Square , adalah 0,129 selalu lebih kecil dari R Square, hal itu berarti bahwa
variasi perubahan perilaku seksual Y dipengaruhi oleh perubahan motivasi X
1
, rasa ingin tahu X
2
, berkembangnya organ seksual X
3
, teman sepermainan X
4
, orangtua X
5
, media dan televisi X
6
dan tingkat religiuitas X
7
sebesar 12,90. Jadi besarnya pengaruh motivasi X
1
, rasa ingin tahu X
2
, berkembangnya organ seksual X
3
, teman sepermainan X
4
, orangtua X
5
, media dan televisi X
6
dan tingkat religiuitas X
7
terhadap perilaku seksual Y sebesar 12,90, sedangkan sisanya sebesar 83,10 dipengaruhi oleh faktor lain diluar penelitian ini.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Gambaran tentang perilaku seksual remaja
Perilaku seksual remaja merupakan bagian dari perilaku sosial yang bersifat wajar. Disebut perilaku sosial karena perilaku seksual remaja melibatkan
orang lain terutama lawan jenis. Perilaku seksual remaja adalah segala tingkah laku yang diakibatkan adanya dorongan hasrat seksual, baik dengan lawan jenis
maupun sesama jenis yang dilakukan oleh individu dalam masa peralihan dari anak-anak menuju ke dewasa. Maraknya isu mengenai perilaku seksual remaja
yang cenderung memburuk akhir-akhir inilah yang menjadi alasan penelitian ini dilakukan.
Bentuk perilaku seksual ada dua jenis yaitu perilaku seksual yang dilakukan pada diri sendiri dan melibatkan orang lain. Adapun perilaku seksual
yang dilakukan pada diri sendiri yaitu masturbasi, fantasi seksual, dan melihat serta membaca gambar porno. Sedangkan perilaku seksual yang melibatkan orang
lain yaitu berpegangan tangan, berpelukan, berciuman kissing, mencium leher necking, petting, dan intercouse.
Setelah peneliti melakukan penelitian terhadap persentase kedua jenis perilaku seksual di SMA Negeri dan Swasta se-Kota Semarang, terdapat
kesimpulan bahwa Persentase Bentuk Perilaku seksual siswa SMA se-Kota Semarang sebagian besar termasuk dalam kriteria rendah. Artinya, sebagian besar
siswa SMA se-Kota Semarang belum melakukan tindakan perilaku seksual, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun yang melibatkan orang lain. Adapun
presentase tertinggi dari perilaku seksual siswa SMA se-Kota Semarang adalah Berperlukan.
Artinya, sebagian besar siswa SMA se-Kota Semarang cenderung telah melakukan perilaku seksual berpelukan daripada yang lainnya.
Pada jenis perilaku seksual masturbasi, siswa SMA negeri memperoleh hasil persentase lebih rendah daripada siswa SMA swasta. Hal ini berarti bahwa
perilaku seksual yang dilakukan remaja siswa SMA swasta cenderung lebih tinggi daripada SMA negeri. Sehingga perlu adanya kontrol dari pihak sekolah maupun
orangtua agar Persentase Bentuk Perilakunya tidak semakin berkembang. Menurut pendapat peneliti, perilaku masturbasi ini biasanya dilakukan karena siswa butuh
pelampiasan hasrat seksualnya. Hal ini juga dapat terjadi dikarenakan kurangnya pantauan orang tua dalam pergaulan siswa baik di sekolah maupun dengan teman
sebayanya. Mereka cenderung mengikuti perilaku yang dilakukan oleh teman- temannya. Sebagai contoh apabila seorang temannya melakukan ciuman kissing
dan teman tersebut bercerita kepada teman-temannya secara tidak langsung hal ini dapat memberikan motivasi serta rasa ingin tahu yang besar kepada teman-
temannya. Motivasi dan rasa ingin tahu ini yang menyebabkan timbulnya perilaku seksual. Selain itu ketika dalam konteks berpacaran mereka melakukan ciuman
untuk membuktikan rasa sayangnya terhadap pasangan mereka. Terlebih lagi pengaruh cerita teman-temannya yang mengatakan bahwa berciuman itu nikmat,
serta informasi dari majalah dan gambar-gambar porno yang turut andil dalam mempengaruhi perilaku seksual mereka.
Kemudian pengaruh cerita teman-temannya juga mempengaruhi pikiran para remaja. Bagi yang mempunyai pasangan mereka melampiaskan hasrat seks
nya dengan pasangannya tetapi bagi yang tidak mempunyai pasangan mereka cenderung memilih untuk berfantasi seksual. Mereka menganggap dengan fantasi
seksual akan memberikan kepuasan bagi dirinya. Selain aman, fantasi seksual juga tidak merugikan orang lain. Hasil penelitian menjelaskan bahwa remaja
siswa SMA se-Kota Semarang cenderung tidak melakukan fantasi seksual, ditinjau dari rendahnya persentase yang didapat baik SMA Negeri maupun
Swasta. Fantasi-fantasi seksual yang dilakukan remaja inilah yang merupakan awal terjadinya perilaku seksual selanjutnya yang lebih parah. Maka dari itu
pencegahan lebih dini perlu dilakukan untuk mengurangi perilaku seksual yang dilakukan remaja.
