasyarakatan untuk tata cara penetapan dan pemberian ijin untuk hutan kemasyarakatan dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49Menhut-II2008 jo nomor P.14Menhut-II2010 tentang Hutan Desa untuk tata cara penetapan dan pemberian ijin untuk hutan desa. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.37Menhut-II2007 tentang Hutan Kemasyarakatan pada pasal 6 disebutkan bahwa “kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produks i” dan pada pasal 7 disebutkan kawasan hutan lindung dan hutan produksi dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan ketentuan: 1 belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan 2 menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49Menhut-II2008 jo nomor P.14Menhut-II2010 tentang Hutan Desa pasal Pasal 2 1 penyelenggaraan hutan desa dimaksudkan untuk memberikan akses kepada masyarakat setempat melalui lembaga desa dalam memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari; 2 penyelenggaraan hutan desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan. Selanjutnya pada pasal 4 disebutkan bahwa: 1 Kriteria kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang : a. belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan; b. berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan. 2 Ketentuan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat 1 didasarkan atas rekomendasi dari kepala KPH atau kepala dinas kabupatenkota yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan. Berdasarkan peraturan-peraturan di atas untuk pengembangan tanaman hutan dalam hutan tanaman rakyat HTR, hutan kemasyarakatan dan hutan desa maka areal-areal tersebut dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa harus mengurangi fungsinya sebagai hutan dengan tanaman yang dapat diusahakan oleh masyarakat. Dalam kawasan hutan produksi, hasil tanaman dapat diambil baik kayu maupun getahnya. Hal ini sesuai dengan karakteristik tanaman karet. Tanaman karet secara tradisional dikenal sebagai tanaman perkebunan. Namun, kini tanaman karet juga dikenal sebagai tanaman hutan. Bahan tanaman yang digunakan untuk hutan karet ini berasal dari biji atau seedling. Perkebunan karet memiliki potensi untuk konservasi lingkungan, yaitu sebagai penambat CO2 yang efektif. Di samping itu, kayu karet memiliki corak dan kualitas yang baik sehingga dapat mensubstitusi beberapa jenis kayu yang dieksploitasi dari hutan. Kayu karet juga relatif mudah digergaji. Bahan tanaman karet untuk perkebunan dibuat dengan cara okulasi batang bawah dengan entres terpilih. Namun untuk keperluan tanaman hutan, cukup digunakan tanaman dari biji karena waktu yang diperlukan untuk pengadaan bibit lebih cepat dan lebih mudah, akar tunggang dapat tumbuh lebih sempurna lurus ke bawah, serta pertumbuhan tanaman di lapangan lebih cepat Indraty, 2005. Tanaman karet juga memberikan kontribusi yang sangat penting dalam pelestarian lingkungan. Upaya pelestarian lingkungan akhir-akhir ini menjadi isu penting mengingat kondisi sebagian besar hutan alam makin memprihatinkan. Pada tanaman karet, energi yang dihasilkan seperti oksigen, kayu, dan biomassa dapat digunakan untuk mendukung fungsi diperbaikan lingkungan seperti rehabilitasi lahan, pencegahan erosi dan banjir, pengaturan tata guna air bagi tanaman lain, dan menciptakan iklim yang sehat dan bebas polusi. Pada daerah kritis, daun karet yang gugur mampu menyuburkan tanah. Daur hidup tanaman karet yang demikian akan terus berputar dan berulang selama satu siklus tanaman karet paling tidak selama 30 tahun. Oleh karena itu, keberadaan pertanaman karet sangat strategis bagi kelangsungan kehidupan, karena mampu berperan sebagai penyimpan dan sumber energi, laju pertumbuhan biomassa ratarata tanaman karet pada umur 3−5 tahun mencapai 35,50 ton bahan keringhatahun. Hal ini berarti perkebunan karet dapat mengambil alih fungsi hutan yang berperan penting dalam pengaturan tata guna air dan mengurangi peningkatan pemanasan bumi global warming Azwar et al., 1989. Di wilayah Kabupaten Mandailing Natal, masyarakatnya telah mengenal budidaya tanaman karet sejak dahulu dan telah diturunkan pengetahuan dan lahan secara turun temurun, sehingga merupakan salah satu mata pencaharian pokok masyarakatnya. Di areal yang telah ditunjuk oleh Kementrian Kehutanan RI sesuai dengan SK Menteri Kehutanan nomor SK.44menhut-II2005 sebagai hutan produksi di Kabupaten Mandailing Natal terdapat banyak tanaman-tanaman karet tua yang masih diusahakan masyarakat. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor SK.113Menhut-II2008 tanggal 21 April 2008 telah dicadangkan Areal Hutan untuk Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat seluas +9.815 Ha di Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara. Areal hutan yang dimaksud adalah areal hutan produksi dan pada areal tersebut akan ditanami dengan tanaman karet dengan tanaman karet yang berasal dari biji atau seedling sesuai dengan arahan dari Kementrian Kehutanan RI dan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam penelitian ini akan diusulkan areal pengembangan karet rakyat dapat dilakukan di areal hutan produksi dengan tanaman karet yang berasal dari biji atau seedling atau bibit unggul yang sesuai, baik nantinya akan sebagai hutan kemasyarakatan, hutan desa atau hutan tanaman rakyat dengan pengelolaan agroforestry yang secara aspek lingkungan dapat melindungi kelestarian hutan. Arahan kebijakan pengembangan perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal akan disusun secara deskriptif dengan pertimbangan peta arahan pengembangan perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal, hasil analisis kelayakan finansial, hasil analisis margin pemasaran dan keterpaduan pasar serta mempertimbangkan arahan pengembangan wilayah Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal. Gambar Bagan alir penelitian disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Bagan Alir Penelitian Survei responden Peningkatan teknis budidaya Karet Analisis : Kelayakan Finansial dan uji sensitivitas Analisis margin tataniaga dan keterpaduan pasar Lokasi sesuai dan dapat dikembangkan untuk budidaya Karet peta administrasi overlay Peta kesesuaian lahan Peta Present Land use, peta peta kawasan hutan, peta HTR Data Primer Peta arahan pengembangan karet rakyat Arahan kebijakan pengembangan wilayah Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal - SK Menhut tentang kawasan hutan Madina - SK Menhut tentang HTR di Madina - PP RI tentang Tata Hutan - Peraturan Menhut tentang Hutan Kemasyarakatan - Peraturan Menhut tentang Hutan Desa - UU tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan overlay Data Sekunder Arahan kebijakan pengembangan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Pembentukan Kabupaten Mandailing Natal

