Faktor-Faktor yang Memengaruhi Asertifitas Remaja dalam Perilaku Seksual di SMP Negeri 1 Hinai Kabupaten Langkat Tahun 2013

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI ASERTIFITAS REMAJA DALAM PERILAKU SEKSUAL DI SMP NEGERI I HINAI

KECAMATAN HINAI KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2013

TESIS

Oleh

WARDATI HUMAIRA 117032239/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI ASERTIFITAS REMAJA DALAM PERILAKU SEKSUAL DI SMP NEGERI I HINAI

KECAMATAN HINAI KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

WARDATI HUMAIRA 117032239/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI ASERTIFITAS REMAJA DALAM PERILAKU SEKSUAL DI SMP NEGERI I HINAI

KECAMATAN HINAI KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : Wardati Humaira Nomor Induk Mahasiswa : 107032239/IKM

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Reproduksi

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

(Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes)

Anggota (Dra. Syarifah, M.S)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah Diuji

pada Tanggal : 8 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes Anggota : 1. Dra. Syarifah, M.S

2. Drs. Abdul Jalil Amri Amra, M.Kes 3. Dr. Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D


(5)

PERNYATAAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI ASERTIFITAS REMAJA DALAM PERILAKU SEKSUAL DI SMP NEGERI I HINAI

KECAMATAN HINAI KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2013

Wardati Humaira 117032239/IKM


(6)

ABSTRAK

Perilaku seksual yang melanda remaja cenderung meningkat. Salah satu bentuk keterampilan hidup yang perlu diterapkan bagi remaja adalah keterampilan untuk bersikap tegas atau asertif. Faktor-faktor yang mempengaruhi asertifitas, yaitu jenis kelamin, usia, budaya, tingkat pendidikan, harga diri, dan situasi tertentu lingkungan sekitarnya seperti pola asuh orang tua dan teman sebaya pengetahuan, self efficacy dan media informasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi asertifitas remaja dalam perilaku seksual di SMP Negeri 1 Hinai Kabupaten Langkat Tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode survei explanatory research. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswi SMP Negeri 1 Hinai yang berjumlah 363 orang. Sampel pada penelitian ini adalah siswi kelas VIII dan IX sebanyak 113 orang, dengan pengambilan sampel menggunakan proportional random sampling. Pengumpulan data diperoleh melalui penyebaran angket menggunakan alat bantu kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik berganda pada α = 5%.

Hasil penelitian ini menunjukkan, asertifitas remaja dalam perilaku seksual berada pada kategori tinggi (57,5%), dan secara statistik variabel yang paling dominan memengaruhi adalah teman sebaya yaitu dengan nilai koefisien regresi 5,011.

Disarankan pihak sekolah SMP Negeri 1 Hinai hendaknya meningkatkan perilaku asertif remaja dengan memasukkan pendidikan asertif dalam kurikulum muatan lokal di sekolah dan dapat bekerja sama dengan orang tua remaja dalam mengontrol hubungan remaja dengan teman sebaya, pihak terkait mengajarkan remaja untuk lebih berani dalam pengambilan keputusan, responden harus dapat mempertahankan harga diri.


(7)

ABSTRACT

Sexual behavior in teenagers tends to be increasing. One of the life skills needed to be applied by the teenagers is the skill of how to be assertive. The factors influencing the assertiveness are culture, self-esteem, parents’ parenting pattern, peers, knowledge, self-efficacy, and information media.

The purpose of this study was to find out the factors influencing the teenagers’ assertiveness in sexual behavior at SMP (Junior High School) Negeri I Hinai, Langkat District, in 2013. The population of this explanatory study was all of the 363 female students of SMP Negeri I Hinai and 113 female students from grade VIII and grade IX were selected to be the samples for this study through proportional random sampling technique. The data for this study were directly obtained from the female students through questionnaire distribution. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests at α = 5%.

The result of this study showed that the assertiveness of the female students towards sexual behaviour belonged at the high category (57.5%), and statistically, culture, self-esteem, peers and self-efficacy had influence on the assertiveness towards the sexual behavior in the teenagers at SMP Negeri I Hinai. The most dominant influencing variable was peer with the regression coefficient value of 5.011.

The management of SMP Negeri I Hinai should increase assertive behavior of their students by including education in the local curriculum in schools and to cooperate with the students’ parents in monitoring tennagers relationship with peers, so that stakeholders teaches teens to be more courageous in making decisions, the respondent must be able to maintain self-esteem.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas ridho dan rahmadnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Faktor-faktor yang Memengaruhi Asertifitas Remaja dalam Perilaku Seksual di SMP Negeri 1 Hinai Kabupaten Langkat Tahun 2013”.

Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin untuk mengikuti Pendidikan di Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera


(9)

Utara serta seluruh jajarannya yang telah memberikan bimbingan dan dorongan selama penulis mengikuti pendidikan.

4. Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes dan Dra. Syarifah, M.S selaku dosen pembimbing yang telah banyak menyediakan waktu, pemikiran dan bimbingan kepada penulis.

5. Drs. Abdul Jalil Amri Amra, M.Kes dan Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan berupa saran dan kritikan demi peningkatan kualitas dan esensi penelitian ini.

6. Drs. Supiono, M.M, selaku kepala SMP Negeri 1 Hinai yang telah memberi izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di sekolah tersebut, serta para guru yang telah membantu dalam kegiatan penelitian ini.

7. Semua responden yang sudah bersedia diwawancarai, terima kasih atas informasi dan kerjasama yang baik selama penelitian.

8. Secara khusus buat Ayahanda Drs. H. Muhammad Yusra dan Ibunda Hj. Asbah Rosida serta suami tercinta Ahmad Rifai Lubis, S.E, M.A.P dan ketiga putra dan putri saya M. Farhat Auzaie Lubis, M. Farras Naufal Lubis dan Faira Zahra Mehrunnisa Lubis yang penulis sangat sayangi, terima kasih atas do’a, perhatian, semangat, waktu, dukungan material dan moril, yang telah kalian berikan dengan ikhlas untuk terselesainya penelitian ini, semoga Allah SWT membalas semuanya dengan kebahagiaan.


(10)

9. Seluruh Rekan-rekan satu stambuk di peminatan Kesehatan Reproduksi 2011, terima kasih atas semangat kebersamaan selama menjalani perkuliahan dan bimbingan semoga kita masih menjalin silaturahim di masa mendatang.

Kiranya penelitian ini mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya pada berbagai pihak yang berkepentingan. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan. Penulis juga sangat terbuka pada saran dan kritikan yang bersifat membangun dari semua pihak demi kepentingan kualitas penelitian ini.

Medan, Juli 2013 Penulis,

117032239/IKM Wardati Humaira


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Wardati Humaira yang dilahirkan pada tanggal 30 April 1980 di Secanggang Kabupaten Langkat, anak ke empat dari lima bersaudara dari pasangan ayahanda Drs. H. Muhammad Yusra dan Ibunda Hj. Asbah Rosida.

Pendidikan formal penulis dimulai di Sekolah Dasar YKPP 2 Pertamina Pangkalan Berandan pada tahun 1986 dan diselesaikan pada tahun 1992, Sekolah SMP Negeri 1 Hinai tahun 1992 dan selesai tahun 1995, Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Stabat tahun 1995 dan selesai tahun 1998, pada tahun 1998 mulai masuk pendidikan perguruan tinggi di Akademi Kebidanan Republik Indonesia Medan dan selesai tahun 2001, pada tahun 2002 melanjutkan pendidikan di Diploma IV Bidan Pendidik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Kemudian pada tahun 2011 penulis melanjutkan pendidikan di Pascasarjana Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Minat Studi Kesehatan Reproduksi.

Riwayat bekerja penulis dimulai sejak tahun 2002-2006 bekerja di Poltekkes Depkes Medan, kemudian tahun 2006-2009 menjadi staf pengajar di Jurusan Kebidanan Poltekkes Banda Aceh, dan pada Tahun 2009 hingga saat ini bekerja di Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Medan.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 13

1.3 Tujuan Penelitian ... 13

1.4 Hipotesis ... 13

1.5 Manfaat Penelitian ... 14

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1 Perilaku Seksual pada Remaja ... 15

2.1.1 Pengertian... 15

2.1.2 Bentuk-bentuk Perilaku Seksual ... 16

2.1.3 Faktor Penyebab Perilaku Seksual ... 17

2.1.4 Akibat dari Perilaku Seksual Remaja ... 18

2.2 Asertifitas Remaja dalam Perilaku Seksual ... 20

2.2.1 Pengertian Asertifitas... 21

2.2.2 Komponen Asertifitas Remaja ... 23

2.2.3 Tipe Perilaku Asertif ... 25

2.2.4 Keuntungan Asertifitas Remaja ... 26

2.3 Faktor – faktor yang Memengaruhi Asertifitas Remaja dalam Perilaku Seksual ... 27

2.3.1 Budaya ... 28

2.3.2 Harga Diri ... 30

2.3.3 Pola Asuh ... 34

2.3.4 Teman Sebaya ... 38

2.3.5 Pengetahuan ... 40

2.3.6 Self-Efficacy ... 42

2.3.7 Media Informasi ... 42

2.4 Remaja ... 44

2.4.1 Pengertian ... 44


(13)

2.5 Landasan Teori ... 46

2.6 Kerangka Konsep ... 48

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 49

3.1 Jenis Penelitian ... 49

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49

3.3Populasi dan Sampel ... 50

3.3.1Populasi ... 50

3.3.2Sampel ... 50

3.4Metode Pengumpulan Data ... 52

3.4.1Data Primer ... 52

3.4.2Data Sekunder ... 52

3.4.3Data Tertier ... 52

3.4.4Uji Validitas dan Reliabilitas ... 52

3.5Variabel dan Definisi Operasional Variabel ... 56

3.6.1Variabel Dependen ... 56

3.5.2Variabel Independen ... 56

3.6.3Definisi Operasional ... 56

3.6Metode Pengukuran ... 59

3.7Metode Analisis Data ... 62

3.7.1Analisis Univariat ... 62

3.7.2Analisis Bivariat ... 62

3.7.3Analisis Multivariat ... 63

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 64

4.1 Gambaran Umum Siswa SMP Negeri 1 Hinai. 64

4.2 Analisis Univariat ... 66

4.2.1 Karakteristik Responden... 66

4.2.2 Karakteristik Responden berdasarkan Jawaban Item Pernyataaan Asertifitas ... 67

4.2.3 Karakteristik Responden berdasarkan Jawaban Item Pernyataaan Budaya, Pola Asuh Harga Diri,Teman Sebaya, Pengetahuan, Self efficacy, dan Media Informasi…. 69

4.2.4 Karakteristik Responden berdasarkan Asertifitas dalam Perilaku Seksual ... 76

4.2.5 Karakteristik Responden berdasarkan Budaya, Pola Asuh, Harga Diri,Teman Sebaya, Pengetahuan, Self efficacy, dan Media Informasi ... 77

4.3Analisis Bivariat ... 78


(14)

BAB 5. PEMBAHASAN ... 87 5.1 Asertifitas Remaja dalam Perilaku Seksual. 88 5.2 Pengaruh Budaya terhadap Asertifitas dalam Perilaku Seksual….. 92 5.3 Pengaruh Harga Diri terhadap Asertifitas dalam Perilaku