Perilaku seksual remaja sangat erat kaitannya dengan maraknya gambar- gambar porno yang dapat dengan mudahnya dikonsumsi para remaja baik lewat
media televisi, majalah maupun internet. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pada indikator membaca dan melihat gambar porno mendapatkan kriteria sangat
rendah baik siswa SMA negeri maupun swasta. Sehingga dapat diketahui bahwa
siswa SMA se-kota Semarang cenderung menghindari perilaku seksual tersebut. Tetapi hal tersebut juga tidak langsung membuat kita menjadi lega dan kemudian
kurang memperhatikan para remaja khususnya siswa SMA. Karena pesatnya perkembangan media di era sekarang mampu mempengaruhi perilaku remaja
khusunya perilaku seksualnya. Gambar-gambar porno yang semakin lama semakin mudah diakses akan menjadi pengaruh buruk bagi remaja. Maka dari itu
menurut peneliti perlu adanya pembatasan akses internet dan tontonan serta bacaan bagi remaja khusunya siswa SMA.
Meningkatnya perilaku seksual remaja dan dalam hal ini adalah siswa dikarenakan adanya faktor perubahan dan perkembangan organ seksualnya. Siswa
SMA termasuk dalam kategori remaja. Dalam usia remaja faktor perubahan- perubahan hormon yang meningkat pada hasrat seksual libido seksual Sarwono,
2007: 153. Perkembangan organ seksual yang mempengaruhi hasrat seksual membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual seperti ciuman,
mencium leher dan meraba-raba daerah sensitif masing-masing pasangan. Perilaku seksual lainnya yaitu berpegangan tangan. Banyak yang
menganggap bahwa berpegangan tangan pada jaman sekarang adalah hal yang wajar. Tetapi bagi peneliti berpegangan tangan merupakan langkah awal untuk
melakukan perilaku seksual lainnya. Sejalan dengan indikator ke-2 faktor determinan munculnya perilaku seksual yakni rasa ingin tahu. Dari berpegangan
tanganlah akan muncul perasaan yang lain sehingga pelaku ingin melakukan perilaku seksual yang lebih parah. Perasaan inilah yang wajar dimiliki setiap
remaja. Hasil penelitian pada indikator berpegangan tangan memperoleh kriteria
rendah baik SMA negeri maupun swasta. Hal ini berarti bahwa remaja siswa SMA se-Kota Semarang cenderung jarang melakukan perilaku tersebut. Kemudian
remaja yang awalnya hanya melakukan pegangan tangan dengan pasangannya lambat laun akan beranjak ke perilaku seksual selanjutnya yaitu berpelukan.
Dengan berpelukan remaja akan merasa nyaman seperti yang dikemukakan Sarwono 2002: 164 bahwa “setelah mereka remaja sudah saling berpegangan
tangan biasanya remaja berani memeluk pasangannya agar merasa nyaman dan saling melindungi dalam hubungan berpacaran.” Hasil penelitian menjelaskan
pada indikator berpelukan siswa SMA negeri dan swasta mendapatkan kriteria rendah. Hal ini berarti siswa SMA se-Kota Semarang cenderung tidak melakukan
perilaku seksual tersebut. Meskipun mendapatkan kriteria rendah tetapi pantauan baik orang tua maupun sekolah perlu ditingkatkan agar tidak berlanjut ke arah
perilaku seksual yang lebih parah. Menurut peneliti sebagai orangtua hendaknya menjelaskan secara detil dan bijak ketika anaknya dalam hal ini adalah remaja
bertanya seputar masalah seksual. Orangtua sebaiknya tidak memandang pertanyaan tersebut sebagai hal yang tabu, melainkan suatu hal yang wajib
diketahui sejak dini. Dengan begitu remaja akan lebih terbuka kepada orangtuanya dan orangtua pun akan mudah memantau perkembangan anaknya.
