Bentuk spasial koefisien korelasi antara Curah Hujan dengan ENSO dan IOD

korelasi yang signifikan dan memiliki korelasi negatif. Berkurangnya wilayah yang memiliki curah hujan pada periode DJF, menunjukkan adanya pelemahan pengaruh kedua fenomena tersebut. Hal ini disebabkan karena pada periode ini kedua fenomena telah mengalami puncaknya diakhir tahun serta telah memasuki musim hujan. Terjadinya korelasi yang lemah antara curah hujan dengan ENSO dan IOD pada saat musim hujan diduga terkait dengan SST perairan Indonesia yang berubah tanda terjadi anomali positif selama peralihan dari musim kemarau ke musim hujan dari SON ke DJF. Anomali SST di perairan Indonesia berlawanan tanda dengan anomali SST di Samudera Pasifik tengah atau timur dan Samudera Hindia bagian barat selama JJA dan SON, tetapi memiliki tanda yang sama pada saat DJF dan MAM. Perubahan yang cepat pada SST perairan Indonesia yang terjadi dari musim kemarau ke musim hujan merupakan refleksi dari interaksi atmosfer-laut di wilayah Indonesia. Anomali SST Samudera Pasifik dan Hindia akan berperan dalam menggerakkan angin permukaan yang dapat mempengaruhi SST di perairan Indonesia Hendon, 2002.

4.1.3. Bentuk spasial koefisien korelasi antara Curah Hujan dengan ENSO dan IOD

Berdasarkan hasil analisis korelasi hubungan antara Curah Hujan dengan ENSO dan IOD, pada periode DJF dan MAM terjadi peningkatan curah hujan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pengaruh ENSO dan IOD mulai berkurang, dimana terjadi perubahan tanda koefisien korelasi yaitu dari negatif pada SON menjadi positif pada DJF. Melemahnya pengaruh Iklim Regional tersebut terhadap curah hujan dikarenakan pada periode ini pengaruh ENSO dan IOD sudah menghilang dan juga merupakan puncak musim hujan di wilayah Indonesia. Sehingga bentuk spasial hanya dilakukan pada bulan JJA dan SON, untuk memberikan informasi daerah-daerah mana saja yang terpengaruh kuat, sedang dan lemah terhadap ENSO dan IOD sehingga dapat menjadi informasi dan pengambilan kebijakan pola tanam padi dan irigasi bagi pemerintahan daerah setempat. Di wilayah Indramayu, curah hujan hanya berkorelasi signifikan serta berkorelasi negatif dengan ENSO pada periode JJA, sedangkan IOD tidak mempengaruhi intensitas curah hujan. Gambar 11. adalah koefisien korelasi antara ENSO dengan curah hujan pada JJA dengan interval kontur 0,1. Warna putih menunjukkan koefisien korelasi yang tidak signifikan atau wilayah yang tidak terpengaruh oleh adanya ENSO. Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar Indramayu bagian Utara merupakan daerah yang terpengaruh tingkat lemah r ≥-0,4 oleh ENSO dengan luas sebesar 61,32, hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut pada periode JJA ketika terjadi ENSO curah hujan intensitasnya mulai berkurang. Dan hanya sebagian kecil wilayah Indramayu yang terpengaruh sedang oleh ENSO 3,24. Gambar 11. Koefisien korelasi antara CH dengan ENSO pada Periode JJA di Kabupaten Indramayu interval kontur 0,1 Tabel 5. Luas wilayah yang terpengaruh oleh ENSO dan IOD di Kabupaten Indramayu Luas Ha Nino-JJA Nino-Son DMI-Son Kuat - - 101327 49,28 23675 11,51 Sedang 6669 3,24 74169 36,07 120754 58,73 Lemah 126073 61,32 29366 14,28 58316 28,36 Non 72862 35,44 743 0,36 2860 1,39 Pada periode SON, koefisien korelasi antara ENSO dan IOD dengan curah hujan signifikan serta memiliki nilai koefisien korelasi negatif terdapat diseluruh wilayah Indramayu. Sebagian besar wilayah Indramayu terpengaruh kuat oleh adanya ENSO dengan luas wilayah sebesar 49,28 dan terpengaruhi sedang oleh IOD dengan luas sebesar 58,73. Sebagian kecil wilayah yang memiliki tingkat korelasi lemah r ≥-0,4 terhadap ENSO dan IOD yaitu seluas 14,28 dan 28,36 Tabel 6. Pengaruh ENSO lebih kuat mempengaruhi intensitas curah hujan dari pada IOD. Pada wilayah Indramayu bagian tengah wilayah berwarna merah tua merupakan wilayah dengan nilai korelasi r ≤-0,5, dimana wilayah tersebut memerlukan antisipasi sarana dan prasarana yang lebih saat memasuki bulan SON untuk mengurangi dampak ENSO. Pada saat El Nino dan didukung dengan DM positif maka pada musim kemarau di wilayah tersebut menjadi lebih panjang dan kering sehingga memperlambat awal tibanya musim hujan. Gambar 12. Koefisien korelasi antara CH dengan ENSO pada Periode SON di Kabupaten Indramayu interval kontur 0,1 Gambar 13. Koefisien korelasi antara CH dengan IOD pada Periode SON di Kabupaten Indramayu interval kontur 0,1 Gambar 14. Koefisien korelasi antara CH dengan IOD pada periode JJA di Kabupaten Cianjur interval kontur 0,1 Gambar 15. Koefisien korelasi antara CH dengan IOD pada periode SON di Kabupaten Cianjur interval kontur 0,1 Tabel 6. Luas wilayah yang terpengaruh oleh IOD di Kabupaten Cianjur Luas Ha JJA SON Kuat 30228 7,89 111552 29,12 Sedang 126667 33,07 79947 20,87 Lemah 62425 16,30 34151 8,92 non 163702 42,74 0,00 Wilayah Cianjur, pada bulan JJA dan SON sama-sama hanya berkorelasi signifikan serta berkorelasi negatif terhadap IOD. Wilayah Cianjur bagian utara merupakan wilayah yang tidak terpengaruh iklim regional, dimana bagian utara merupakan wilayah sawah terluas di Cianjur. Wilayah bagian selatan merupakan wilayah yang terpengaruhi oleh IOD, pada bulan SON pengaruhnya terlihat menguat ditandai dengan warna merah tua r ≤-0,5. Daerah yang tepengaruh oleh IOD memiliki luasan sebesar 57,26 pada JJA dan meningkat pada periode SON sebesar 58,91 Gambar 14 dan 15. Dari Informasi yang di dapatkan dari Dinas Pertanian, petani di daerah selatan Cianjur ini lebih banyak menanam tanaman kacang tanah dimana daerah tersebut merupakan daerah sentra produksi kacang tanah. Hal ini sesuai dengan penelitian Saji et al. 1999, pada bulan SON berkurangnya curah hujan di Sumatra bagian Selatan, Jawa dan Nusa Tenggara pada saat terjadi DMI. Periode SON ini merupakan puncak aktivitas DMI, dimana anomali angin tenggara di daerah Jawa dan Sumatra bagian Selatan sangat tinggi. Semakin menguatnya angin tenggara yang sifatnya kering menyebabkan berkurangnya curah hujan di daerah tersebut.

4.2. Dinamika waktu dan luas tanam terhadap ENSO dan IOD