Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan
pembangunan di bidan hukum perlindungan konsumen.
34
A. Prinsip-Prinsip dan Pertanggung Jawaban Pelaku Usaha
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus
pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab
dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.
35
1. Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen
Kata konsumen pertama kali masuk dalam substansi Garis Besar Haluan Negara GBHN
pada 1983. Menurut GBHN harus menguntungkan konsumen. 5 Lima tahun kemudian kata-kata itu
dirasakan tetap relevan untuk dimuat kembali sehingga dalam GBHN tahun 1988 dinyatakan, pembangunan ekonomi itu harus menjamin
34
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008. Hlm. 34.
35
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Sinar Grafika, 2014, hlm. 92.
Universitas Sumatera Utara
kepentingan konsumen, selanjutkan dalam GBHN tahun 1993 kembali dinyatakan, pembangunan ekonomi itu harus melindungi kepentingan
konsumen. Menurut Prof. Hans W. Micklitz, dalam perlindungan konsumen
secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan, yaitu :
36
a. Kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang
mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen hak atas informasi.
b. Kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan
terhadap kepentingan ekonomi konsumen hak atas kesehatan dan keamanan.
Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori
yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, termasuk kelompok ini adalah:
37
a. Let The Buyer Beware
Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor sebagai embrio dari lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini
berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang, sehingga konsumen tidak memerlukan
perlindungan. Prinsip ini mengandung kelemahan, bahwa dalam perkembangan konsumen tidak mendapat informasi yang memadai
36
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004, hlm. 60.
37
Ibid., hlm. 61.
Universitas Sumatera Utara
untuk menentukan pilihan terhadap barang dan jasa yang dikonsumsinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan konsumen atau ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya. Dengan demikian, apabila
konsumen mengalami kerugian, maka pelaku usaha dapat berdalih bahwa kerugian tersebut akibat dari kelalaian konsumen sendiri.
b. The Due Care Theory
Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan produk, baik
barang maupun jasa. Selama pelaku usaha berhati-hati dengan produknya, maka ia tidak dapat disalahkan. Pada prinsip ini
berlaku pembuktian siapa mendalilkan maka dialah yang membuktikan. Hal ini sesuai dengan jiwa pembuktian pada hukum
privat di Indonesia yaitu pembuktian ada pada penggugat, sesuai dengan Pasal 1865 KUHPerdata yang secara tegas menyatakan
bahwa : “barang siapa yang mengendalilkan mempunyai suatu hak atau
untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, maka diwajibkan membuktikan
adanya hak atau peristiwa tersebut”. c.
The Privity of Contract
Universitas Sumatera Utara
Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika
diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak disalahkan diluar hal-hal yang diperjanjikan. Dengan
demikian konsumen dapat menggugat berdasarkan wanprestasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1340 KUHPerdata yang
menyatakan tentang ruang lingkup berlakunya perjanjian hanyalah antara pihak-pihak yang membuat perjanjian saja.
d. Kontrak Bukan Syarat
Prinsip ini tidak mungkin lagi dipertahankan, jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu
hubungan hukum. 2.
Prinsip- prinsip Tanggung Jawab Prinsip tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting
dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus
bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.
Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang- undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap
Universitas Sumatera Utara
memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen.
38
a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan fault liability adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum
pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara
teguh.
39
1 Adanya Perbuatan melanggar hukum
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum,
mengharuskan terpenuhinya 4 Empat unsur pokok, yaitu :
Perbuatan melanggar hukum dapat berupa melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban si pembuat,
berlawanan dengan kesusilaan dan berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam
pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.
40
2 Adanya unsur kesalahan.
Kesalahan ini mempunyai 3 Tiga unsur :
41
a Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan
b Perbuatan yang dapat diduga akibatnya
c Dapat dipertanggung jawabkan
3 Adanya kerugian yang diderita.
Pengertian menurut Nieuwenhuis adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh
perbuatan yang melanggar norma oleh pihak lain.
42
38
Celina Tri Siwi Kridtiyanti, Op.Cit., hlm. 94
39
Shidarta, Op.Cit., hlm. 73.
40
Miru dan Yodo, Op. Cit., hlm.130.
41
Purwahid Patrick, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Bandung : Mandar Maju, 1994, hlm.10.
Universitas Sumatera Utara
4 Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan
kerugian. Prinsip ini dapat diterima karena adil bagi orang yang
berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban, Artinya tidak jika orang yang tidak bersalah harus
mengganti kerugian yang diderita orang lain, dan beban pembuktiannya ada pada pihak yang mengakui mempunyai
suatu hak, dalam hal ini adalah penggugat.
Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk ganti kerugian bagi
pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain,
b. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab presumption of liability principle, sampai ia dapat membuktikan ia
tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Ini dikenal dengan istilah beban pembuktian terbalik.
Dalam prinsip pembuktian terbalik, seseorang dianggap bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, hal ini tentu
bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan
tampak asas ini cukup relevan karena yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pelaku usaha.
43
c. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
42
Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Surabaya : Universitas Airlangga, 1985, hlm. 57.
43
Kristiyanti, Op.Cit., Hlm. 95.
Universitas Sumatera Utara
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab presumption of nonliability
principle, hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common
sense dapat dibenarkan.
