itulah, dengan adanya pertumbuhan ini maka dibutuhkan penyaluran dalam bentuk perilaku seksual tertentu Cohen, 2002.
2.3.2 Faktor Eksternal
2.3.2.1 Teman sepermainan peer group
Pada masa remaja, kedekatannya dengan peergroupnya sangat tinggi karena selain ikatan peer-group menggantikan ikatan keluarga, mereka juga
merupakan sumber afeksi, simpati, dan pengertian, saling berbagi pengalaman dan sebagai tempat remaja untuk mencapai otonomi dan independensi.
2.3.2.2 Orang tua
Perilaku yang tidak sesuai dengan tugas perkembangan remaja pada umumnya dapat dipengaruhi orang tua. Bilamana orang tua mampu memberikan
pemahaman mengenai perilaku seks kepada anak-anaknya, maka anak-anaknya cenderung mengontrol perilaku seksnya itu sesuai dengan pemahaman yang
diberikan orang tuanya. Hal ini terjadi karena pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik adalah
yang diberikan oleh orang tua sendiri, dan dapat pula diwujudkan melalui cara hidup orang tua dalam keluarga sebagai suami-istri yang bersatu dalam
perkawinan Sarwono, 1998. Kesulitan yang timbul kemudian adalah apabila pengetahuan orangtua kurang memadai menyebabkan sikap kurang terbuka dan
cenderung tidak memberikan pemahaman tentang masalah-masalah seks anak. Akibatnya anak mendapatkan informasi seks yang tidak sehat.
Tentang hal ini Soekanto 1996 menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut “informasi seks yang tidak sehat atau tidak sesuai dengan
perkembangan usia remaja ini mengakibatkan remaja terlibat dalam kasus-kasus berupa konflik-konflik dan gangguan mental, ide-ide yang salah dan ketakutan-
ketakutan yang berhubungan dengan seks.” Dalam hal ini, terciptanya konflik dan gangguan mental serta ide-ide yang salah dapat memungkinkan seorang remaja
untuk melakukan perilaku seks bebas.
2.3.2.3 Media dan televisi
Pengaruh media dan televisi pun seringkali diimitasi oleh remaja dalam perilakunya sehari-hari. Misalnya saja remaja yang menonton film remaja Barat,
melalui observational learning, mereka melihat perilaku seks itu menyenangkan dan dapat diterima lingkungan. Hal ini pun diimitasi oleh remaja tanpa
memikirkan adanya perbedaan kebudayaan, nilai, serta norma-norma dalam lingkungan masyakarat yang berbeda. Santrock 2003: 318 menjelaskan bahwa
“Menonton seks di televisi dapat mempengaruhi perilaku remaja,...remaja yang sering menonton televisi mendapat kesulitan untuk memisahkan dunia televisi
dengan dunia nyata.” Pengetahuan seksual yang benar dapat memimpin seseorang kearah
perilaku seksual yang rasional dan bertanggung jawab dan dapat membantu membuat keputusan pribadi yang penting mengenai seksualitas. Sebaliknya
pengetahuan seksual yang salah dapat mengakibatkan persepsi yang salah pula tentang seksualitas. Selanjutnya akan menimbulkan perilaku seksual yang salah
dengan segala akibatnya dan hal itu kemudian diekspresikan dalam bentuk perilaku seksual yang buruk dengan segala akibat yang tidak diharapkan.
2.3.2.4 Religiusitas
Kata religi berasal dari resiko Latin yang berarti mengikat atau ikatan. Religi Agama pada umumnya terdapat aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban
yang harus dilaksanakan, yang semua itu berfungsi untuk mengikat diri seseorang atau kelompok dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam
sekitarnya Haryanto dalam Paat, 2009: 76. Selain itu Religius oleh Wulf 2002 menjelaskan sebagai “perasaan keagamaan, yang berarti segala perasaan batin
yang ada hubungannya dengan Tuhan”. Sehingga dapat dismpulkan bahwa religiusitas merupakan hubungan
antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia ataupun alam sekitarnya dimana hubungan ini mewujudkan sikap batin yang dapat dilihat dalam ibadah yang
dilakukan setiap harinya. Dimensi-dimensi dalam tingkat religiusitas meliputi dimensi akidah, dimensi ihsan, dimensi ilmu dan dimensi amal. Dimana dimensi-
dimensi tersebut berkaitan erat dengan keyakinan sesorang dalam agama. Semakin tinggi nilai agama yang dimilki seseorang dalam hal ini adalah
remaja maka perilaku yang dihasilkan akan semakin terarah dan terhindar dari perilaku menyimpang yang salah satunya adalah perilaku seksual. Contoh
seseorang yang rajin beribadah akan semakin sering mendapat pesan atau ajaran yang melarang hubungan seks sebelum menikah sehingga remaja tersebut akan
cenderung kurang permisif dalam sikap berperilaku seksual.
Adapun indikator-indikator dari faktor-faktor determinan dalam perilaku seksual yang akan diteliti yaitu: 1 Motivasi untuk melakukan perilaku seksual, 2
Rasa ingin tahu dalam diri remaja, 3 Mulai berkembangnya organ-organ seksual, 4 Faktor Teman sepermainan peer group, 5 Faktor Orang Tua, 6 Media dan
Televisi, 7 Tingkat Religiusitas.
2.4 Hubungan antara Perilaku Seksual Remaja Dengan Faktor