Analisis potensi pengembangan perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara

(1)

ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN

KARET RAKYAT DI KABUPATEN MANDAILING NATAL,

PROPINSI SUMATERA UTARA

HADIJAH SIREGAR

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Potensi Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2011

Hadijah Siregar NRP A156090174


(4)

HADIJAH SIREGAR. An Analysis of Rubber Smallholding Potential Development in Mandailing Natal Regency, North Sumatra Province . Under direction of SANTUN R.P. SITORUS and ATANG SUTANDI.

Development of preminent commodity of rubber is one of Mandailing Natal Regency government‟s strategy to improve society prosperity. To support the mentioned things, this research was conducted with purposes: determining suitability location for the development of rubber plantation based on land evaluation, analysing financial and marketing feasibilities of rubber smallholding, analysing the directive of rubber smallholding potential development in Mandailing Natal Regency by using mapping and descriptive analysis. The research result shows that acreage of potential area for the development of rubber plantation in Mandailing Natal Regency is 460 849 ha (70.41%). Financially, the enterprise of rubber smallholding in every land suitability class is feasible. The market chain of rubber in Mandailing Natal Regency is not efficient enough. The location which is able to recommended for the development of rubber plantation in Mandailing Natal Regency based on potential location, financially and relevant government regulations is 201 875 ha (30.84%). The performance of rubber smallholding plantation in Mandailing Natal Regency is influenced by agricultural extension service officer, the availability of farmer group, rubber productivity and availability of agricultural infrastructure. Nowadays, rubber processing factory should be built in Mandailing Natal, considering that raw materials are widely available and added value will contribute for regional development.

Keywords: rubber smallholding, land evaluation, financial feasibility, marketing feasibility.


(5)

di Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh : SANTUN R.P. SITORUS dan ATANG SUTANDI.

Pengembangan subsektor perkebunan merupakan salah satu pilihan yang cukup realistis sebagai bisnis strategis dan andalan dalam perekonomian Indonesia. Dalam rangka penguatan sektor perkebunan di Indonesia, pemerintah telah mencanangkan program revitalisasi perkebunan untuk pengembangan komoditi perkebunan unggulan yakni karet, kelapa sawit dan kakao. Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Selain itu, tanaman karet ke depan akan merupakan sumber kayu potensial yang dapat mensubstitusi kebutuhan kayu yang selama ini mengandalkan hutan alam, sehingga karet merupakan salah satu komoditi perkebunan yang sangat potensial untuk dikembangkan saat ini.

Kabupaten Mandailing Natal merupakan daerah dengan areal tanaman karet terluas di Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data statistik, luas lahan yang diusahakan oleh masyarakat sampai tahun 2008 seluas 71.015 ha dengan produksi 34.615 ton (BPS Mandailing Natal, 2009), dimana seluruh luasan tersebut merupakan perkebunan rakyat. Tingginya minat masyarakat untuk mengusahakan tanaman karet dengan economic scale yang sesuai untuk perkebunan rakyat karena komoditi ini dapat diusahakan dalam skala kecil (0,5 Ha) yang sesuai untuk masyarakat kecil serta masih cukup luasnya potensi lahan kering untuk pengembangan perkebunan dan didukung oleh kebijakan Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal dalam rangka upaya pengentasan kemiskinan di Kabupaten Mandailing Natal maka perkebunan karet rakyat sangat potensial dikembangkan di Kabupaten Mandailing Natal.

Permasalahan utama yang dihadapi perkebunan karet rakyat adalah rendahnya produktivitas karet, dan tingginya proporsi areal tanaman karet tua, belum efisiennya sistem pemasaran bahan olah karet, keterbatasan modal untuk membeli bibit unggul maupun sarana produksi lain seperti pupuk, herbisida serta ketersediaan sarana produksi pertanian di tingkat petani juga masih terbatas. Memperhatikan potensi yang ada dan prospek masa depan serta untuk mengurangi permasalahan yang timbul dalam pengelolaan karet di Kabupaten Mandailing Natal, Karena itu diperlukan suatu analisis dalam rangka memberikan masukan bagi perencanaan pengembangan perkebunan karet di Kabupaten Mandailing Natal.

Tujuan penelitian ini adalah (1) menentukan lokasi yang berpotensi untuk pengembangan tanaman karet rakyat berdasarkan aspek fisik, (2) menganalisis kelayakan finansial pengusahaan kebun karet rakyat pada tiap kelas kesesuaian lahan, (3) menganalisis margin tata niaga dan integrasi pasar dalam rantai pemasaran cup lump karet, (4) menyusun arahan kebijakan pengembangan perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal.


(6)

itu, digunakan juga data primer hasil wawancara dengan petani dan pedagang pengumpul karet. Untuk mencapai tujuan penelitian ini, analisis data yang digunakan adalah (1) analisis Sistem Informasi Geografi (SIG), (2) analisis kelayakan finansial, (3) analisis pemasaran yaitu analisis margin pasar dan integrasi pasar dan (4) analisis deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar lahan di Kabupaten Mandailing Natal sesuai untuk budidaya tanaman karet yaitu seluas 460.849 ha (70,41%) dan lahan yang tidak sesuai seluas 193 693 ha (29,59%). Secara aktual sebagian besar areal tergolong kelas Sesuai Marginal (S3) yaitu seluas 421.387 ha (64,38%), sedangkan yang tergolong kelas Cukup Sesuai (S2) seluas 23.031 ha (3,52%) dan lahan yang tergolong kelas Sangat Sesuai (S1) seluas 16.430 ha (2,51%) untuk tanaman karet. Kecamatan dengan kelas kesesuaian S1, S2 dan S3 yang terluas secara berturut-turut adalah Kecamatan Siabu (5.915 ha), Kecamatan Batahan (5.326 ha) dan Kecamatan Muara Batang gadis (153.857 ha).

Berdasarkan hasil analisis finansial, usaha perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal layak untuk dikembangkan terlihat dari nilai NPV, BCR, dan IRR yang memenuhi kriteria layak. Nilai NPV bernilai positif yaitu antara Rp93.052.838–Rp37.838.270 menunjukkan bahwa keuntungan yang didapatkan selama umur produktif tanaman karet sebesar nilai tersebut. BCR yang lebih besar dari satu (2,10–1,48) menunjukkan bahwa setiap satu rupiah yang diinvestasikan dalam usaha ini akan memberikan tambahan keuntungan sebesar Rp2,10–Rp1,48. Nilai IRR yang melebihi tingkat suku bunga yang berlaku menggambarkan bahwa sampai tingkat suku bunga 23%-29% usaha perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal masih memberikan nilai keuntungan bagi petani dengan payback period antara 7–11 tahun.

Hasil analisis sensitivitas yang dilakukan pada kegiatan perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal, pada skenario menaikkan nilai input dengan asumsi yang lain ceteris paribus diperoleh bahwa pada tingkat kenaikan biaya input sebesar 40 % untuk lahan S3 sudah tidak layak lagi sedangkan untuk lahan S1 kenaikan biaya input hingga sebesar 110,3% baru menjadikan kegiatan tersebut tidak layak. Pada skenario menaikkan tingkat suku bunga dengan asumsi yang lain ceteris paribus, ketidaklayakan usaha perkebunan rakyat pada kelas kesesuaian lahan S3 terjadi pada tingkat suku bunga 20,30% dan pada kelas kesesuaian lahan S1 pada saat tingkat suku bunga 29,50%. Nilai BEP volume produksi sebesar 1.392 kg/ha/tahun-1.679 kg/ha/tahun dan nilai BEP harga sebesar Rp6.803–Rp8.846.

Kinerja pemasaran karet di Kabupaten Mandailing Natal cenderung belum efisien yang ditunjukkan dengan besarnya share keuntungan yang masuk ke lembaga pemasaran yang terlibat (20,88%) dan tidak adanya keterpaduan harga pasar jangka panjang antara pasar tingkat petani dan tingkat pabrik, akibat panjangnya rantai pemasaran dan senjang informasi harga yang terjadi. Belum tersedianya industri pengolahan karet di Kabupaten Mandailing Natal membuat cup lump karet yang dihasilkan di jual ke luar daerah, padahal bahan baku cukup banyak tersedia, sehingga perkebunan karet rakyat belum memberikan nilai tambah bagi pembangunan daerah.


(7)

ini bukan berarti menekankan agar keseluruhan luasan tersebut hanya sesuai untuk tanaman karet, namun hanya bersifat arahan agar masyarakat yang berminat untuk mengembangkan tanaman karet dapat menanamnya di areal arahan ini. Berdasarkan hasil analisis, maka pemerintah perlu segera membuat kebijakan percepatan peremajaan karet, membangun pusat informasi harga karet di tingkat regional yang diharapkan dapat mengurangi senjang informasi harga di petani.

Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal perlu segera merealisasikan rencana pembangunan pabrik pengolahan karet di Kabupaten Mandailing Natal mengingat ketersediaan bahan baku yang cukup besar dan hal ini akan berimplikasi pada peningkatan perekonomian daerah, lebih meningkatkan peran para penyuluh dan pembentukan kelompok-kelompok tani di masyarakat untuk meningkatkan mutu karet yang dihasilkan dan meningkatkan bargaining position petani dalam pemasaran karet dan mengarahkan petani pada penggunaan klon karet unggul dengan produktivitas tinggi dan teknik budidaya sesuai anjuran serta lebih meningkatkan pengawasan terhadap distribusi pupuk dan pestisida untuk petani.

Kata kunci : karet rakyat, evaluasi lahan, kelayakan finansial, kelayakan pemasaran


(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.