Seksual ... 97 5.4Pengaruh Pola Asuh terhadap Asertivitas dalam Perilaku

Seksual ... 99 5.5Pengaruh Teman Sebaya terhadap Asertifitas dalam Perilaku

Seksual ... 105 5.6Pengaruh Pengetahuan terhadap Asertifitas dalam Perilaku

Seksual ... 108 5.7Pengaruh Self Efficacy terhadap Asertifitas dalam Perilaku

Seksual ... 109 5.8Pengaruh Media Informasi terhadap Asertifitas dalam Perilaku

Seksual ... 112 5.9 Keterbatasan Penelitian ... 114 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 116

6.1 Kesimpulan………

………. 116

6.2 Saran ... 117 DAFTAR PUSTAKA ... 119 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Distribusi Responden Berdasarkan Kelas ... 51

3.2 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuisioner Penelitian ... 54

3.3 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian ... 59

4.1 Distribusi Siswi SMP Negeri 1 Hinai ... 65

4.2 Distribusi Karakteristik Siswi SMP Negeri 1 Hinai ... 66

4.3 Distribusi Responden berdasarkan Jawaban Item Pernyataan Asertifitas ... 68

4.4 Distribusi Responden berdasarkan Jawaban Item Pernyataan Budaya ... 70

4.5 Distribusi Responden berdasarkan Jawaban Item Pernyataan Harga Diri ... 72

4.6 Distribusi Responden berdasarkan Jawaban Item Pernyataan Teman Sebaya 74 4.7 Distribusi Responden berdasarkan Jawaban Item Pernyataan Pengetahuan ... 75

4.8 Distribusi Responden berdasarkan Jawaban Item Pernyataan Self Efficacy ... 76

4.9 Distribusi Responden Menurut Asertifitas dalam Perilaku Seksual ... 77

4.10 Karakteristik Responden berdasarkan Budaya, Pola Asuh, Harga Diri, Teman Sebaya, Pengetahuan, Self efficacy, dan Media Informasi ... 78

4.11 Pengaruh Variabel Independen (Budaya, Pola Asuh, Harga Diri, Teman Sebaya, Pengetahuan, Self-efficacy, dan Media Informasi) Terhadap Asertifitas dalam Perilaku Seksual ... 82

4.12 Pemilihan Kandidat Model untuk Tahap Pemodelan Multivariat ... 83

4.13 Alternatif Model Regresi Logistik ... 84

4.14 Hasil Uji Interaksi ... 85

4.15 Hasil Analisis Regresi Logistik ... 85


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 2.1 Landasan Teori Menurut Bandura (1988) ... 46 2.2 Kerangka Konsep Penelitian ... 48


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 127

2. Pemilihan Sampel... 139

3. Data Validitas dan Reliabilitas ... 152

4. Master Data ... 159

5. Analisa Univariat ... 168

6. Analisa Bivariat... 185

7. Uji Kolinearitas ... 192

8. Uji Interaksi ... 199

9. Model Regresi Akhir ... 203


(18)

ABSTRAK

Perilaku seksual yang melanda remaja cenderung meningkat. Salah satu bentuk keterampilan hidup yang perlu diterapkan bagi remaja adalah keterampilan untuk bersikap tegas atau asertif. Faktor-faktor yang mempengaruhi asertifitas, yaitu jenis kelamin, usia, budaya, tingkat pendidikan, harga diri, dan situasi tertentu lingkungan sekitarnya seperti pola asuh orang tua dan teman sebaya pengetahuan, self efficacy dan media informasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi asertifitas remaja dalam perilaku seksual di SMP Negeri 1 Hinai Kabupaten Langkat Tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode survei explanatory research. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswi SMP Negeri 1 Hinai yang berjumlah 363 orang. Sampel pada penelitian ini adalah siswi kelas VIII dan IX sebanyak 113 orang, dengan pengambilan sampel menggunakan proportional random sampling. Pengumpulan data diperoleh melalui penyebaran angket menggunakan alat bantu kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik berganda pada α = 5%.

Hasil penelitian ini menunjukkan, asertifitas remaja dalam perilaku seksual berada pada kategori tinggi (57,5%), dan secara statistik variabel yang paling dominan memengaruhi adalah teman sebaya yaitu dengan nilai koefisien regresi 5,011.

Disarankan pihak sekolah SMP Negeri 1 Hinai hendaknya meningkatkan perilaku asertif remaja dengan memasukkan pendidikan asertif dalam kurikulum muatan lokal di sekolah dan dapat bekerja sama dengan orang tua remaja dalam mengontrol hubungan remaja dengan teman sebaya, pihak terkait mengajarkan remaja untuk lebih berani dalam pengambilan keputusan, responden harus dapat mempertahankan harga diri.


(19)

ABSTRACT

Sexual behavior in teenagers tends to be increasing. One of the life skills needed to be applied by the teenagers is the skill of how to be assertive. The factors influencing the assertiveness are culture, self-esteem, parents’ parenting pattern, peers, knowledge, self-efficacy, and information media.

The purpose of this study was to find out the factors influencing the teenagers’ assertiveness in sexual behavior at SMP (Junior High School) Negeri I Hinai, Langkat District, in 2013. The population of this explanatory study was all of the 363 female students of SMP Negeri I Hinai and 113 female students from grade VIII and grade IX were selected to be the samples for this study through proportional random sampling technique. The data for this study were directly obtained from the female students through questionnaire distribution. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests at α = 5%.

The result of this study showed that the assertiveness of the female students towards sexual behaviour belonged at the high category (57.5%), and statistically, culture, self-esteem, peers and self-efficacy had influence on the assertiveness towards the sexual behavior in the teenagers at SMP Negeri I Hinai. The most dominant influencing variable was peer with the regression coefficient value of 5.011.

The management of SMP Negeri I Hinai should increase assertive behavior of their students by including education in the local curriculum in schools and to cooperate with the students’ parents in monitoring tennagers relationship with peers, so that stakeholders teaches teens to be more courageous in making decisions, the respondent must be able to maintain self-esteem.


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu dampak dari Total Fertility Rate (TFR) dan Infant Mortality Rate (IMR) adalah perubahan struktur umur penduduk, diantaranya yaitu terjadinya peningkatan jumlah penduduk usia remaja. Berdasarkan data BPS, 2011, jumlah pemuda Indonesia (penduduk berusia 16 – 30 tahun) diperkirakan sebanyak 51,95 juta jiwa atau 25,69% dari penduduk Indonesia yang berjumlah 241,13 juta jiwa. Dari data tersebut diketahui kelompok umur pemuda yang berusia 16 – 20 tahun sebesar 32,06%. Jumlah remaja yang tidak sedikit ini merupakan potensi yang sangat berarti dalam melanjutkan pembangunan di Indonesia.

Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004 – 2009, merupakan salah satu dari program pemerintah dalam sektor pembangunan sumber daya manusia. Sasaran dari program ini adalah meningkatkan pengetahuan, sikap dan perubahan prilaku remaja melalui pelayanan dan informasi kesehatan reproduksi (Bappenas, 2007).

Berbagai upaya pembangunan untuk menggali potensi remaja dilakukan, sehingga menyebabkan perubahan pada kehidupan remaja. Apabila upaya pembangunan yang dilakukan seimbang dan proporsional tentu tidak akan menimbulkan masalah yang cukup berarti, akan tetapi adanya ketidakseimbangan upaya pembangunan yang dilakukan terutama terhadap remaja, akhirnya


(21)

menimbulkan masalah bagi pembangunan itu sendiri. Salah satu masalahnya adalah terjadinya perubahan mendasar yang menyangkut sikap dan perilaku seksual pranikah di kalangan remaja (Notoatmodjo, 2007).

Perilaku seksual yang melanda remaja ini cenderung meningkat. Akibat dari segala dampak yang muncul seperti kehamilan di luar nikah, kawin muda, anak-anak lahir diluar nikah, aborsi, penyakit menular seksual, depresi pada wanita yang terlanjur berhubungan seks dan lain sebagainya (Sarwono, 2012).

Sarwono (2012) mengutip pendapat Simkins (1984), sebagian dari tingkah laku itu memang tidak berdampak apa-apa, terutama jika tidak ada dampak fisik atau sosial yang dapat ditimbulkannya. Tetapi pada sebagian perilaku seksual yang lain, dapat terjadi kehamilan di luar nikah yang dampaknya bisa cukup serius, seperti perasaan bersalah, depresi, marah misalnya pada perempuan yang terpaksa menggugurkan kandungannya. Menurut Sarwono (2012) yang mengutip pendapat Sanderowitz dan Paxman (1985), bahwa akibat psikososial dapat timbul yaitu ketegangan mental, dan kebingungan akan peran sosial yang akan berubah jika seorang gadis tiba-tiba hamil dan akan mendapat cemoohan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya. Kehamilan yang tidak diinginkan remaja tersebut dapat menjadikan remaja harus hamil pada usia muda.

Berdasarkan laporan WHO (2012), pada tahun 2008, ada 16 juta kelahiran dari ibu yang berusia 15-19 tahun, yang mewakili 11% dari seluruh kelahiran yang ada di dunia. Sekitar 95% dari kelahiran terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Angka kelahiran global remaja ini telah menurun dari 60 per 1000 pada


(22)

tahun 1990 menjadi 48 per 1000 pada tahun 2007, yang diawali dari 5 per 1000 wanita di Asia Timur menjadi 121 per 1000 di sub-Sahara Afrika pada tahun 2007. The World Bank (2010), juga mencatat laporan dari Millennium Development Goals (MDGs) (2010), dimana tingkat kelahiran remaja usia 15 – 19 tahun adalah 53 per 1000 kelahiran.

The National Youth Risk Behavior Survey (YRBS) (2012), memantau perilaku yang kesehatan berisiko yang berkontribusi terhadap penyebab utama kematian, cacat, dan masalah-masalah sosial di kalangan remaja di Amerika Serikat, dan diperoleh 47,4% remaja sudah pernah melakukan hubungan seksual pada tahun 2011, dan sebanyak 6.2% mengaku melakukan hubungan seksual sebelum umur 13 tahun. Di Indonesia berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (2010), terdapat 30 kelahiran pada usia 15 – 19 tahun dari 3.010 kelahiran dan diperkirakan sebagian akibat kehamilan pranikah remaja.

Berbagai data yang berkaitan dengan perilaku seksual remaja secara global sudah sangat mengkhawatirkan. Menurut data dari The National Survey of Family Growth (2011), yang mencatat aktivitas seksual, penggunaan kontrasepsi, kelahiran selama tahun 2006-2010, sekitar 43% remaja perempuan (4,4 juta), dan sekitar 42% remaja laki-laki (4,5 juta) telah melakukan hubungan seksual pra nikah setidaknya sekali. 78% perempuan dan 85% laki-laki menggunakan metode kontrasepsi pada seks pertama.

