pernyataan tersebut, maka perkiraan produksi karet di Kabupaten Mandailing Natal pada kelas S2 dapat mencapai 1,2-1,6 tonha, sedangkan pada lahan S3
perkiraan produksi dapat mencapai 0,8 –1,2 tonha. Dari angka-angka tersebut
terlihat bahwa produktifitas kebun karet di Kabupaten Mandailing Natal baru sebatas produksi untuk lahan kelas S3, artinya potensi peningkatan produksi
masih cukup besar. Usaha peningkatan produksi yang dapat dilakukan petani diantaranya
dengan peningkatan kualitas lahan, yaitu dengan melakukan usaha mengatasi faktor pembatas yang layak dilakukan, seperti pemupukan dan pembuatan saluran
drainase. Selain itu, usaha pemeliharaan tanaman seperti penyiangan, dan pengendalian hama terpadu merupakan kegiatan yang harus selalu dilakukan. Tapi
itu semua kembali ke kualitas bahan tanam. Apabila kualitas bahan tanam yang digunakan merupakan produk unggulan maka usaha di atas akan signifikan
meningkatkan produksi, tentunya sampai taraf tertentu optimum dan berlaku dalam umur produktif tanaman tersebut.
5.2 Kelayakan Finansial Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat
Analisis kelayakan finansial yang dilakukan meliputi perhitungan Net Present Value
NPV, Benefit Cost Ratio BCR, dan Internal Rate of Return IRR yang merefleksikan tingkat kelayakan usaha perkebunan karet rakyat
setelah dikoreksi dengan tingkat suku bunga bank 12 Discount factor. Analisis ini dilakukan dalam skala pengusahaan kebun seluas satu hektar, selama umur
produktif tanaman karet yaitu enam sampai tiga puluh tahun. Sampel desa yang diambil merupakan pewakil kelas kesesuaian lahan yang layak untuk
pengembangan tanaman karet yaitu kelas sangat sesuai S1, cukup sesuai S2 dan sesuai marginal S3. Di samping itu, tentu saja dipilih desa-desa yang
penduduknya sebagian besar membudidayakan tanaman karet. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini bahwa produksi tanaman karet
rakyat mengalami kenaikan hingga umur tanaman 14 tahun, dan akan menurun pada titik umur tersebut hingga umur dua puluh lima tahun. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian bahwa pola produksi tanaman karet menurut umur tanaman secara umum adalah sebagai berikut : a tahap I, produksi terus meningkat yang terjadi
Gambar 10 Peta kesesuaian lahan karet dengan faktor-faktor pembatas di Kabupaten Mandailing Natal
pada tahun sadap 1 sampai dengan tahun sadap ke 10, b tahap II, produksi stabil yang terjadi pada tahun sadap ke-11 sampai ke-15 dan c tahap III, produksi
berkurang yang terjadi pada tahun sadap ke-16 dan seterusnya Rahman, 2002. Dalam analisis ini, umur produktif tanaman dipakai sampai pada umur 25 tahun
walaupun tanaman karet masyarakat sampai umur 30 tahun masih disadap, namun hasilnya sangat sedikit. Berdasarkan hasil penelitian Siagian 2002 tanaman karet
sudah harus direplanting pada umur tanaman 25 tahun, karena tanaman di atas umur 25 tahun sudah mengalami penurunan produksi yang tinggi dan lebih baik
dipanen untuk mendapatkan kualitas kayu yang baik. Asumsi-asumsi ini digunakan dalam perkiraan produksi karet dalam bentuk cup lump lump
mangkuk masyarakat untuk waktu yang akan datang. Selain itu juga diasumsikan bahwa tidak terjadi perubahan iklim yang ekstrim dan tidak terjadi wabah hama
penyakit sehingga produksi karet petani mengalami tren kenaikkan dan penurunan seperti penjelasan diatas.
Analisis kelayakan finansial pada enam desa terpilih disajikan dalam Tabel 12, sedangkan rincian perhitungan analisis finansial masing-masing desa dapat
dilihat pada Lampiran 5, 6, 7, 8, 9 dan 10. Perhitungan analisis finansial ini berdasarkan data rataan struktur input dan output dari masing-masing desa, yang
terdiri dari 25 responden sampel di masing-masing desa. Tabel 12 Analisis kelayakan finansial NPV, BCR, dan IRR dan payback period
perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal
No DesaKecamatan
Orde kesesuaian
NPV DR =
12 Net
BC IRR
Payback Period
1 Sihepeng
Kec. Siabu S1
72.006.826 1,92 26,74 8 tahun 7
bulan 11 hari 2
Malintang Kec. Bukit Malintang
S1 93.052.838 2,10 29,45
7 tahun 7 bulan 12 hari
3 Purba Baru
Kec. Lembah Sorik Marapi S2
67.139.616 1,76 24,44 9 tahun 2
bulan 6 hari 4
Roburan Lombang Kec. Panyabungan Selatan
S2 54.993.966 1,72 23,35
10 tahun 13 hari
5 Tambangan Pasoman
Kec. Tambangan S3
37.838.270 1,48 20,20 11 tahun
4 bulan 6
Hutarimbaru SM Kec. Kotanopan
S3 44.962.829 1,49 20,71
10 tahun 6 bulan 16 hari
Pola asumsi harga yang digunakan adalah harga konstan dengan nilai Rp. 13,000kg cup lump, dengan tingkat suku bunga 12 sesuai dengan rata-rata