(9)

ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN

KARET RAKYAT DI KABUPATEN MANDAILING NATAL,

PROPINSI SUMATERA UTARA

HADIJAH SIREGAR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(10)

(11)

Nama : Hadijah Siregar NRP : A156090174

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Ir. Atang Sutandi, M.Si Ph.D

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr


(12)

Kupersembahkan Karya ini

Kepada:

Almarhumah Ibunda tersayang Hj. Hasna Nasution

dan Ayahanda H. Bustaman Siregar

Saudara-saudariku (Rosmaiani Siregar & Soritua Harahap,

Aisyah Siregar & Isya Ansori Nasution,

Siti Amisah Siregar, Hamonangan Siregar & Hasan Ansari Siregar,

Rosdina Siregar & Dollar)

yang telah mendukung dan selalu mendoakanku selama ini

dan keponakan-keponakanku (Anri, Aldi, Astri, Nanda, Ari, Hasdan,

Ismail and Nazwa) yang memberi warna-warni dan kebahagian

dalam keluarga kami.


(13)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai Desember 2010 di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara ini adalah pengembangan wilayah, dengan judul Analisis Potensi Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal.

Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menghaturkan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir Santun RP Sitorus selaku ketua komisi pembimbing dan Ir. Atang Sutandi, Msi, Ph.D selaku anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini, serta Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. Disamping itu, penghargaan dan terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB, Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan bagi penulis, Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini, Pegawai Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Mandailing Natal yang telah memberikan bantuan selama proses penelitian, sahabat-sahabat terbaikku Gank PWL kelas Bappenas angkatan 2009 (Bang Sus, Nyak Evi, Atok (Yulita), Mba Miras, Mba Dina, Kang Ardy, Erva, Dian, Tina, Mba Riri, Mba Anna, Kak Gun, Kak Hafidz, Mas Edi) atas segala do‟a, dukungan, bantuan dan kebersamaannya yang solid dan kompak selama proses belajar hingga selesai, Ivong Verawaty (atas bantuan petanya) dan pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Akhirnya ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tinginya juga disampaikan kepada almarhumah ibunda, ayahanda, serta seluruh keluarga, atas segala do‟a, dukungan, pengertian dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2011


(14)

Penulis dilahirkan di Kota Padangsidimpuan, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 11 Oktober 1979 dari pasangan H. Bustaman Siregar dan Hj. Hasna Nasution (Almarhumah). Penulis merupakan putri keenam dari tujuh bersaudara. Pendidikan SD hingga SMA diselesaikan di kota kelahiran, sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2009 dan diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Pada tahun 2003 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil pada Dinas Perkebunan Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara sebagai staf. Pada tahun 2005 penulis diangkat menjadi Pelaksana Kasi Perizinan pada Dinas Perkebunan Kabupaten Mandailing Natal dan pada tahun 2008 penulis diangkat menjadi Kasi Sumberdaya pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Mandailing Natal.


(15)

Halaman

DAFTAR TABEL ……… iii

DAFTAR GAMBAR……… v

DAFTAR LAMPIRAN………. vii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.3.1 Tujuan ... 7

1.3.2 Manfaat ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis ... 9

2.1.1 Pembangunan Ekonomi Wilayah ... 9

2.1.2 Evaluasi Kesesuaian Lahan ... 10

2.1.3 Kelayakan Finansial Usahatani ... 12

2.1.4 Kelayakan Pemasaran ... 12

2.1.5 Sistem Informasi Geografis ... 13

2.2 Prospek Pengembangan Tanaman Karet ... 14

2.3 Penelitian Terdahulu ... 19

III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran ... 27

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 30

3.4 Teknik Analisis Data ... 31

3.4.1 Penentuan Lokasi Berpotensi untuk Tanaman Karet Secara Fisik ... 31

3.4.2 Analisis Kelayakan Finansial ... 34

3.4.3 Analisis Margin Tata Niaga dan Keterpaduan Pasar ... 39

3.3.3.1 Analisis Margin Tata Niaga ... 39

3.3.3.2 Analisis Keterpaduan Pasar ... 40

3.4.4 Penyusunan Arahan Kebijakan Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat ... 41

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Pembentukan Kabupaten Mandailing Natal ... 49

4.2 Letak Geografis ... 50

4.3 Kondisi Fisik Wilayah Kabupaten Mandailing Natal ... 51

4.3.1 Topografi ... 51


(16)

4.3.3 Hidrologi ... 54

4.3.4 Iklim ... 55

4.3.4.1 Musim... 55

4.3.4.2 Suhu dan Curah Hujan ... 55

4.3.5 Jenis Tanah ... 55

4.4 Demografi ... 56

4.5 Perekonomian ... 57

4.5.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Mandaling Natal ... 57

4.5.2 Struktur Perekonomian Kabupaten Mandailing Natal ... 58

4.5.3 Peranan Subsektor Perkebunan ... 59

4.5.4 Perkembangan Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal ... 62

4.5.5 Karakteristik Usahatani Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal ... 63

V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Persebaran Lokasi yang Berpotensi untuk Tanaman Karet Secara Fisik ... 67

5.2 Kelayakan Finansial Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat 71 5.3 Pemasaran Karet Rakyat ... 85

5.3.1 Margin Tata Niaga ... 88

5.3.2 Integrasi Pasar ... 93

5.4 Arahan Kebijakan Pengembangan Kebun Karet Rakyat ... 96

5.4.1 Persebaran Lokasi Arahan Pengembangan Kebun Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal ... 96

5.4.2 Arahan Kebijakan Pengembangan Kebun Karet Rakyat .. 100

VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ... 107

6.2 Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 109


(17)

Tabel Halaman 1. Perkembangan Luas Perkebunan Indonesia

Tahun 2005-2009 (Ha) ... 2 2. Perkembangan Produksi Perkebunan Indonesia

Tahun 2005-2009 (Ton) ... 2 3. Tujuan, parameter, data dan sumberdata penelitian dan teknik

analisis yang akan dilakukan ... 32 4. Penentuan arahan pengembangan tanaman karet

di Kabupaten Mandailing Natal ... 42 5. Hasil pemekaran kecamatan-kecamatan di Kabupaten

Mandailing Natal ... 50 6. Laju Pertumbuhan Sektor Ekonomi Kabupaten Mandailing Natal

Tahun 2004-2008 (persen) ... 58 7. Distribusi Persentase Sektor Ekonomi Kabupaten Mandailing Natal

Tahun 2004-2008 (persen) ... 60 8. Luas Areal, Produksi dan Sentra Tanaman Perkebunan di Kabupaten

Mandailing Natal tahun 2008 ... 61 9. Produksi Karet di Kabupaten Mandailing Natal Menurut

Kecamatan Tahun 2008 ... 63 10. Karakteristik usahatani karet rakyat di Kabupaten Mandailing

Natal tahun 2010 ... 64 11. Kelas dan sub kelas kesesuaian lahan aktual untuk tanaman karet

di masing-masing kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal... 69 12. Analisis kelayakan finansial (NPV, BCR, IRR payback period)

perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal ... 73

13. Analisis sensitivitas kelayakan finansial (NPV, BCR, IRR dan payback period) perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing

Natal dengan menaikkan biaya input ... 79


(18)

payback period) perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal dengan menaikkan tingkat suku bunga ... 80 15. Analisis BEP (Break Event Point) pengusahaan perkebunan

karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal ... 81 16. Matrik keragaan pasar cup lump karet rakyat di Kabupaten

Mandailing Natal tahun 2010 ... 89 17. Nilai margin dan persentase margin penjualan per kilogram

cup lump karet pada masing-masing pelaku pasar dan saluran pemasaran cup lump karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal,

tahun 2010 ... 92 18. Hasil dugaan parameter keterpaduan pasar cup lump karet rakyat

di Kabupaten Mandailing Natal ... 93 19. Pembagian prioritas arahan pengembangan tanaman Karet

di Kabupaten Mandailing Natal ... 98 20. Luasan lokasi arahan pengembangan perkebunan karet rakyat


(19)

Gambar Halaman

1. Kerangka pemikiran ... 29

2. Grafik Break Event Point (BEP) ... 38

3. Bagan alir penelitian ... 48

4. Peta administrasi Kabupaten Mandailing Natal ... 51

5. Peta kemiringan lahan ... 52

6. Peta ketinggian tempat ... 53

7. Persentase nilai PDRB per sub sektor Kabupaten Mandailing Natal tahun 2004-2008 ... 61

8. Produksi Karet di Kabupaten Mandaling Natal Tahun 2004-2008 ... 62

9. Peta Kesesuaian Lahan Karet Kabupaten Mandailing Natal... 68

10. Peta Kesesuaian Lahan Karet dengan faktor-faktor pembatas di Kabupaten Mandailing Natal... 72

11. Saluran pemasaran cup lump karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal kondisi tahun 2010 ... 88

12. Peta Arahan Pengembangan Tanaman Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal ... 101


(20)

(21)

Lampiran Halaman 1. Kriteria kesesuaian lahan karet ... 116 2. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Mandailing Natal ... 117 3. Peta Kawasan Hutan Kabupaten Mandailing Natal ... 118 4. Peta Pencadangan Areal Hutan Rakyat

di Kabupaten Mandailing Natal ... 119 5. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Sihepeng

Kecamatan Siabu (kelas kesesuaian lahan S1) ... 120 6. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Malintang

Jae Kecamatan Bukit Malintang (kelas kesesuaian lahan S1) ... 122 7. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Purba Baru

Kecamatan Lembah Sorik Marapi (kelas kesesuaian lahan S2) ... 124 8. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Roburan

Lombang Kecamatan Panyabungan Selatan (kelas kesesuaian

lahan S2) ... 126 9. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Tambangan

Kecamatan Tambangan (kelas kesesuaian lahan S3) ... 128 10. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Hutarimbaru