Menurut data BPS, BKKBN, DEPKES RI, dan Macro Internasional, 2008, yang mencatat SDKI tahun 2007, menunjukkan 9 persen 1000 kelahiran adalah di


(23)

usia remaja,dan berdasarkan laporan RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) (2010), juga menunjukkan bahwa perempuan yang pernah hamil pada umur 10 – 14 sebanyak 0,5 per 1000 perempuan, dan pada umur 15 – 19 sebanyak 77,1 per 1000 perempuan. Menurut data BPS, BKKBN, DEPKES RI, dan Macro Internasional, 2008, yang mencatat Indonesian Young Adult Reproductive Health Survey (IYARHS) tahun 2007, ditemukan 1% wanita pernah melakukan hubungan seksual sedangkan pria 6%. Beberapa responden ditanya alasan melakukan hubungan seksual pertama mereka. Keingintahuan tampaknya menjadi alasan utama untuk berhubungan seks yaitu 45%, dan laki-laki lebih mungkin dibandingkan perempuan untuk menyebutkan alasan ini yaitu masing-masing sebanyak 51% dan 7%.

Berdasarkan survei tersebut juga diketahui kebanyakan wanita dan laki-laki mulai berpacaran pada usia 15-17, dengan sedikit lebih tinggi proporsi bagi perempuan daripada laki-laki masing-masing 43% dan 40%. Ini menyiratkan bahwa inisiasi untuk berpacaran lebih cenderung terjadi pada usia yang lebih muda pada wanita dibandingkan pria. Sebanyak 24% wanita mengatakan bahwa mereka mulai berkencan sebelum mencapai usia 15, dibandingkan dengan 19 persen laki-laki. Para responden juga ditanya jenis kegiatan yang mereka lakukan ketika kencan, termasuk berpegangan tangan, berciuman, dan petting, dan diketahui bahwa memegang tangan adalah yang paling umum dilakukan yaitu 68 % pada perempuan dan 69% pada laki-laki, berciuman laki-laki 41% dan perempuan 27 persen, dan yang melakukan petting laki-laki 27% dan perempuan 9%.


(24)

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2010 ditemukan dari keseluruhan remaja berumur 10-24 tahun yang berstatus belum menikah adalah 86,7%. Pada kelompok remaja dengan status belum kawin, sebanyak 3,0% laki-laki dan perempuan 1,1 % mengatakan pernah berhubungan seksual. Lebih lanjut dapat diketahui pula bahwa umur pertama berhubungan seksual sudah terjadi pada usia yang sangat muda, yaitu 8 tahun. Terdapat 0,5 persen perempuan telah melakukan hubungan seksual pertama kali pada usia 8 tahun, dan 0,1 persen pada laki-laki.

Menurut BKKBN (2012), dari 552 remaja yang ada di Sumatera Utara, diketahui sebanyak 86.3% remaja yang berpegangan tangan ketika berpacaran, 32.2% remaja yang melakukan cium bibir, dan sebanyak 8.2% remaja yang melakukan rabaan/rangsangan. Sebanyak 4.9% laki-laki dan 1.5% perempuan telah melakukan hubungan seksual pada saat berpacaran.

Berdasarkan survei yang telah dilakukan, diketahui di Kabupaten Langkat 45% remaja sudah pernah melakukan asusila kepada lawan jenisnya. Pada 9 Puskesmas dari 33 Puskesmas di Kabupaten Langkat, terdapat 181 kehamilan remaja usia 15 – 19 tahun dari 1326 seluruh kehamilan, walaupun dari jumlah dari kehamilan remaja tersebut belum dapat dipastikan akibat dari kehamilan pranikah, namun bisa dipersepsikan bahwa sebagian kehamilan tersebut adalah kehamilan pranikah dari keterangan beberapa bidan koordinator di puskesmas.

Seorang bidan koordinator di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Beringin Kecamatan Hinai, mengatakan bahwa hampir 50% dijumpai kehamilan pra nikah di daerah tersebut, hal ini diketahui pada waktu pemeriksaan Ante Natal Care (ANC)


(25)

pasien hamil yang datang kepadanya, maupun dari data yang dikumpulkan para bidan setempat. Istilah “wes meteng”, juga terdengar apabila masyarakat di daerah tersebut selesai menghadiri sebuah pesta pernikahan, yang pengantin perempuannya sudah hamil, karena di daerah ini, orang tua tetap membuat pesta pernikahan untuk anaknya walaupun anak tersebut sudah hamil di luar nikah.

Berdasarkan keterangan dari Kepala Kantor Kementrian Agama (Kemenag) Kecamatan Hinai Kabupaten, memperkirakan jumlah kasus remaja yang hamil sebelum menikah mencapai puluhan pasangan. Kasus ini diketahui saat mendapatkan penyuluhan tentang pernikahan sebelum mendafrtar menikah. Beberapa calon pengantin wanita yang telah hamil menutupi perutnya dengan cara memakai stagen, agar perutnya tidak kelihatan seperti membesar. Namun dilihat dari cara berbicara, sang calon pengantin wanita sudah kelihatan sesak dengan perut yang membesar tersebut.

Berdasarkan survei yang telah dilakukan di SMP (Sekolah Menengah Pertama) Negeri I Hinai, diperoleh hasil pada satu kelas yang berisikan 32 siswa terdapat 18 siswa yang mengaku sudah pernah pacaran dan mulai berpacaran pada umur 14 tahun. Tetapi para siswa mengaku gaya berpacarannya masih dalam batas dan rata-rata seperti berpegangan tangan 90%, berciuman bibir 75%. Mereka mengatakan bahwa orang tua mereka mengetahuinya. Ketika ditanya mengenai kehamilan di usia muda, rata-rata dari mereka tidak setuju jika ada remaja seumur mereka sudah hamil, apalagi bila kehamilan tersebut adalah disebabkan perilaku seksual pranikah. Berdasarkan laporan dari guru bimbingan konseling yang ada di


(26)

SMP tersebut, bahwa belum ada dari siswa mereka yang diberhentikan dari sekolah karena sudah hamil.

Akibat lain yang dapat terjadi dari perilaku seksual remaja ini menurut Sarwono (2012) adalah terganggunya kesehatan dan risiko kehamilan serta kematian bayi yang tinggi serta munculnya penyakit infeksi menular seksual (IMS). Berdasarkan data BPS, BKKBN, DEPKES RI, dan Macro Internasional (2008), melalui Indonesian Demographic and Health Survey tahun 2007, mencatat Angka Kematian Ibu (AKI) 228/100.000 kelahiran hidup, Angka Kematian Bayi (AKB) 34/1000 KH dan Angka Kematian Neonatus (AKN) 19/1000 kelahiran hidup, hal ini masih jauh dari target MDGs tahun 2015 dimana AKI dan AKB di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan dengan Negara ASEAN lainnya. Penyebabnya antara lain tingginya angka kematian akibat komplikasi pada waktu hamil dan bersalin, aborsi tidak aman, PMS dan kanker reproduktif.

Menurut Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2011 jumlah AKI 116/100.000 KH dan AKB 7,73/1000 KH. Hal ini berarti AKI dan AKB di Sumatera Utara masih cukup tinggi. Penyebabnya antara lain tingginya angka kematian akibat komplikasi pada waktu hamil dan bersalin, aborsi yang tidak aman, PMS dan kanker reproduktif. Selanjutnya, berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Langkat tahun 2011 ditemukan AKI 112,49 per 100.000 KH dan AKB 4,74 per 1000 KH. Angka ini jauh di bawah angka nasional dan provinsi sehingga angka ini belum dapat dijadikan standar, karena kemungkinan masih banyak kematian yang tidak


(27)

dilaporkan. Oleh karena itu diperlukan pencatatan dan pelaporan yang lebih teliti dari sarana yang paling dasar yaitu Posyandu dan Bidan Desa.

Menurut Santrock (2007), remaja merupakan transisi perkembangan antara masa kanak – kanak dan masa dewasa yang meliputi perubahan secara fisik, kognitif dan perubahan sosial. Perkembangan itu dipelajari dan dipengaruhi secara kuat oleh lingkungan. Santrock (2007) juga mengutip pendapat Bandura (2000) menyatakan bahwa perilaku, lingkungan dan personal/kognisi merupakan faktor yang penting dalam perkembangan.

Menurut Muadz dan Syaefuddin (2010), salah satu tugas perkembangan sosial yang harus dijalani oleh remaja adalah tugas untuk mempraktekkan pola hidup sehat (practice healthy life). Banyaknya kasus perilaku seksual pranikah, kecanduan narkoba dan terjangkit HIV/AIDS jelas menunjukkan sebagian remaja Indonesia berperilaku tidak sehat.

Remaja perlu keterampilan dalam menghadapi transisi kehidupannya untuk menjadi dewasa. sehingga dalam melewati masa remaja menuju dewasa, remaja dapat bertahan menghadapi tantangan, hambatan, serta dapat memanfaatkan peluang yang ada dihadapannya. Santrock (2007) mengutip pendapat Scheer dan Unger (1994), bahwa bertanggung jawab pada diri sendiri dan mengambil keputusan secara mandiri merupakan hal yang penting untuk mencapai status dewasa.

Muadz dan Syaefuddin (2010) mengutip pendapat Depdiknas (2002), keterampilan yang dapat digolongkan ke dalam keterampilan hidup sangat beragam tergantung pada situasi dan kondisi maupun budaya masyarakat setempat. Salah satu


(28)

bentuk keterampilan hidup yang perlu diterapkan bagi remaja adalah keterampilan untuk bersikap tegas atau asertif. Asertif adalah sebuah sikap atau perilaku untuk mengekspresikan diri secara tegas kepada pihak lain tanpa harus menyakiti pihak lain ataupun merendahkan diri di hadapan pihak lain. Asertif untuk kelompok remaja sangat diperlukan dalam menghadapi tekanan sebaya. Tekanan itu berkaitan dengan ajakan untuk terlibat kedalam resiko Triad KRR yaitu Seksualitas, HIV/AIDS dan Napza.

Myers dan Myers (2002) mengatakan asertifitas adalah salah satu gaya komunikasi dimana individu dapat mempertahankan hak dan mengekspresikan perasaan, pikiran dan kebutuhan secara langsung, jujur dan bersikap terus terang. Menurut Alberti & Emmons (2002), asertif adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain.

Marini dkk (2005), mengutip pendapat Hawari dkk (2002), menyatakan bahwa penyebab para remaja terjerumus ke hal yang negatif seperti seks bebas, salah satunya adalah karena kepribadian yang lemah. Ciri – cirinya antara lain daya tahan terhadap tegangan dan tekanan rendah, kurang bisa mengekpresikan diri, kurang bisa mengendalikan emosi dan agresivitas serta tidak dapat mengatasi masalah dan konflik dengan baik yang erat kaitannya dengan asertivitas.

Rosita (2010) dan Hidayah (2010) yang mengutip pendapat Rathus dan Nevid (1983) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi asertifitas, yaitu jenis kelamin, usia, budaya, tingkat pendidikan, harga diri (self esteem), dan situasi tertentu


(29)

lingkungan sekitarnya seperti pola asuh orang tua dan teman sebaya. Semua faktor tersebut akan diteliti menjadi faktor yang memengaruhi asertifitas kecuali faktor jenis kelamin, usia dan pendidikan.

