Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten Pemekaran Di Sumatera Utara

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

ANALISIS KETIMPANGAN PENDAPATAN

ANTAR KABUPATEN PEMEKARAN DI SUMATERA UTARA

Skripsi

Diajukan Oleh :

LIA MAHARANI FADILLA 040501063

EKONOMI PEMBANGUNAN

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Medan 2008


(2)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara dengan menggunakan data panel dari tahun 2001-2006. Penelitian ini menggunakan uji Hausman dalam memilih model terbaik untuk metode General Least Square (GLS) dan hasil uji tersebut menunjukkan bahwa Rendom Effects Model (REM) yang digunakan dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.

Berdasarkan hasil estimasi tersebut bahwa variabel jumlah penduduk (JP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara. Sedangkan variabel PDRB (PDRB) berpengaruh negatif dan signifikan, dan pengeluaran pemerintah (PP) berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumtera Utara.

Kata Kunci: Ketimpangan pendapatan, Jumlah penduduk, PDRB, Pengeluaran pemerintah, PDRB perkapita.


(3)

ABSTRACT

The object of this research is to analyze inequality of incomes between the unfold regent at Sumatera Utara using panel data in 2001-2006. This research is examined with Hausman test in order to select the best model for Generalized Least Square (GLS). The result of the test show Random Effects Model (REM) used to analizy the factors that inequality of incomes between the unfold regent at Sumatera Utara.

Based on the estimation the net of people (JP) influences significantly the inequality of incomes between unfold regent at Sumatera Utara. While PDRB variable (PDRB) have negative sign but significantly the inequality incomes and expenditures (PP) have positif sign but insignificant the inequality incomes.

Keywords: Inequality of incomes, Net of people, PDRB, Expenditure, PDRB percapita.


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala atas limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Dan Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, keluarga beliau, sahabat serta orang-orang yang mengikuti beliau hingga hari akhir.

Skripsi yang berjudul “Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten Pemekaran di Sumatera Utara” ditujukan sebagai salah satu syarat dalam rangka meraih gelar Sarjana Ekonomi dari program pendidikan Strata-1 Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Sebagaimana ada pepatah yang berbunyi “Tak ada gading yang tak retak” sehingga penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tentu belum sempurna. Karena penulis hanyalah manusia yang tidak luput dari kekhilafan dan kesalahan oleh karena itu penulis mohon maaf dan berharap dalam kesempatan lain akan lebih baik lagi.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan serta dorongan dari pihak lain. Dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis yaitu Ayahanda H. M. Hafiz dan Ibunda Hj. Murniati, yang telah mendidik, mengasihi, dan membimbing serta mendukung penulis didalam doa sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Serta telah memberikan dukungan moril maupun materil kepada penulis selama ini. Kepada Abangda Dedi Feldiego dan Kakanda Ririn Septiani


(5)

beserta keponakanku Nazrah dan abrar, Abangda M. Affan Phalestin dan Kakanda Dewi, serta Abangda M. Reza Bafilla dan Kakanda Wiwiek yang memberi inspirasi bagi penulis.

2. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga,M.Ec selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Wahyu Ario Pratomo,SE,M.Ec selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Paidi Hidayat, SE, MSi selaku dosen pembimbing penulis yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran didalam membantu penulisan skripsi ini.

5. Bapak Dr. Ramli, MS selaku dosen penguji I yang telah banyak memberikan petunjuk, saran, dan kritik dalam penyusunan skripsi ini. 6. Bapak Lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE selaku dosen penguji II yang juga telah

banyak memberikan petunjuk, saran, dan kritik dalam penyusunan skripsi ini.

7. Bapak Kasyful Mahalli, SE, MSi selaku dosen wali yang telah

memberikan semangat dalam penulisan skripsi ini.

8. Seluruh staf pengajar dan karyawan pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan.

9. Kepada yang terkasih Mohd. Fachreza Saleh yang karena kasihnya memberi motivasi dan mendukung penulis sehingga segera menyelesaikan skripsi ini.


(6)

10.Kepada sahabat-sahabatku (Ema, Dewi, Momon, Hera, Sonya, Hikmah, Windy, Lindy, Dafi, Adi, Irfan, Putra, Andi, Lia ndut) yang telah memberikan dukungan serta semangatnya kepada penulis.

11.Teman-teman di Ekonomi Pembangunan khususnya angkatan 2004 yang juga telah mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12.Kepada sahabat-sahabatku (Ulan dan Tia) yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

13.Sepupu-sepupuku Iin, Kak Ira, Kak Eka, Kak Indri, Kak Ika, Dina, Dini, Fadli, Dian, yang selalu memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

14.Kepada seluruh pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga Allah membalas segala budi dan pengorbanan yang telah diberikan. Akhir kata penulis mengharapkan kiranya skripsi ini dapat bermanfaat dan membantu semua pihak yang memerlukannya, terutama rekan mahasiswa Ekonomi Pembangunan.

Medan, Mei 2008 Penulis

Lia Maharani Fadilla


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Hipotesis ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi ... 9 2.2 Ketimpangan Antar daerah... 12

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian ... 26

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 26

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 27

3.4 Pengolahan Data ... 27


(8)

3.5 Model Analisis ... 27

3.5.1 Regional Income Disparities ... 27

3.5.2 Potensi Ekonomi ... 28

3.5.3 Model Analisis Ekonometrika ... 29

3.6 Metode Analisis ... 31

3.7 Test of Goodness of Fit (Uji Kesesuaian) ... 32

3.7.1 Koefisien Determinasi (R-Square) ... 32

3.7.2 Uji t-statistik ... 32

3.7.3 Uji F-statistik ... 34

3.8 Defenisi Operasional ... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian ... 37

4.1.1 Perkembangan dan Struktur Ekonomi ... 37

4.1.2 Analisis Ketimpangan Pembangunan ... 38

4.1.3 Potensi Ekonomi ... 40

4.2 Analisis Data ... 42


(9)

4.2.1 Analisa Hasil Estimasi dengan GLS ... 42

4.2.1.1 Uji Hausman ... 44

4.2.1.2 Rendom Effect Model (REM) ... 45

4.2.2 Interpretasi Model ... 45

4.2.2.1 Jumlah Penduduk (X1) ...

45

4.2.2.2 PDRB (X2) ...

46

4.2.2.3 Pengeluaran Pemerintah (X3) ...

46

4.2.3 Uji Kesesuaian (Test of Goodness of Fit) ... 47

4.2.4.1 Koefisien Determinasi (R-Square) ... 47

4.2.4.2 Uji t-statistik ... 47

4.2.4.3 Uji F-statistik ... 49

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 50

5.2 Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

1.1 Laju Pertumbuhan Penduduk dan PDRB Indonesia dan Sumatera Utara

4

4.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Pemekaran di Sumatera Utara Tahun 2001-2006

37

4.2 Indeks Williamson Antar Kabupaten Pemekaran di Sumatera Utara Tahun 2001-2006

39

4.3 Indeks Location Quotient Kabupaten pemekaran di Sumatera Utara Tahun 2004-2006

42

4.4 Hasil Estimasi GLS (FEM dan REM)

45

4.5 Hasil Uji Hausman untuk fixed effect dengan rendom effect 46

4.6 Hasil Estimasi Rendom Effect Model (REM)


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Regression Model GLS Fixed Effect (FEM) Lampiran 2 Hasil Regression Model GLS Random Effect (REM) Lampiran 3 Hasil Hausman Test

Lampiran 4 Data Ketimpangan Pendapatan, Jumlah Penduduk, PDRB, dan Pengeluaran Pemerintah Kabupaten Pemekaran di Sumatera Utara Tahun 2001-2006


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Perkembangan pemekaran wilayah Kabupaten/kota yang begitu pesat di Propinsi Sumatera Utara, telah menambah jumlah Kabupaten/kota pada tahun 2004 menjadi 25 Kabupaten/kota, yang terbagi dalam 18 kabupaten, 7 kota, 326 kecamatan, 5466 desa/kelurahan dengan ibukota propinsinya Medan dengan luas

2

256km dan jumlah penduduk ± 2 juta jiwa. Hubungan eksekutif dan legislatif di Sumatera Utara terbina dengan sangat baik. Hal ini terlihat pada saat pemilihan kepala daerah yang berlangsung secara demokratis.

Dalam perkembangan perekonomian, Sumatera Utara sejak masa krisis ekonomi tahun 1998 terus mengalami perbaikan dengan ditandai oleh pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara yang terus mengalami peningkatan pertumbuhan dari 4,81 persen pada tahun 2003 menjadi 5,74 pada tahun 2004.

Pembangunan ekonomi masyarakat hakekatnya merupakan usaha yang dapat ditempuh untuk meningkatkan pendapatan masyarakatnya. Menurut Meier

(Gemmell, 1994: 196) pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat

menciptakan pendapatan riil perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, sejumlah orang hidup dibawah garis kemiskinan mutlak tidak naik, dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang.

Tetapi berbicara mengenai masalah ketertinggalan, negara ini sesungguhnya sedang mengalami proses ketertinggalan yang lambat tetapi pasti. Hal ini antara lain disebabkan oleh semakin banyaknya ketimpangan, baik itu


(13)

ketimpangan pendapatan, pendidikan, maupun ketimpangan kualitas institusi birokrasi di negara ini. Salah satu hasil studi William Easterly (2006) mengungkapkan bahwa tingkat ketimpangan (inequality) yang tinggi merupakan penghambat dari kemakmuran, tumbuhnya institusi yang berkualitas, dan berkembangnya pendidikan yang bermutu tinggi.

Laporan Bank Dunia (2005) bertajuk World Development Report menyebutkan dalam pengantarnya bahwa keadilan (equity) adalah salah satu aspek fundamental dalam mencapai kemakmuran jangka panjang bagi masyarakat secara keseluruhan. Meskipun begitu, perdebatan mengenai pengaruh ketimpangan terhadap pembangunan ekonomi masih berlanjut dengan serius. Dalam hal ini perlu ditegaskan, bahwa ketimpangan berkaitan dengan distribusi hasil (outcomes) seperti pendapatan, kemakmuran, konsumsi, dan dimensi-dimensi lain dari apa yang disebut sebagai kesejahteraan (well being). Sedangkan ketidakadilan (inequality) merujuk pada distribusi kesempatan (opportunities) yang mencakup aspek-aspek ekonomi, politik, dan sosial.