Kecamatan Kotanopan (kelas kesesuaian lahan S3) ... 130 11. Perbandingan rataan komponen input dan output pengusahaan

kebun karet rakyat untuk luasan 1 Ha pada kelas kesesuaian

lahan S1, S2 dan S3 di masing-masing desa sampel ... 132 12. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha)

di Desa Sihepeng Kecamatan Siabu

(kelas kesesuaian lahan S1) Menaikkan Biaya Input ... 133 13. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha)

di Desa Malintang Jae Kecamatan Bukit Malintang

(kelas kesesuaian lahan S1) Menaikkan Biaya Input ... 135 14. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha)

di Desa Purba Baru Kecamatan Lembah Sorik Marapi


(22)

15. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Roburan Lombang Kecamatan Panyabungan Selatan

(kelas kesesuaianlahan S2) Menaikkan Biaya Input ... 139 16. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha)

di Desa Tambangan Kecamatan Tambangan

(kelas kesesuaian lahan S3) Menaikkan Biaya Input ... 141 17. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha)

di Desa Hutarimbaru Kecamatan Kotanopan

(kelas kesesuaian lahan S3) Menaikkan Biaya Input ... 143 18. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha)

di Desa Sihepeng Kecamatan Siabu

(kelas kesesuaian lahan S1) Menaikkan Suku Bunga ... 145 19. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha)

di Desa Malintang Jae Kecamatan Bukit Malintang

(kelas kesesuaian lahan S1) Menaikkan Suku Bunga ... 147 20. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha)

di Desa Purba Baru Kecamatan Lembah Sorik Marapi

(kelas kesesuaian lahan S2) Menaikkan Suku Bunga ... 149 21. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha)

di Desa Roburan Lombang Kecamatan Panyabungan Selatan

(kelas kesesuaianlahan S2) Menaikkan Suku Bunga ... 151 22. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha)

di Desa Tambangan Kecamatan Tambangan

(kelas kesesuaian lahan S3) Menaikkan Suku Bunga ... 153 23. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha)

di Desa Hutarimbaru Kecamatan Kotanopan

(kelas kesesuaian lahan S3) Menaikkan Suku Bunga ... 155 24. Analisis Break Event Point (BEP) Harga Pengusahaan

Karet (1 ha) di Desa Sihepeng Kecamatan Siabu

(kelas kesesuaian lahan S1) ... 157 25. Analisis Break Event Point (BEP) Volume Produksi

Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Sihepeng Kecamatan Siabu

(kelas kesesuaian lahan S1) ... 159 26. Analisis Break Event Point (BEP) Harga Pengusahaan

Karet (1 ha) di Desa Malintang Jae Kecamatan Bukit Malintang (kelas kesesuaian lahan S1) ... 161


(23)

27. Analisis Break Event Point (BEP) Volume Produksi Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Malintang Jae

Kecamatan Bukit Malintang (kelas kesesuaian lahan S1) ... 163 28. Analisis Break Event Point (BEP) Harga Pengusahaan

Karet (1 ha) di Desa Purba Baru Kecamatan Lembah Sorik

Marapi (kelas kesesuaian lahan S2) ... 165 29. Analisis Break Event Point (BEP) Volume Produksi

Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Purba Baru Kecamatan

Lembah Sorik Marapi (kelas kesesuaian lahan S2) ... 167 30. Analisis Break Event Point (BEP) Harga Pengusahaan

Karet (1 ha) di Desa Roburan Lombang Kecamatan

Panyabungan Selatan (kelas kesesuaianlahan S2) ... 169 31. Analisis Break Event Point (BEP) Volume Produksi

Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Roburan Lombang

Kecamatan Panyabungan Selatan (kelas kesesuaianlahan S2) ... 171 32. Analisis Break Event Point (BEP) Harga Pengusahaan

Karet (1 ha) di Desa Tambangan Kecamatan Tambangan

(kelas kesesuaian lahan S3) ... 173 33. Analisis Break Event Point (BEP) Volume Produksi

Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Tambangan Kecamatan

Tambangan (kelas kesesuaian lahan S3) ... 175 34. Analisis Break Event Point (BEP) Harga Pengusahaan

Karet (1 ha) di Desa Hutarimbaru Kecamatan Kotanopan

(kelas kesesuaian lahan S3) ... 177 35. Analisis Break Event Point (BEP) Volume Produksi

Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Hutarimbaru Kecamatan

Kotanopan (kelas kesesuaian lahan S3) ... 179 36. Rekapitulasi harga pasar lump karet tingkat petani

di Kabupaten Mandailing Natal dan harga di tingkat pabrik


(24)

(25)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengembangan subsektor perkebunan merupakan salah satu pilihan yang cukup realistis sebagai bisnis strategis dan andalan dalam perekonomian Indonesia, bahkan pada masa krisis ekonomi dengan tiga alasan utama. Pertama, bisnis perkebunan adalah bisnis yang mempunyai daya tahan tinggi karena berbasis pada sumberdaya domestik dan berorientasi ekspor. Hal ini tercermin dari bisnis perkebunan yang selalu tumbuh sekitar 4% per tahun pada 25 tahun terakhir. Kedua, bisnis perkebunan diyakini masih sangat prospektif dengan peluang pertumbuhan berkisar antara 2%-8% per tahun, tergantung komoditinya. Ketiga, bisnis perkebunan merupakan bisnis yang relatif intensif menggunakan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja yang berlokasi di pedesaan. Dengan karakteristik tersebut, bisnis perkebunan diharapkan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak, sekaligus memperbaiki ketimpangan distribusi pendapatan yang kini tengah dihadapi (Ditjenbun, 2009)

Agribisnis subsektor ini mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap stabilitas ekonomi makro, pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, penerimaan devisa dari ekspor, dan sumber bahan baku bagi industri hilir hasil pertanian. Hal ini dapat dilihat dari produksi beberapa komoditas perkebunan dan devisa yang dihasilkan cukup tinggi. Pada tahun 2008 dari subsektor ini diperoleh devisa sebesar US$24,5 milyar dan tahun 2009 meningkat menjadi US$26,5 milyar. Sementara itu, jumlah petani-pekebun yang mengelola usaha berbagai jenis komoditas tahun 2009 sebanyak 19,70 juta KK. Hal ini membuktikan bahwa sektor perkebunan menjadi salah satu penopang ekonomi rakyat. Perkebunan juga mampu menghadapi berbagai krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1997 sampai 1998 dan tahun 2008. Sektor ini juga memberikan kontribusi dalam mengatasi berbagai masalah nasional seperti penyediaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan (Ditjenbun, 2009).

Perkembangan luas areal dan produksi komoditi perkebunan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Luas areal perkebunan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 meningkat sebesar 16%. Produksi perkebunan Indonesia dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 45,57%.


(26)

Perkembangan luas perkebunan Indonesia dan produksi perkebunan Indonesia disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1 Perkembangan Luas Perkebunan Indonesia Tahun 2005-2009 (ha)

Komoditas 2005 2006 2007 2008 2009

K. Sawit 5.453.817 6.594.914 6.766.836 7.007.876 7.321.897 Kelapa 3.803.614 3.788.892 3.795.037 3.798.338 3.800 .846 Karet 3.279.391 3.346.427 3.413.717 3.469.960 3.524.583 Kakao 1.167.046 1.320.820 1.379.279 1.473.259 1.592.982 Kopi 1.255.272 1.308.732 1.295.912 1.302.893 1.309.184 Tebu 381.786 396.441 427.799 442.151 480.148 Jambu Mete 579.650 569.197 570.677 569.677 566.394 Cengkeh 448.857 444.658 453.292 457.172 460.186 The 139.121 135.590 133.734 129.336 129.599 Tembakau 198.212 172.234 198.054 203.627 212.698 Kapas 5.982 6.263 13.737 16.601 20.000 Lada 191.992 192.604 189.054 190.777 191.612

Jumlah 16.904.740 18.276.772 18.636.859 19.061.666 19.610.129

Sumber : Ditjen Perkebunan (2009)

Tabel 2 Perkembangan Produksi Perkebunan Indonesia Tahun 2005-2009 (ton)

Komoditas 2005 2006 2007 2008 2009

K. Sawit 11.861.615 17.350.848 17.664.725 18.089.503 19.440.292 Kelapa 3 .096.844 3.131.158 3.199.662 3.247.077 3.257.773 Karet 2 .270.891 2.637.231 2.755.172 2.921.872 3.040.110 Kakao 748.828 769.386 740.006 792.761 849.875 Kopi 640.365 682.158 676.475 682.938 689.057 Tebu 2 .241.742 2.307.027 2.623.786 2.703.975 2.954.095 Jambu Mete 135.070 149.138 146.148 142.536 133.282 Cengkeh 78.350 61.408 80.404 80.929 82.543 Teh 166.091 146.858 150.623 148.315 151.617 Tembakau 153.470 146.265 164.851 169.668 172.701 Kapas 2.241 1.627 12.768 20.523 24.725 Lada 78.328 77.533 74.131 79.726 81.662

Jumlah 21.473.835 27.460.637 28.288.751 29.176.793 31.260.190

Sumber : Ditjen Perkebunan (2009)

Indonesia merupakan negara eksportir karet terbesar kedua di dunia setelah Thailand. Indonesia memiliki areal perkebunan karet terluas di dunia namun produktivitasnya masih rendah. International Rubber Study Group (IRSG) meramalkan bahwa pada tahun 2020 konsumsi karet dunia akan mencapai 10,95 juta ton dan produksi dunia mencapai 10,99 juta ton sehingga terdapat surplus 54.000 ton (Ditjenbun, 2009). Dalam rangka penguatan sektor perkebunan di Indonesia, pemerintah telah mencanangkan program revitalisasi perkebunan yakni


(27)

suatu upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan dibidang usaha perkebunan sebagai mitra pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil dengan tiga komoditi yaitu kelapa sawit, karet dan kakao (Ditjenbun, 2007).