Rakos (1991) mengemukakan bahwa konsep asertifitas berkaitan dengan kebudayaan dimana seseorang tumbuh dan berkembang. Dapat dikatakan bahwa pada suatu budaya suatu perilaku dipandang asertif dan sesuai dengan budaya setempat. Akan tetapi hal yang sama tidak dapat ditolerir oleh masyarakat dengan latar belakang budaya lain. Herdiana (2007), melalui penelitiannya tentang budaya asertif pada anak-anak dengan kultur Jawa, menguraikan bahwa secara umum anak-anak dengan latar belakang kultur Jawa masih memperlihatkan tingkat perilaku asertif yang terbatas. Mereka kebanyakan masih sangat bergantung pada orang tua, terutama ibu untuk menentukan keinginan-keinginannya.

Menurut Santrock (2007), harga diri (Self Esteem) adalah suatu dimensi global dari diri. Harga diri mencerminkan persepsi yang tidak selalu sama dengan realitas. Harga diri yang tinggi dapat merujuk pada persepsi yang tepat atau benar mengenai martabatnya sebagai seorang pribadi, termasuk keberhasilan dan pencapaiannya. Dengan cara yang sama, harga diri yang rendah dapat mengidentifikasikan persepsi yang tepat mengenai keterbatasan atau penyimpangan, atau bahkan kondisi tidak aman dan inferior yang akut. Keyakinan seseorang turut mempengaruhi kemampuan untuk melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan. Orang yang memiliki keyakinan diri yang tinggi memiliki kekuatiran sosial yang


(30)

rendah sehingga mampu mengungkapkan pendapat dan perasaan tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri.

Menurut Hidayah (2010) yang mengutip pendapat Daud (2004), komunikasi orang tua dan anak dapat memengaruhi kemampuan anak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Berbedanya pola asuh yang diberikan orang tua dapat mengakibatkan berbedanya tingkat asertifitas anak. Menurut survey yang dilakukan oleh The National Campaign (2012), remaja mengatakan bahwa orangtua paling besar memengaruhi keputusan mereka tentang seks, lebih daripada teman sebaya, budaya, guru dan lain-lain, diperoleh hasil 4 dari 10 remaja (38%) mengatakan orang tua paling memengaruhi keputusan mereka tentang seks, dibandingkan dengan 22% yang dipengaruhi oleh teman-teman.

Sikap Asertif untuk kelompok remaja sangat diperlukan dalam menghadapi tekanan remaja sebaya. Tekanan itu berkaitan dengan ajakan untuk terlibat kedalam risiko triad KRR, yaitu seksualitas, HIV/AIDS dan napza. Menurut Suwarni (2009), bahwa pengaruh perilaku seksual teman sebaya secara langsung paling besar memengaruhi perilaku seksual remaja. Pengaruh perilaku seksual teman sebaya secara langsung sebesar 20,2%, sedangkan pengaruh perilaku seksual teman sebaya secara tidak langsung melalui niat berperilaku seksual sebesar 14,24%.

Selanjutnya perilaku asertif yang diteliti adalah perilaku asertif dalam perilaku seksual, oleh karena itu beberapa faktor yang memengaruhi perilaku seksual juga menjadi bagian yang akan diteliti. Santrock (2007) yang mengutip Bandura (1998) menyatakan bahwa faktor pribadi/kognitif, faktor perilaku dan faktor


(31)

lingkungan dapat berinteraksi secara timbal-balik. Beberapa yang termasuk dalam faktor tersebut adalah pengetahuan, self efficacy dan media informasi.

Sarkova (2013) mengutip pendapat Arrindell & van der Ende (1985), menyatakan bahwa asertif juga sebuah bentuk komunikasi yang dilakukan secara langsung dan sesuai kebutuhan, keinginan, dan pendapat seseorang tanpa menghukum atau merendahkan orang lain. Menurut feeney (1999) yang mengutip teori kompetensi komunikasi interpersonal Spitzberg dan Cupach (1984) menggambarkan tiga komponen utama dalam komunikasi yang salah satunya adalah pengetahuan. Pengetahuan mengacu dengan kemampuan individu mengidentifikasi perilaku yang paling tepat selama proses komunikasi dalam situasi tertentu. Oleh karena itu secara tidak langsung mempengaruhi perilaku asertif.

Self efficacy adalah persepsi seseorang terhadap kompetensi mereka dalam menghadapi lingkungan. Semakin tinggi self efficacy, maka semakin yakin seseorang untuk melakukan suatu tingkah laku, dan akan melakukan suatu usaha yang lebih besar dan waktu yang lebih lama untuk bertahan melakukan perilaku tersebut. enurut Brown (2008), banyak yang telah menulis tentang pengaruh media terhadap perilaku seksual remaja, terutama yang berhubungan dengan keputusan remaja tentang seks, beberapa topik menghasilkan sebagai banyak diskusi remaja tentang seksualitas sebagai pengaruh relatif dari media. Mengingat kekuatan dan cakupan media saat ini, menembus semua konteks dan memberikan pengaruh pada pengetahuan, sikap dan perilaku seksual baik secara positif maupun negatif.


(32)

Berdasarkan beberapa uraian tentang perilaku seksual dan pentingnya asertifitas pada perilaku seksual remaja serta adanya faktor-faktor yang dapat memengaruhi asertifitas tersebut, maka akan dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi asertivitas pada perilaku seksual di SMP Negeri 1 Hinai Kabupaten Langkat Tahun 2013

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah tingginya perilaku seksual remaja dan belum adanya informasi tentang pengaruh faktor – faktor asertifitas dalam perilaku seksual tersebut.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh faktor budaya, dan harga diri, pola asuh orang tua, teman sebaya, pengetahuan, self efficacy dan media informasi terhadap asertifitas remaja dalam perilaku seksual di SMP Negeri 1 Hinai Kabupaten Langkat Tahun 2013.

1.4 Hipotesis

Ada pengaruh faktor budaya, harga diri, pola asuh, teman sebaya pengetahuan, self efficacy dan media informasi terhadap asertifitas remaja dalam perilaku seksual di SMP Negeri 1 Hinai Kabupaten Langkat.


(33)

1.5 Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan bagi remaja terutama siswi SMP Negeri 1 Hinai, tentang pengaruh faktor budaya, harga diri, pola asuh, teman sebaya pengetahuan, self efficacy dan media informasi terhadap asertifitas remaja dalam perilaku seksual.

2. Dapat dijadikan suatu kebijakan bagi pelaksana program kesehatan reproduksi remaja (KRR) baik di luar maupun di dalam lingkungan sekolah untuk lebih meningkatkan asertivitas remaja dalam mengatasi permasalahan perilaku seksual remaja.


(34)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Seksual pada Remaja 2.1.1 Pengertian

Santrock (2007) mengutip pendapat Skinner (1938) mengemukakan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Ada dua bent

a) Respondent response atau reflexive response, ialah tanggapan yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Rangsangan yang semacam ini disebut eliciting stimuli karena menimbulkan tanggapan yang relatif tetap.

b) Operant response atau instrumental response, adalah tanggapan yang timbul dan berkembangnya sebagai akibat ole reinforcing stimuli atau reinforcer. Rangsangan tersebut dapat memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Oleh sebab itu, rangsangan yang demikian itu mengikuti atau memperkuat sesuatu perilaku tertentu yang telah dilakukan

Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku seksual remaja terdiri dari kata-kata yang memiliki pengertian yang sangat berbeda satu sama lainnya. Perilaku dapat diartikan sebagai respon organisme atau respons seseorang terhadap stimulus (rangsangan) yang ada. Sedangkan seksual adalah rangsangan atau dorongan yang timbul berhubungan dengan seks. Jadi, perilaku seksual adalah tindakan yang


(35)

dilakukan oleh remaja berhubungan dengan dorongan seksual yang datang baik dari dalam dirinya maupu n dari luar dirinya.

Menurut Sarwono (2012), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik yang dilakukan dengan lawan jenisnya maupun sesama jenis tanpa adanya ikatan pernikahan menurut agama. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri.

Suryoputro dkk (2007) yang mengutip pendapat Bandura (1990), bahwa perilaku seksual tidak merupakan hasil langsung dari pengetahuan atau ketrampilan, melainkan suatu proses penilaian yang dilakukan seseorang dengan menyatukan ilmu pengetahuan, harapan, status emosi, pengaruh sosial dan pengalaman yang didapat sebelumnya untuk menghasilkan suatu penilaian atas kemampuan mereka dalam menguasai situasi yang sulit.

2.1.2 Bentuk-bentuk Perilaku Seksual

Hidayah (2010) yang mengutip Duvall dan Miller (1985) mengatakan bahwa bentuk perilaku seksual pranikah mengalami peningkatan secara bertahap. Adapun bentuk – bentuk perilaku seksual tersebut adalah.

a) Touching, seperti berpegangan taPngan, dan berpelukan.

b) Kissing, berkisar dari ciuman singkat dan cepat sampai kepada ciuman yang lama dan lebih intim.


(36)

c) Petting, seperti menyentuh atau meraba daerah erotis dari tubuh pasangan biasanya meningkat dari meraba ringan sampai meraba alat kelamin.

d) Sexual Intercourse, hubungan kelamin atau senggama 2.1.3 Faktor Penyebab Perilaku Seksual

Menurut Sarwono (2012), masalah seksualitas pada remaja timbul karena faktor-faktor berikut, yaitu :

1) Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas). Peningkatan ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.

2) Penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum maupun karena norma sosial yang makin lama makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan lain-lain)

3) Sementara usia kawin ditunda, norma-norma agama tetap berlaku di mana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat kecenderungan untuk melanggar saja larangan-larangan tersebut.

4) Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa dengan adanya teknologi canggih (VCD, internet, handpone seluler, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang dalam periode ingin tahu dan ingin


(37)

mencoba akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa, khususnya bila mereka belum mengetahui secara lengkap dari orang tua.

5) Di pihak lain, adanya kecenderungan pergaulan makin bebas antara pria dan wanita akibat dari peran dan pendidikan wanita yang makin sejajar dengan pria. Sehingga kurang adanya pemantauan bagi anak remaja.

Hidayah (2010) yang mengutip pendapat Pratiwi (2004), bahwa faktor – faktor yang memengaruhi prilaku seksual pada remaja yaitu faktor biologis, pengaruh teman sebaya, pengaruh orang tua, akademik, pemahaman, pengalaman seksual, pengalaman dan penghayatan nilai – nilai keagamaan, kepribadian dan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi.

Menurut Indrayani dan Saepudin (2008), dalam pandangan Rosenstock dan Becker (1954) melalui teori Health Belief Model (HBM), bahwa remaja yang melakukan hubungan seksual pranikah sehingga mengakibatkan kehamilan pranikah, lebih disebabkan karena beberapa faktor diantaranya rendahnya pengetahuan tentang seksualitas dan kontrasepsi, pengaruh norma kelompok sebaya yang dianutnya, status hubungan, harga diri yang rendah serta rendahnya keterampilan interpersonal khususnya perempuan untuk bersikap asertif yakni sikap tegas untuk mengatakan tidak terhadap ajakan melakukan hubungan seks dari teman kencannya.