Gelombang pertama (first wave) literatur mengenai pembangunan berargumentasi bahwa tingkat ketimpangan yang tinggi dapat mempercepat pertumbuhan dengan mengarahkan pendapatan lebih banyak lagi kepada para pemodal bertabungan tinggi (high saving capitalist) (Lewis, 1954, Kaldor, 1956,

1961). Argumen ini berangkat dari standar hipotesis dimana tingkat tabungan

individu akan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan. Ketika redistribusi sumberdaya dari golongan kaya ke golongan miskin cenderung menurunkan tingkat tabungan agregat dalam suatu perekonomian, akumulasi


(14)

kapital akan menurun seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya ketidaksamaan cenderung meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Ketimpangan pembangunan pada prinsipnya merupakan ketimpangan ekonomi yang mengandung makna kemiskinan dan kesenjangan. Agar ketimpangan dan perkembangan antar suatu daerah dengan daerah lain tidak menciptakan jurang yang semakin lebar, maka implikasi kebijaksanaan terhadap daur perkembangan dari pembangunan haruslah dirumuskan secara tepat

(Suryana, 2000: 29).

Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan merupakan masalah pokok yang dihadapi oleh setiap negara yang sedang berkembang dalam usaha pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebar cukup merata dan diikuti dengan membaiknya taraf hidup di bawah garis kemiskinan. Sasaran yang ingin dicapai pada umumnya dalam pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang adalah untuk mencapai tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertambahan penduduk (Robinson, 2004:


(15)

Tabel 1.1 Laju Pertumbuhan Penduduk dan PDRB Indonesia dan Sumatera Utara

Laju Pertumbuhan Tahun Indonesia Sumatera Utara

Penduduk 1980-1990

1990-1995 1990-2000 1,98 1,66 1,35 2,06 1,62 1,20

PDRB 1997

1998 1999 2000 5,23 (14,22) 1,09 5,24 5,70 (10,90) 2,59 4,83

Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Utara

Jumlah penduduk tersebar di Sumatera Utara ada di Kota Medan, yaitu sebanyak 2.036.185 jiwa, merupakan 16,51 % dari total persentase keseluruhan penduduk Sumatera Utara sejumlah 12.326.678 jiwa ditahun 2005. Sementara itu PDRB perkapita yang tertinggi di Sumatera Utara tercapai pada tahun 2005 yaitu sebesar Rp.7.130.696,- atau naik sebesar Rp.955.007,- dari tahun 2001 yang merupakan suatu keadaan dimulainya kebijakan otonomi daerah dan juga pemekaran wilayah.

Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) perkapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang (Sirojuzilam, 2005: 1). Walaupun banyak mendapat tanggapan dikalangan masyarakat namun tidak dapat disangkal bahwasanya pemerataan pembangunan merupakan salah satu indikator dari pembangunan yang lazim digunakan oleh badan-badan dunia dalam menilai


(16)

keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara (Todaro, 1994:

164).

Sebelum diberlakukannya kebijakan otonomi daerah tahun 1999, pemerintah daerah baik tingkat propinsi (Dati I) maupun kabupaten/kota (Dati II) lebih banyak tergantung pada pemerintah pusat (Kuncoro, 1995). Dalam hal ini, keikutsertaan subsidi dari pemerintah pusat dalam struktur penerimaan pemerintah daerah sangat tinggi, jauh melebihi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Studi Rappaport (1999) dimaksudkan untuk mengkaji empat kelompok fakta-fakta empiris dari pertumbuhan ekonomi antar daerah (lokal) di Amerika Serikat dengan menggunakan data panel berbagai atribut lokal Amerika Serikat tahun 1970-1990. salah satu kelompok fakta empiris yang dikaji adalah korelasi-korelasi kebijakan anggaran pemerintah dari pertumbuhan ekonomi lokal. Dalam hal hubungan antara kebijakan anggaran pemerintah lokal dengan pertumbuhan ekonomi lokal tersebut (dilihat dari tiga indikator: migrasi netto, pertumbuhan pendapatan per kapita, dan pertumbuhan harga perumahan), dari estimasinya-estimasinya, Rappaport mendapatkan empat fakta proses pertumbuhan ekonomi lokal di Amerika Serikat.

Keempat fakta proses pertumbuhan ekonomi lokal Amerika Serikat tersebut adalah: pertama, bahwa dari tahun 1970 sampai 1990, pertumbuhan ekonomi lokal berkorelasi negatif dengan besaran keuangan pemerintah lokal;

kedua, pertumbuhan ekonomi lokal sepanjang periode yang diamati berkorelasi

positif dengan pengeluaran pemerintah lokal untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah; ketiga, pertumbuhan ekonomi daerah tahun 1970 sampai 1990 berkorelasi negatif dengan pajak pendapatan personal lokal; keempat,


(17)

pertumbuhan ekonomi daerah berkorelasi negatif dengan pajak penjualan tertentu yang diambil oleh pemerintah lokal. Tampak yang diamati di sini bukan hanya komposisi investasi pemerintah tetapi juga komposisi penerimaan pemerintah lokal.

Berdasarkan uraian diatas, penulis menganalisa sejauh mana peran pendapatan perkapita daerah pemekaran dapat mempengaruhi ketimpangan pendapatan suatu daerah pemekaran, dengan judul : “Analisis Ketimpangan

Pendapatan Antar Kabupaten Pemekaran Di Sumatera Utara”.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah yang dapat diambil sebagai dasar dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh jumlah penduduk terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara?

2. Bagaimana pengaruh PDRB terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara?

3. Bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara?

1.3Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara atau kesimpulan sementara terhadap permasalahan yang menjadi objek penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji atau dibuktikan secara empiris. Dari rumusan masalah di atas, maka penulis membuat hipotesis sebagai berikut:


(18)

1. Tingkat jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.

2. Jumlah PDRB berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.

3. Pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.

1.4 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh jumlah penduduk terhadap

ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara. 2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh PDRB terhadap ketimpangan

pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.

3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.

1.5Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Menambah, melengkapi sekaligus sebagai pembanding hasil-hasil penelitian yang sudah ada yang menyangkut topik yang sama.

2. Sebagai informasi dan bahan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya dengan topik yang sama.


(19)

3. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi mahasiswa fakultas ekonomi, khususnya mahasiswa Departemen Ekonomi Pembangunan.

4. Sebagai tambahan wawasan bagi penulis untuk mengetahui bagaimana ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi mencakup pengertian yang sangat luas dan tidak hanya sekedar menaikkan pendapatan perkapita pertahun saja. Bahkan inidikator PNB, sebagai indikator utama, tidak selalu dapat menggambarkan suksesnya suatu pembangunan. Indiktor-indikator yang lain seperti pendidikan, distribusi pendapatan, jumlah penduduk miskin, juga menunjukkan keberhasilan pembangunan. Pengalaman pada dekade tahun 1950-an dan tahun 1060-an telah membuktikan hal ini. Pada saat itu banyak negara-negara dunia ketiga mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi sesuai dengan target namun gagal dalam meningkatkan taraf hidup sebagian besar masyarakatnya. Masalah-masalah sosial seperti pengangguran, kesenjangan pendapatan, dan sebagainya tidak mengalami perbaikan. Melihat kenyataan ini, semakin banyak para ahli yang menganggap GNP (Gross National Product) sebagai indikator tunggal pembangunan tidak berhasil. Selama dekade tahun 1970-an mulai muncul pandangan bahwa tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan bukan menciptakan tingkat pertumbuhan GNP yang tinggi melainkan penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan, penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang.

Dalam pengertian ekonomi yang murni, pembangunan secara tradisional mengandung pengertian kapasitas perekonomian nasional yang kondisi ekonomi awalnya kurang lebih berada dalam keadaan statis untuk jangka waktu yang lama,


(21)

untuk menghasilkan dan mempertahankan tingkat kenaikan produksi nasional kotor (PNK).

Pembangunan ekonomi dipandang sebagai kenaikan dalam pendapatan perkapita dan lajunya pembangunan ekonomi ditujukan dengan menggunakan tingkat pertambagan PDB (Produk Domestik Brutto) untuk tingkat nasional dan PDRB untuk tingkat wilayah atau regional. Tingkat PDB ini juga ditentukan oleh lajunya pertumbuhan penduduk lebih dari PDRB maka ini menunjukkan perubahan terhadap pendapatan perkapita, maka pertambahan PDRB ini tidak memperbaiki tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat. Pembangunan menyangkut perubahan mendasar dari seluruh struktur ekonomi dan ini menyangkut perubahan-perubahan dalam produksi dan permintaan maupun peningkatan dalam distribusi pendapatan dan pekerjaan. Konsekuensinya adalah diciptakan perekonomian yang lebih beragam.

Tujuan dari pembangunan ekonomi adalah untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh kecenderungan kenaikan pendapatan perkapita dalam jangka panjang. Tapi ini bukan berarti kenaikan pendapatan perkapita yang terus-menerus. Banyak faktor yang dapat menyebabkan perekonomian mengalami stagnan bahkan kemunduran seperti perang, kekacauan politik, dan lain-lainnya. Apalagi jika kemunduran perekonomian hanya terjadi sementara saja dan perekonomian cenderung meningkat maka dapat dikatakan pembangunan ekonomi sedang berlangsung.

Atas dasar inilah maka pembangunan ekonomi perlu dipandang sebagai suatu proses saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menghasilkan pembangunan ekonomi. Dengan cara ini maka dapat diketahui


(22)

peristiwa-peristiwa apa saja yang menimbulkan peningkatan maupun penurunan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dalam suatu tahap pembangunan ke tahap pembangunan lainnya.

Menurut Gant (1971) ada dua tahap dalam tujuan pembangunan yaitu tahap pertama pembangunan bertujuan untuk menghapuskan kemiskinan. Jika tujuan ini sudah tercapai maka tahap kedua adalah menciptakan kesempatan-kesempatan bagi warganya untuk dapat mencukupi segala kebutuhannya.

Adapun sasaran yang ingin dicapai dari pembangunan (Suryana, 2000:29) antara lain:

1. Dipenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan serta peralatan sederhana dari berbagai kebutuhan yang secara luas dipandang perlu oleh masyarakat yang memerlukan.

2. Dibutuhkan kesempatan yang luas untuk memperoleh berbagai jasa publik, pendidikan, kesehatan, pemukiman yang dilengkapi infrastruktur yang layak serta komunikasi dan lain-lain. Dijaminnya hak untuk memperoleh kesempatan kerja yang produktif yang memungkinkan adanya balas jasa yang setimpal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

3. Terbinanya prasarana yang memungkinkan produksi barang dan jasa atau pedagang internasional untuk memperoleh keuntungan dengan kemampuan untuk menyisihkan tabungan untuk pembiayaan usaha-usaha selanjutnya.

4. menjamin partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan proyek-proyek.