Selanjutnya perilaku seksual berciuman. Perilaku seksual ini merupakan perilaku yang biasanya dilakukan oleh mereka pasangan remaja yang telah
merasa nyaman melakukan perilaku seksual berpelukan. Hal ini dilakukan untuk membuktikan rasa sayangnya kepada pasangannya. Seperti yang dikemukakan
oleh Sarwono 2002: 164 bahwa setelah sudah berani saling berpelukan maka
mereka membuktikan rasa sayangnya dengan mencium kening, pipi lalu berlanjut dengan saling memainkan bibir pasangannya masing-masing dengan
membuktikan rasa sayang mereka terhadap pasangan mereka masing-masing. Hasil penelitian menjelaskan bahwa perolehan hasil pada indikator berciuman
siswa SMA negeri dan swasta sama rendah. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan hasil tersebut akan meningkat jika tidak adanya perhatian yang
maksimal baik dari orangtua maupun pihak sekolah. Maka dari itu peningkatan pantauan terhadap diri remaja khususnya siswa SMA lebih ditingkatkan lagi
dengan cara baik orangtua maupun sekolah menjalin komunikasi yang baik dengan siswa sehingga akan muncul keterbukaan siswa kepada pihak sekolah
salah satunya dengan guru bk dan terlebih lagi terbuka dengan orangtuanya. Kemudian setelah berciuman perilaku seksual lainnya yaitu mencium
leher necking. Hasil penelitian menyebutkan bahwa perolehan hasil persentase siswa SMA negeri sangat rendah sedangkan siswa SMA swasta sedang. Sehingga
dapat dilihat bahwa siswa SMA swasta cenderung lebih sering melakukan perilaku seksual necking daripada SMA negeri. Hal ini mungkin dikarenakan
faktor internal yang mempengaruhi perilaku tersebut yakni teman sepermainan. Perilaku selanjutnya adalah petting. Petting dilakukan karena siswa yang
membutuhkan penyaluran hasrat libido tetapi mereka tidak mau mengambil resiko dan takut hamil, sehingga mereka melakukan petting dan masih menggunakan
pakaian lengkap. Sesuai dengan pendapat Dianawati dalam Supriyati, 2009: 26, hal ini terjadi karena mereka beranggapan dengan persatuan secara seksual
merupakan tanda atau bukti bahwa cinta terhadap pasangan begitu mendalam.
Hasil penelitian pada indikator petting menjelaskan bahwa perolehan hasil persentase siswa SMA negeri rendah sedangkan SMA swasta sedang. Hal ini
membuktikan bahwa siswa SMA swasta cenderung lebih sering melakukan perilaku seksual petting daripada siswa SMA negeri. Maka dari itu perhatian lebih
terhadap diri remaja perlu ditingkatkan agar remaja khususnya siswa SMA tidak terjerumus ke dalam perilaku seksual yang lebih jauh lagi. Karena hal itu tidak
merugikan orang lain tetapi dirinya sendiri. Lalu perilaku seksual petting ini membuka jalan untuk melakukan perilaku
seksual yang lebih jauh lagi yaitu intercouse berhubungan intim. Intercouse terjadi akibat remaja dalam hal ini siswa tidak dapat membendung lagi gairah seks
nya dikarenakan rasa cinta dan hormon yang meningkat. Hal ini seperti yang dikemukakan Sarwono 2002: 164 bahwa “pada tahap ini getaran dan gairah seks
sudah sangat memuncak dan tidak dapat terbendung lagi, hubungan seksual atau yang disebut bersetubuh yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang
dilandasi oleh rasa cinta atau gairah seks yang tidak dapat terbendung lagi.” Hasil penelitian pada indikator intercouse menjelaskan bahwa perolehan hasil
persentase siswa SMA negeri tergolong sangat rendah sedangkan perolehan persentase SMA swasta tergolong rendah. Perbedaan perolehan kriteria tersebut
menunjukkan bahwa siswa SMA swasta cenderung lebih sering melakukan perilaku seksual intercouse dibandingkan dengan siswa SMA negeri.
Kemudian meski perolehan persentase untuk siswa SMA se-kota Semarang masih tergolong rendah alangkah lebih baiknya dilakukan langkah-
langkah pencegahan, terlebih sebagai seorang konselor turut bertanggungjawab
dalam perilaku siswa didiknya. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu dengan seminar maupun konsultasi masalah seksual yang dilakukan secara berkala, baik
mingguan, bulanan maupun semesteran, sehingga pengetahuan siswa mengenai masalah seksual lebih mendalam. Selain itu peran orangtua sangat penting dalam
hal ini. Sehingga orangtua wajib memberikan pendidikan seks kepada anaknya sejak dini dan tidak lagi menganggap bahwa pertanyaan-pertanyaan yang
dilontarkan seputar seks adalah hal yang tabu atau tidak layak untuk dipertanyakan. Hal ini akan membuat remaja lebih nyaman untuk bertanya
langsung kepada orangtuanya ataupun guru bk yang bersangkutan daripada mencari tahu sendiri melalui media internet atau bertanya kepada temannya.
Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka siswa akan lebih terjerumus dalam kenikmatan sesaat tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan.
4.2.2 Gambaran tentang faktor determinan penyebab perilaku seksual remaja