2.1.4 Akibat dari Perilaku Seksual Remaja

Sarwono (2012) mengutip pendapat Simkins (1984), sebagian dari tingkah laku itu memang tidak berdampak apa-apa, terutama jika tidak ada dampak fisik atau sosial yang dapat ditimbulkannya. Tetapi pada sebagian perilaku seksual yang lain,


(38)

dampaknya bisa cukup serius seperti perasaan bersalah, depresi, marah, misalnya pada gadis- gadis yang terpaksa menggugurkan kandungannya.

Sarwono (2012) juga mengutip pendapat Sanderowitz dan Paxman (1985), bahwa akibat psikososial lainnya adalah ketegangan mental, dan kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba berubah jika seorang gadis tiba-tiba hamil dan juga akan terjadi cemoohan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya. Akibat lainnya adalah terganggunya kesehatan dan risiko kehamilan serta kematian bayi yang tinggi dan berkembangnya penyakit menular seksual. Selain itu ada juga akibat-akibat ekonomis karena diperlukan ongkos perawatan dan lain-lain.

Menurut Muadz dan Syaefuddin (2010), salah satu tugas perkembangan sosial yang harus dijalani oleh remaja adalah tugas untuk mempraktekkan pola hidup sehat (practice healthy life). Banyaknya kasus perilaku seksual pranikah, kecanduan narkoba dan terjangkit HIV/AIDS, jelas menunjukkan sebagian remaja Indonesia berprilaku tidak sehat. Dengan demikian, sebagai akibatnya, sejumlah remaja yang berperilaku tidak sehat itulah yang akan terganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, emosional dan spiritualnya. Perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab atau perilaku seksual menyimpang akan mengakibatkan kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada remaja.

Menurut Irma (2010), remaja-remaja Indonesia sedikit demi sedikit mulai mengadopsi budaya Barat dalam cara berpakaian, bertutur kata, maupun pola pergaulan yang semakin bebas. Perilaku seks bebas yang sudah lazim di belahan


(39)

dunia barat sudah mulai merebak di kalangan remaja Indonesia. Akibatnya, para remaja putri semakin banyak yang hamil pada usia muda, yakni antara 13–19 tahun

.

2.2 Asertifitas Remaja dalam Perilaku Seksual

Menurut Rickert dkk (2002), bagian yang paling penting pada masa remaja adalah perkembangan seksualitas dan tercapainya kesehatan seksual yang baik. Hal ini ditandai dengan adanya keterampilan yang digunakan untuk mengontrol gairah seksual dan untuk mengatur konsekuensi yang tidak diinginkan dari perilaku seksual beresiko. Seorang remaja harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dalam perilaku seksual, hal ini sangat penting untuk melindungi dirinya terhadap perilaku seksual yang tidak diinginkan. Namun, terkadang remaja terutama remaja perempuan tidak tahu bagaimana mengatakan “tidak” kepada pacarnya jika dia diajak melakukan sesuatu yang belum sepatutnya dilakukan. Sikap tegas dalam perilaku seksual telah dikembangkan untuk lebih memahami komunikasi perempuan dalam upaya melindungi hak –hak seksualitasnya, hal ini didasarkan pada asumsi bahwa perempuan memiliki hak atas tubuh mereka sendiri.

Hidayah (2010) yang mengutip pendapat Getlin et al (2009), mengemukakan bahwa faktor signifikan yang mengarah ke situasi seksual negatif adalah kurangnya komunikasi asertif dapat menjadi masalah bagi berbagai alasan, termasuk menyebabkan penyesalan dari hubungan seksual, tertular infeksi menular seksual, dan mengalami situasi seksual paksaan. Situasi-situasi ini dapat mengakibatkan berbagai


(40)

tingkat kesulitan, mulai dari kecemasan dan rendah diri sampai berkurangnya prestasi akademik remaja apabila hal ini terjadi pada remaja awal.

2.2.1 Pengertian Asertifitas

Myers dan Myers (2002) mengatakan asertifitas adalah salah satu gaya komunikasi dimana individu dapat mempertahankan hak dan mengekspresikan perasaan, pikiran dan kebutuhan secara langsung, jujur dan bersikap terus terang. Menurut Alberti & Emmons (2002), asertif adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Menurut Brown dkk (2009), asertif adalah kemampuan berkomunikasi yang meliputi berbagi perasaan yang positif, mengapresiasikan kehangatan, mampu mengungkapkan perasaan dari ketidaknyamanan, mengatur batasan, dan berkata tidak pada orang lain yang berupaya mempengaruhi keinginan dan keyakinan diri kita.

Muadz dan Syaefuddin (2010) mendefinisikan asertif adalah sebuah sikap untuk mengekspresikan diri secara tegas kepada pihak lain tanpa harus menyakiti pihak lain ataupun merendahkan diri di hadapan pihak lain. Bersikap tegas adalah sebuah cara khusus yang dapat dipelajari dan dipraktekkan. Sikap tegas membuat seseorang mampu menyatakan pikiran, perasaan dan nilai-nilai mengenai sesuatu secara terbuka dan langsung, dengan tetap menghormati perasaan dan nilai – nilai pihak lain. Bersikap tegas adalah salah satu perilaku yang dapat dipilih ketika seseorang berada dalam situasi yang sulit dan ketika harus mengambil sebuah


(41)

keputusan. Keterampilan ini meningkatkan kemungkinan seseorang menghadapi sebuah situasi sulit tanpa kehilangan harga diri atau martabatnya.

Auslander (2008) mengemukakan tentang skala ketegasan seksual (Sexual Assertiveness Scale) yang menilai tingkat ketegasan seksual yang dilakukan pada tiga dimensi yaitu inisiasi, penolakan, dan pencegahan kehamilan dan penyakit infeksi menular seksual (IMS). Subskala pertama yaitu inisiasi, menilai persepsi wanita tentang sejauh mana dia memulai hubungan seks. Subskala kedua yaitu penolakan, mengukur persepsi wanita dari sejauh mana ia menolak hubungan seksual yang tidak diinginkan, dan yang terakhir subskala ketiga yaitu pencegahan kehamilan dan IMS menilai sejauh mana persepsi wanita dan menekankan pada penggunaan metode kontrasepsi dengan pasangannya dan pencegahan IMS.

Menurut East dan Adams (2002), asertif dalam perilaku seksual berarti

mengenali tanda-tanda dari perilaku seksual yang tidak wajar dan berpotensial mengendalikan dari pelecehan, serta memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengatakan tidak. Ini berarti memiliki hak untuk menerima pendidikan yang komprehensif tentang seksualitas, yang mengajarkan kemampuan untuk menentukan pilihan. Bagi mereka yang memilih untuk aktif secara seksual, itu berarti memiliki hak untuk melindungi diri terhadap risiko kehamilan, HIV dan penyakit menular seksual lainnya. Dalam hubungan seksual, keterampilan untuk asertif sangat sulit dan rumit untuk diperoleh, terutama bagi remaja, namun bagaimanapun saat ini remaja sangat memerlukannya.


(42)

Falah (2009) yang mengutip pendapat Oriza (2000), menyatakan bahwa asertif dalam perilaku seksual pranikah adalah kemampuan seseorang bersikap tegas mempertahankan hak seksualnya untuk tidak dilecehkan dan dapat mengambil keputusan seksualnya dengan tetap memberi penghargaan atas hak orang lain dan tanpa menyakiti orang lain atau pasangannya, serta mengekspresikan dirinya secara jujur dengan cara yang tepat tanpa perasaan cemas yang mengganggu sehingga mendorong terwujudnya kesejajaran dan persamaan dalam hubungan dengan pasangannya.

2.2.2 Komponen Asertifitas Remaja

Marini dan Andriani (2005) yang mengutip pendapat Martin dan Poland (1980), menyatakan, ada beberapa komponen dari asertifitas, antara lain :

a. Compliance

Berkaitan dengan usaha seseorang untuk menolak atau tidak sependapat dengan orang lain. Yang perlu ditekankan disini adalah keberanian seseorang untuk mengatakan “tidak” pada orang lain jika memang itu tidak sesuai dengan keinginannya.

b. Duration Of Play

Merupakan lamanya waktu bagi seseorang untuk mengatakan apa yang dikehendakinya, dengan menerangkan pada orang lain. Orang yang asertivitasnya tinggi memberikan respons yang lebih lama (dalam arti lamanya waktu yang digunakan untuk berbicara) daripada orang yang tingkat asertifnya rendah.


(43)

c. Loudness

Berbicara dengan lebih keras biasanya lebih asertif, selama seseorang itu tidak berteriak. Berbicara dengan suara jelas merupakan cara yang terbaik dalam berkomunikasi secara efektif dengan orang lain.

d. Request for New Behavior

Meminta munculnya perilaku yang baru pada orang lain, mengungkapkan tentang fakta ataupun perasaan dalam memberikan saran pada orang lain, dengan tujuan agar situasi berubah sesuai dengan yang kita inginkan.

e. Affect

Afek berarti emosi, ketika seseorang berbicara dalam keadaan emosi maka intonasi suaranya akan meninggi. Pesan yang disampaikan akan lebih asertif jika seseorang berbicara dengan fluktuasi yang sedang dan tidak berupa respons yang monoton ataupun respons yang emosional.

f. Latency of Response

Adalah jarak waktu antara akhir ucapan seseorang sampai giliran kita untuk mulai berbicara. Kenyataannya bahwa adanya sedikit jeda sesaat sebelum menjawab secara umum lebih asertif daripada tidak jeda.

g. Non Verbal Behavior

Komponen – komponen non verbal dari asertivitas antara lain seperti kontak mata, ekspresi muka, jarak fisik, sikap badan dan isyarat tubuh.


(44)

2.2.3 Tipe Perilaku Asertif

Hapsari (2010) mengutip pendapat Abate dan Milan (1985) menjelaskan ada 3 (tiga) tipe perilaku asertif yaitu,

a. Asertif untuk menolak (Refusal Assertiveness)

Perilaku asertif dalam konteks ketidaksetujuan atau ketika seseorang berusaha untuk menghalangi atau mencampuri pencapaian tujuan orang lain. hal ini membutuhkan keterampilan sosial untuk menolak atau menghindari campur tangan orang lain.

b. Asertif untuk memuji (Commendatory Assertiveness)

Ekspresi-ekspresi dari perasaan positif seperti penghargaan, apresiasi dan menyukai dapat dilihat untuk memfasilitasi hubungan interpersonal yang baik. Kemampuan untuk memuji orang lain dalam cara yang hangat, tulus dan bersahabat dapat menjadi kemampuan yang memiliki kekuatan hebat dan berfungsi untuk membuat seseorang menjadi penguat dan partner interaksi yang menyenangkan. c. Asertif untuk meminta (Request Assertiveness)

Perilaku asertif jenis ini terjadi ketika seseorang meminta orang lain untuk membantunya mencapai tujuan atau memenuhi kebutuhannya. Perilaku asertif ini sering dipadukan dengan penolakan, dalam situasi menolak permintaan orang lain dan meminta perubahan tingkah laku peminta. Fungsi dari jenis perilaku asertif ini adalah agar menghindari terjadinya konflik yang sama dikemudian hari.