(23)

2.2 Ketimpangan Antar daerah

Peningkatan pendapatan perkapita memang menunjukkan tingkat kemajuan perekonomian suatu daerah. Namun meningkatnya pendapatan perkapita tidak selamanya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan telah merata. Seringkali di negara-negara berkembang dalam perekonomiannya lebih menekankan penggunaan modal daripada penggunaan tenaga kerja sehingga keuntungan dari perkonomian tersebut hanya dinikmati sebagian masyarakat saja. Apabila ternyata pendapatan nasional tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi ketimpangan dalam distribusi pendapatan.

Berkaitan dengan pembangunan ekonomi regional, Williamson (1965) menyatakan bahwa dalam tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih maju, dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak bahwa keseimbangan antar daerah dan disparitas berkurang dengan signifikan.

Myrdal (1957) menyatakan bahwa tingkat kemajuan ekonomi antar

daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash

effect) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effect) terhadap

pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang memiliki kekuatan di pasar secara normal akan meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad,

1999).

Ketimpangan antar daerah juga disebabkan oleh mobilisasi sumber-sumber daya yang dimiliki oleh suatu daerah. Sumber-sumber-sumber daya tersebut antara


(24)

lain akumulasi modal, tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki. Adanya heterogenitas dan beragam karateristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah. Melihat fakta ini dapat dikatakan bahwa disparitas regional merupakan konsekuensi dari pembangunan itu sendiri.

Pendapatan perkapita banyak digunakan sebagai tolak ukur untuk mengukur ketimpangan dalam suatu daerah. Pendapatan ini tidak dilihat dari tinggi tidaknya pendapatan melainkan apakah pendapatan tersebut terdistribusikan secara merata atau tidak ke seluruh masyarakat.

Alisjahbana dan Akita (2002), melakukan studi tentang kesenjangan pendapatan regional dengan membandingkan Cina dan Indonesia, dan menunjukkan bahwa terjadi penurunan kesenjangan selama krisis ekonomi. Kim (1996), dengan penelitian di Korea menjelaskan bahwa sektor publik lokal mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Korea selama periode 1970-1991. Knowles (2002) dengan menggunakan model pertumbuhan Barro, menjelaskan bahwa tidak ada bukti yang signifikan hubungan antara inequality dan pertumbuhan ekonomi. Yilmaz (2002), meneliti bagaimana pola dan struktur perekonomian cenderung konvergen atau divergen. Hasilnya menjelaskan bahwa perbedaan wilayah dan perilaku temporal dari perekonomian nasional mempunyai efek terhadap kecepatan kondisi konvergensi. Ying (2000) melakukan penelitian di Cina tentang kesenjangan regional di 30 propinsi di Cina periode tahun 1978-1994.

Kuncoro (2002), dengan menggunakan indeks Entropy Theil, menjelaskan bahwa kebijakan deregulasi dan liberalisasi yang diterapkan di Indonesia sejak


(25)

tahun 1983 mendorong kecenderungan konsentrasi geografis di Indonesia. Martin dan Ottaviano (2001), menyebutkan bahwa ada hubungan yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dan aglomerasi. Bahwa kenaikan pertumbuhan urbanisasi, tetapi juga karena adanya pengelompokan industri secara parsial terhadap pertumbuhan, untuk 16 negara di Eropa selama periode 1984-1995. Hasilnya menjelaskan bahwa persebaran yang sama untuk kegiatan ekonomi berpengaruh baik terhadap pertumbuhan ekonomi.

Isu kesenjangan ekonomi antar daerah telah lama menjadi bahan kajian para pakar ekonomi regional. Hendra Asmara (1975) merupakan peneliti pertama yang mengukur kesenjangan ekonomi antar daerah. Berdasarkan data dari tahun 1950 hingga 1960, ia menyimpulkan Indonesia merupakan negara dengan katagori kesenjangan daerah yang rendah apabila sektor migas diabaikan.

Ardani (1966) telah menganalisis kesenjangan pendapatan dan konsumsi antar daerah dengan menggunakan indeks Williamson selama 1968-1993 dan 1983-1993. Kesimpulannya mendukung hipotesis Williamson (1965) bahwa pada tahap awal pembangunan ekonomi terdapat kesenjangan kemakmuran antar daerah. Namun semakin majunya pembangunan ekonomi kesenjangan tersebut semakin menyempit. Studi Ardani agaknya sejalan dengan hasil studi Akita dan Lukman (1994) yang menemukan tidak terdapatnya perubahan kesenjangan ekonomi antar daerah selama 1983-1990. Dalam konstelasi perkembangan terakhir di Indonesia, kesenjangan ekonomi setidaknya dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu berdasarkan tingkat kemodernan, regional dan etnis. Dilihat dari tingkat kemodernan terdapat kesenjangan antara sektor modern dan sektor tradisional. Sektor modern umumnya berada di perkotaan dan sektor industri,


(26)

sedangkan sektor tradisional berada di pedesaan dan sektor tradisional. Sementara kesenjangan regional adalah kesenjangan antara Katimin (Kawasan Timur Indonesia) dan Kabarin (Kawasan Barat Indonesia). Sedangkan kesenjangan menurut etnis yaitu kesenjangan antara pribumi dan non-pribumi.

Otonomi daerah harus benar-benar diarahkan pada optimalisasi manfaat yang akan diterima oleh masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Jika otonomi tidak dilaksanakan dengan pertimbangan-pertimbangan tadi, atau rendahnya komitmen serta kesiapan daerah dalam melaksanakan otonomi tersebut, bukannya akan menimbulkan efek positif dalam pemberdayaan ekonomi daerah, tetapi justru mengancam kondisi perekonomian secara keseluruhan.

Beberapa sumber kebocoran ekonomi ketika otonomi dilaksanakan tidak sungguh-sungguh atau kesiapan daerah dan pusat tidak “memadai”, dapat diidentifikasi antara lain (Prud’ Homme, 1995): Pertama, semakin tingginya disparitas antar daerah. Hal ini didasarkan kepada anggapan bahwa potensi dan kemampuan setiap daerah berbeda-beda, terutama dalam pemilikan sumber daya. Sementara itu, desentralisasi berarti memberikan kewenangan yang luas kepada daerah dalam mengurusi aktivitasnya termasuk aktivitas ekonomi. daerah bebas dalam mengolah sumber daya, menerapkan kebijakan-kebijakan fiskal (memungut pajak, retribusi, dan melakukan belanja), serta dalam menentukan arah pembangunan ekonominya demi kesejahteraan rakyat dalam daerah yang bersangkutan. Akhirnya, karena potensi dan kemampuan daerah berbeda-beda, maka disparitas antar daerah akan semakin tinggi. daerah yang kaya dan memiliki


(27)

struktur yang lebih seimbang akan melaju cepat, sementara itu daerah yang miskin akan ketinggalan.

Kedua, inefisiensi produksi dan alokasi sebagai akibat desentralisasi murni

disebabkan karena daerah akan memaksakan diri dalam melakukan produksi suatu komoditas tertentu meskipun secara ekonomis tidak terlalu menguntungkan. Selain itu, terdapat kemungkinan suatu komoditas hanya akan efisien jika diproduksi dalam skala besar (economics of scale), tetapi karena daerah memaksakan diri untuk memproduksinya, maka yang terjadi adalah banyaknya perusahaan sejenis dalam skala yang relatif kecil. Masih dalam koteks pemaksaan diri dalam memproduksi suatu komoditas, maka secara nasional dapat dinilai juga sebagai inefisiensi dalam alokasi sumber daya. Sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk komoditas lain, karena motivasi kemandirian, akhirnya dialokasikan kepada komoditas tertentu yang kurang efisien.

Ketiga, instabilitas yang berpangkal dari luasnya kewenangan daerah

dalam menetapkan kebijakan fiskal. Dengan keluasan pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan tersebut, maka efektivitas kebijakan fiskal yang digulirkan oleh pemerintahan pusat akan berkurang. Dengan demikian apabila terjadi suatu masalah dalam perekonomian, sulit bagi pemerintahan nasional untuk mengatasinya, dan efek dari kebijakan fiskal bagi setiap daerah akan berbeda-beda.

Argumentasi di atas, nampaknya didukung oleh data-data Laporan Bank Dunia Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa: “meskipun desentralisasi fiskal

memberikan manfaat di beberapa negara seperti China, India, negara-negara


(28)

memunculkan 3 (tiga) permasalahan utama, yaitu: meningkatnya ketidakadilan

(kesenjangan), instabilitas makroekonomi, dan adanya resiko kewenangan lokal

yang dapat menyebabkan kesalahan dalam alokasi sumber daya” (World

Development Report: The State in a Changing World, 1997).

Meskipun kondisi Indonesia tidak sama dengan negara-negara sebagaimana yang diteliti oleh Bank Dunia, namun hal tersebut dapat dijadikan pelajaran untuk memacu kinerja kebijakan desentralisasi yang digulirkan Pemerintah Indonesia lebih baik. Artinya, hal-hal negatif yang muncul di beberapa negara dalam konteks desentralisasi ini, terutama ketidaksiapan pusat dan daerah, harus mampu dieliminasi.

Pembangunan yang dilakukan di daerah-daerah pada dasarnya adalah juga pembangunan nasional. Atas dasar pemikiran itu, muncul pendekatan pembangunan atas dasar sektor-sektor kegiatan tanpa memperhatikan lokasinya. Namun, dalam perkembangannya pendekatan tersebut dirasakan kurang lengkap, karena kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua daerah memiliki kondisi dan potensi yang sama, sehingga muncul permasalahan kesenjangan (inequality) dan inefisiensi dalam pembangunan.

Masih dalam tataran konsepsi pembangunan nasional, muncul pendekatan yang lebih memperhatikan kondisi dan potensi setiap region dalam suatu nation tertentu, yaitu pendekatan pembangunan regional. Pendekatan pembangunan regional, pada babak selanjutnya terus berkembang dan menjadi perhatian baik di kalangan praktisi maupun di kalangan akademisi.

Yang semula banyak didasarkan atas pertimbangan ekonomi saja, kemudian diintegrasikan dengan perkembangan masyarakat yang makin menuntut


(29)

kualitas dan kuantitas pelayanan dari pemerintah serta tuntutan kemandirian dan partisipasi pembangunan. Kini masalah kebijakan pembangunan regional tidak lagi hanya dikaitkan dengan masalah efisiensi dan pemerataan saja, melainkan pula dikaitkan dengan masalah pelayanan kepada masyarakat dan perkembangan aspirasi masyarakat tersebut.

