Ketimpangan TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Domestik Regional Bruto merupakan jumlah dari nilai tambah bruto seluruh sektor lapangan usaha. 3. Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah semua komponen permintaan akhir seperti: pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, ekspor netto, dalam jangka waktu tertentu biasanya satu tahun. Dari ketiga pendekatan tersebut, secara konsep seyogyanya jumlah pengeluaran tadi harus sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan yang untuk faktor-faktor produksinya. Selanjutnya Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga pasar, karena mencakup komponen pajak tidak langsung. Besar kecilnya PDRB yang dihasilkan oleh suatu wilayah dipengaruhi oleh jenis dan sumber daya alam yang telah dimanfaatkan, jumlah dan mutu sumberdaya manusia, kebijakan pemerintah, letak geografis, serta kemajuan penggunaan teknologi. PDRB dari suatu wilayah lebih menunjukkan pada besaran produksi suatu daerah bukan pendapatan yang sebenarnya diterima oleh penduduk di daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian PDRB merupakan data yang paling representatif dalam menunjukkan pendapatan dibandingkan dengan data-data yang lainnya.

2.3 Ketimpangan

Ketimpangan pembangunan terjadi karena ada tiga faktor yaitu faktor alami, faktor kondisi sosial dan keputusan-keputusan kebijakan. Faktor alami meliputi kondisi agroklimat, sumberdaya alam, lokasi geografis, jarak pelabuhan dengan pusat aktivitas ekonomi, lokasi geografis, wilayah potensial untuk pembangunan ekonomi. Sementara faktor sosial budaya meliputi nilai tradisi, mobilitas ekonomi, inovasi dan wirausaha. Sedangkan faktor keputusan kebijakan adalah sejumlah kebijakan yang mendukung secara langsung atau tidak terjadinya ketimpangan Nugroho, 2004. Menurut Wie 1981, negara yang semata-mata hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi, tanpa memikirkan pendistribusian pendapatan tersebut akan memunculkan ketimpangan-ketimpangan diantaranya : 1. Ketimpangan pendapatan antar golongan atau ketimpangan relatif, ketimpangan pendapatan antar golongan ini biasanya di ukur dengan menggunakan koefisien gini. Kendati Koefisien gini bukan merupakan indikator yang ideal mengenai ketimpangan pendapatan antar berbagai golongan, namun sedikitnya angka ini dapat memberikan gambaran mengenai kecenderungan umum dalam pola distribusi pendapatan. 2. Ketimpangan antar masyarakat pedesaan dengan masyarakat kota, ketimpangan dalam distribusi pendapatan dapat juga ditinjau dari segi perbedaan perolehan pendapatan antar masyarakat desa dengan masyarakat kota urban-rural income disparities. Untuk membedakan hal ini, digunakan dua indikator pertama perbandingan antara tingkat pendapatan didaerah perkotaan dan pedesaan. Kedua, disparitas pendapatan daerah perkotaan dan daerah pedesaan. 3. Ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah, satu kajian sisi lain dalam melihat ketimpangan-ketimpangan pendapatan nasional adalah ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi antar daerah di berbagai daerah di indonesia, yang mengakibatkan pola terjadinya ketimpangan pendapatan antar daerah region income dispareties. Ketimpangan pendapatan ini disebabkan oleh penyebaran sumberdaya alam yang tidak merata serta dalam laju pertumbuhan daerah dan belum berhasilnya usaha-usaha perubahan yang merata antar daerah di Indonesia. Menurut Todaro 2004, menggambarkan ketimpangan dengan mempertimbangkan hubungan antara tingkat pendapatan perkapita dan tingkat ketimpangan pendapatan untuk negara maju dan sedang berkembang. Dan menggambarkan ketimpangan pendapatan negara-negara tersebut dalam tiga kelompok dimana pengelompokan ini disesuaikan dengan tinggi, sedang, dan rendahnya tingkat pendapatan yang diukur menurut koefisien gini dan tingkat PDRB. Setiap wilayah memiliki kemampuan yang berbeda dalam perkembangan pembangunannya, sehingga meninbulkan ketimpangan pembangunan antar daerah. Ukuran lain untuk menghitung tingkat ketimpangan adalah teori Kuznet 1966, percaya tingkat pendapatan di negara sedang berkembang mengikuti kurva U yang terbalik, sebagaimana terlihat pada gambar kurva berikut ini : Tingkat Ketimpangan Sumber : Pembangunan Ekonomi, 2004 Kurva ini menyatakan bahwa ketidakmerataan pendapatan akan meningkat pada awal pembangunan terjadi trade off antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan, tetapi pada tahap selanjutnya ketidakmeratan akan menurun sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Pola ini disebabkan karena pertumbuhan pada awal pembangunan cenderung