suku bunga bank pada tahun 2010. Perbedaan rataan dan koefisien keragaman struktur input dan output dalam pengusahaan tanaman karet pada tiap kelas
kesesuaian lahan di masing-masing desa dapat dilihat pada Lampiran 11. Dari Tabel diatas, secara finansial usaha perkebunan karet rakyat layak
untuk dikembangkan di Kabupaten Mandailing Natal. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai NPV, BCR, dan IRR yang memenuhi kriteria layak. Nilai NPV
bernilai positif yaitu antara Rp93.052.838 –Rp37.838.270 yang menunjukkan
keuntungan yang didapatkan selama umur produktif tanaman karet sebesar nilai tersebut. BCR yang lebih besar dari satu 2,10
–1,48 menunjukkan bahwa setiap satu rupiah yang diinvestasikan dalam usaha ini akan memberikan tambahan
manfaat keuntungan sebesar Rp2,10 sampai Rp1,48. Nilai IRR yang melebihi tingkat suku bunga yang berlaku menggambarkan bahwa sampai tingkat suku
bunga discount factor 20 untuk lahan S3, 23-24 pada lahan S2 dan 26- 29 pada lahan S1, usaha perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing
Natal masih memberikan nilai keuntungan bagi petani. Dari Tabel 12 diatas juga terlihat adanya perbedaan yang cukup signifikan
antara nilai-nilai parameter analisis finansial desa dikelas kesesuaian lahan sesuai S1, cukup sesuai S2 dan desa dikelas kesesuaian sesuai marginal S3. Dari
lampiran 12, terlihat bahwa penyebab perbedaan ini karena perbedaan yang cukup besar antara nilai produksi cup lump karet pada ketiga kelas kesesuaian lahan. Di
samping itu, terlihat adanya perbedaan nilai yang tinggi pada input pupuk yang digunakan petani dan jumlah tenaga kerja yang digunakan. Ketiga hal tersebut
merupakan penyebab utama perbedaan nilai analisis finansial yang dilakukan. Hal mendasar terjadinya perbedaan ini tentu saja karena perbedaan kualitas lahan.
Pada lahan S3 faktor penghambat bagi tanaman lebih besar dibandingkan lahan S2, sedangkan lahan S1 tidak memiliki faktor penghambat. Karena itu pada lahan
S1 produktifitas yang dihasilkan paling baik dibanding produktifitas pada lahan S2 dan S3, produktifitas S2 lebih tinggi dibanding S3, karena faktor penghambat
pada lahan S3 lebih besar dibandingkan dengan di lahan S2. Dari desa-desa pewakil lahan S1, S2 dan S3 terlihat perbedaan produktifitas, hal ini dikarenakan
teknik budidaya petani yang dilakukan petani terutama dalam hal pemupukan, pada Desa Sihepeng S1, Roburan Lombang S2 dan Tambangan Pasoman S3
petani hanya melakukan pemupukan satu kali dalam setahun, sedangkan pada tiga desa pewakil lainnya petani melakukan pemupukan sebanyak 2 kali dalam
setahun hal ini sangat berpengaruh pada tingkat produktifitas tanaman. Umumnya petani pada enam desa sampel pada tahun ke-16 mulai mengurangi pemakaian
pupuk, karena mahalnya harga pupuk, biasanya petani hanya memupuk urea pada tanamannya, karena mengira tanaman telah menghasilkan. Hal ini menyebabkan
tanaman pada umur 25 tahun produktifitas tanaman semakin jauh menurun, sehingga umumnya pada umur diatas 25 tahun telah dimasukkan dalam kategori
tanaman tidak menghasilkan walaupun banyak petani yang melakukan penyadapan paksa pada tanaman tersebut. Hal ini sebenarnya dapat merusak
kualitas kayu karet yang seharusnya dapat juga diperdagangkan. Dari analisis diketahui, desa pewakil kelas kesesuaian S1 yaitu desa
Sihepeng dan Malintang, produktifitas rata-rata adalah 2.753 kgha dan 3.170 kgha, desa Purba Baru dan desa Roburan Lombang yang merupakan pewakil
kelas kesesuaian lahan S2 produktifitas rata-rata mencapai 2.774 kgha dan 2.409 kgha sedangkan desa Tambangan Pasoman dan desa Hutarimbaru SM yang
merupakan pewakil kelas kesuaian lahan S3 produktifitas rata-rata mencapai 2.133 kgha dan 2.458 kgha. Dalam hal pemupukan, pada lahan dengan kelas
kesesuaian S3 dan S2 yang merupakan lahan dengan faktor pembatas yang agak berat, input pupuk yang dibutuhkan tanaman lebih besar dibandingkan lahan
dengan kelas kesesuaian S1. Hal ini menyebabkan biaya produksi terutama untuk pembelian pupuk pada lahan S3 dan S2 lebih tinggi dibandingkan lahan S2. Dari
hasil analisis data yang dilakukan, rata-rata pembelian pupuk pada awal tanam umumnya masyarakat hanya menggunakan pupuk NPK dengan biaya sebesar
Rp1.750.000hatahun. Pada tahun pertama sampai dengan tahun ke-15 petani rata-rata mengeluarkan biaya untuk pupuk untuk lahan S3 sebesar
Rp1.743.000haaplikasitahun. Pada lahan S2 rata-rata pembelian pupuk menghabiskan dana sebesar Rp1.494.000 per tahun dan lahan S1 sebesar
Rp717.000haaplikasitahun sampai dengan tahun ke-15. Pada tahun ke-16 umumnya petani hanya memakai pupuk urea dengan biaya rata-rata pada kelas