(45)

2.2.4 Keuntungan Asertifitas Remaja

Keuntungan yang muncul dari perilaku asertif, antara lain : a. Meningkatkan kepercayaan diri

b. Meningkatkan kemampuan diri

c. Meningkatkan kemungkinan untuk memperoleh apa yang dibutuhkan atau diinginkan

Remaja akan selalu dihadapkan pada pilihan, apakah sikap asertif yang dipraktekannya itu tepat dan akan mencapai hasil yang diharapkan atau tidak. Situasi, lokasi, waktu dan hubungan sosial adalah beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan ketika memutuskan untuk bersikap asertif atau tidak. Sikap asertif tidak harus selalu diterapkan dalam semua situasi dan asertif tidak selalu akan menghasilkan apa yang diharapkan. Tetapi bila diterapkan, hasilnya mungkin lebih baik dibandingkan tidak diterapkan karena hubungan tidak akan terlalu rusak dan konflik dapat diselesaikan tanpa satu pihak merasa bersalah, dilecehkan atau dikhianati.

Marini dan Andriani (2005) mengutip pendapat Hawari dkk (2002), menyatakan bahwa penyebab para remaja terjerumus ke hal-hal negatif seperti seks bebas yang akan berakibat pada kehamilan remaja, salah satunya adalah karena kepribadian yang lemah. Ciri – cirinya antara lain daya tahan terhadap tegangan dan tekanan rendah, kurang bisa mengekpresikan diri, kurang bisa mengendalikan emosi dan agresivitas serta tidak dapat mengatasi masalah dan konflik dengan baik yang erat kaitannya dengan asertifitas.


(46)

Fakta lain juga dikutip dari Utami (2004), menunjukkan bahwa kebiasaan merokok, penggunaan alkohol, napza serta hubungan seksual berkaitan dengan ketidakmampuan remaja bersikap asertif. Perilaku asertif yaitu perilaku untuk mengekspresikan diri secara tegas kepada pihak lain tanpa harus menyakiti pihak lain ataupun merendahkan diri di hadapan pihak lain. Bersikap tegas adalah salah satu perilaku yang dapat dipilih ketika seseorang berada dalam situasi yang sulit dan ketika harus mengambil sebuah keputusan.

2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Asertifitas Remaja dalam Perilaku Seksual

Remaja perlu keterampilan dalam menghadapi transisi kehidupannya. Salah satu bentuk keterampilan hidup yang perlu diterapkan bagi remaja adalah keterampilan untuk bersikap tegas atau asertif. Menurut Rosita (2011) yang mengutip pendapat Rathus dan Nevid (1983), bahwa faktor yang memengaruhi asertifitas, terdiri dari usia, jenis kelamin, harga diri (self esteem), budaya, tingkat pendidikan serta situasi yang ada di sekitar seperti pola asuh orang tua dan teman sebaya.

Santrock (2007) yang mengutip Bandura (1998) menyatakan bahwa faktor pribadi/kognitif, faktor perilaku dan faktor lingkungan dapat berinteraksi secara timbal-balik. Dengan demikian dalam pandangan Bandura, lingkungan dapat memengaruhi perilaku seseorang, namun seseorang dapat bertindak untuk mengubah lingkungan. Menurut Suryoputro dkk (2007), faktor yang berpengaruh pada perilaku seksual antara lain adalah faktor personal termasuk variabel seperti pengetahuan, sikap seksual dan gender, kerentanan terhadap risiko kesehatan reproduksi, gaya


(47)

hidup, harga diri, lokus kontrol, kegiatan sosial, self efficacy dan variabel demografi (seperti: usia,jenis kelamin, status religiusitas, suku dan perkawinan). Faktor lingkungan termasuk variabel seperti akses dan kontak dengan sumber, dukungan dan informasi, sosial budaya, nilai dan norma sebagai dukungan sosial. Faktor perilaku termasuk variabel gaya hidup seksual (orientasi, pengalaman, angka mitra), peristiwa kesehatan (Seksual Menular Infeksi, kehamilan, aborsi) dan penggunaan kondom dan kontrasepsi.

2.3.1 Budaya

Rakos (1991) mengemukakan bahwa konsep asertifitas berkaitan dengan kebudayaan dimana seseorang tumbuh dan berkembang. Dapat dikatakan bahwa pada suatu budaya suatu prilaku dipandang asertif dan sesuai dengan budaya setempat. Akan tetapi hal yang sama tidak dapat ditolerir oleh masyarakat dengan latar belakang budaya lain.

Sarwono (2012) mengatakan, walaupun pada zaman sekarang ini marak terjadi perilaku seks bebas tetapi sebenarnya dalam masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi nilai tradisional. Nilai tradisional dalam perilaku seksual yang paling utama adalah tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Nilai ini tercermin dalam bentuk keinginan untuk mempertahankan kegadisan seseorang sebelum menikah.

Herdiana (2007) melalui penelitiannya tentang budaya asertif pada anak-anak dengan kultur Jawa, menguraikan bahwa secara umum anak-anak dengan latar belakang kultur Jawa masih memperlihatkan tingkat perilaku asertif yang terbatas.


(48)

Mereka kebanyakan masih sangat bergantung pada orang tua, terutama ibu untuk menentukan keinginan-keinginannya. Keluarga masih memiliki kekhawatiran akan terkikisnya kearifan budaya lokal mereka jika anak terlalu diberikan kebebasan. Anak banyak belajar keterbukaan bahkan dari lingkungan di luar rumah, seperti sekolah dan lingkungan bermain.

Orang tua dengan kultur Jawa belum memiliki kesiapan dengan perubahan dan kemampuan anak-anak dalam beradaptasi dengan nilai-nilai yang baru. Mereka masih khawatir anak-anak akan mendapatkan pengaruh negatif dari nilai-nilai baru tersebut. Hal ini yang membuat anak mengalami kebingungan dalam memahami nilai-nilai kontradiktif yang diterapkan orang tua kepada mereka. Tidak mengherankan jika pada usianya mereka masih memperlihatkan kehidupan emosional yang kurang matang dan relasi sosial yang kurang berkembang. Mereka juga kesulitan untuk menjadi individu yang lebih berbudaya, yang mewarnai kehidupan perilaku mereka sehari-hari.

Budaya mempunyai peranan penting dalam membentuk pola berpikir dan pola pergaulan dalam masyarakat, yang berarti juga membentuk kepribadian dan pola pikir masyarakat tertentu. Budaya mencakup perbuatan atau aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh suatu individu maupun masyarakat, pola berpikir mereka, kepercayaan, dan ideologi yang mereka anut. Tentu saja pada kenyataannya budaya antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya berbeda, terlepas dari perbedaan karakter masing-masing kelompok masyarakat ataupun kebiasaan mereka.


(49)

Peran budaya yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan titik acuan dalam membentuk kepribadian seseorang atau kelompok masyarakat. Karena melalui kebudayaan manusia dapat bertukar pikiran. Apalagi di jaman sekarang yang dimana teknologi informasi sangat menjadi acuan atau pengaruh dalam pertukaran kebudayaan dalam masyarakat berbangsa maupun bernegara. Masyarakat sering sekali menerima langsung kebudayaan-kebudayaan negatif yang seharusnya dan memang bertentangan dengan norma-norma, karena kebudayaan negatif inilah yang tidak dapat mengubah kepribadian seseorang/masyarakat.

Menurut Raharjo (1997), permasalahan hubungan gender yang asimetris masih tetap mengganjal dan dianggap sebagai sebab utama dari permasalahan-permasalahan perempuan saat ini, termasuk yang berkaitan dengan hak dan kesehatan reproduksi. Ketidakberdayaan perempuan adalah sebagai akibat dari konstruksi sosial yang selama ini menempatkan perempuan pada kedudukan yang subordinat. Di bidang reproduksi, ketidakberdayaan perempuan itu terlihat dari hubungan yang tidak berimbang antara laki-laki dan perempuan dalam hal seksual dan reproduksi seperti tercermin dalam kasus pemaksaan hubungan kelamin yang dapat mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan yang apabila terjadi pada remaja dapat menyebabkan remaja tersebut hamil di usia muda.

2.3.2 Harga Diri (Self Esteem)

Hapsari (2010) mengutip pendapat Brown (1998), mengatakan harga diri adalah penilaian kemampuan diri, yaitu antara kemampuan yang secara riil dimiliki seseorang dengan kemampuan ideal yang diharapkan ada pada dirinya yang akan


(50)

ditunjukkan melalui sikap terhadap dirinya sendiri, apakah ia menerima atau menolaknya. Keyakinan seseorang turut mempengaruhi kemampuan untuk melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan. Orang yang memiliki keyakinan diri yang tinggi memiliki kekuatiran sosial yang rendah sehingga mampu mengungkapkan pendapat dan perasaan tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri.

Menurut Santrock (2007), harga diri (Self Esteem) adalah suatu dimensi global dari diri. Harga diri mencerminkan persepsi yang tidak selalu sama dengan realitas. Harga diri yang tinggi dapat merujuk pada persepsi yang tepat atau benar mengenai martabatnya sebagai seorang pribadi, termasuk keberhasilan dan pencapaiannya. Dengan cara yang sama, harga diri yang rendah dapat mengidentifikasikan persepsi yang tepat mengenai keterbatasan atau penyimpangan, atau bahkan kondisi tidak aman dan inferior yang akut.

Santrock (2007) yang mengutip Robin dkk (2002), menyatakan harga diri cenderung menurun di masa remaja, terutama pada remaja perempuan berumur 12-17 tahun. Pada umumnya laki-laki menunjukkan harga diri yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Menurunnya harga diri remaja perempuan adalah karena mereka memiliki citra tubuh yang lebih negatif selama mengalami perubahan pubertas, dibandingkan remaja laki-laki.

Hapsari (2010) mengutip pendapat Reasoner dan Borba (1989), ada beberapa komponen dari harga diri yaitu:


(51)

Yaitu perasaan individu mempunyai keyakinan yang kuat, meliputi perasaan aman dan nyaman, mengetahui apa yang diharapkan, mempunyai kemampuan untuk bergantung kepada diri sendiri dan situasi, mempunyai pemahaman akan peraturan dan batas.

b. Selfhood (lingkungan pribadi)

Individu mempunyai ciri khas, mempunyai pengetahuan tentang diri pribadi termasuk penggambaran diri yang akurat dan realistik akan peraturan, sikap, karakterisitk fisik.

c. Affiliation

Yaitu perasaan memiliki, individu merasa diterima atau mempunyai hubungan, khususnya pada hubungan yang dianggap penting, memiliki perasaan diakui, dihargai, dan dihormati oleh orang lain, mempunyai kemampuan untuk menemukan kesenangan, kemampuan, dan latar belakang, memiliki kesadaran dan kemampuan dalam membentuk hubungan, mampu memberi dukungan atas keputusan kelompok. d. Mission (misi dan tujuan)

Yaitu perasaan yang dimiliki individu, ia mempunyai tujuan dan motivasi untuk hidup, mempunyai tanggung jawab atas konsekuensi dari keputusan yang ia ambil, mempunyai kemampuan dalam membentuk tujuan yang realistik dan dapat diterima, mampu mengikuti rencana, mempunyai insisatif dan tanggung jawab atas aksinya, individu mampu mencari alternatif atas masalahnya, mampu mengevaluasi dirinya sendiri berdasarkan atas apa yang telah ia lakukan.