Kebijakan pembangunan merupakan unit pemerintahan pada tingkat manapun yang mengimplementasikannya, secara ekonomis ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah meningkatnya pendapatan perkapita. Dan peningkatan pendapatan perkapita ini bisa dicapai apabila terjadi pertumbuhan dalam bidang ekonomi.

Ada dua alternatif kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional yang ketinggalan menurut Richardson (Baban Sobandi, 2000). Pertama, jika efisiensi nasional merupakan tujuan utama yang harus dicapai, maka kebijakan mendorong migrasi tenaga kerja inter-regional lebih baik dari pada mendorong relokasi industri. Tetapi jika pemuasan preferensi-preferensi lokasional merupakan prioritas yang lebih tinggi, maka usaha untuk mendorong perpindahan modal harus lebih ditekankan. Kedua, metode “tenaga kerja keluar pekerjaan masuk” (labour out jobs in) dapat dilakukan jika yang merupakan permasalahan regional adalah ketidakseimbangan pasar tenaga kerja lokal dan untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan pengangguran regional.

Bagi masyarakat di daerah, baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, jelas merupakan prospek yang menjanjikan adanya


(30)

perubahan dan perbaikan kinerja kebijakannya termasuk kinerja kebijakan ekonomi makronya. Hal ini didasarkan kepada kenyataan bahwa pemerintah daerah sekarang ini telah diberikan keleluasaan dalam perumusan dan penetapan kebijakan daerah, dan untuk melaksanakan kebijakan tersebut telah dialokasikan dana perimbangan dari kas negara.

Otonomi daerah dalam bidang fiskal sebagaimana tertuang dalam kedua undang-undang tersebut, termasuk Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pada dasarnya merupakan instrumen yang paling memungkinkan bagi daerah, terutama Daerah Kabupaten/Kota, untuk mampu berperan dalam memberdayakan ekonomi daerahnya. Akan tetapi kebijakan tersebut bukan tidak ada bahayanya, terutama jika implementasi kebijakan tersebut tidak dilengkapi dengan instrumen pengendalian yang memadai oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah propinsi sebagai wakil pemerintah pusat. Pengeluaran (expenditure atau spending) pemerintah daerah yang tidak terkendali yang bersumber dari PAD, Dana Perimbangan ataupun pinjaman daerah (Dalam Negeri maupun Luar Negeri) sehingga mengakibatkan defisit yang berlebihan, akan berdampak kepada kondisi stabilitas makro ekonomi.

Dalam pengertian ini, pemerintah harus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah sedemikian rupa dengan berbagai program pembangunan yang diarahkan kepada sektor-sektor produktif di daerah. Pembiayaan pembangunan harus betul-betul diarahkan kepada sektor-sektor yang secara langsung mampu mendorong terciptanya kegiatan produktif masyarakat, penciptaan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, serta penciptaan lapangan pekerjaan yang baru; dengan


(31)

tetap memperhatikan sektor-sektor lainnya yang secara langsung dapat menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia, penyediaan sumber-sumber produksi dan sebagainya.

Kita sadari bahwa dalam kondisi dewasa ini, perekonomian daerah yang pada umumnya masih mengandalkan kepada sektor pertanian dirasakan sudah kurang mampu menghasilkan tingkat produktivitas ekonomi yang tinggi. Kondisi ini berbeda dengan struktur perekonomian nasional yang telah cenderung di dominasi oleh produktivitas sektor sekunder, yaitu sektor perindustrian bersama-sama sektor jasa-jasa. Memang, dalam periode krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang lalu, perekonomian daerah cenderung bertahan justru karena sektor pertanian tidak terkena dampaknya.

Akan tetapi dalam kondisi normal hal itu tidak dapat dibiarkan terus berlangsung, karena bagaimanapun pertumbuhan ekonomi yang hanya didominasi oleh sektor primer, pada akhirnya cenderung akan tertinggal dan terus merosot. Akibatnya, kondisi kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat juga akan semakin merosot pula, karena daya beli masyarakat yang cenderung menurun. Akibat lanjutannya, pemerintah daerah juga akan menemukan kesulitan dalam menarik dana dari masyarakat melalui sistem perpajakan daerah. Jika ini yang terjadi, maka perekonomian daerah kembali akan sangat bergantung kepada kekuatan-kekuatan ekonomi eksternal, baik yang berasal dari daerah lain yang bertetangga, bantuan-bantuan pemerintah atau propinsi, bahkan kekuatan perekonomian global yang masuk ke daerah yang bersangkutan.

Dengan semakin luasnya otonomi daerah yang dapat diselenggarakan di daerah, maka pemerintah daerah harus memiliki inisiatif dan kreatifitas yang lebih


(32)

baik lagi dalam memberikan insentif bagi pertumbuhan kemandirian ekonomi daerah. Namun demikian, hendaknya pemerintah daerah tidak terjebak kepada opsi kebijakan yang cenderung terlalu bersifat redistributif, dengan mengobral subsidi ataupun bantuan-bantuan sosial ekonomi yang tidak mendidik masyarakat untuk produktif dan memiliki daya saing. Sebaliknya, masyarakat juga sebaiknya jangan selalu mengharapkan bahwa pemerintah daerah akan datang memberikan paket-paket bantuan seperti itu, karena pada kenyataannya kemampuan daerah sangat terbatas. Jika kita perhatikan, kontribusi pengeluaran pemerintah daerah dalam PDRB secara umum hanyalah berkisar antara 10% hingga 20% dari total PDRB daerah. Ini berarti peranan ekonomi pemerintah sendiri dalam perekonomian daerah adalah relatif rendah. Namun yang terpenting adalah seberapa jauh program pembelanjaan anggaran daerah dapat memberikan efek penggandaan (Multiplier Effect) yang cukup signifikan bagi terciptanya peningkatan pertumbuhan ekonomi produktif masyarakat. Oleh karena itu strategi dasar yang dapat ditempuh oleh pemerintah daerah sejalan dengan kebijakan otonomi yang berlaku, dampaknya adalah menciptakan efisiensi ekonomis dan efektivitas program-program pembelanjaan daerah.

Dalam pembebanan kewenangan dan tanggung jawab pada berbagai tingkatan pemerintahan, Bryant dan White (1989) menyarankan hal-hal sebagai berikut: Pertama, suatu proyek atau program hendaknya diserahkan pada organisasi apapun yang memiliki “insentif” untuk melaksanakannya. Kedua, “lingkungan politis” suatu organisasi harus menunjang pelaksanaan proyek atau program tersebut. Ketiga, bahwasanya kebanyakan proyek melibatkan beberapa organisasi, sehingga hubungan antar organisasi dan cara-cara organisasi


(33)

berinteraksi menjadi penting untuk diperhatikan. Keempat, harus dibuat pilihan-pilihan dengan mempertimbangkan bukan hanya kapasitas yang telah dimiliki organisasi, melainkan juga sehubungan dengan pengembangan kemampuan kelembagaan organisasi-organisasi di daerah itu sendiri.

Cara lain untuk mempertimbangkan kapan suatu aktivitas pembangunan dilaksanakan oleh pemerintahan tingkat nasional dan kapan dilakukan oleh pemerintahan regional tergantung kepada tiga hal yaitu: Pertama, banyaknya informasi yang diperlukan. Sejauh bahwa kebijakan itu didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman yang baik serta pada kepastian tentang prosedur serta hasil akhir, maka dapat dijalankan pengarahan dan kontrol sentral yang lebih besar. Tetapi kalau suatu kebijakan dioperasikan dalam konteks yang tidak menyediakan informasi yang cukup lengkap, preferensi dan kebutuhan-kebutuhan konsumennya kurang jelas, dan tugas-tugas administratornya kabur, maka sebaiknya dilaksanakan di tingkat daerah.

Kedua, cara pemasokan komoditas yang diperlukan oleh masyarakat

konsumen. Ada barang-barang yang harus diproduksi pada skala besar dan memerlukan modal yang besar (capital intensive), namun ada pula barang atau jasa yang pemasokannya melibatkan kontak antar individu, misalnya pelayanan kesehatan. Untuk komoditas jenis pertama lebih baik dilakukan atau dipasok pada tingkat nasional. Sementara itu, untuk jenis yang kedua lebih baik dipasok pada tingkat regional atau lokal, karena lebih sulit dipantau, bervariasi sesuai dengan lokasinya, dan sangat bergantung kepada pandangan masyarakat. Semakin banyak kontak tatap muka yang dituntut, akan makin sulitlah mengelola suatu organisasi


(34)

besar karena kesulitan mengawasi mutu hubungan antar pribadi dan sukarnya mengukur hasil.

Ketiga, peraturan dan daya tanggap. Peraturan dan pengaturan berarti

memberlakukan standar-standar yang adil. Dan keadilan sering tercapai dengan baik bila pengaturan ditangani di tingkat nasional. Namun, bila daya tanggap menjadi perhatian utama, mungkin bermanfaat jika dilakukan desentralisasi tugas-tugas, sehingga petugas-petugas lokal dapat menyesuaikan programnya dengan kondisi-kondisi lokal.

Sementara itu Leftwich, et.all (1980) menyatakan bahwa penentuan pihak yang berwenang atas pelaksanaan dan pembiayaan pembangunan harus didasarkan pada pertimbangan net benefit yang paling maksimal yang dapat diperoleh dari pembangunan tersebut, yaitu pada saat marginal benefit sama dengan marginal cost dari pengeluaran untuk barang atau jasa publik yang harus disediakan. Prasyarat ini dikenal dengan equimarginal principle.

Pengeluaran pemerintah harus meningkat ketika manfaat dari rupiah terakhir yang dikeluarkan lebih besar dari biayanya. Sementara itu, pengeluaran pemerintah harus dikurangi ketika manfaat yang didapatkan dari rupiah terakhir yang dikeluarkan lebih kecil dibandingkan dengan biayanya. Tingkatan pemerintahan yang mempunyai equimarginal level yang lebih rendahlah yang semestinya berwenang dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan dan pembiayaan suatu jenis barang atau jasa publik.

Berdasarkan beberapa argumentasi tersebut, maka dari sudut pandang ekonomi, otonomi daerah harus benar-benar diarahkan pada optimalisasi net


(35)

benefit yang akan diterima oleh masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun


(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji hipotesis penelitian. Dalam pengumpulan data yang diperlukan untuk menyusun skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

3.1 Lokasi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, daerah penelitiannya adalah seluruh kabupaten pemekaran di Sumatera Utara setelah adanya pemekaran daerah tahun 2001, yang terdiri dari 7 kabupaten pemekaran yaitu :

1. Kabupaten Mandailing Natal 2. Kabupaten Toba Samosir 3. Kabupaten Nias Selatan

4. Kabupaten Humbang Hasundutan 5. Kabupaten Pakpak Bharat

6. Kabupaten Samosir

7. Kabupaten Serdang Bedagai

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk data berkala (time series) dengan kurun waktu 2001-2006. Sedangkan sumber data diperoleh dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Sumatera Utara.


(37)

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan melalui bahan-bahan kepustakaan berupa tulisan-tulisan ilmiah, jurnal, artikel, majalah, lapoan-laporan penelitian ilmiah yang ada hubungannya dengan topik yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah melakukan pencatatan langsung berupa data time series dari tahun 2001 sampai 2006 ( 6 tahun ).

3.4 Pengolahan Data

Penulis menggunakan program komputer E-Views 5.0 untuk mengolah data dalam skripsi ini.

3.5 Model Analisis

Dalam pembahasan akan dikemukakan bagaimana 4 model analisis berikut terdapat ketimpangan serta potensi ekonomi di suatu daerah, yaitu:

3.5.1 Regional Income Disparities

Ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran yang terjadi di Sumatera Utara dapat dianalisis dengan menggunakan indeks ketimpangan regional (regional Inequality) yang dinamakan indeks ketimpangan Williamson (Sjafrizal, 1997):

Index Williamson (IW) =

Y

n fi x Y Yi

− 2

) (

Dimana: IW = Indeks Williamson

Yi = PDRB perkapita Kabupaten pemekaran Y = PDRB perkapita rata-rata Sumatera Utara


(38)

Fi = Jumlah penduduk Kabupaten pemekaran n = Jumlah penduduk Sumatera Utara

Hasil perhitungan dengan metode indeks Williamson diatas bersifat relatif karena pengukurannya semakin besar (mendekati 1), maka ketimpangan akan semakin besar atau sangat tidak merata dan sebaliknya jika nilai Vw semakin kecil (mendekati 0), maka ketimpangan kecil/merata.

3.5.2Potensi Ekonomi

Yaitu metode analisis yang dipergunakan untuk melihat dan menghitung potensi ekonomi daerah (keuntungan lokasi) dari setiap region untuk suatu sektor tertentu.

Bentuk formulasi modelnya adalah:

∑∑

= = = = = n i m j ij m j ij n i ij ij ij Y Y Y Y LQ 1 1 1 1

> < 1

Dimana: LQij = Angka koefisien lokasi sektor i region j Yij = PDRB sektor di region j (jutaan Rp)

=n i

ij

Y 1

= PDRB total seluruh sektor di region j (jutaan

Rp)

m= j

ij

Y 1


(39)

∑∑

=n = i m j ij Y 1 1

= PDRB total seluruh sektor propinsi (jutaan Rp)

Bila:

LQij >1 = sektor/kegiatan ekonomi berpotensi untuk dikembangkan. Lqij < 1 =sektor/kegiatan ekonomi kurang/tidak berpotensi untuk

dikembangkan.

3.5.3 Model Analisis Ekonometrika

Untuk menganalisis faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pendapatan, maka diuji regresi antara Indeks Williamson dengan jumlah penduduk, PDRB, dan pengeluaran pemerintah.

IW = f {X1,X2,X3} atau:

Dalam menganalisis data pada skripsi ini, penulis menggunakan metode analisis data panel. Dimana data panel merupakan data campuran

cross section dan time series (Wahyu A. Pratomo, 2007). Penggunaan

data panel didasarkan pada kenyataan bahwa data yang tersedia, seriesnya tidak mencukupi untuk dilakukan analisis. Model yang digunakan adalah:

it it it

it

it

X

X

X

Y

=

α

+

β

1 1

+

β

2 2

+

β

3 3

+

µ

Dimana : t = Tahun

i = Kabupaten/kota

Y = Ketimpangan Pendapatan

α = Intercept/konstanta

3 2 1,β ,β


(40)

1

X = Jumlah penduduk kabupaten pemekaran (Juta

jiwa)

2

X = PDRB (Milyar Rupiah)

3

X = Pengeluaran Pemerintah (Milyar Rupiah)

µ = Error Term

Secara matematis bentuk hipotesisnya adalah:

0 1>

∂∂X Y

, artinya jumlah penduduk di kabupaten pemekaran (X ) 1

mengalami kenaikan, maka ketimpangan pendapatan ( Y ) akan mengalami kenaikan, ceteris paribus.

0

2

<

X

Y

, artinya PBRD di kabupaten pemekaran (X ) mengalami 2

kenaikan, maka ketimpangan pendapatan ( Y ) akan mengalami penurunan, ceteris paribus.

0 3<

∂∂X Y

, artinya pengeluaran pemerintah (X ) mengalami kenaikan, 3

maka ketimpangan pendapatan ( Y ) akan mengalami penurunan, ceteris paribus.

3.6 Metode Analisis

Metode yang digunakan dalam penelitian ini pertama sekali dilakukan dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Metode ini dilakukan untuk melihat apakah metode ini mampu membentuk sebuah model ekonometrika yang konsisten dan lebih efisien untuk jenis data panel. Hal ini dikarenakan jenis data panel memiliki prilaku data yang berbeda (tidak seragam) di masing-masing kabupaten pemekaran.


(41)

Menurut Gujarati (2003), yang menemukan bahwa mengestimasi jenis data panel dengan metode OLS tidak konsisten dan efisien (inefisiensi), sehingga disarankan untuk menggunakan metode Generalized Least Square (GLS). Dimana dalam metode ini dapat dianalisis dengan dua model pendekatan, yaitu fixed

effects model (FEM) dan rendom effects model (REM). Kemudian dari kedua

model tersebut dapat ditentukan model yang terbaik untuk digunakan dalam model persamaan ekonometrika.

Untuk menentukan model mana yang terbaik dalam metode GLS tersebut maka dapat dilakukan dengan Uji Hausman, 1978 (Gujarati, 2003). Dan sebagai alat bantu untuk mengolah data tersebut adalah dengan menggunakan program Eviews 5.0.

3.7 Test of Goodness Fit (Uji Kesesuaian) 3.7.1 Koefisien Determinasi (R-Square)

Koefisien determinasi (R-Square) dilakukan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel independen secara bersama mampu memberi penjelasan terhadap variabel dependen.

3.7.2 Uji t-statistik

Uji t-statistik merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel lainnya konstan. Dalam uji ini digunakan hipotesis sebagai berikut:

Ho : bi = b


(42)

Dimana bi adalah koefisien variabel independen ke-i nilai parameter hipotesis, biasanya b dianggap = 0. Artinya tidak ada pengaruh variabel Xi terhadap Y. Bila nilai t-hitung > t-tabel maka tingkat kepercayaan tertentu Ho ditolak. Hal ini berarti bahwa variabel independen yang diuji berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap variabel dependen. Nilai t-hitung diperoleh dengan:

Sbi b bi

t* = ( − )

Dimana: bi = koefisien variabel ke-i

b = nilai hipotesis nol

Sbi = simpangan baku dari variabel independen

ke-i

Kriteria Pengambilan Keputusan:

Ho : β = 0 Ho diterima (t*<ttabel) artinya variable independen

secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

Ha : β≠ 0 Ha diterima (t*.ttabel) artinya variable independen

secara parsial berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.


(43)

Ho diterima

Ha diterima Ha diterima

0

Gambar 3.1 Kurva Uji t-statistik

3.7.3 Uji F-statistik

Uji F-statistik ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh variabel independen sevarabersama-sama terhadap variabel independen. Untuk pengujian ini digunakan hipotesa sebagai berikut:

Ho ... : bi = b bk 2 = 0 (tidak ada

pengaruh)

Ha ... : bi ≠ 0 i = 0 (ada pengaruh) Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan niali F-hitung dengan F-tabel. Jika F-hitung > F-tabel maka Ho ditolak, yang berarti variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen. Nilai F-hitung dapat diperoleh dengan rumus:

) /( ) 1 ( ) 1 /( 2 2 * k n R k R F − − − = Dimana:


(44)

K = Jumlah variabel independen ditambah intercept dari suatu model persamaan

n = Jumlah sampel

Kriteria pengambilan keputusan:

Ho : β1 = β2 = β3 = 0 Ho diterima (F*<Ftabel), artinya variable independen

secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

Ha : β1 ≠β2 ≠β3 0 Ha diterima (F*Ftabel), artinya variable independen

secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

Ho diterima

0

Gambar 3.2 Kurva Uji F statistik

3.8 Defenisi Operasional

1. Ketimpangan pendapatan merupakan ketidakseimbangan pemerataan pendapatan yang terjadi di suatu daerah tertentu.


(45)

2. Jumlah penduduk adalah akumulasi dari seluruh masyarakat yang ada di suatu daerah tertentu dan dihitung berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan di suatu daerah tertentu.

3. PDRB merupakan jumlah seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat pada suatu daerah dalam satu wilayah tertentu pada periode tertentu.

4. Pengeluaran pemerintah adalah jumlah pengeluran yang dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Hal ini terkait dengan kemajuan suatu daerah atau wilayah baik dibidang pendidikan, budaya, dan lain sebagainya.

5. Kabupaten pemekaran adalah kabupaten yang berdiri sendiri setelah diberlakukannya otonomi daerah agar daerah yang dianggap terbelakang mampu mengelola daerahnya sendiri, sehingga menjadi daerah yang lebih maju dari sebelumnya.


(46)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Perkembangan dan Struktur Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran dari keberhasilan pembangunan pembangunan yang dilaksanakan dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan tersebut merupakan rangkuman laju pertumbuhan berbagai sektor ekonomi yang menggambarkan tingkat perubahan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini sangatlah penting untuk mengetahui keberhasilan pembangunan yang telah dicapai dan berguna untuk menentukan arah pembangunan pada masa yang akan datang.

Tabel 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten pemekaran di Sumatera Utara Tahun 2001-2006 (%)

No Kabupaten 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rerata 1 Mandailing Natal 3,90 4,42 6,82 5,74 5,86 6,12 5,47 2 Toba Samosir 5,97 6,38 49,87 -16,23 4,95 5,11 9,34 3 Nias Selatan - - 8,23 7,16 -2,12 3,29 4,14 4 Humbang Hasundutan - - 4,47 5,71 5,65 5,77 5,40 5 Pakpak Bharat - - 5,73 6,66 5,92 5,66 5,99 6 Samosir - - - 6,57 3,42 3,64 4,54 7 Serdang Bedagai - - - 6,05 5,91 6,22 6,06 Rata-rata pertumbuhan ekonmi Kabupaten/kota pemekaran 5,85 Sumatera Utara 3,72 4,07 4,81 5,74 5,48 6,18 5,00 Sumber: BPS Sumut

Berdasarkan tabel 4.1 diatas, bahwa pertumbuhan ekonomi kabupaten pemekaran di Sumatera Utara mengalami pertumbuhan yang fluktuatif dengan rata-rata tumbuh sebesar 5,85% dan masih lebih baik dibandingkan


(47)

dengan pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara sebesar 5% pertahun. Sedangkan kabupaten pemekaran yang mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu kabupaten Toba Samosir dan kabupaten Serdang Bedagai dengan 9,34% dan 6,06% per tahun. Sementara kabupaten Nias Selatan dan Samosir merupakan daerah yang pertumbuhan ekonominya cukup rendah karena berada dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara yaitu 4,14% dan 4,54%.

