Karakteristik kondisi ginjal pasien Penggunaan antihipertensi

40 yaitu 65,7 berbanding 34,3, sedangkan pada periode BPJS proporsi jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan yaitu 53,8 berbanding 46,2. Penelitian di Norway oleh Hallan, et al., 2006 mendapatkan perbandingan proporsi pasien GGK pada perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki yaitu 30 46,8: 34 53,2. Hallan juga melampirkan hasil prevalensi dari The Third National Health and Nutrition Examination Survey NHANES III yang menyatakan bahwa prevalensi pasien yang menderita GGK pada perempuan di US White dan Norwegian memiliki jumlah yang lebih tinggi dari laki-laki Hallan, et al., 2006. Namun pada penelitian yang dilakukan oleh Price 2005 menyatakan bahwa insidensi penyakit GGK lebih besar terjadi pada laki-laki 56,3 dibandingkan perempuan 43,7. Prevalensi yang lebih tinggi pada laki-laki yang menderita GGK dapat terjadi karena laki-laki mempunyai resiko lebih tinggi untuk menderita hipertensi lebih awal, resiko terhadap morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler. Pasien laki- laki cenderung memiliki pola hidup kurang sehat merokok, konsumsi alkohol, kopi dan energy drink yang memicu stress oksidatif jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pasien perempuan. Namun pada usia diatas 50 tahun lebih banyak terjadi pada wanita karena adanya pengaruh hormon estrogen dan progesteron terhadap progresivitas kerusakan ginjal Gennari, 2001.

4.3 Karakteristik kondisi ginjal pasien

Deskripsi mengenai demografi pasien juga dilakukan untuk mengetahui stadium penyakit ginjal kronik yang diderita pasien. Berikut hasil distribusi karakteristik kondisi ginjal pasien dapat dilihat pada Tabel 4.3 Universitas Sumatera Utara 41 Tabel 4.3 Distribusi Karakteristik Kondisi Ginjal Pasien Gangguan Ginjal Kronik di RSUP H. Adam Malik Medan Periode September 2013 – Maret 2014 Stadium GGK yang diderita Periode JAMKESMAS Periode BPJS Frekuensi Frekuensi Stadium 1 LFG mlmin1,73m 2 90 - - - - Stadium 2 LFG mlmin1,73m 2 60-89 - - 1 1,9 Stadium 3 LFG mlmin1,73m 2 30-59 1 2,8 4 7,7 Stadium 4 LFG mlmin1,73m 2 15-29 5 14,3 10 19,2 Stadium 5 LFG mlmin1,73m 2 15 29 82,9 37 71,2 Total 35 100 52 100 Berdasarkan hasil yang diperoleh, karakteristik kondisi ginjal pasien menurut stadium GGK yang diderita pasien pada periode JAMKESMAS dan periode BPJS diketahui diagnosis tertinggi adalah pasien GGK stadium 5 sebesar 82,9 dan 71,2. Untuk periode JAMKESMAS diagnosis terendah yaitu pada pasien GGK stadium 3 sebesar 2,8 dan periode BPJS pada pasien GGK stadium 2 sebesar 1,98. Diagnosis tertinggi pada pasien GGK stadium 5 dapat terjadi karena pada umumnya gejala atau manifestasi klinis penyakit ginjal kronis ini muncul secara tiba-tiba ataupun bertahap, bahkan ada yang tidak menimbulkan gejala awal yang jelas. Sehingga penurunan fungsi ginjal tersebut sering tidak dirasakan bahkan diabaikan oleh pasien dan baru terdeteksi setelah kondisi ginjal semakin memburuk dan manifestasi klinis semakin parah yaitu pada stadium akhir Sjamsiah, 2005. Universitas Sumatera Utara 42