terpusat pada sektor modern perekonomian yang pada saat itu kecil dalam penyerapan tenaga kerja. Ketimpangan membesar karena sektor karena kesenjangan antara sektor modern dan tradisional meningkat. Perkembangan tersebut karena perkembangan sektor modern lebih cepat daripada sektor tradisional. Koefisien Gini digunakan untuk melihat tingkat ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah. Todaro 2004, memberikan batasan bahwa negara-negara yang ketimpangannya tinggi maka koefisien Gininya terletak antara 0.50 sampai 0.70, sedangkan untuk negara-negara yang ketimpangannya rendah atau merata koefisien Gininya terletak antara 0.20 sampai 0.35. Analisis menggunakan formula sebagai berikut : ∑ + + + − − = 1 1 1 i i i i Y Y X X G ∑ + + − = 1 1 i i i Y Y f G 0 G 1 dimana : G = Koefisien Gini Gambar 2.1. Kurva “U” terbalik Tingkat Pendapatan Perkapita fi = Proporsi rumah tangga kelas-i X = Proporsi jumlah kuantitatif rumah tangga dalam kelas i Y = proporsi jumlah kuantitatif pendapatan kelas i Adapun jumlah rumah tangga dapat dibagi menjadi lima kelas yaitu: 1. Rumah tangga termiskin 20 persen 2. Rumah tangga kedua 20 persen 3. Rumah tangga ketiga 20 persen 4. Rumah tangga keempat 20 persen 5. Rumah tangga terkaya 20 persen Ketidakmerataan sempurna terjadi apabila terdapat seseorang yang menerima seluruh pendapatan nasional, sementara orang lain sama sekali tidak menerima pendapatan. Namun selama ini belum pernah ditemukan kasus bahwa suatu negara mengalami kemerataan sempurna. Williamson dalam Abel 2006, menyatakan bahwa ketidakmerataan antar regional berhubungan dengan proses pembangunan nasional. Berdasarkan hasil penelitiannya secara empiris terhadap sifat-sifat ketidakmerataan secara spasial di dalam suatu batas wilayah secara nasional. Wajar jika ada perbedaan yang absolut antara daerah kaya dengan daerah miskin tetap muncul bahkan bertambah. Walaupun kedua wilayah tumbuh dengan presentase yang sama. Tampaknya keterkaitan ekonomi unit-unit regional dengan negara makin kuat dibandingkan antar daerah- daerah itu sendiri. Metode yang umum digunakan untuk mengukur ketimpangan yakni dengan mengukur ketimpangan pendapatan daerah dalam suatu nilai ketimpangan yang disebut dengan koefisien regional income inequality dengan simbol “CVw” Hendra dalam Matola 1985. Pengukuran ini dilakukan dalam analisisnya tentang ketimpangan pendapatan daerah di Indonesia dengan menggunakan data dasar pendapatan yang diukur dari PDRB dan jumlah penduduk setiap daerah, sehingga dapat menggambarkan tingkat ketimpangan pendapatan perkapita antar daerah. Semakin besar angka indeks berarti semakin tinggi pula tingkat ketimpangan regional yang terjadi indeks CV w yang dihasilkan dari suatu perhitungan akan sangat sensitif terhadap perbedaan data yang digunakan. Metode yang digunakan untuk menghitung CV w adalah sebagai berikut : CV w = Y n f Y Y i i . 2 ∑ − dimana : CV w = indeks ketimpangan daerah f i = jumlah penduduk di daerah i n = penduduk total i Y = PDRB perkapita Y = PDRB perkapita untuk Provinsi Ada sejumlah teori yang menerangkan kenapa ada perbedaan tingkat pembangunan ekonomi antar daerah. Teori yang umum digunakan adalah teori basis ekonomi, teori lokasi, dan teori daya tarik industri Tambunan, 2001: 1. Teori Basis Ekonomi Teori ini menjelaskan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi adalah berhubungan langsung dengan permintaan barang dan jasa dari luar daerah. Proses produksi sektor industri di suatu daerah yang menggunakan sumberdaya produksi lokal termasuk tenaga kerja, bahan baku dan outputnya yang diekspor akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pendapatan perkapita dan menetapkan lapangan kerja daerah tersebut. 2. Teori Lokasi Teori ini sering digunakan untuk penetuan dan pengembangan kawasan industri disuatu daerah. Lokasi usaha ditentikan berdasarkan tujuan perusahaan, untuk mendekati bahan baku atau mendekati pasar. Inti dari pemikiran ini didasarkan pada sifat rasioal manusia yang cenderung mencari keuntungan yang setinggi-tingginya dengan biaya serendah mungkin. Oleh karena itu, pengusaha akan memilih lokasi usaha yang memaksimumkan biaya produksinya. 3. Teori Daya Tarik Industri Upaya pembangunan ekonomi daerah di Indonesia sering dipertanyakan jenis-jenis industri apa saja yang tepat untuk dikembangankan ini adalah masalah membangun portopolio industri suatu daerah. Faktor-faktor daya tarik antara lain adalah produktivitas, industri-industri kaitan, daya saing dimasa depan, spesialisasi industri, potensi ekspor dan prospek bagi permintaan domestik.

2.4 Teori Ekonomi Basis