(52)

Yaitu adanya perasaan bahwa sukses yang dimiliki oleh individu berdasarkan pengalaman pribadi dianggap penting oleh individu itu sendiri, kegagalan bagi individu tidak hanya sebagai isu tapi merupakan fakta dan individu menganggap kesalahan yang dilakukannya merupakan alat dalam belajar, mampu memberi penilaian akan kemajuan yang telah dibuat, mampu memberikan umpan balik dalam usahanya menerima kelemahan dan mencari keuntungan dari kesalahan yang dilakukan.

Menurut Khera (2003) karakteristik harga diri terbagi atas dua yaitu harga diri tinggi dan harga diri rendah. Adapun karakteristiknya adalah sebagai berikut :

a. Harga diri tinggi yaitu berani karena pendirian, percaya diri, menerima tanggung jawab, asertif, optimis, menghormati orang lain, disiplin, menyukai kesopanan, mau belajar, dan rendah hati.

b. Harga diri rendah yaitu sikap kritis, ragu-ragu, agresif, mudah tersinggung, Hapsari (2010) mengutip pendapat Coopersmith (1967), ada beberapa faktor yang memengaruhi penghargaan seseorang terhadap dirinya sendiri, diantaranya: a. Penerimaan atau Penghargaan Terhadap Dirinya

b. Kepemimpinan atau Popularitas c. Keluarga-Orang tua

d. Asertifitas-Kecemasan

Santrock (2007) yang mengutip Buhrmester (2001), pada sebuah studi longitudinal yang dilakukan, menunjukkan bahwa keterlibatan seksual pada remaja terutama remaja perempuan pada masa remaja awal berkaitan dengan harga diri yang


(53)

rendah.

2.3.3 Pola Asuh

Menurut Hidayah (2010) yang mengutip pendapat Daud (2004), komunikasi orang tua dan anak dapat memengaruhi kemampuan anak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Berbedanya pola asuh yang diberikan orang tua dapat mengakibatkan berbedanya tingkat asertifitas anak.

Kopko (2007) dan Marini dan Andriani (2005), mengutip pendapat Baumrind (1991), pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Baumrind (1991) mengidentifikasi empat pola gaya pengasuhan berdasarkan dua aspek perilaku pengasuhan yaitu kontrol dan kehangatan. Pola asuh orang tua mengacu pada sejauh mana orang tua mengatur anak-anak mereka pada perilaku yang terarah untuk menetapkan beberapa peraturan dan kebutuhan.

Menurut Gunarsa (2008), pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap tersebut meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, memberikan perhatian. Pola asuh sebagai suatu perlakuan orangtua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kesehariannya yang merupakan bentuk interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan pengasuhan yang berarti orang tua mendidik, membimbing dan melindungi anak.


(54)

Dalam hal ini terdapat tiga jenis pola asuh orang tua kepada anak yang diuraikan Kopko (2007), Marini dan Andriani (2005) yang mengutip pendapat Baumrind (1991), yaitu :

1. Pola asuh permisif (Permisive)

Orangtua yang permisif adalah orangtua yang kaku dan berfokus pada kebutuhan mereka sendiri. Terutama saat anak menjadi lebih dewasa, orangtua gagal mengawasi kegiatan anak atau untuk mengetahui dimana mereka, apa yang sedang mereka lakukan atau siapa teman anak mereka.

Pada pola asuh ini, apapun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, melakukan kegiatan maksiat, pergaulan bebas negatif, dan sebagainya. Biasanya pola pengasuhan seperti ini diakibatkan oleh orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lainnya, sehingga lupa untuk mengasuh dan mendidik anak dengan baik. Pola asuh permisif membuat hubungan antara anak dan orangtua penuh kasih sayang, tetapi menjadikan anak agresif dan suka menurutkan kata hatinya.

2. Pola Asuh Otoriter (Authoritarian)

Pola asuh ini bersifat pemaksaan, keras dan kaku, orang tua membuat berbagai aturan yang harus dipatuhi anak – anaknya tanpa perduli dengan perasaan si anak. Anak yang besar dengan teknik pengasuhan seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid/selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orang tua, dan lain – lain, tetapi biasanya anak yang dihasilkan dari didikan orang tua yang otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai


(55)

keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggung jawab dalam menjalani hidup.

Orang tua otoriter menampilkan sedikit kehangatan dan sangat mengendalikan. Mereka menerapkan aturan disiplin yang ketat, menggunakan gaya pengasuhan dengan batasan hukuman, dan bersikeras bahwa remaja mereka patuh kepada orang tua, dan tidak mengkomunikasikan standar aturan dalam keluarga. 3. Pola Asuh Otoritatif (Authoritative)

Pola asuh otoritatif atau yang lebih dikenal dengan pola asuh demokratis, mengandung demanding dan responsive yang dicirikan dengan adanya tuntutan dari orang tua yang disertai komunikasi terbuka antara orang tua dan anak, mengharapkan kematangan perilaku pada anak disertai dengan adanya kehangatan dari orang tua. Pola asuh ini memberikan kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari orang tua.

Pola asuh ini bersifat memberi kehangatan sekaligus ketegasan dari orang tua. Mereka mendorong remaja mereka untuk menjadi mandiri dengan tetap menjaga batasan dan kontrol terhadap tindakan mereka. Pola asuh ini adalah paling kondusif diterapkan pada anak.

Naibaho (2011) yang mengutip pendapat Petranto (2006) menguraikan dampak pola asuh pada anak adalah dapat dikarakteristikkan sebagai berikut:

a. Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu


(56)

menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan kooperatif terhadap orang-orang lain.

b. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.

c. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsif, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Julianti (2011), menyatakan bahwa hubungan pola asuh orang tua dengan sikap remaja putri tentang kesehatan reproduksi. Ditemukan 71,2% dari 170 responden yang memiliki sikap positif tentang kesehatan reproduksi memiliki orang tua dengan pola asuh otoritatif (demokratis) dan 12,9% responden yang menerapkan pola asuh otoriter dan permisif memiliki sikap negatif tentang kesehatan reproduksi.

Survei RPJMN program Kependudukan dan KB tahun 2011 yang menunjukkan beberapa pola pengasuhan orangtua terhadap tumbuh kembang remaja dari aspek kejiwaan, mental dan spiritual, antara lain: a) orangtua yang menanamkan nilai-nilai moral dan agama kepada anak remajanya (79%), b) orangtua yang menyediakan waktu berkomunikasi efektif dengan anak remajanya (36%), c) orangtua sebagai tempat curahan hati bagi anak remajanya (33%), d) orangtua sebagai teladan/contoh/panutan bagi anak remajanya (47%).


(57)

Marini dan Andriani (2005) mengutip pendapat Prabana (1997), bahwa kualitas perilaku asertif seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman pada masa kanak-kanaknya. Pengalaman tersebut berupa interaksi dengan orang tua melalui pola asuh yang ada dalam keluarga yang menentukan pola respons seseorang dalam menghadapi berbagai masalah.

Menurut survei yang dilakukan oleh The National Campaign (2012), remaja mengatakan bahwa orangtua paling besar mempengaruhi keputusan mereka tentang seks, lebih daripada teman sebaya, budaya, guru dan lain-lain. Bahkan, remaja melaporkan bahwa mereka akan lebih terbuka berbicara tentang seks dengan orang tua mereka dan menghindari kehamilan remaja, diperoleh hasil 4 dari 10 remaja (38%) mengatakan orang tua paling memengaruhi keputusan mereka tentang seks, dibandingkan dengan 22% yang dipengaruhi oleh teman-teman.

Untuk setiap orang tua, penerapan pola asuhnya dapat berbeda – beda. Menurut Baumrind (1991) dalam Santrock (2007), dalam kehidupan sehari – hari kebanyakan orang tua menggunakan kombinasi dari beberapa pola asuh yang ada, akan tetapi satu jenis pola asuh akan terlihat lebih dominan dari pola asuh lainnya dan sifatnya hampir stabil sepanjang waktu.

2.3.4 Teman Sebaya

Menurut Notoatmodjo (2007), secara garis besar, ada dua tekanan pokok yang berhubungan dengan kehidupan remaja, yaitu internal pressure dan external pressure. Dalam hal ini, internal pressure yaitu tekanan dari dalam diri remaja berupa


(58)

tekanan psikologis dan emosional, sedangkan external pressure yaitu tekanan dari luar diri remaja seperti teman sebaya, orang tua, guru dan masyarakat.

Meskipun remaja masih bergantung pada orang tuanya, namun intensitas ketergantungan tersebut telah berkurang dan remaja mulai mendekatkan diri pada teman-teman yang memiliki rentang usia yang sebaya dengan dirinya. Remaja mulai belajar mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara yang lebih matang dan berusaha memperoleh kebebasan emosional dengan cara menggabungkan diri dengan teman sebayanya.

Menurut Notoatmodjo (2007), perubahan sosial yang dialami remaja akan membawa remaja menjadi lebih dekat dengan teman sebayanya daripada orang tuanya sendiri. Kurangnya pengetahuan yang didapat dari orang tua dan sekolah mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau lingkungan bermainnya yang bisa saja pengetahuan tersebut salah, Sehingga muncullah mitos – mitos di seputar seksualitas, sebuah informasi yang belum pasti kebenarannya, namun sudah terlanjur dipercaya oleh remaja, salah satunya adalah mitos hubungan seks sekali tidak membuat hamil, sehingga dari mitos inilah angka kehamilan yang tidak dikehendaki terjadi.

Menurut Muadz dan Syaefuddin (2010), dalam berperilaku seseorang akan melihat kondisi dan situasi dalam arti luas. Asertif memperhatikan hak individu dengan tetap memperhatikan hak pihak lain. Karena itu keterampilan ini sangat penting dalam situasi sosial dimana ada tekanan untuk melakukan sesuatu.


(59)

Menurut Suwarni (2009), bahwa pengaruh perilaku seksual teman sebaya secara langsung paling besar memengaruhi perilaku seksual remaja. Pengaruh perilaku seksual teman sebaya secara langsung sebesar 20,2%, sedangkan pengaruh perilaku seksual teman sebaya secara tidak langsung melalui niat berperilaku seksual sebesar 14,24%.

Tekanan yang dihadapi remaja perempuan berbeda dengan yang dihadapi remaja laki-laki. Perempuan biasanya akan menghadapi tekanan ganda dari teman sebayanya, baik dari teman sesama perempuan maupun dari teman laki-laki. Dari teman sesama perempuan, tekanan yang dihadapi misalnya dalam hal berpakaian, dandanan dan bertingkah laku serta bergaul. Dari teman laki-laki, baik pacar sendiri maupun laki-laki pada umumnya, tekanan yang dihadapi perempuan bisa berupa ajakan berhubungan seksual maupun pelecehan seksual dalam berbagai bentuknya.

Bagi remaja, berbagai perilaku berisiko seperti penyalahgunaan napza dan perilaku seksual yang tidak bertanggungjawab dapat terjadi sebagai hasil dari kesulitan dalam mengekspresikan ide-ide, minat dan nilai-nilai, serta ketidakmampuan menolak tekanan kelompok yang tidak sehat dan tekanan sosial. Sikap Asertif untuk kelompok remaja sangat diperlukan dalam menghadapi tekanan remaja sebaya. Tekanan itu berkaitan dengan ajakan untuk terlibat kedalam risiko triad KRR, yaitu seksualitas, HIV/AIDS dan napza.