44
d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak strict liability sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut absolute liability.
Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor
yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab.
Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.
Menurut R.C. Hoeber, biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena :
45
1 Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk
membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks.
2 Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika
sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya. 3
Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati.
44
Shidarta, Op.Cit.,hlm. 62.
45
Ibid., hlm. 78.
Universitas Sumatera Utara
e. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan limitation of liability principle sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan
sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.
Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen yang baru, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang
merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
46
3. Pertanggung Jawaban Pelaku Usaha
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat menjadi landasan bagi
konsumen dan lembaga perlindungan konsumen untuk memberdayakan dan melindungi kepentingan konsumen, serta
membuat pelaku usaha lebih bertanggung jawab.
47
46
Ibid., hlm. 98.
47
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan Jakarta : Visimedia, 2008, hlm. 36.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini dikarenakan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen manjadi obyek aktifitas bisnis untuk mendapat
keuntungan sebesar-besarnya. Perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukkan Undang-Undang yang dapat
melindungi kepentingan konsumen secara efektif. a.
Pengertian Pertanggung Jawaban Dalam hukum perlindungan konsumen, pelaku usaha
harus dapat dimintakan pertanggung jawaban, yaitu jika perbuatannya telah melanggar hak-hak dan kepentingan
konsumen, menimbulkan kerugian, atau kesehatan konsumen terganggu.
48
b. Bentuk-Bentuk Pertanggung Jawaban
Pengertian Tanggung Jawab Tanggung jawab dalam bahasa Inggris diterjemahkan dari kata responsibility atau liability,
sedangkan dalam bahasa Belanda, yaitu vereentwoodelijkatau aansparrkelijkeid.
Kata “Pertanggung jawaban” berasal dari kata “Tanggung jawab” yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu
berupa penuntutan, diperkarakan atau dipersalahkan sebagai sikap sendiri atau dari pihak lain.
1 Pertanggung jawaban Pidana
48
Ibid,. hlm. 38.
Universitas Sumatera Utara
Suatu konsep yang terkait dengan teori kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum liability. Seseorang
secara hukum dikatakan bertanggung jawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu
sanksi dalam suatu perbuatan yang berlawanan. Normalnya dalanm kasus sanksi dikenakan karena perbuatannya sendiri
yang membuat orang tersebut harus bertanggung jawab. Menurut teori tradisional terdapat 2 Dua bentuk
pertanggung jawaban hukum, yaitu berdasarkan kesalahan based on faulth dan pertanggung jawaban mutlak
absolute responsibility. 2
Pertanggung jawaban Perdata Apabila sesorang dirugikan karena perbuatan sesorang,
sedang diantara mereka itu tidak terdapat suatu perjanjian, maka berdasarkan Undang-Undang juga timbul atau terjadi
hubungan hukum antara orang tersebut yang menimbulkan kerugian itu.
49
a Bertentangan dengan hak orang lain.
Dengan meninjau perumusan luas dari perbuatan melawan hukum Onrechmatige daad, maka yang termasuk
perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan :
b Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.
c Bertentangan dengan kesusilaan baik.
49
A.Z. Nasution, Hukum Perlindugan Konsumen, Jakarta : Diapit Media, 2002, hlm. 77.
Universitas Sumatera Utara
d Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan
dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.
Menurut Abdul Kadir Muhammad ada beberapa unsur kesalahan perdata, yaitu :
50
a Pelanggaran hak
Hukum mengakui hak-hak tertentu baik mengenai hak pribadi maupun hal kebendaan dan akan melindunginya
dengan memaksa pihak yang melanggar untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang dilanggar
haknya.
b Unsur Kesalahan
Pertanggung jawaban dalam kesalahan perdata biasanya memerlukan unsur kesalahan atau kesengajaan pada
pihak yang melakukan pelanggaran, walaupun tingkat kesengajaan yang diperlukan biasanya kecil.
c Kerugian yang diderita
Unsur yang esensial dari kesalahan perdata pada umumnya adalah kerugian yang diderita akibat suatu
perbuatan meskipun kesalahan dan kerugian perdata tidak selalu jalan berbarengan karena masih ada
kesalahan perdata, dimana apabila perbuatan dari salah seorang digugat maka tergugat sendiri yang harus
membuktikan kerugian yang dideritanya.
3 Pertanggung jawaban Administrasi
Seperti halnya hukum pidana, hukum administrasi Negara adalah instrument hukum public yang penting dalam
perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hukum secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak
disertai sanksi admininistratif. Secara administratif ditujukan kepada pelaku usaha, baik
produsen principal maupun pelaku usaha lainnya yang
50
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 1986, hlm. 197.
Universitas Sumatera Utara
mendistribusikan produknya. Semula sanksi administrative hanya dikonotasikan sebagai pencabutan sepihak ijin yang
diberikan oleh pemerintah kepada pelaku usaha. Dalam pasal 60 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
bentuk sanksi administrative telah diperluas, yaitu dapat berbentuk penetapan ganti rugi.
51
51
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004, hlm. 117.
Penerapan sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi tampaknya
cenderung menonjol dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, mengingat Pasal 60 adalah aturan tentang
kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK, yang notaben bukan pemerintah yang menerbitkan
ijin tersebut.
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang