67
H.R.Sri Soematri menyatakan hak menguji dapat dibedakan :
70
1 Hak menguji formal
Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif terjelma melalui cara
– cara atau prosedur sebagaimana ditentukandiatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
tidak. Dari penegertian tersebut dalam hak menguji formal, yang dinilai adalah tata cara pembentukannya apakah sesuai atau tidak.
2 Hak menguji materiil
Hak menguji materiil adalaha suatu hak untuk menelit idan menilai apakah suatu peraturan benar-benar telah dibuat oleh pembentuk peraturan yang
berhak untuk membuatnya. Dan apakah semua peraturan isinya tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
C. Arbitrase Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen
Proses atau cara penyelesaian sengketa bisnis yang saat ini sedang populer adalah arbitrase. Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrase bahasa latin yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya arbitrase dengan kebijakan itu dapat menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu
majelis arbitrase dapat menyelesaikan suatu sengketa tidak mengindahkan norma- norma lagi dan menyandarkan pemutusan sengketa tersebut hanya kepada
kebijaksanaan.Kesan tersebut sebenarnya keliru karena arbitrase atau majelis tersebut menerapkan hukum seperti yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan. Menurut
Undang- Undang Nomoor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum, Pasal 1 angka 1, arbitrase adalah :
70
Susanti Adi Nugroho, Op.Cit, hlm. 141
Universitas Sumatera Utara
68
“cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa”
Menurut peraturan prosedur BANI Badan Arbitrase Nasional Indonesia, arbirase memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa perdata yang
timbul mengenai perdagangan industri keuangan baik yang bersifat Nasional maupun Internasional. Sedanngkan menurut peraturan BAMUI Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia arbitrase adalah penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdangan, industry, keuangan, jasa dan lain-lain serta memberikan suatu pendapat
yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan yang berkenaan dengan perjanjian Pasal 1 AD BAMUI.
Menurut ketiga pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur arbitrase adalah :
1 Adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa – sengketa, baik
yang akan terjadi maupun telah terjadi kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga diluar peradilan umum untuk diputuskan.
2 Penyelesaia sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang menyangkut
hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya, khususnya disini dalam bidang perdagangan, industry, dan keuangan.
3 Putusan tersebut merupakan putusan akhir dan menngikat final dan binding.
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 menganut sistem arbitrase sebagai salah
satu kewenangan BPSK untuk meyelesaikan sengketa konsumen. Di dalam Pasal 1 Kepmenperindag RI Nomor 350MPPKep122001 tentang pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen disebutkan Arbitrase adalah
Universitas Sumatera Utara
69
proses penyelesian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada
BPSK. Sesuai dengan ketentuan beracara di BPSK, prosedur penyelesaian melalui arbitrase adalah sebagai berikut :
1. Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, para pihak
memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis.
2. Arbiter yang dipilih oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalama ayat 1
memilih arbiter ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah sebagai ketua majelis.
Adapun bentuk Format Surat Pernyataan untuk memilih penyelesaian sengketa secara “arbitrase” yang diberikan oleh salah satu Majelis BPSK Kota Medan ialah :
SURAT PERNYATAAN UNTUK MEMILIH PENYELESAIAN SENGEKETA DENGAN CARA “ARBITRASE”
71
Kami yang bertanda tangan dibawah ini : ialah Para pihak yang bersengketa baik Konsumen Maupun Pelaku Usaha
I. Nama
: Umur
: Pekerjaan
: Dalam Hal ini disebut sebagai Pihak I Konsumen
II. Nama
: Umur
: Pekerjaan
: Dalam Hal ini disebut sebgai Pihak II Pelaku Usaha
71
Formulir Surat Pernyataan memilih penyelesaian sengketa konsumen secara arbitrase oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan, yang diberikan kepada penulis pada tanggal 06
Maret 2016
Universitas Sumatera Utara
70 Antara Konsumen dengan Pelaku Usaha telah setuju dan sepakat untuk memilih Penyelesaian
Sengk eta Konsumen dengan cara “ARBITRASE” dan untuk itu kami memilih Majelis
tersebut sebagai berikut : 1.
Unsur Pemerintah : 2.
Unsur Konsumen : 3.
Unsur Pelaku Usaha : Demikianlah Surat Pernyataan ini kami perbuat dengan sebenarnya.