4.4 Penggunaan antihipertensi

Berdasarkan hasil persentase penggunaan obat antihipertensi tertinggi adalah golongan diuretik yakni pada periode JAMKESMAS sebesar 37,7 dan pada periode BPJS sebesar 50,4. Data lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Hasil Uji Statistik Distribusi Penggunaan Antihipertensi Berdasarkan Jenis Obat pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik di RSUP H. Adam Malik Medan Periode September 2013 – Maret 2014 Uji Chi-square test No Antihipertensi Penggunaan obat JAMKESMAS Penggunaan obat BPJS P Value Frekuensi n=77 Frekuensi n=115 1 Diuretik - Furosemid -Injeksi - Tabtel - HCT - Spironolakton 29 19 5 4 1 37,7 24,7 6,5 5,2 1,3 58 33 17 4 4 50,4 28,7 14,8 3,5 3,5 0,354 2 ACE-I - Kaptopril 26 26 33,7 33,7 29 29 25,2 25,2 3 Ca antagonis - Nifedipin - Amlodipin 18 8 10 23,4 10,4 13 20 1 19 17,4 0,9 16,5 4 β – bloker -Bisoprolol -Propanolol 4 4 - 5,2 5,2 - 7 6 1 6,1 5,2 0,9 5 Angiotensi II Antagonis -Valsartan 1 1 0,9 0,9 Total 77 100 115 100 Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitrianto, et al,. 2011 di RSUP DR. M. Djamil menyatakan bahwa penggunaan obat golongan diuretik sebagai pilihan pertama obat antihipertensi pada pasien hipertensi esensial. Para ahli masih menyarankan diuretik sebagai pilihan pertama obat antihipertensi pada khususnya orang tua karena tidak ada perbedaan signifikan dalam menurunkan tekanan darah maupun dalam menurunkan mortalitas serta Universitas Sumatera Utara 43 dilihat dari segi biaya penggunaan diuretik lebih murah. Pengecualian pada pasien dengan indikasi khusus untuk penggunaan golongan lain seperti pasien dengan pasca infark miokard penyekat beta dan ACE-inhibitor, pasien dengan diabetik nefropati ACE-inhibitor, ARB Yogiantoro, 2006 Golongan diuretik ini biasanya digunakan pada penderita hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal dengan kadar kreatinin serum lebih dari 2,3 mgdL. Diuretik ini mempunyai efikasi lebih baik dalam menginduksi hipovolemia dibandingkan dengan tiazid. Jenis diuretik yang paling banyak digunakan dari hasil penelitian ini adalah ―loop diuretik‖ yaitu furosemid. Pemberian furosemid dimulai dengan 20 mg. Dosis dapat ditingkatkan sesuai dengan perkembangan klinis. Pada pasien dengan insufisiensi renal, sering digunakan dosis lebih besar Lim, 2009. Pada periode JAMKESMAS dan BPJS urutan kedua yang paling banyak digunakan pada pasien GGK adalah golongan ACE-I yaitu masing-masing sebesar 33,7 dan 25,2. Berdasarkan NKFKDOQI menyatakan bahwa ACE-I telah diberikan sebagai terapi lini pertama pada pasien dengan diagnosis GGK, baik yang disertai diabetes maupun yang tidak disertai diabetes. Obat golongan ACE-I yang sering digunakan adalah kaptopril. Secara farmakologis kaptopril bekerja secara kompetitif menginhibisi Angiotensin Converting Enzyme ACE yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang menstimulasi sekresi aldosteron. ACE-I menurunkan tekanan darah dengan cara menurunkan resistensi perifer. Kardiak output dan frekuensi denyut jantung tidak berubah secara signifikan. Tidak seperti vasodilator langsung obat ini tidak menimbulkan refleks simpatis, dan dapat Universitas Sumatera Utara 44 digunakan secara aman pada pasien dengan penyakit jantung iskemia. Tiadanya refleks simpatis dapat disebabkan oleh downward resetting dari baroreseptor atau oleh peningkatan aktivitas parasimpatis William, et al., 2004. Mekanisme kerja golongan obat ACE-I ini tidak hanya melalui sistem Renin-Angiotensin- Aldosteron RAA, tetapi juga melalui sistem kinin. Hambatan inaktivasi bradikinin dan prostaglandin vasodilator oleh ACE-I meningkatkan vasodilatasi akibat hambatan angiotensin II Lim, 2009. Selain diuretik dan ACE-I, antihipertensi yang digunakan adalah Ca antagonis dengan persentase penggunaan sebesar 23,4 pada periode JAMKESMAS, sedangkan pada periode BPJS sebesar 17,4. Jenis antihipertensi yang diberikan dari golongan ini adalah Amlodipin dan nifedipin. Dari hasil observasi yang menyatakan bahwa blocker kanal Ca antagonis yang bekerja singkat seperti nifedipin dalam pengobatan hipertensi berkaitan dengan suatu peningkatan risiko infark miokard, reinfraksi, dan kematian. Dianjurkan jika suatu Ca antagonis diperlukan untuk terapi hipertensi, pasien lebih baik menggunakan amlodipin atau nifedipin lepas lambat yang diberikan sekali sehari Rahardjo, 2008. Golongan antihipertensi lain yang digunakan adalah β-bloker dengan persentase pemberian pada periode JAMKESMAS hanya sebesar 5,2 dan pada periode BPJS sebesar 6,1. Jenis obat dari golongan ini yang digunakan hanya bisoprolol dan propanolol. Persentase terapi antihipertensi golongan β-bloker yang hanya sedikit dapat disebabkan karena telah dilaporkan dapat menyebabkan memburuknya fungsi ginjal pada penderita dengan diagnosis GGK, dan jika diberikan per oral memberikan efek penurunan tekanan darah yang berlangsung Universitas Sumatera Utara 45 lambat. Efek ini mungkin disebabkan oleh pengurangan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus akibat pengurangan curah jantung. Efek terapeutik yang ditimbulkan β-blocker adalah melalui hambatan terhadap reseptor- β α didalam jantung dan jaringan lain. β-blocker dapat bekerja disusunan saraf pusat dengan mengurangi tonus simpatis, pada ginjal dapat mengurangi pembentukan angiotensin II, selanjutnya pembentukan aldosteron berkurang Lim, 2009. Golongan antihipertensi yang paling sedikit digunakan adalah angiotensi II antagonis yakni sebesar 0,9 pada periode BPJS, sedangkan pada periode JAMKESMAS golongan ini tidak diberikan. Hal ini disebabkan tidak tercantumnya golongan obat ini dalam formularium rumah sakit untuk pasien JAMKESMAS. Jenis dari golongan obat ini yang digunakan adalah valsartan. Mekanisme kerja golongan obat ini adalah menghambat kerja angiotensin II pada reseptornya. Karena ACE-I menghambat hanya sebagian konversi angiotensin I menjadi angiotensin II blockade reseptor merupakan suatu cara yang lebih efektif untuk mengurangi kerja angiotensin II Rahardjo, 2008. Keuntungan lain dari golongan agiotensi II antagonis tidak menghambat degradasi bradikinin sehingga tidak menimbulkan efek samping batuk Tjay dan Raharja, 2007. Agiotensi II antagonis dapat memberikan efek antihipertensi yang besar pada hipertensi yang dipengaruhi oleh sistem renin angiotensin dan efek antihipertensinya lemah pada hipertensi yang disebabkan oleh peningkatan volume cairan ekstraseluler Ganiswara, 2007. Berdasarkan hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan secara signifikan penggunaan antihipertensi pada pasien GGK Universitas Sumatera Utara 46 berdasarkan jenis obat yang diberikan dalam periode JAMKESMAS September 2013 – Desember 2013 dan periode BPJS Januari 2014 – Maret 2014.