4.1.2 Analisis Ketimpangan Pembangunan

Untuk memberikan gambaran terhadap disparitas atau ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota pemekaran di Sumatera Utara, maka alat analisis yang digunakan adalah Indeks Williamson (IW). Berdasarkan hasil analisis tersebut maka diperoleh nilai Indeks Williamson untuk masing-masing kabupaten pemekaran di Sumatera Utara seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.2 berikut ini.


(48)

Tabel 4.2 Indeks Williamson Antar Kabupaten Pemekaran di Sumatera Utara Tahun 2001-2006

No Kabupaten 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rerata 1 Mandailing Natal 0,006 0,056 0,054 0,091 0,096 0,102 0,067 2 Toba Samosir 0,039 0,027 0,022 0,016 0,006 0,003 0,018 3 Nias Selatan - - 0,073 0,078 0,084 0,080 0,078 4 Humbang Hasundutan - - 0,027 0,027 0,022 0,022 0,024 5 Pakpak Bharat - - 0,025 0,026 0,027 0,027 0,026 6 Samosir - - - 0,019 0,026 0,028 0,024 7 Serdang Bedagai - - - 0,042 0,052 0,056 0,050

Rata-rata Indeks Williamson 0,041

Sumber: BPS Sumut

Dari tabel di atas menunjukkan angka Indeks Williamson atau ketimpangan PDRB perkapita antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara selama periode 2001-2006, yaitu rata-rata sebesar 0,041. Angka ini memberi arti bahwa ketimpangan pembangunan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara relatif kecil. Hal ini sesuai dengan kriteria dari Indeks Williamson yang mengatakan bahwa jika angka IW semakin kecil atau mendekati nol, maka ketimpangan akan semakin kecil pula atau dengan kata lain semakin merata pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.

Rendahnya nilai Indeks Williamson yang menunjukkan bahwa semakin kecilnya tingkat ketimpangan pembangunan yang terjadi sehingga tingkat pendapatan semakin merata. Tetapi hal ini tidak berarti menunjukkan bahwa kabupaten pemekaran di Sumatera Utara lebih baik tingkat kesejahteraan masyarakatnya dibandingkan dengan kabupaten lain yang ada di Sumatera Utara juga. Semua ini disebabkan karena masing-masing kabupaten atau daerah memiliki proses mobilisasi dan akumulasi sumber


(49)

daya alam yang dimilikinya yang merupakan pemicu dalam pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan. Adanya keragaman budaya

(heterogenitas) dan keragaman karakteristik suatu wilayah dapat

menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah.

Dari tabel 4.2 diatas dapat diketahui bahwa kabupaten Mandailing Natal, Nias Selatan, dan Serdang Bedagai memiliki angka IW mendekati angka rata-rata IW di Sumatera Utara. Hal ini berarti ketiga daerah tersebut memiliki ketimpangan pendapatan yang cukup tinggi atau dengan kata lain tidak meratanya pendapatan masyarakat. Hal ini juga dapat menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang rendah.

4.1.3 Potensi Ekonomi

Wilayah Sumatera Utara memiliki potensi lahan yang cukup luas dan subur untuk dikembangkan menjadi areal pertanian yang dapat menunjang pertumbuhan industri. Dalam wilayah Sumatera Utara juga terkandung bahan galian dan tambang seperti kapur, belerang, pasir kuarsa, kaolin, diatone, emas, batu bara serta minyak dan gas bumi.

Kegiatan perekonomian yang terpenting di Sumatera Utara adalah di sektor pertanian yang menghasilkan bahan pangan dan komoditi ekspor seperti dari perkebunan, tanaman pangan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Sedangkan industri yang berkembang di Sumatera Utara adalah industri pengolahan yang menunjang sektor pertanian, industri yang memproduksi barang-barang kebutuhan dalam negeri dan ekspor.


(50)

Posisi strategis wilayah Sumatera Utara dalam jalur perdagangan internasional, ditunjang oleh adanya berbagai pelabuhan udara dan laut yaitu pelabuhan udara Polonia, Pinang Sori, Binaka, Aek Godang, dan pelabuhan laut Belawan, Sibolga, Gunung Sitoli, Tanjung Balai, Teluk Bitung, Kuala Tanjung, dan Labuhan Bilik. Disamping fasilitas pelabuhan ini, sektor jasa berkaitan dengan fasilitas perbankan dan jasa-jasa perdagangan lainnya serta komunikasi seperti perhubungan darat, telepon, teleks, faksmili, pos dan giro, telah cukup berkembang dan mampu mencapai sebagian besar kecamatan.

Kota Medan sebagai ibukota Propinsi Tingkat I Sumatera Utara, disamping merupakan salah satu pusat pengembangan wilayah Sumatera Utara, sekaligus merupakan pusat pengembangan wilayah pembangunan kelompok Sumatera, memiliki fasilitas komunikasi, perbankan dan jasa-jasa perdagangan lainnya yang mampu mendorong pertumbuhan wilayah belakangnya.

Di Sumatera Utara juga terdapat lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian seperti perguruan tinggi, termasuk politeknik, balai penelitian dan balai pelatihan kerja yang mampu membentuk tenaga pembangunan yang terdidik dan terampil serta hasil-hasil penelitian yang bermanfaat bagi pembangunan daerah.


(51)

Tabel 4.3 Indeks Location Quotient Kabupaten pemekaran di Sumatera Utara Tahun 2004-2006

No Kabupaten 2004 2006

Primer Skunder Tertier Primer Skunder Tertier 1 Mandailing Natal 1,211 0,891 0,653 1,189 0,921 0,705 2 Toba Samosir 1,026 0,770 0,566 1,070 0,761 0,537

3 Nias Selatan - - - -

4 Humbang Hasundutan - - - 0,874 0,614 0,788 5 Pakpak Bharat 0,936 0,716 0,367 0,955 0,839 0,383 6 Samosir 0,925 0,632 0,927 1,159 0,626 0,909 7 Serdang Bedagai 1,132 0,891 0,440 1,215 0,960 0,482 Rata-rata I(y) 0,747 0,557 0,421 0,923 0,674 0,543 Sumber: BPS Sumut

Dari data tabel 4.4 diatas, dapat disimpulkan bahwa sektor-sektor primerlah yang memiliki potensi ekonomi paling besar di masing-masing kabupaten pemekaran. Hal ini dapat dikatakan bahwa sektor pertanianlah yang mengungguli potensi ekonomi yang paling besar, kecuali di kabupaten Samosir dengan jasa-jasa yang paling besar dan kabupaten Toba Samosir dengan sektor bahan galianlah yang paling besar potensi ekonominya.

4.2 Analisis Data

4.2.1 Analisa Hasil Estimasi dengan Generalized least square (GLS)

Oleh karena itu, hasil estimasi ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara untuk data panel dengan menggunakan metode OLS terbukti tidak konsisten dan efisien, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis dan mengestimasi dengan metode

Generalized Least Squares (GLS) seperti yang disarankan oleh Gujarati


(52)

Gujarati (2003) mengatakan bahwa untuk data panel, metode

Generalized Least Squares (GLS) ini adalah lebih baik dan konsisten

dibandingkan dengan metode OLS. Hal ini dikarenakan metode GLS dapat dianalisis dengan fixed effects model (FEM) dan rendom effects model (REM), sehingga dapat diketahui model mana yang terbaik. Berikut ini dapat dilihat hasil estimasi dari kedua model tersebut dengan metode GLS seperti berikut ini.

Tabel 4.4 Hasil Estimasi GLS (FEM dan REM)

Variabel Terikat : Ketimpangan Ekonomi (Y) Untuk Periode 2001-2006 Variabel Bebas Rendom Effect Fixed Effect

Konstanta 6,561204 0,534615

X1 0,000166 0,000175

X2 -0,000136 -0,000144

X3 0,003235 0,008448

2

R 0,478242 0,606036

Durbin-Watson 1,685763 2,243366

Sumber: Data diolah (Lampiran 1 & 2)

Berdasarkan hasil estimasi dengan metode GLS di atas, fixed effect

model (FEM) menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan rendom

effect model (REM). Hal ini bisa dilihat dari nilai koefisien regresi dari

masing-masing variabel bebasnya dan secara statistik berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekran di Sumatera Utara. Disamping itu, nilai R-square (R2) dan nilai

Durbin-Watson yang lebih baik pada fixed effect model (FEM) dibandingkan dengan

rendom effect model (REM).

Setelah dilakukan analisis untuk kedua model tersebut, maka untuk memilih model yang terbaik dari kedua model tersebut dapat dilakukan


(53)

dengan uji Hausman, 1978 (Gujarati, 2003). Untuk penelitian ini, uji Hausman diestimasi dengan program Eviews versi 5.0 dan akan diperoleh nilai Chi-Squarenya. Kesimpulan dari uji Hausman adalah apabila null hypothesis (H0) diterima, maka model yang digunakan adalah rendom

effect model (REM) dan sebaliknya apabila null hypothesis (H0) ditolak,

maka model yang akan digunakan adalah fixed effect model (FEM).

4.2.1.1. Uji Hausman

Uji ini dilakukan untuk menentukan model mana yang terbaik antara

fixed effect model (FEM) dan rendom effect model (REM) dalam metode

Generalizad Least Square (GLS). Berdasarkan hasil uji Hausman ini,

diperoleh nilai Chi-Squarenya seperti pada tabel 4.5 berikut ini.

Tabel 4.5 Hasil Uji Hausman untuk fixed effect dengan rendom effect

Chi-sqr Stat = 8,039552

Chi-sqr d.f = 3

Prob = 0,0452

Sumber: Data diolah (Lampiran 3)

4.2.1.2. Rendom Effect Model (REM)

Sebagaimana analisa sebelumnya, dari hasil uji Hausman diperoleh model terbaik untuk penelitian ini yakni rendom effect model (REM). Berdasarkan hasil estimasi dengan menggunakan metode rendom effect

model (REM) memperlihatkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2)

sebesar 0,478242, yang berarti secara keseluruhan variabel bebas yang ada dalam model persamaan tersebut mampu menjelaskan variasi ketimpangan pendapatan sebesar 47,82 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam persamaan tersebut.