Pertumbuhan ekonomi dunia pada sepuluh tahun terakhir yang sangat pesat, terutama China dan beberapa negara kawasan Asia-Pasifik dan Amerika Latin seperti India, Korea Selatan dan Brazil memberi dampak pertumbuhan permintaan karet alam yang cukup tinggi, walaupun pertumbuhan permintaan karet di negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang relatif stagnan. Hal ini sejalan dengan keinginan manusia menggunakan barang yang bersifat tahan pecah dan elastis sehingga kebutuhan akan karet sebagai bahan baku industri barang jadi karet (ban, sarung tangan karet, benang karet dan lain-lain) saat ini akan terus berkembang dan meningkat sejalan dengan pertumbuhan industri otomotif, kebutuhan rumah sakit, alat kesehatan, keperluan rumah tangga dan sebagainya. Diperkirakan untuk masa yang akan datang kebutuhan karet akan terus meningkat.

Berdasarkan data dan posisi yang cukup strategis tersebut, karet diharapkan menjadi salah satu penggerak kebangkitan ekonomi melalui peningkatan produksi yang akan meningkatkan ekspor karet. Hal ini akan menjadi peluang yang baik bagi Indonesia untuk mengekspor karet dan hasil olahan industri karet yang ada di Indonesia ke negara‐negara lainnya. Luas areal perkebunan karet Indonesia sekarang ini mencapai 3,52 juta ha yang terdiri atas 85% perkebunan rakyat dan sisanya perkebunan besar swasta dan badan usaha milik negara dengan produksi sekitar 3 juta ton dan menyerap sedikitnya 2,30 juta tenaga kerja. Luas perkebunan karet Indonesia merupakan yang terluas di dunia disusul Thailand seluas 2,76 juta ha. Pemulihan ekonomi akibat krisis global tahun 2007 menyebabkan permintaan karet juga meningkat. Diramalkan pada 2015 Indonesia dapat meningkatkan produksi dengan laju yang tinggi, sehingga dapat melampaui produksi Thailand (Ditjenbun, 2009)


(28)

Prospek karet alam akan baik selama ekonomi tumbuh dengan baik dan produksi tidak mengalami gangguan cuaca, sehingga pemerintah perlu membuat perencanaan yang matang dalam peremajaan dan pembukaan kebun karet baru. Peluang untuk menjadi produsen utama di dunia dimungkinkan, karena Indonesia mempunyai potensi sumberdaya yang sangat memadai untuk meningkatkan produksi melalui program revitalisasi perkebunan. Pengembangan komoditas karet di lahan kering dan kritis juga memberi kontribusi nyata dalam memelihara bahkan memperbaiki lingkungan. Di samping itu, pengembangan komoditas karet dalam bentuk agroforestry serta pemanfaatan kayu karet sebagai pengganti kayu dari hutan primer merupakan kontribusi lain perkebunan karet dalam konservasi lingkungan (Boerhendhy et al., 2003)

Kebijakan otonomi daerah melalui Undang-undang nomor 32 tahun 2004 memberikan kewenangan yang besar pada daerah dalam mengelola pemerintahan dan sumberdaya daerah termasuk kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan konservasi sumberdaya alam yang diiringi dengan tanggung jawab pembiayaan pembangunan daerah yang porsinya semakin meningkat. Berkaitan dengan upaya pembangunan daerah, maka pengembangan ekonomi yang berbasis pada sumberdaya lokal sebagai pusat pertumbuhan perlu diperkuat. Berdasarkan data statistik, sektor pertanian mempunyai kontribusi yang besar terhadap PDRB Kabupaten Mandailing Natal pada tahun 2008 yakni sebesar 46,36% dimana 14,77% diantaranya merupakan pangsa subsektor perkebunan. Komoditi karet merupakan komoditi perkebunan yang paling banyak diusahakan oleh masyarakat. Luas lahan yang diusahakan oleh masyarakat pada tahun 2008 seluas 71.015 Ha dengan produksi 34.615 ton (BPS Mandailing Natal, 2009).

Penduduk Kabupaten Mandailing Natal telah mengusahakan kebun karet secara turun-temurun dari nenek moyang dan merupakan mata pencaharian pokok bagi sebagian besar penduduk yakni sekitar 40%, sehingga ketergantungan masyarakat pada usaha berkebun karet ini sangat tinggi dan telah menunjukkan hasil serta peran yang nyata bagi masyarakat dalam meningkatkan pendapatannya. Komoditi karet bagi Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal sendiri merupakan komoditi yang mempunyai peranan penting dalam kontribusi subsektor perkebunan dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) karena


(29)

karet merupakan komoditi ekspor yang banyak diperdagangkan di luar negeri dengan harga yang terus mengalami peningkatan dan merupakan komoditi perkebunan yang masih menjadi primadona di dunia. Memperhatikan potensi yang ada dan prospek masa depan, komoditi karet merupakan komoditi unggulan yang berpotensi untuk dikembangkan dalam menunjang pengembangan wilayah. 1.2 Perumusan Masalah

Subsektor perkebunan merupakan salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi Kabupaten Mandailing Natal. Secara rata–rata subsektor tanaman perkebunan mengalami pertumbuhan tertinggi di sektor pertanian yakni sebesar 6,48%. Subsektor perkebunan merupakan subsektor yang memberikan sumbangan terbesar kedua terhadap PDRB sektor pertanian Kabupaten Mandailing Natal yang signifikan selama lima tahun terakhir (2004–2008) setelah subsektor tanaman pangan (BPS Mandailing Natal, 2009). Komoditi perkebunan yang cukup pesat perkembangannya saat ini dan memiliki prospek pasar yang baik di Kabupaten Mandailing Natal adalah tanaman karet. Harga jual yang tinggi beberapa tahun terakhir membuat tingginya minat masyarakat untuk membudidayakan tanaman karet di Kabupaten Mandailing Natal.

Permasalahan yang ada dalam pengembangan komoditi karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal adalah rendahnya produktivitas karet, tingginya proporsi areal tanaman karet tua, belum efisiennya sistem pemasaran bahan olah karet, keterbatasan modal untuk membeli bibit unggul maupun sarana produksi lain seperti pupuk, herbisida serta belum adanya Pabrik Crumb Rubber di Kabupaten Mandailing Natal, sehingga belum memberikan tingkat margin yang memadai bagi petani karet. Rendahnya produktivitas karet yang dihasilkan petani disebabkan belum optimalnya pengelolaan kebun karet oleh petani karena terbatasnya pengetahuan dan kemampuan teknis budidaya karet, terbatasnya saprodi yang dimiliki petani dalam meningkatkan produksi dan kualitas hasil karet sesuai standar, terbatasnya modal dan SDM petugas, belum berfungsinya lembaga pendukung pengembangan agribisnis karet rakyat.

Mempertimbangkan besarnya potensi pengembangan karet di Kabupaten Mandailing Natal dan dalam upaya penanganan permasalahan pengembangan karet, perlu dilakukan berbagai analisis diantaranya untuk menghindari agar


(30)

masyarakat tidak dirugikan dengan menanam tanaman karet di lokasi yang tidak sesuai dengan kriteria tumbuh tanaman (biofisik), aspek spasial (tata ruang) dan aspek ekonomi. Diperlukan arahan bagi masyarakat dalam memilih lokasi yang tepat untuk budidaya tanaman tersebut. Dengan pemilihan lokasi yang tepat produk yang dihasilkan akan maksimal dan akan berkorelasi dengan keuntungan yang didapat. Selain lokasi yang memenuhi persyaratan tumbuh tanaman, faktor kelayakan usaha juga merupakan hal yang perlu diperhatikan. Aspek keuntungan finansial merupakan suatu keharusan dalam pengusahaan suatu tanaman. Biasanya belum ada perhitungan yang matang oleh petani dalam merencanakan pengusahaan kebunnya, baik aspek budidaya maupun aspek pasar. Oleh karena itu, perlu diketahui apakah kondisi perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal saat ini telah memberikan keuntungan yang sesuai bagi modal yang telah dikeluarkan petani.

Aspek pasar merupakan salah satu faktor penentu bagi keberhasilan pengusahaan kebun karet rakyat. Kebutuhan dunia yang cenderung terus meningkat mengakibatkan harga karet cukup stabil dan cenderung meningkat. Petani karet di Kabupaten Mandailing Natal menjual hasil karet dalam bentuk cup lump (lump mangkuk) yakni getah atau lateks karet yang dikumpulkan dengan mamakai mangkuk sehingga gumpalannya berbentuk mangkuk. Beberapa bulan terakhir pada tahun 2010, harga jual cup lump karet di tingkat petani di Kabupaten Mandailing Natal sebesar Rp10.000/kg–Rp20.000/kg. Petani tidak mengalami kesulitan dalam penjualan cup lump karet karena pedagang pengumpul cukup banyak yang mendatangi petani untuk membeli. Permasalahannya adalah, apakah rantai pemasaran cup lump karet petani di Kabupaten Mandailing Natal saat ini telah efisien? Efisien dalam arti apakah keuntungan yang diperoleh petani cukup sebanding dengan modal atau pengorbanan yang dikeluarkan petani dan apakah harga di tingkat petani mempunyai keterpaduan yang tinggi dengan harga di tingkat pabrik? Bila belum efisien, faktor apa yang menyebabkannya dan apa alternatif pemecahan masalah tersebut sehingga rantai pemasaran cup lump karet di Kabupaten Mandailing Natal menjadi lebih efisien.

Pengembangan tanaman karet di Kabupaten Mandailing Natal diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga perlu adanya arahan


(31)

potensi pengembangan perkebunan karet rakyat yang sesuai konsep pembangunan berkelanjutan yakni sesuai dari aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Dimanakah lokasi pengembangan tanaman karet yang sesuai berdasarkan aspek fisik dan spasial?

2. Bagaimana kelayakan finansial pengusahaan kebun karet rakyat pada tiap kelas kesesuaian lahan?

3. Bagaimana efisiensi kelembagaan pemasaran karet rakyat?

4. Bagaimana arahan potensi pengembangan perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menentukan lokasi yang berpotensi untuk pengembangan tanaman karet rakyat berdasarkan aspek fisik

2. Menganalisis kelayakan finansial pengusahaan kebun karet rakyat pada setiap kelas kesesuaian lahan

3. Menganalisis margin tata niaga dan integrasi pasar dalam rantai pemasaran cup lump karet

4. Menyusun arahan kebijakan pengembangan kebun karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal

1.3.2 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada Pemerintah Daerah dalam pengambilan kebijakan pengembangan perkebunan karet di Kabupaten Mandailing Natal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan ekonomi daerah.


(32)

(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Pembangunan Ekonomi Wilayah

Secara filosofis proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik (Rustiadi et al., 2009). Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan kualitas hidup masyarakatnya. Pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses dimana terjadi saling keterkaitan dan saling mempengaruhi diantara berbagai faktor. Pembangunan ekonomi harus dapat diidentifikasi dan dianalisis dengan seksama sehingga diketahui tuntutan peristiwa yang timbul sehingga akan mewujudkan peningkatan kegiatan ekonomi dan taraf kesejahteraan masyarakat dari suatu tahap pembangunan ke tahap pembangunan berikutnya (Arsyad, 1999).

Paradigma pembangunan ekonomi wilayah seharusnya lebih mengarah pada penguatan basis ekonomi yang memiliki prinsip keseimbangan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability). Pembangunan ekonomi wilayah seyogyanya juga dilakukan dengan menggunakan paradigma baru melalui pembangunan yang berbasis lokal dan sumberdaya domestik. Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok, yaitu: (1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, (2) meningkatnya rasa harga diri masyarakat sebagai manusia, (3) meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih yang merupakan salah satu hak asasi manusia (Anwar, 2001).

Pembangunan daerah merupakan bagian integral dan merupakan penjabaran dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi, dan permasalahan pembangunan di daerah. Kunci keberhasilan pembangunan daerah dalam mencapai sasaran pembangunan nasional secara efisien dan efektif, termasuk penyebaran hasilnya secara merata di seluruh Indonesia adalah koordinasi dan keterpaduan antara pemerintah pusat dan daerah, antarsektor, antara sektor dan


(34)

daerah, antar provinsi, antar kabupaten/kota, serta antara provinsi dan kabupaten/kota. Pembangunan daerah dilaksanakan dengan tujuan untuk mencapai sasaran pembangunan nasional serta untuk meningkatkan hasil-hasil pembangunan daerah bagi masyarakat secara adil dan merata (Nasution, 2009)

Miraza (2005) menyatakan bahwa pembangunan daerah berorientasi pada pengembangan wilayah pada suatu daerah yang dilakukan secara gradual, yang menyangkut fisik dan nonfisik wilayah dimana tercipta penataan ruang yang efisien dan infrastruktur publik yang cukup serta kondisi lingkungan yang nyaman. Dengan demikian keseimbangan antarkawasan menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Seperti halnya bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan kondisi yang tidak stabil. Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik (Rustiadi et al., 2009).

Pembangunan ekonomi dilaksanakan secara terpadu, selaras, seimbang dan berkelanjutan dan diarahkan agar pembangunan yang berlangsung merupakan kesatuan pembangunan nasional, sehingga dalam mewujudkan pembangunan ekonomi nasional perlu adanya pembangunan ekonomi daerah yang pada akhimya mampu mengurangi ketimpangan antar daerah dan mampu mewujudkan kemakmuran yang adil dan merata antar daerah (Wijaya dan Atmanti, 2006). 2.1.2 Evaluasi Kesesuaian Lahan

Evaluasi lahan adalah bagian dari proses perencanaan tata guna tanah dengan membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Tujuan evaluasi lahan adalah untuk menentukan kelas kesesuaian lahan untuk tujuan tertentu (Sitorus, 2004; Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Pengelolaan sumber daya alam disamping memberikan manfaat masa kini, juga menjamin kehidupan masa depan, harus dikelola sedemikian rupa sehingga fungsinya dapat selalu terpelihara sepanjang masa. Dewasa ini dinamika pemanfaatan lahan berlangsung relatif lebih cepat dan akibatnya terjadi perubahan fungsi pemanfaatan lahan yang cenderung menyebabkan menurunnya kualitas


(35)

lingkungan dan pada akhirnya akan mengakibatkan menurunnya daya dukung lahan, sehingga pemanfaatan lahan perlu diarahkan menurut fungsinya untuk menghindarkan dampak pembangunan yang negatif (Faturuhu, 2009)

Potensi suatu wilayah untuk pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, terain, dan hidrologi dengan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman. Kecocokan antara sifat fisik lingkungan dari suatu wilayah dengan persyaratan penggunaan atau komoditas yang dievaluasi memberikan gambaran atau informasi bahwa lahan tersebut potensial dikembangkan untuk komoditas tersebut, artinya bahwa jika lahan tersebut digunakan untuk penggunaan tertentu dengan mempertimbangkan berbagai asumsi mencakup masukan yang diperlukan akan mampu memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan (Sitorus, 2004)

Inti prosedur evaluasi lahan adalah menentukan jenis penggunaan (jenis tanaman) yang akan ditetapkan, kemudian menentukan persyaratan dan pembatas pertumbuhannya dan akhirnya membandingkan persyaratan penggunaan lahan (pertumbuhan tanaman) tersebut dengan kualitas lahan secara fisik. Klasifikasi kelas kesesuaian lahan yang biasa digunakan adalah klasifikasi menurut metode FAO (1976). Metode ini digunakan untuk mengklasifikasikan kelas kesesuaian lahan berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif, tergantung data yang tersedia (Sitorus, 2004).

Hasil penilaian kesesuaian lahan dapat berupa kelas kesesuaian lahan aktual dan kelas kesesuaian lahan potensial. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), kelas kesesuaian lahan aktual menyatakan kesesuaian lahan berdasarkan data dari hasil survei tanah atau sumberdaya lahan, belum mempertimbangkan masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala atau faktor-faktor pembatas yang berupa sifat lingkungan fisik termasuk sifat-sifat tanah dalam hubungannya dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menyatakan keadaan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Usaha perbaikan yang dilakukan harus memperhatikan aspek ekonominya. Artinya, apabila lahan tersebut dibatasi kendala-kendalanya, maka harus diperhitungkan apakah secara ekonomi dapat memberikan keuntungan.


(36)

2.1.3 Kelayakan finansial usaha tani

Untuk mengetahui secara komprehensif bagaimana aspek pengembangan usaha suatu komoditi pertanian maka perlu dikaji kelayakannya secara finansial. Menurut Gittinger (1986), aspek finansial terutama menyangkut perbandingan antara pengeluaran dengan pendapatan dari usaha perkebunan karet rakyat serta waktu didapatkannya hasil. Untuk mengetahui secara komprehensif tentang kinerja layak atau tidaknya usaha tersebut, dikembangkan berbagai kriteria yang pada dasarnya membandingkan antara biaya dan manfaat atas dasar suatu tingkat harga umum tetap yang diperoleh dengan menggunakan nilai sekarang (present value) yang telah didiskonto selama umur usaha produktif perkebunan Karet rakyat.

Cara penilaian jangka panjang yang paling banyak digunakan adalah dengan menggunakan Discounted Cash Flow Analysis (DCF) atau Analisis Aliran Kas yang didiskonto (Gittinger, 1986). Analisis DCF mempunyai keunggulan yaitu bahwa uang mempunyai nilai waktu yang merupakan ciri-ciri yang membedakannya dari teknik lain. Ciri pokok dari analisis DCF adalah menilai harga dengan memperhitungkan unsur waktu kejadian dan besarnya aliran pembayaran tunai (cash flow). Biaya dipandang sebagai negative cash flow sedangkan pendapatan dipandang sebagai positive cash flow.

Analisis sensitifitas digunakan untuk menghindari ketidakpastian perkembangan ekonomi di masa yang akan datang dan sering analisis proyek didasarkan pada proyeksi-proyeksi sehingga ketidakpastian yang akan terjadi di masa yang akan datang, seperti terjadinya kenaikan biaya-biaya operasional, terjadinya penurunan harga yang menyebabkan penurunan keuntungan dapat diminimalisasi (Syahrani, 2003)

Analisis kepekaan/sensitivitas dilakukan untuk melihat sampai seberapa besar (persen) penurunan atau peningkatan faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan perubahan dalam kriteria investasi yaitu dari layak menjadi tidak layak dilaksanakan (Gittinger, 1986).

2.1.4 Kelayakan Pemasaran

Tingkat efisiensi sistem pemasaran suatu usaha dapat diukur antara lain dengan pendekatan margin tataniaga dan keterpaduan pasar. Azzaino (1983)


(37)

mendefinisikan margin tata niaga sebagai perbedaan harga yang dibayar konsumen akhir untuk suatu produk dengan harga yang diterima petani produsen untuk produk yang sama. Tomek dan Robinson (1977) mendefinisikan margin tataniaga sebagai berikut : (1) perbedaan harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima produsen, (2) kumpulan balas jasa yang diterima oleh jasa tataniaga sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran.

Analisis keterpaduan pasar adalah analisis yang digunakan untuk melihat seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditi pada suatu tingkat lembaga tataniaga dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya. Berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk melihat fenomena ini. Salah satunya adalah metode Autoregressive Distributed Lag yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan Heytens (1986).