4.5 Karakteristik Kesesuaian Dosis Antihipertensi pada Pasien GGK

Dokumen yang terkait

Drug Related Problems (Drps): Studi Kesesuaian Dosis Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik Di RSUP H. Adam Malik Medan Periode September 2013 – Maret 2014

0 42 90

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien COPD (Chronic Pulmonary Disease) di Instalasi Rawat Inap RSUP H. Adam Malik Medan Periode Januari – Juni 2012

2 48 70

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Anak Diare di Instalasi Rawat Inap RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011

1 60 68

Evaluasi Drug Related Problems Kategori Penyesuaian Dosis Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara

4 33 166

01. No Rekam medik 02. Nama Pasien 03. Jenis Kelamin - Drug Related Problems (Drps): Studi Kesesuaian Dosis Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik Di RSUP H. Adam Malik Medan Periode September 2013 – Maret 2014

0 1 21

Drug Related Problems (Drps): Studi Kesesuaian Dosis Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik Di RSUP H. Adam Malik Medan Periode September 2013 – Maret 2014

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Drug Related Problems (Drps): Studi Kesesuaian Dosis Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik Di RSUP H. Adam Malik Medan Periode September 2013 – Maret 2014

0 0 8

Drug Related Problems (Drps): Studi Kesesuaian Dosis Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik Di RSUP H. Adam Malik Medan Periode September 2013 – Maret 2014

0 0 13

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Anak Diare di Instalasi Rawat Inap RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011

0 0 17

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Anak Diare di Instalasi Rawat Inap RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011

0 0 13