(54)

Tabel 4.6 Hasil Estimasi Rendom Effect Model (REM) Y = 6,561204 + 0,000166JP – 0,000136PDRB + 0,003235PP

(4,768) (-3,013) (1,053) 2

R = 0,478242 DW-Stat = 1,685763 Sumber: Data diolah (Lampiran 2)

Cat : Angka dalam kurung adalah nilai t-Statistik 4.2.2 Interpretasi Model

Dilihat dari hasil regres tersebut maka interpretasinya yakni:

1. Jumlah penduduk kabupaten pemekaran di Sumatera Utara mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat ketimpangan pendapatan dan koefisiennya sebesar 0,000166 artinya apabila jumlah penduduk kabupaten pemekaran di Sumatera Utara naik sebesar 1%, cateris paribus maka tingkat ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara naik sebesar 0,000166%. Artinya, jumlah penduduk memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap tingkat ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara. Semakin banyak jumlah penduduk maka tingkat konsumsi masyarakat akan semakin tinggi pula. Hal ini akan mengakibatkan tingkat ketimpangan pendapatan yang cukup tinggi antar kabupaten pemekaran. Jika pendapatan perkapita masyarakat tetap maka ketimpangan akan semakin tinggi. Sementara, pertumbuhan ekonomi di masing-masing kabupaten pemekaran di Sumatera Utara tidak sama. Maka dapat disimpulkan jumlah penduduk berpengaruh secara nyata dan cukup besar terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.

2. PDRB perkapita kabupaten pemekaran di Sumatera Utara mempunyai pengaruh negatif terhadap tingkat ketimpangan pendapatan dan


(55)

koefisiennya sebesar -0,000136 artinya apabila PDRB perkapita di Sumatera Utara naik sebesar 1%, cateris paribus maka ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara mengalami penurunan sebesar -0,000136%. Sesuai dengan studi Rappaport (1999), yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi lokal berpengaruh negatif terhadap besaran keuangan pemerintah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat PDRB perkapita didasarkan pada pertumbuhan ekonomi lokalnya. Hal ini juga yang membuat PDRB perkapita berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pendapatan di suatu daerah. 3. Pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat

ketimpangan pendapatan di Sumatera Utara dan koefisiennya sebesar 0,003235 artinya apabila pengeluaran pemerintah naik sebesar 1%, cateris paribus maka ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara mengalami kenaikan sebesar 0,003235%. Yang sesuai dengan studi Rappaport (1999), bahwa pertumbuhan ekonomi lokal sepanjang periode yang diamati berkorelasi positif dengan pengeluaran pemerintah lokal untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

4.2.3 Uji Kesesuaian (Test of Goodness of Fit)

a.

Koefisien determinasi (R-Square) dari model tersebut adalah sebesar 0,48 atau 48%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel independen seperti X1

(jumlah penduduk), X2 (PDRB perkapita) dan X3 (pengeluaran pemerintah)

mampu memberikan penjelasan terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara sebesar 48%, sedangkan sisanya


(56)

yaitu sebesar 52% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disertakan dalam model estimasi.

b.

H0: i = 0 Tidak signifikan

Uji t-statistik (Uji Parsial)

Untuk menguji apakah variabel-variabel independen tersebut secara parsial berpengaruh nyata terhadap variabel dependen, maka digunakan uji t. Adapun uji-t dapat didefenisikan sebagai berikut:

Ha: i # 0 Signifikan

Artinya berdasarkan data yang tersedia akan dilakukan pengujian terhadap koefisien regresi populasi. Apabila hasilnya sama dengan nol artinya variabel independen tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel dependen atau apabila hasinya tidak sama dengan nol artinya variabel independen mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.

1). Variabel Jumlah Penduduk Kabupaten Pemekaran di Sumatera Utara (X1)

Dari hasil analisis regresi diketahui t-hit adalah 4,768 dan t-tabel adalah 2,704. Dari hasil estimasi regresi di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Sumatera Utara signifikan pada = 1% dengan t-hit > t-tabel (4,768 > 2,704) artinya Ha diterima. Ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk kabupaten pemekaran di Sumatera Utara (X1) berpengaruh

signifikan (nyata) terhadap ketimpangan pendapatan di Sumatera Utara pada tingkat kepercayaan 99%.


(57)

Dari hasil analisis regresi diketahui t-hit = -3,013 dan t-tabel = -2,704. Dari hasil estimasi regresi tersebut menunjukkan bahwa PDRB perkapita kabupaten pemekaran di Sumatera Utara tidak berpengaruh signifikan pada

= 1 % d eng an t-hit < t-tabel (-3,013 < 2,704) artinya Ha diterima. Ini menunjukkan bahwa variabel PDRB perkapita kabupaten pemekaran di Sumatera Utara (X2) berpengaruh signifikan (nyata) terhadap tingkat

ketimpangan pendapatan di Sumatera Utara pada tingkat kepercayaan 99%. 3). Variabel Pengeluaran Pemerintah

Dari hasil analisis regresi diketahui t-hit adalah 1,053 dan t-tabel adalah 2,704. Dari hasil estimasi regresi tersebut menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah berpengaruh signifikan pada = 1% dengan t-hit < t-tabel (1,053 < 2,704) artinya Ho diterima. Ini menunjukkan bahwa variabel pengeluaran pemerintah (X3) tidak berpengaruh secara signifikan (nyata)

terhadap tingkat ketimpangan pendapatan di Sumatera Utara pada tingkat kepercayaan 99%.

c.

3 X

Uji F-statistik (uji keseluruhan)

Uji F-Statistik berguna untuk pengujian signifikansi pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap nilai variabel dependen. Uji ini melihat seberapa besar pengaruh variabel X1 (Jumlah Penduduk), X2 (PDRB

perkapita), (Pengeluaran Pemerintah) secara bersama-sama terhadap Y (Ketimpangan Pendapatan). F-tabel adalah 2,23 dan F-hitung adalah 11,61 (hasil olahan data) dengan kriteria pengambilan keputusan; Ho ditolak apabila hitung > tabel ( = 5%) dan Ha ditolak apabila hitung < F-tabel ( = 5%).


(58)

Berdasarkan data diatas, dapat diketahui bahwa F-hitung > F-tabel (hasil olahan data) dimana 5,47 > 2,84, artinya Ho ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara bersama-sama Jumlah Penduduk, PDRB, dan Pengeluaran Pemerintah berpengaruh nyata (signifikan) terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara pada tingkat kepercayaan 95% ( = 5%).


(59)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Kabupaten pemekaran di Sumatera Utara yang pertumbuhan ekonominya cukup tinggi adalah Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai. Sedangkan Kabupaten Nias Selatan dan Kabupaten Samosir memiliki pertumbuhan ekonomi yang rendah dan masih dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Sumatera utara.

2. Ketimpangan pembangunan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara relatif kecil atau lebih merata dengan angka Indeks Williamson yaitu sebesar 0,041.

3. Sektor primer memiliki potensi ekonomi paling besar di masing-masing kabupaten pemekaran. Hal ini dapat dikatakan bahwa sektor pertanianlah yang mengungguli potensi ekonomi yang paling besar, kecuali di kabupaten Samosir dengan jasa-jasa yang paling besar dan kabupaten Toba Samosir dengan sektor bahan galianlah yang paling besar potensi ekonominya.

4. Berdasarkan hasil uji Hausman, model yang terbaik dalam penelitian ini adalah rendom effect model (REM) dengan nilai chi-squarenya sebesar 8,039552.


(60)

5. Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel jumlah penduduk kabupaten pemekaran di Sumatera Utara mempunyai pengaruh positif terhadap variasi ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara dan memberikan pengaruh yang signifikan pada tingkat kepercayaan 1 persen.

6. Untuk variabel PDRB kabupaten pemekaran di Sumatera Utara,

mempunyai pengaruh negatif terhadap variasi ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara dan memberikan pengaruh yang nyata pada tingkat kepercayaan 1 persen.

7. Variabel pengeluaran pemerintah kabupaten pemekaran di Sumatera Utara mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.

5.2 Saran

Berdasarkan analisis dari hasil penelitian serta kesimpulan yang telah dirumuskan di atas, maka penulis perlu untuk mengajukan saran-saran yang relevan sebagai usaha untuk memecahkan permasalahan yang ditentukan dalam analisis serta diharapkan dapat berguna sebagai masukan bagi pihak-pihak yang terkait. Adapun saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:


(61)

1. Bagi badan-badan pemerintahan agar hendaknya lebih berusaha untuk memajukan potensi ekonomi yang ada di suatu daerah tertentu. Sehingga dapat terwujud kemajuan daerah dan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat dari daerah tersebut.

2. Kenaikan jumlah penduduk sangat mempengaruhi dalam ketimpangan pendapatan yang terjadi di suatu daerah pemekaran. Sehingga hendaknya pemerintah daerah dapat lebih memfokuskan pada masalah kependudukan dalam proses kemajuan daerahnya.

3. Pengeluaran pemerintah juga mempengaruhi ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara. Untuk itu, hendaknya pemerintah dapat mengurangi pengeluaran pemerintah yang dianggap terlalu besar. Hal ini dapat mengurangi hal lainnya yang dianggap lebih perlu.


(62)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, Sumatera Utara Dalam Angka, Berbagai Edisi, Medan. Budiman, Arief, 1995, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta.

Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi Dan Pembangunan Daerah: Reformasi,

Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Lapera, Tim, 2001, Otonomi Pemberian Negara Atas Kritis Atas Kebijakan

Otonomi Daerah, cetakan II (edisi pembaharuan), Lapera: Yogyakarta.

Todaro, Michael P., 1983, Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, Alih Bahasa: Aminuddin dan Drs. Mursid, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Pratomo, Wahyu Ario dan Paidi Hidayat, 2007, Pedoman Praktis Penggunaan Eviews Dalam Ekonometrika, Medan: USU Press.

Richardson, Harry W., 1991, Dasar- Dasar Ilmu Ekonomi Regional, terjemahan Paul Sitohang, Jakarta: LPFE-UI.

Sirojuzilam, SE, 2005, Beberapa Aspek Pembangunan Regional, ISEI, Bandung. Sjafrizal, 1985, Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah, Dalam Prisma,

No.17, 15-24, Jakarta: LP3ES.

Tarigan, Robinson, 2004, Ekonomi Regional : Teori & Aplikasi, Jakarta: Bumi Aksara.