2.1.5 Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG (Sistem Informasi Geografis) merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis (Aronoff, 1989). SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu, dengan Sistem Informasi Geografis pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data ke dalam sebuah model representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik secara teksdtual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta, 2005)

Beberapa ahli menjelaskan tahapan-tahapan kelengkapan dalam Sistem Informasi Geografis menjadi tiga tahapan. Tahap pertama kelengkapan Sistem Informasi Geografis adalah inventarisasi data. Data yang menjadi masukan dalam Sistem Informasi Geografis dapat berupa peta tematik digital maupun rekaman digital dari sistem satelit yang sudah memberikan kenampakan informasi yang dibutuhkan (Robinson et al., 1995). Tahap kedua kelengkapan Sistem Informasi Geografis adalah penambahan operasional analisis pada tahap pertama. Pada tahapan ini, bentuk data diberikan kedalam data dengan menggunakan data


(38)

statistik. Berbagai layer dari data yang dihasilkan pada tahap pertama dianalisis secara bersama-sama untuk menetapkan lokasi atau bentuk yang memiliki atribut sama atau serupa (Robinson et al., 1995).

Analisis ini bisa dilakukan dengan tumpang susun (overlay). Tumpang susun peta merupakan proses yang paling banyak dilakukan dalam SIG. Selanjtnya kalkulasi dapat dilakukan. Kalkulasi merupakan sekumpulan operasi untuk memanipulasi data spasial baik berupa peta tunggal maupun beberapa peta sekaligus. Operasi ini dapat berupa penjumlahan, pengurangan, maupun perkalian antar peta, namun dapat pula melalui pengkaitan dengan suatu basis data atribut tertentu. Tahapan terakhir kelengkapan Sistem Informasi Geografis adalah pengambilan keputusan. Pada tahap ini digunakan model-model untuk mendapatkan evaluasi secara real time, kemudian hasil yang didapatkan dari permodelan dibandingkan dengan kondisi di lapangan (Robinson et al., 1995). Keluaran utama dari Sistem Informasi Geografis adalah informasi spasial baru yang perlu disajikan dalam bentuk tercetak (hard copy) supaya dapat dimanfaatkan dalam kegiatan operasional (Danoedoro, 1996).

Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk membangun suatu model pemetaan kesesuaian lahan di suatu wilayah dengan menggabungkan prosedur evaluasi lahan dengan pilihan-pilihan pengambilan keputusan dalam

suatu Sistem Informasi Geografis (SIG). Prosedur ini mencakup 5 tahapan yaitu: (1) mendisain unit pemetaan lahan; (2) mendiagnosa tipe-tipe penggunaan lahan

yang ada dan keperluan-keperluannya; (3) menganalisis kesesuaian lahan melalui “matching” antara unit pemetaan lahan dengan tipe penggunaan lahan; (4) mengintegrasikan data ke basis data relasional (sosial-ekonomi); (5) penyajian peta kesesuaian lahan melalui proses “join table” antara hasil kesesuaian lahan dengan unit pemetaan lahan dalam Sistem Informasi Geografis (Hashim I, 2002) 2.2 Prospek Pengembangan Tanaman Karet

Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Namun sebagai negara dengan luas areal terbesar dan produksi kedua terbesar dunia, Indonesia masih


(39)

menghadapi beberapa kendala yaitu rendahnya produktivitas, terutama karet rakyat yang merupakan mayoritas areal karet nasional dan ragam produk olahan yang masih terbatas, yang didominasi oleh karet remah (crumb rubber). Rendahnya produktivitas kebun karet rakyat disebabkan oleh banyaknya areal tanaman tua, rusak dan tidak produktif, penggunaan bibit bukan klon unggul serta kondisi kebun yang tidak terawat, sehingga perlu upaya percepatan peremajaan karet rakyat dan pengembangan industri hilir (Balitbang Pertanian, 2009).

Perkebunan karet rakyat dicirikan oleh pemilikan lahan yang sempit, tersebar serta produktivitas mutu hasil yang rendah. Produksi karet berupa sleb, lump, SIT angin dan jenis mutu lainnya yang dikenal dengan bokar (bahan olah karet rakyat) dari usahatani kecil kemudian diolah oleh perusahaan pengolah (processor) yang pada umumnya berada di dekat kota, menjadi bentuk karet remah (crumb rubber). Proses sampai ke pabrik pengolahan, produksi karet dari petani kecil tersebut harus melalui rantai tataniaga yang panjang menggunkan bentuk-bentuk kelembagaan yang telah berkembang, sehingga petani seringkali menerima bagian harga yang relatif rendah.

Kondisi agribisnis karet saat ini menunjukkan bahwa karet dikelola oleh rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta. Pertumbuhan karet rakyat masih positif walaupun lambat yaitu 1,58%/tahun, sedangkan areal perkebunan negara dan swasta sama-sama menurun 0,15%/tahun. Oleh karena itu, tumpuan pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan rakyat. Luas areal kebun rakyat yang tua, rusak dan tidak produktif mencapai sekitar 400.000 hektar yang memerlukan peremajaan. Persoalannya adalah bahwa belum ada sumber dana yang tersedia untuk peremajaan. Di tingkat hilir, jumlah pabrik pengolahan karet sudah cukup, namun selama lima tahun mendatang diperkirakan akan diperlukan investasi baru dalam industri pengolahan, baik untuk menghasilkan crumb rubber maupun produk-produk karet lainnya karena produksi bahan baku karet akan meningkat. Kayu karet sebenarnya mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan furniture tetapi belum optimal, sehingga diperlukan upaya untuk pemanfaatan yang lebih lanjut (Balitbang Pertanian, 2009).

Pengembangan tanaman karet dan pengolahannya di masa mendatang tetap menjadi salah satu prioritas pengembangan di sub sektor perkebunan. Hal ini


(40)

disebabkan, tanaman karet memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pengembangan tanaman perkebunan lainnya. Keuntungan tersebut antara lain sebagai berikut : (1) persyaratan tumbuh yang lebih mudah dibandingkan tanaman lainnya; (2) merupakan usaha yang didominasi oleh perkebunan rakyat; (3) mendukung pemerataan dan pemberdayaan ekonomi rakyat; (4) penyebaran dalam skala yang luas; (5) merupakan sumber pendapatan yang memadai secara berkesinambungan bagi petani; (6) mampu memperbaiki kondisi hidrologis pada lahan kritis dan memperbaiki serta melestarikan lingkungan hidup.

Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya taraf hidup diperkirakan masa depan karet alam tetap akan membaik. Kebutuhan akan produk-produk yang menggunakan bahan karet alam sebagai bahan baku juga akan bertambah. Persaingan antara negara produsen juga akan berlangsung ketat. Persaingan pasar global tidak terbatas pada produk yang dihasilkan, tetapi terkait dengan aspek proses, sumberdaya manusia dan lingkungan. Aspek lingkungan mendapatkan porsi yang lebih besar. Hal ini yang melatarbelakangi pabrik ban terkemuka dunia mulai memperkenalkan jenis ban yang berasal dari bahan baku karet yang dihasilkan dari kebun-kebun dengan pengelolaan lingkungan yang baik (“green tyres”). Diharapkan dengan penggunaan ban jenis tersebut permintaan terhadap karet alam akan meningkat, karena kandungan karet alam yang semula 30-40% akan ditingkatkan menjadi 60-80% untuk industri ban (Balitbang Pertanian, 2009).

Tujuan pengembangan karet ke depan adalah mempercepat peremajaan karet rakyat dengan menggunakan klon unggul, mengembangkan industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah, dan meningkatkan pendapatan petani. Sasaran jangka panjangnya (2025) adalah : (1) produksi karet mencapai 3,5-4 juta ton yang 25% diantaranya untuk industri dalam negeri; (2) produktivitas akan meningkat menjadi 1.200-1.500 kg/ha/tahun dan hasil kayu minimal 300 m3/ha/siklus tanam; (3) penggunaan klon unggul (85%); (4) pendapatan petani menjadi US$2.000/KK/tahun dengan tingkat harga 80% dari harga FOB; dan (5) berkembangnya industri hilir berbasis karet. Sasaran jangka menengah (2005-2015) adalah : (1) produksi karet mencapai 2,3 juta ton yang 10% di antaranya untuk industri dalam negeri; (2) produktivitas meningkat menjadi 800 kg/ha/tahun


(41)

dan hasil kayu minimal 300 m3/ha/siklus; (3) penggunaan klon unggul (55%); (4) pendapatan petani menjadi US$1.500/KK/th dengan tingkat harga 75% dari harga FOB; dan (5) berkembangnya industri hilir berbasis karet di sentra-sentra produksi karet (Balitbang Pertanian, 2009)

Kebijakan operasional di tingkat on farm yang diperlukan bagi pengembangan agribisnis karet adalah: (1) penggunaan klon unggul dengan produktivitas tinggi (3.000 kg/ha/tahun); (2) percepatan peremajaan karet tua seluas 400.000 ha sampai dengan 2009 dan 1,2 juta ha sampai dengan 2025; (3) diversifikasi usahatani karet dengan tanaman pangan sebagai tanaman sela dan ternak; dan (4) peningkatan efisiensi usahatani. Di tingkat off farm kebijakan operasional yang dikembangkan adalah: (1) peningkatan kualitas bokar (bahan olah karet) berdasarkan SNI; (2) peningkatan efisiensi pemasaran untuk meningkatkan marjin harga petani; (3) penyediaan kredit usaha mikro, kecil dan

menengah untuk peremajaan, pengolahan dan pemasaran karet bersama; (4) pengembangan infrastruktur; (5) peningkatan nilai tambah melalui

pengembangan industri hilir; dan (6) peningkatan pendapatan petani melalui perbaikan sistem pemasaran dan lain-lain (Balitbang Pertanian, 2009)

Kebutuhan investasi untuk peremajaan selama 2005-2015 untuk seluas 336.000 ha adalah sekitar Rp2,41 trilyun, sedangkan selama 2005-2025 untuk seluas 1,2 juta ha adalah Rp8,62 trilyun. Kebutuhan dana untuk investasi pada pabrik karet remah dengan kapasitas 70 ton/hari adalah Rp25,6 milyar, namun belum perlu segera penambahan pabrik baru. Untuk kayu karet, diperlukan dana sekitar Rp2,12 milyar untuk menghasilkan treated sawn timber dengan kapasitas 20 m3/hari (Balitbang Pertanian, 2009).