Kemudian ditandangani oleh Para Pihak serta Para Majelis BPSK Kota Medan yang telaah dipilih
sebagai majelis arbiter.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Jo. Pasal 32 ayat 1 Kepmen 350MPPKEP122001, menyebutkan bahwa :
“ Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase oleh para pihak yang bersengketa, dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para
pihak .” “Dalam penyelesaian sengketa kosnumen dengan cara arbitrase para pihak
memilih arbiter dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan kosnumen sebagai anggota majelis ”
Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian
tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.
72
Selanjutnya pada tahap persidangan prosedurnya adalah sebagai berikut: 1.
Ketua mejelis di dalam persidangan wajib memberikan petunjuk kepada konsumen dan pelaku usaha, mengenai uapaya
– upaya hukum yang digunakan oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
72
Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa
Universitas Sumatera Utara
71
2. Dengan izin ketua majelis, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa dapat
mempelajari semua berkas yang berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya.
Pada hari persidangan I pertama Ketua Mejelis wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa dan bilamana tidak tercapai perdamaian, maka
persidangan dimulai dengan membacakan gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha. Ketua Majelis memberikan kesempatan yang sama kepada konsumen
dan pelaku usaha yang bersengketa untuk menjelaskan hal – hal yang
dipersengketakan. Pada persidangan I pertama sebelum pelaku usaha memberikan jawabannya
konsumen dapat mencabut gugatannya dengan membuat surat pernyataan. Dalam hal gugatan dicabut oleh konsumen sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 maka
persidangan pertama majelis wajib mengumumkan bahwa gugatan dicabut. Apabila dalam proses penyelesaian sengketa konsumen terjadi perdamaian
antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, Majelis wajib memuat putusan dan membentuk penetapan perdamaian. Apabila pelaku usaha atau konsumen tidak
hadir pada hari persingan I pertama Majelis memberikan kesempatan terakhir kepada konsumen dan pelaku usaha untuk hadir pada persidangan ke II kedua
dengan membawa alat yang diperlukan. Persidangan ke II kedua diselenggarakan selambat
– lambatnya dalam waktu 5 lima hari kerja terhitung sejak hari persidangan I pertama dan diberitahukan
dengan surat panggilan kepada konsumen dan pelaku usaha oleh Sekretaris BPSK. Namun pada beberapa BPSK tidak selalu menerapkan ketentuan ini, mengingat jam
kerja seluruh BPSK di Indonesia tidaklah sama. Bilamana pada persidangan ke II
Universitas Sumatera Utara
72
kedua konsumen tidak hadir, maka gugatannya dinyatakan gugur demi hukum, sebaliknya jika pelaku usaha yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan
oleh Majelis tanpa kehadiran pelaku usaha. Prosedur penyelesaian dengan menggunakan arbitrase bagaikan sebuah
simalakama bagi kedua belah pihak. Terkadang pihak yang lemah disarankan untuk tidak memilih prosedur arbitrase ini dikarenakan proses yang harus ditempuh dalam
hal upaya hukum akan menyulitkannya. Hal ini disebabkan karena masih lemahnya peraturan arbitrase BPSK di Indonesia. Sehingga memerlukan campur tangan
lembaga peradilan untuk memberi kepastian hukum, meskipun putusan BPSK bersifat final dan mengikat.
Bagi para pihak yang memiliki posisi kuat, mekanisme melalaui arbitrase ini menjadi pilihan.Kerena melalui prosedur ini BPSK dapat menjatuhkan hukum berupa
kewajiban tertentu kepada pihak lawan yang harus dilaksanakan seperti halnya putusan pengadilan.Ketika pihaknya memeiliki kekuatan pada bukti
– bukti formal dan fakta
– fakta yang diujui leewat saksi-saksi, BPSK memiliki kemungkinan menjatuhkan putusan sesuai dengan harapannya.
Meskipun putusan arbitrase BPSK apabila tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak harus dimintakan penetapan eksekusinya kepada pengadilan negeri,
sesuai dengan ketentuan Pasal 54 ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen putusan BPSK bersifat final dan mengingat. Hal ini mengandung pengertian bahwa
putusan BPSK harus dilaksanakan. Kehadiran Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen sesungguhnya hanya memperkenankan keberatan terhadap putusan BPSK dalam hal putusan BPSK memenuhi syarat pembatalan
Universitas Sumatera Utara
73
sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu : a.
Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b. Setelah putusan arbitrase BSPK diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan. c.
Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
73
D. Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Menyelesaikan Sengketa Secara Arbitrase