Pada tanggal 23 November 1998, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Undang - Undang No. 12 Tahun 1998 yaitu Undang-Undang tentang pembentukan Pemerintahan Kabupaten Mandailing Natal menjadi daerah otonom, dan secara formal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 Maret 1999. Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1998, Kabupaten Mandailing Natal, yang dikenal dengan sebutan MADINA, terdiri dari 8 delapan kecamatan dan 273 desa. Pada tanggal 29 Juli 2003, Kabupaten Mandailing Natal mengeluarkan Perda No. 7 tentang pembentukan kecamatan dan Perda No. 8 tentang pemekaran desa di Kabupaten Mandailing Natal. Dengan dikeluarkannya Perda No. 7 dan 8 tersebut maka Kabupaten Mandailing Natal memiliki 17 Kecamatan yang terdiri dari 322 desa dan 7 kelurahan. Pada Tanggal 15 Februari 2007 Kabupaten Mandailing Natal mengeluarkan Perda Jo 10 Tahun 2007 tentang pembentukan kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal, Kecamatan Ranto Baek, Kecamatan Huta Bargot, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Kecamatan Pakantan, dan Kecamatan Sinunukan sehingga Kabupaten Mandailing Natal memiliki 22 kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 349 desa dan kelurahan sebanyak 32 kelurahan. Pada tanggal 7 Desember 2007 pemerintah Kabupaten Mandailing Natal mengeluarkan Perda No. 45 Tahun 2007 dan No. 46 Tahun 2007 tentang pemecahan desa dan pembentukan Kecamatan Naga Juang di Kabupaten Mandailing Natal. Pembentukan Kecamatan Naga Juang yang mencakup Desa Tambiski, Tarutung Panjang, Humbang I, Sayur Matua, Banua Rakyat, Banua Simanosor, dan Tambiski Nauli menambah jumlah kecamatan dan desa di Kabupaten Mandailing Natal menjadi 23 kecamatan, 32 kelurahan, dan 353 desa dan 10 Unit Pemukiman Transmigrasi. Kecamatan- kecamatan hasil pemekaran tersebut pada Tabel 5. Peta wilayah administrasi Kabupaten Mandailing Natal disajikan pada Gambar 4. Tabel 5 Hasil pemekaran kecamatan-kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal Kecamatan Tahun 1998 Kecamatan Tahun 2003 Kecamatan Tahun 2007 1. Batahan 1. Batahan 1. Batahan 2. Sinunukan 2. Batang Natal 2. Batang Natal 3. Lingga Bayu 3. Batang Natal 4. Lingga Bayu 5. Ranto Baek 3. Kotanopan 4. Kotanopan 5. Ulu Pungkut 6. Tambangan 7. Lembah Sorik Marapi 6. Kotanopan 7. Ulu Pungkut 8. Tambangan 9. Lembah Sorik Marapi 10. Puncak Sorik Marapi 4. Muara Sipongi 8. Muara Sipongi 11. Muara Sipongi 12. Pakantan 5. Panyabungan 9. Panyabungan 10. Panyabungan Selatan 11. Panyabungan Barat 12. Panyabungan Utara 13. Panyabungan Timur 13. Panyabungan 14. Panyabungan Selatan 15. Panyabungan Barat 16. Panyabungan Utara 17. Panyabungan Timur 18. Huta Bargot 6. Natal 14. Natal 19. Natal 7. Muara Batang Gadis 15. Muara Batang Gadis 20. Muara Batang Gadis 8. Siabu 16. Siabu 17. Bukit Malintang 21. Siabu 22. Bukit Malintang 23. Naga Juang Sumber : Mandailing Natal dalam Angka, 2009

4.2. Letak Geografis

Kabupaten Mandailing Natal dalam konstelasi regional berada di bagian selatan wilayah Provinsi Sumatera Utara pada lokasi geografis 0°10-1°50 Lintang Utara dan 98°50-100°10 Bujur Timur ketinggian 0 –1.915 m di atas permukaan laut. Kabupaten Mandailing Natal merupakan bagian paling selatan dari Provinsi Sumatera Utara dan berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat. Batas-batas wilayah kabupaten adalah: Batas bagian Utara : Kabupaten Tapanuli Selatan Batas bagian Timur : Kabupaten Padang Lawas Batas bagian Selatan : Provinsi Sumatera Barat Batas bagian Barat : Samudera Indonesia Kabupaten dengan ibukota Panyabungan ini memiliki luas wilayah ± 6.620,70 km 2 662.070 ha atau 9,24 dari seluruh wilayah Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan Muara Batang Gadis merupakan wilayah yang paling luas yakni 143.502 ha 21,67, sedangkan Kecamatan Lembah Sorik Marapi merupakan wilayah yang paling kecil yakni 3.472 ha 0,52. Gambar 4. Peta administrasi Kabupaten Mandailing Natal

4.3 Kondisi Fisik Wilayah Kabupaten Mandailing Natal

4.3.1 Topografi

Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari gugusan pegunungan dan perbukitan yang dikenal dengan Bukit Barisan di beberapa kecamatan, juga daerah pesisirdaerah pantai di Kecamatan Batahan, Natal, dan Muara Batang Gadis. Daerah Kabupaten Mandailing Natal dibedakan menjadi 3 tiga bagian, yaitu:  Dataran Rendah merupakan daerah pesisir dengan kemiringan 0–2 dengan luas sekitar 160.500 ha 24,24.  Daerahdataran Landai dengan kemiringan 2–15 dengan luas wilayah 36.385 ha 5,49.  Dataran Tinggi dengan kemiringan 15–40. Dataran tinggi dibedakan menjadi 2 dua jenis, yaitu: a. Daerah perbukitan dengan kemiringan 15–20 dengan luas wilayah 112.000 ha 16,91 b. Daerah pegunungan dengan kemiringan 20–40 dengan luas 353.185 ha 53,34. Kemiringan lahanlereng merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan tanah. Salah satu parameter yang digunakan untuk mengetahui kemampuan tanah di suatu daerah adalah derajat kemiringan lahanlereng. Kemiringan lereng terjadi akibat besarnya tekanan tanah dan tekanan air tanah yang bekerja pada permukaan dinding belakang lereng tersebut. Kondisi kemiringan lahan di Kabupaten Mandailing Natal seperti terlihat pada Gambar 5. Gambar 5 Peta kemiringan lahan di Kabupaten Mandailing Natal.

4.3.2 Morfologi Wilayah

Morfologi Kabupaten Mandailing Natal merupakan satuan perbukitan memanjang dengan arah barat laut-tenggara. Bagian tertinggi mencapai ketinggian 1.915 m dpl, sedangkan bagian terendah berada pada ketinggian 0 m dpl. Jenis batuan yang terdapat di daerah pengukuran adalah batuan metasedimen terutama metalimestonemarmer. Secara umum, morfologi di wilayah Kabupaten