Kebijakan yang diperlukan untuk percepatan investasi tanaman karet adalah: (1) penciptaan iklim investasi yang makin kondusif seperti pemberian kemudahan dalam proses perijinan, pembebasan pajak (tax holiday) selama tanaman atau pabrik belum berproduksi, pemberian rangsangan kepada pengusaha untuk menghasilkan produk akhir bernilai tambah tinggi yang non-ban, yang prospek pasarnya di dalam negeri cerah, adanya kepastian hukum dan keamanan baik untuk usaha maupun lahan bagi perkebunan, dan penghapusan berbagai pungutan dan beban yang memberatkan iklim usaha; (2) pengembangan sarana dan


(42)

prasarana berupa jalan, jembatan, pelabuhan, alat transportasi, komunikasi, dan sumber energi (tenaga listrik); (3) penyediaan dana dengan menghidupkan kembali pungutan dari hasil produksi/ekspor karet (semacam CESS) yang sangat diperlukan untuk membiayai pengembangan industri hilir, peremajaan, promosi dan peningkatan kapasitas SDM karet; (4) pengembangan sistem kemitraan antara petani dan perusahaan, misalnya dengan pola ”PIR Plus”, dimana petani tetap memiliki kebun beserta pohon karetnya, dan ikut sebagai pemegang saham perusahaan yang menjadi mitranya (Balitbang Pertanian, 2009)

Kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan komoditas karet, selain ditekankan pada peningkatan penerimaan devisa negara, juga diarahkan pada upaya peningkatan pendapatan petani. Pendapatan petani sendiri merupakan refleksi, produktivitas kebun dan mutu bahan olah yang dihasilkan serta tataniaganya yang menentukan bagian harga bersih yang diterima petani. Sebagian besar lahan perkebunan rakyat terletak di daerah dengan sarana transportasi dan sumberdaya ekonomi yang relatif terbatas. Selain itu skala usahatani karet rakyat umumnya kecil dengan hasil produksi berupa sleb dengan mutu yang belum baku. Sementara dengan program crumb rubberisasi, ternyata pusat-pusat pengolahan karet remah pada umumnya berlokasi di sekitar ibukota propinsi atau kota-kota lainnya yang dekat dengan fasilitas pelabuhan ekspor, sehingga terdapat jarak secara spasial yang cukup besar antara pusat-pusat produksi karet rakyat dengan pusat-pusat pengolahannya. Keadaan demikian menyebabkan bertambahnya permasalahan tataniaga menjadi semakin panjang, yang ada pada gilirannya cenderung meningkatkan biaya tata niaga.

Kebijakan strategis pembangunan perkebunan secara nasional meliputi kebijakan umum dan kebijakan teknis. Kebijakan umum adalah membangun perkebunan yang berorientasi kepada pasar melalui peningkatan inisiatif dan partisipasi masyarakat sehingga peran pemerintah hanya menyediakan fasilitas umum, seperti sarana dan prasarana, iptek dan regulasi yang didasarkan kepada mekanisme insentif dan disentif. Kebijakan teknis mencakup: (1) kebijakan pemberdayaan masyarakat perkebunan yang dioperasionalisasikan melalui upaya pengembangan sumber daya manusia dan penguasaan iptek dengan meningkatkan kegiatan pendidikan, pelatihan dan penilaian kinerja serta pengembangan karier;


(43)

(2) kebijakan peningkatan daya saing dioperasionalisasikan melalui peningkatan produksi dan produktivitas, efisiensi, mutu dan promosi; (3) kebijakan investasi melalui upaya regionalisasi, penataan kembali kepemilikan, optimalisasi lahan Hak Guna Usaha (HGU), pemanfaatan iptek hasil litbang, diversifikasi usaha tanaman dan jaminan keamanan berusaha, dan (4) kebijakan restrukturisasi dan renovasi kelembagaan dioperasionalisasikan melalui upaya pembentukan lembaga keuangan alternatif, restrukturisasi, renovasi dan pengembangan lembaga penyuluhan, lembaga petani, lembaga pemasaran, lembaga usaha dan pengembangan jejaring kerja.

Untuk mengembangkan potensi dan memanfaatkan momentum, Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 33/Permentan/PT.140/7/2006 tentang Kebijakan Pengembangan Komoditi Perkebunan melalui Program Revitalisasi Perkebunan dengan salah satu komoditi yang dikembangkan adalah karet. Pengembangan agribisnis karet Indonesia ke depan perlu didasarkan pada perencanaan yang lebih terarah dengan sasaran yang lebih jelas serta mempertimbangkan berbagai permasalahan, peluang dan tantangan yang sudah ada serta yang diperkirakan akan ada sehingga pada gilirannya akan dapat diwujudkan agribisnis karet yang berdaya saing dan berkelanjutan serta memberi manfaat optimal bagi para pelaku usahanya secara berkeadilan (Drajat dan Hendratno, 2009).

2.3 Penelitian Terdahulu

Hutagalung (1993) yang melakukan penelitian berjudul “Beberapa Masalah Tata Produksi dan Pemasaran Karet Rakyat di Kecamatan Padangsidempuan Kabupaten Tapanuli Selatan” menunjukkan bahwa penambahan luas tanah garapan dan penggunaan input biaya produksi dalam usaha petani karet masih dapat menaikkan produksi dan pendapatan petani. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pendapatan petani Karet masih dapat ditingkatkan lagi dengan pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya yang mereka miliki baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Pemerintah perlu mengadakan perbaikan sistem pemasaran berupa mempersingkat saluran tata niaga yaitu dengan memanfaatkan lembaga koperasi, kebijakan perpajakan, ekspor, dan


(44)

lain-lain. Kurangnya peremajaan Karet yang sudah tua yang menyebabkan pendapatan petani menurun.

Damanik (2000) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Dampak Pengembangan Komoditas Perkebunan terhadap Perekonomian Wilayah Propinsi Sumtera Utara” menyatakan komoditas perkebunan di Propinsi Sumatera Utara merupakan komoditas ekspor. Oleh karena pemasukan devisa negara melalui ekspor adalah hal yang sangat penting untuk membantu pemerintah dalam mengurangi defisit neraca pembayaran. Komoditas perkebunan tetap perlu dikembangkan terutama pada wilayah yang relatif mempunyai tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dibanding wilayah lainnya, sehingga dengan cara demikian selain ada pemasukan devisa untuk negara juga dapat dijadikan instrumen dalam mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Proinsi Sumatera Utara.

Myria (2002) melakukan penelitian berjudul “Kajian Strategi Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat sebagai komoditi Unggulan di Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah” dengan menggunakan perangkat analisis Matriks IFE dan EFE, Matriks TOWS dan Matriks QSPM. Melalui penelitian tersebut diidentifikasi faktor strategis internal yang mempengaruhi pengembangan perkebunan karet rakyat sebagai komoditi unggulan di Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah adalah: (1) kelompok fungsional, (2) program kerja Dinas Perkebunan, (3) struktur organisasi Dinas Perkebunan, (4) koordinasi dengan instansi terkait, (5) kualitas SDM Dinas Perkebunan, (6) sarana dan prasarana, (7) penguasaan teknologi karet oleh petugas, (8) kurangnya ketersediaan bibit, (9) manajemen organisasi, (10) kerja sama dengan pabrik crumb rubber. Faktor strategis eksternalnya adalah: (1) adanya pabrik crumb rubber, (2) karet merupakan komoditi ekspor, (3) menyerap tenaga kerja, (4) karet telah lama dikenal secara turun temurun, dan (5) pemanfaatan kayu karet sebagai bahan baku industri, (6) perkembangan harga karet dunia, (7) tingginya tingkat suku bunga kredit komersil, (8) pertikaian antar etnis, (9) sarana transportasi darat dan (10) beralihnya mata pencaharian petani ke usaha pertambangan emas rakyat.

Pangihutan (2003) melakukan penelitian dengan judul “Kelayakan Finansial dan Ekonomi Pengelolaan Kebun dan Hutan Karet Rakyat di Desa Langkap,


(1)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Benefit

Jumlah Produksi (lump

mangkuk) (kg) - - - - - - 1.860 2.232 2.418 2.530 2.604 2.678 2.790 Harga (Rp) - - - - - - 8.750 8.750 8.750 8.750 8.750 8.750 8.750 Penerimaan (Rp) - - - - - - 16.274.408 19.529.290 21.156.730 22.133.195 22.784.171 23.435.148 24.411.612 Total Benefit - - - - - - 16.274.408 19.529.290 21.156.730 22.133.195 22.784.171 23.435.148 24.411.612 Discount Rate (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220 0,2875 0,2567 Present Value Benefit - - - - - - 8.245.122 8.834.059 8.544.849 7.981.452 7.335.893 6.737.045 6.265.853 Cost