2.3.5 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan salah satu bentuk dari perkembangan kognitif. Santrock (2007) yang mengutip pendapat Piaget menyebutkan perkembangan


(1)

Survey of Family Growth Centers for Disease Control and Prevention National Center for Health Statistics Series 23, Number 31 Hyattsville, Maryland

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2012, Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2011, Medan.

Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat, 2012, Profil Kesehatan Kabupaten Langkat tahun 2011, Stabat

East, P., Adams, J., 2002, Sexual Assertiveness and Adolescents’ Sexual Rights 34(4); 212-213, Perspectives on Sexual and Reproductive Health.

Elfarini, R., C., Christiana, E., 2013, Pengembangan Media Monopoli Asertif Untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa Tentang Perilaku Asertif Pada Siswa Kelas VIII-A , Jurnal Bimbingan Konseling, Vol 1 (1), hal 174-185

Falah, P., N., (2009), Hubungan Prilaku Asertif dengan Prilaku Seksual Pranikah Remaja Putri . Skripsi, Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Fatma, A., 2009, Korelasi Antara Self Esteem dengan perilaku asertif Siswa SMPN 20 Malang. Skripsi, Program Studi Bimbingan dan Konseling, Universitas Negeri Malang

Feeney,J.,A., Kell,L., Gallois, C., Peterson, C., and Terry., D.,J., 1999, Attachment Style, Assertive Communication, And Safer-Sex Behavior Journal Of Applied Social Psychology 29 (9): 1964-1983. University Of Queensland, Australia Gunarsa, S., D., Yulia, S., D., 2008, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,

Jakarta. PT. Gunun Mulia

Hapsari, R., M., 2010, Sumbangan Perilaku Asertif Terhadap Harga Diri pada Karyawan. Artikel; Fakultas Psikologi,Universitas Gunadarma.

Herdiana, I. (A), 2007, Budaya Asertif Pada Anak-anak dengan Kultur Jawa, Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

.,2011, Perempuan Harus Belajar untuk Asertif, Psikologi Perempuan. Artikel; Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro


(2)

Hidayah, I., P.,2010, Pengaruh Asertivitas Terhadap Prilaku Seksual Pranikah Pada Remaja Perempuan. Skripsi, Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara Indrayani, Saepudin, A., 2008, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kehamilan

Pranikah di Kalangan Pelajar di Desa Setianagara Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan Tahun 2008, STIKES Kuningan Garawangi.

Irma, A.,2010, Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri tentang Risiko Kehamilan Remaja di Desa Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang. Skripsi, Medan, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara Jayanti, T., 2012, Mengurangi Perilaku Siswa Tidak Tegas Melalui Pendekatan

REBT dengan Teknik Assertive Training. Artikel. Jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan , Universitas Negeri Semarang, Indonesia Julianti, C., 2011, Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Sikap Remaja Putri

tentang Kesehatan Reproduksi di SMA Negeri 18 Medan. Karya Tulis Ilmiah, Program D-IV Bidan Pendidik, Universitas Sumatera Utara

Kathryn, G.,David, G.,2011, Konseling Remaja Pendekatan Pro Aktif Untuk Remaja, Sage Publication, Yogyakarta; Penerbit Pustaka Pelajar

Kementerian Kesehatan RI, 2012, Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011, Jakarta. Khera, S. (2003). Kiat Menjadi Pemenang. Jakarta: PT Indeks Gramedia Group. Kopko,K., 2007, Parenting Styles and Adolescents, Cornell Cooperative Extension,

Cornell University Offers Equal Program and Employment Opportunities

Laura, G., A., Syifa, R, 2006, Asertivitas Wanita Jawa Ditinjau dari Pendidikan, Usia dan Status Pekerjaan, Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Mandala, A., 2009, Pusat Pengembangan Bahan Ajar; Psikologi Kepribadian, Universitas Gunadarma.

Mangunsong, F, 2009, Faktor Intrapersonal, Interpersonal, Dan Kultural Pendukung Efektivitas Kepemimpinan Perempuan Pengusaha Dari Empat Kelompok Etnis di Indonesia Makara, Sosial Humaniora 13 (1);19-28


(3)

Marini, L., Andriani, E., 2005, Perbedaan Asertivitas Remaja Ditinjau Dari Pola Asuh Orang Tua, Jurnal Psikologia 1(2); 46-53; Program Studi Psikologi. Universitas Sumatera Utara.

Muadz, M. M., Syaefuddin., 2010, Keterampilan Hidup (Life Skills) dalam Program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja, Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi, Jakarta. BKKBN

., 2010, Program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja Ditinjau dari Aspek 8 Fungsi Keluarga, Kesehatan, Ekonomi, Psikologi, Pendidikan, Agama & Sosial, Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi, Jakarta. BKKBN

Muharrini, T., (2012), Hubungan Antara Self-Efficacy dengan Self-Regulated Learning pada Mahasiswa Fakultas Psikologi USU. Skripsi, Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara

Muhidin, S., A., Abdurrahman, M., 2009 Analisis Korelasi, Regresi dan Jalur dalam Penelitian (Dilengkapi Aplikasi Program SPSS), Jakarta. Penerbit Pustaka Setia Mulyana, H., Purnamasari, S., E., 2010, Hubungan Antara Harga Diri dengan Sikap

Terhadap Perilaku Seksual Pranikah Pada Remaja dari Keluarga Broken Home

Psycho Idea, 8(2), Issn 1693-1076

Myers & Myers, 2002, The Dynamics Of Human Communication.New York, McGraw-Hill, Inc

National Center for HIV/AIDS, Viral Hepatitis, STD , and TB Prevention, Division of Adolescent and School Health,2012 Trends in the Prevalence of Sexual Behaviors and HIV Testing National YRBS: 1991–2011.The national Youth Risk Behavior Survey (YRBS)

Notoadmodjo,S., 2007 A, Kesehatan Masyarakat, Ilmu dan Seni, Jakarta ; Penerbit Rineka Cipta.

., 2007 B, Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku, Jakarta ; Penerbit Rineka Cipta.

Novianti, M., C., dan Tjalla, A., 2008, Perilaku Asertif Pada Remaja Awal.Skripsi, Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma


(4)

Peilouw, F., Nursalim, M., 2013, Hubungan Antara Pengambilan Keputusan dengan Kematangan Emosi dan Self-Efficacy pada Remaja. Fakultas Psikologi. Universitas Surabaya, Character, Vol 1 (2) hal 1-6

Puskesmas Tanjung Beringin, 2012, Laporan Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA), Kecamatan Hinai Kabupaten Langkat. Puspitorini, P., A., (2006), Hubungan Antara Perilaku Asertif dengan Penolakan

Perilaku Seks Pranikah pada Remaja Putri. Skripsi, Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang

Putri, F., A., 2012, Perbedaan Tingkat Religiusitas dan Sikap terhadap Seks Pranikah Antara Pelajar yang Bersekolah di SMA Umum dan SMA Berbasis Agama Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Surabaya 1 (1) 2012 : 1-9

Pratama,D., 2010 Peran Kebudayaan Dalam Membentuk Kepribadian. Skripsi, Universitas Gunadarma

Raharjo, Y., 1997, Seksualitas Manusia dan Masalah Gender; Dekonstruksi Sosial dan Reorientasi, Jurnal Populasi 8 (1): 55-61; Pusat Penelitian Kependudukan. Universitas Gadjah Mada.

Rakos, F.A., 1991, Assertive Behavior ; Theory, Research, and training, Library of Congress Cataloging in Publication Data. New York

Rickert V., I., Sanghvi, R., Wiemann, C., M., 2002, Is Lack of Sexual Assertiveness Among Adolescent and Young Adult Women a Cause for Concern. Perspectives on Sexual and Reproductive Health, 2002, 34(4):178-183

Riduwan, Akdon, 2011, Rumus dan Data dalam Analisis Statistika, Bandung, Penerbit Alfa Beta

Ristianti, A., Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Identitas Diri Pada Remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta


(5)

Rosita, H., 2011, Hubungan Antara Perilaku Asertif dengan Kepercayaan Diri Pada Mahasiswa, Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma. Jakarta

Rusli, K., A., Azrin, M., Nasir, M., Hamzah, N., A., 2011 Relationship Between Interpersonal Communication Competence and Students Assertive Behaviour; Journal of Human Capital DevelopmentISSN: 1985-7012 4 (1) : 23-33

Santrock, J.W., 2007, Remaja, Edisi Kesebelas, Jakarta ; Penerbit Erlangga.

Sarkova, M., Sleskova, M., B., Orosova, O., Geckova, A., M., Katreniakova, Z., Klein, D., Heuvel, V., and Jitse, P., 2013, Associations Between Assertiveness, Psychological Well-Being, and Self-Esteem in adolescents; Journal of Applied Social Psychology 43, 147-154

Sarwono, S.W.,2012, Psikologi Remaja, Edisi Revisi, Jakarta; Penerbit Rajawali Press.

Suryoputro, A., Ford, N., J., Shaluhiyah, Z., 2007, Social Learning Theory in Youth

Sexual Behaviour Study in Central Java, Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia

2(1) : 10-20 ; Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro, Semarang; Department of GeographyUniversity of Exeter, U.K.

Sulistyo, J., 2010, 6 Hari Jago SPSS 17, Yogyakarta. Penerbit Cakrawala

Suseno, F.M., Reksosusilo, S. 1983, Etika Jawa dalam Tantangan, Yogyakarta; Kanisius.

Suwarjo, 2008, Konseling Teman Sebaya (Peer Counseling) Untuk Mengembangkan Resiliensi Remaja, Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia


(6)

Indonesia 4(2) : 127-130 ; Dinas Kesehatan Kota Pontianak Propinsi Kalimantan Barat.

Titanida, A., 2008, Hubungan Antara Pola Asuh Demokratis Orangtua dengan Tingkat Asertivitas Remaja. Skripsi, Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi Dan Ilmu Sosial, Budaya Universitas Islam Indonesia

Tucker, C., Perreira, K., Halpern, C.T. ,2011, Parenting Strategies and Teenage Pregnancy, Department of Maternal and Child Health, Gillings School of Global Public Health, The University of North Carolina at Chapel Hill, Chapel Hill, NC, USA

Utami, T., E., 2004, Perbedaan Perilaku Asertif Antara Pecandu Napza dan Bukan Pecandu Napza, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Whitaker, D., J., Miller, K., S., Clark, L., F., 2000., Reconceptualizing Adolescent Sexual Behavior: Beyond Did They Or Didn’t They?Family Planning Perspectives 32(3):111–117

Wiknjosastro, G.H., Sumapraja, S.,Santoso, S.S.I., Musbir, W., Koesno, H., Lestari, H., 2006, Kesehatan Reproduksi, Jakarta; Yayasan Pendidikan Kesehatan Perempuan Bekerjasama dengan PUSDIKNAKES, DEPKES, RI, dan IBI.

World Health Organization, 2012, Preventing Early Pregnancy and Poor Reproductive Outcomes Among Adolescents in Developing Countries, WHO