..., 2004, Perencanaan Pembangunan Wilayah, Jakarta: Bumi Aksara.

Publik dan Pertumbuhan Ekonomi Regional, Yogyakarta, Lembaga


(63)

..., Darwanto & Yulia Yustikasari, 2007, Pengaruh Pertumbuhan

Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum Terhadap

Pengalokasian Anggaran Belanja Modal, Magister Sains Ilmu-ilmu

Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta.

..., Ketimpangan dan Ketertinggalan, 2007, Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi, LIPI, Jakarta.

Jurnal:

Astuti, Esther Sri, Desentralisasi Fiskal dan Ketimpangan Daerah Di Indonesia, Makro Ekonomi, Usahawan No. 02 Tahun XXXVI Februari 2007.

Haryanto, Joko Tri, Kemandirian Daerah Sebuah Perspektif Dengan Metode Path

Analysis.

Laporan Akhir, Evaluasi Kinerja Pembangunan Pra dan Pasca Pemekaran

Wilayah (Studi Kasus Kabupaten Tasikmalaya), Pusat Kajian dan Diklat

Aparatur I (PKP2A I), Lembanga Administrasi Negara, Bandung, 2004. Tasri, Evi Susanti, Kesenjangan Pembangunan Ekonomi Antar Daerah Tingkat II

Di Propinsi Sumatera Barat Tahun 1985-2003.

Wijayanti, Diana, Analisis Kesenjangan Pembangunan Regional: Indonesia,

1992-2001, Jural Ekonomi Pembangunan: Kajian Ekonomi Negara


(64)

LAMPIRAN 1

HASIL REGRESSION MODEL GLS FIXED EFFECT (FEM) Dependent Variable: Y?

Mothod: Pooled Least Squares Date: 04/14/08 Time: 09:52 Sample: 2001 2006

Included observations: 6 Cross-sections included: 7

Total pool (balanced) observations: 42

Variable Coefficient Std. Error t-Statistik Prob.

C 0.534615 5.957585 0.089737 0.9291

JP? 0.000175 5.50E-05 3.186218 0.0032

PDRB? -0.000144 6.72E-05 -2.150530 0.0392

PP? 0.008448 0.003818 2.212807 0.0342

Fixed Effects (Cross)

_MADINA—C -9.547729

_TOBASA—C -17.37487

_SAMOSIR—C -4.833600

_NISEL—C 18.58105

_HUMBANG—C 9.459035

_PAKPAK—C 10.49565

_SERGEI—C -6.779540

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.606036 Mean dependent var

25.59524

Adjusted R-squared 0.495234 S.D. Dependent var

28.08442

S.E. of regression 19.95311 Akaike info criterion

9.028904

Sum squared resid 12740.05 Schwarz criterion

9.442635

Log likelihood -179.6070 F-statistic

5.469524

Durbin-Watson stat 2.243366 Prob(F-stistic)


(65)

LAMPIRAN 2

HASIL REGRESSION MODEL GLS RENDOM EFFECTS (REM) Dependent Variable: Y?

Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects) Date: 04/14/08 Time: 09:54

Sample: 2001 2006 Included observations: 6 Cross-section included: 7

Total pool (balanced) observations: 42

Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 6.561204 4.536716 1.446245 0.1563

JP? 0.000166 3.48E-05 4.768135 0.0000

PDRB? -0.000136 4.50E-05 -3.013289 0.0046

PP? 0.003235 0.003071 1.053478 0.2988

Random Effects (Cross)

_MADINA—C 0.000000

_TOBASA—C 0.000000

_SAMOSIR—C 0.000000

_NISEL—C 0.000000

_HUMBANG—C 0.000000

_PAKPAK—C 0.000000

_SERGEI—C 0.000000

Effects Specification

S.D. Rho

Cross-section random 0.000000 0.0000

Idiosyncratic random 19.95311 1.0000

Weighted Statistic

R-squared 0.478242 Mean dependent var

25.59524

Adjusted R-squared 0.437050 S.D. dependent var

28.08442

S.E. of regression 21.07173 Sum squared resid

16872.68

F-statistic 11.61023 Durbin-Watson stat

1.685763

Prob(F-statistic) 0.000015


(66)

R-squared 0.478242 Mean dependent var 25.59524

Sum squared resid 16872.68 Durbin-Watson stat


(1)

..., Darwanto & Yulia Yustikasari, 2007, Pengaruh Pertumbuhan

Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal, Magister Sains Ilmu-ilmu

Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta.

..., Ketimpangan dan Ketertinggalan, 2007, Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi, LIPI, Jakarta.

Jurnal:

Astuti, Esther Sri, Desentralisasi Fiskal dan Ketimpangan Daerah Di Indonesia, Makro Ekonomi, Usahawan No. 02 Tahun XXXVI Februari 2007.

Haryanto, Joko Tri, Kemandirian Daerah Sebuah Perspektif Dengan Metode Path

Analysis.

Laporan Akhir, Evaluasi Kinerja Pembangunan Pra dan Pasca Pemekaran

Wilayah (Studi Kasus Kabupaten Tasikmalaya), Pusat Kajian dan Diklat

Aparatur I (PKP2A I), Lembanga Administrasi Negara, Bandung, 2004. Tasri, Evi Susanti, Kesenjangan Pembangunan Ekonomi Antar Daerah Tingkat II

Di Propinsi Sumatera Barat Tahun 1985-2003.

Wijayanti, Diana, Analisis Kesenjangan Pembangunan Regional: Indonesia,

1992-2001, Jural Ekonomi Pembangunan: Kajian Ekonomi Negara


(2)

Lia Maharani Fadilla : Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten Pemekaran Di Sumatera Utara,

LAMPIRAN 1

HASIL REGRESSION MODEL GLS FIXED EFFECT (FEM) Dependent Variable: Y?

Mothod: Pooled Least Squares Date: 04/14/08 Time: 09:52 Sample: 2001 2006

Included observations: 6 Cross-sections included: 7

Total pool (balanced) observations: 42

Variable Coefficient Std. Error t-Statistik Prob.

C 0.534615 5.957585 0.089737 0.9291

JP? 0.000175 5.50E-05 3.186218 0.0032

PDRB? -0.000144 6.72E-05 -2.150530 0.0392

PP? 0.008448 0.003818 2.212807 0.0342

Fixed Effects (Cross)

_MADINA—C -9.547729

_TOBASA—C -17.37487

_SAMOSIR—C -4.833600

_NISEL—C 18.58105

_HUMBANG—C 9.459035

_PAKPAK—C 10.49565

_SERGEI—C -6.779540

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.606036 Mean dependent var

25.59524

Adjusted R-squared 0.495234 S.D. Dependent var

28.08442

S.E. of regression 19.95311 Akaike info criterion

9.028904

Sum squared resid 12740.05 Schwarz criterion

9.442635

Log likelihood -179.6070 F-statistic

5.469524

Durbin-Watson stat 2.243366 Prob(F-stistic)


(3)

LAMPIRAN 2

HASIL REGRESSION MODEL GLS RENDOM EFFECTS (REM) Dependent Variable: Y?

Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects) Date: 04/14/08 Time: 09:54

Sample: 2001 2006 Included observations: 6 Cross-section included: 7

Total pool (balanced) observations: 42

Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 6.561204 4.536716 1.446245 0.1563

JP? 0.000166 3.48E-05 4.768135 0.0000

PDRB? -0.000136 4.50E-05 -3.013289 0.0046

PP? 0.003235 0.003071 1.053478 0.2988

Random Effects (Cross)

_MADINA—C 0.000000

_TOBASA—C 0.000000

_SAMOSIR—C 0.000000

_NISEL—C 0.000000

_HUMBANG—C 0.000000

_PAKPAK—C 0.000000

_SERGEI—C 0.000000

Effects Specification

S.D. Rho

Cross-section random 0.000000 0.0000

Idiosyncratic random 19.95311 1.0000

Weighted Statistic

R-squared 0.478242 Mean dependent var

25.59524

Adjusted R-squared 0.437050 S.D. dependent var

28.08442


(4)

Lia Maharani Fadilla : Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten Pemekaran Di Sumatera Utara,

R-squared 0.478242 Mean dependent var

25.59524

Sum squared resid 16872.68 Durbin-Watson stat


(5)

Lampiran 4

Data Ketimpangan pendapatan, Jumlah penduduk, PDRB,

dan Pengeluaran pemerintah kabupaten pemekaran di Sumatera Utara

Tahun 2001-2006

Kabupaten Tahun Y X1 X2 X3

_KBTMNL 2001 0 368400 1595,77 162

_KBTMNL 2002 0,082 367990 1858,8 173,3

_KBTMNL 2003 0,08 369691 2071,41 233,2

_KBTMNL 2004 0,081 379045 1791,73 228,1

_KBTMNL 2005 0,081 386150 2000 235,1

_KBTMNL 2006 0,087 413750 2260,84 384,6

_KBTTSR 2001 0 306373 1450,37 157,7

_KBTTSR 2002 0,025 285615 1755,42 183,2

_KBTTSR 2003 0,034 285586 1966,17 295,5

_KBTTSR 2004 0,022 167587 1748,17 206,9

_KBTTSR 2005 0,022 158677 1895,77 169,2

_KBTTSR 2006 0,016 169116 2082,1 288,8

_KBTNSN 2001 0 0 0 0

_KBTNSN 2002 0 0 0 0

_KBTNSN 2003 0,073 275422 1147,38 0

_KBTNSN 2004 0,072 282715 1341,98 0

_KBTNSN 2005 0,078 288233 1458,64 0

_KBTNSN 2006 0,08 271026 1548,83 0

_KBTHHN 2001 0 0 0 0

_KBTHHN 2002 0 0 0 0

_KBTHHN 2003 0,036 152377 931,58 0

_KBTHHN 2004 0,035 152519 1116,11 96,8

_KBTHHN 2005 0,033 152997 1380,38 122

_KBTHHN 2006 0,022 152757 1535,58 255,5

_KBTPBT 2001 0 0 0 0

_KBTPBT 2002 0 0 0 0


(6)

Lia Maharani Fadilla : Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten Pemekaran Di Sumatera Utara,

_KBTSMR 2005 0,01 131073 1101,1 108,6

_KBTSMR 2006 0,028 130662 1196,46 252,2

_KBTSBI 2001 0 0 0 0

_KBTSBI 2002 0 0 0 0

_KBTSBI 2003 0 0 0 0

_KBTSBI 2004 0,031 583071 4508,35 0

_KBTSBI 2005 0,029 588176 5059,77 258,6

_KBTSBI 2006 0,056 605630 5134,32 388,4

Note : Y (Persen)

X1 (Jiwa)

X2 (Milyar Rupiah)