1. Peralatan 610.000 - - - - - 800.000 60.000 60.000 800.000 60.000 60.000 800.000 2. Bibit 2.187.500 - - - - - - - - - - - -3. Upah Tenaga Kerja 11.240.000 2.240.000 2.240.000 2.240.000 2.240.000 2.240.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 4. Pupuk 1.375.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 5. Obat-obatan 711.000 711.000 711.000 711.000 711.000 711.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 Total Cost 16.123.500 6.437.000 6.437.000 6.437.000 6.437.000 6.437.000 13.577.000 12.837.000 12.837.000 13.577.000 12.837.000 12.837.000 13.577.000 Discount Rate (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220 0,2875 0,2567 Present Value Cost 16.123.500 5.747.321 5.131.537 4.581.729 4.090.830 3.652.527 6.878.531 5.806.807 5.184.649 4.896.002 4.133.170 3.690.331 3.484.878 Net Benefit (16.123.500) (6.437.000) (6.437.000) (6.437.000) (6.437.000) (6.437.000) 2.697.408 6.692.290 8.319.730 8.556.195 9.947.171 10.598.148 10.834.612 Present Value Net Benefit (16.123.500) (5.747.321) (5.131.537) (4.581.729) (4.090.830) (3.652.527) 1.366.591 3.027.252 3.360.200 3.085.450 3.202.723 3.046.714 2.780.975 Net Benefit Kumulatif (16.123.500) (21.870.821) (27.002.358) (31.584.088) (35.674.918) (39.327.444) (37.960.854) (34.933.602) (31.573.402) (28.487.952) (25.285.229) (22.238.515) (19.457.540)


(2)

Lampiran 34 (Lanjutan)

13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Benefit

mangkuk) (kg) 2.976 3.348 3.162 3.050 2.790 2.604 2.381 2.232 2.046 2.046 1.860 1.860 1.674 Harga (Rp) 8.750 8.750 8.750 8.750 8.750 8.750 8.750 8.750 8.750 8.750 8.750 8.750 8.750 Penerimaan (Rp) 26.039.053 29.293.934 27.666.494 26.690.029 24.411.612 22.784.171 20.831.242 19.529.290 17.901.849 17.901.849 16.274.408 16.274.408 14.646.967

Total Benefit 26.039.053 29.293.934 27.666.494 26.690.029 24.411.612 22.784.171 20.831.242 19.529.290 17.901.849 17.901.849 16.274.408 16.274.408 14.646.967 Discount Rate (12%) 0,2292 0,2046 0,1827 0,1631 0,1456 0,1300 0,1161 0,1037 0,0926 0,0826 0,0738 0,0659 0,0588 Present Value Benefit 5.967.479 5.994.119 5.054.565 4.353.722 3.555.413 2.962.844 2.418.648 2.024.538 1.656.988 1.479.454 1.200.855 1.072.192 861.583 Cost

1. Peralatan 60.000 60.000 800.000 60.000 60.000 800.000 800.000 60.000 60.000 800.000 60.000 60.000 800.000 2. Bibit - - - - - - - - - - - - -3. Upah Tenaga Kerja 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 4. Pupuk 3.486.000 3.486.000 3.486.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000 5. Obat-obatan 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000

Total Cost 12.837.000 12.837.000 13.577.000 10.471.000 10.471.000 11.211.000 11.211.000 10.471.000 10.471.000 11.211.000 10.471.000 10.471.000 11.211.000 Discount Rate (12%) 0,2292 0,2046 0,1827 0,1631 0,1456 0,1300 0,1161 0,1037 0,0926 0,0826 0,0738 0,0659 0,0588 Present Value Cost 2.941.909 2.626.705 2.480.467 1.708.047 1.525.042 1.457.874 1.301.673 1.085.495 969.192 926.505 772.634 689.852 659.468

Net Benefit 13.202.053 16.456.934 14.089.494 16.219.029 13.940.612 11.573.171 9.620.242 9.058.290 7.430.849 6.690.849 5.803.408 5.803.408 3.435.967 Present Value Net Benefit 3.025.570 3.367.415 2.574.098 2.645.675 2.030.371 1.504.970 1.116.975 939.044 687.796 552.949 428.222 382.341 202.115 Net Benefit Kumulatif (16.431.971) (13.064.556) (10.490.458) (7.844.783) (5.814.412) (4.309.441) (3.192.466) (2.253.422) (1.565.626) (1.012.677) (584.456) (202.115) (0)

Net Present Value (NPV) Net B/C Ratio

I R R

Uraian Tahun

0 1,00 12,00%


(3)

Uraian

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Benefit

Jumlah Produksi (lump

mangkuk) (kg) - - - - - - 1.680 1.680 1.680 1.680 1.680 1.680 1.680 Harga (Rp) - - - - - - 13.000 13.000 13.000 13.000 13.000 13.000 13.000 Penerimaan (Rp) - - - - - - 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 Total Benefit - - - - - - 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 Discount Rate (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220 0,2875 0,2567 Present Value Benefit - - - - - - 11.062.532 9.877.261 8.818.983 7.874.092 7.030.439 6.277.178 5.604.623 Cost

1. Peralatan 610.000 - - - - - 800.000 60.000 60.000 800.000 60.000 60.000 800.000 2. Bibit 2.187.500 - - - - - - - - - - - -3. Upah Tenaga Kerja 11.240.000 2.240.000 2.240.000 2.240.000 2.240.000 2.240.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 4. Pupuk 1.375.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 3.486.000 5. Obat-obatan 711.000 711.000 711.000 711.000 711.000 711.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 Total Cost 16.123.500 6.437.000 6.437.000 6.437.000 6.437.000 6.437.000 13.577.000 12.837.000 12.837.000 13.577.000 12.837.000 12.837.000 13.577.000 Discount Rate (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220 0,2875 0,2567 Present Value Cost 16.123.500 5.747.321 5.131.537 4.581.729 4.090.830 3.652.527 6.878.531 5.806.807 5.184.649 4.896.002 4.133.170 3.690.331 3.484.878 Net Benefit (16.123.500) (6.437.000) (6.437.000) (6.437.000) (6.437.000) (6.437.000) 8.258.476 8.998.476 8.998.476 8.258.476 8.998.476 8.998.476 8.258.476 Present Value Net Benefit (16.123.500) (5.747.321) (5.131.537) (4.581.729) (4.090.830) (3.652.527) 4.184.001 4.070.454 3.634.334 2.978.089 2.897.269 2.586.847 2.119.745 Net Benefit Kumulatif (16.123.500) (21.870.821) (27.002.358) (31.584.088) (35.674.918) (39.327.444) (35.143.443) (31.072.989) (27.438.656) (24.460.566) (21.563.298) (18.976.451) (16.856.706)


(4)

Lampiran 35 (Lanjutan)

13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Benefit

mangkuk) (kg) 1.680 1.680 1.680 1.680 1.680 1.680 1.680 1.680 1.680 1.680 1.680 1.680 1.680 Harga (Rp) 13.000 13.000 13.000 13.000 13.000 13.000 13.000 13.000 13.000 13.000 13.000 13.000 13.000 Penerimaan (Rp) 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476

Total Benefit 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 21.835.476 Discount Rate (12%) 0,2292 0,2046 0,1827 0,1631 0,1456 0,1300 0,1161 0,1037 0,0926 0,0826 0,0738 0,0659 0,0588 Present Value Benefit 5.004.128 4.467.971 3.989.260 3.561.839 3.180.214 2.839.476 2.535.247 2.263.613 2.021.083 1.804.539 1.611.195 1.438.567 1.284.435 Cost

1. Peralatan 60.000 60.000 800.000 60.000 60.000 800.000 800.000 60.000 60.000 800.000 60.000 60.000 800.000 2. Bibit - - - - - - - - - - - - -3. Upah Tenaga Kerja 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 8.160.000 4. Pupuk 3.486.000 3.486.000 3.486.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000 5. Obat-obatan 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000 1.131.000

Total Cost 12.837.000 12.837.000 13.577.000 10.471.000 10.471.000 11.211.000 11.211.000 10.471.000 10.471.000 11.211.000 10.471.000 10.471.000 11.211.000 Discount Rate (12%) 0,2292 0,2046 0,1827 0,1631 0,1456 0,1300 0,1161 0,1037 0,0926 0,0826 0,0738 0,0659 0,0588 Present Value Cost 2.941.909 2.626.705 2.480.467 1.708.047 1.525.042 1.457.874 1.301.673 1.085.495 969.192 926.505 772.634 689.852 659.468

Net Benefit 8.998.476 8.998.476 8.258.476 11.364.476 11.364.476 10.624.476 10.624.476 11.364.476 11.364.476 10.624.476 11.364.476 11.364.476 10.624.476 Present Value Net Benefit 2.062.219 1.841.267 1.508.793 1.853.792 1.655.172 1.381.603 1.233.574 1.178.119 1.051.892 878.033 838.561 748.716 624.967 Net Benefit Kumulatif (14.794.487) (12.953.220) (11.444.428) (9.590.635) (7.935.464) (6.553.861) (5.320.287) (4.142.169) (3.090.277) (2.212.244) (1.373.682) (624.967) 0

Net Present Value (NPV) Net B/C Ratio

I R R

Uraian Tahun

0 1,00 12,00%


(5)

2

Februari

6.000

22.025

3

Maret

8.975

22.700

4

April

8.875

22.450

5

Mei

9.950

23.050

6

Juni

10.250

23.900

7

Juli

9.375

25.025

8

Agustus

9.750

24.875

9

September

7.625

23.650

10

Oktober

5.500

16.925

11

November

5.650

16.250

12

Desember

3.875

12.675

13

2009

Januari

3.750

12.875

14

Februari

4.375

13.125

15

Maret

4.375

11.500

16

April

4.625

12.625

17

Mei

5.250

13.500

18

Juni

5.675

13.250

19

Juli

5.650

11.500

20

Agustus

5.725

14.625

21

September

5.650

16.250

22

Oktober

7.975

18.250

23

November

8.125

19.750

24

Desember

9.075

21.262

25

2010

Januari

10.500

21.675

26

Februari

10.800

24.675

27

Maret

11.200

25.500

28

April

11.800

26.500

29

Mei

13.500

26.000

30

Juni

12.600

25.200

31

Juli

12.000

23.850

32

Agustus

12.500

24.850

33

September

13.600

26.500

34

Oktober

15.000

28.200

35

November

16.000

33.500

36

Desember

17.000

34.500

Sumb

er : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Mandailing Natal dan

Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara


(6)