j. Konflik pemanfaatan sumberdaya. Wilayah pesisir dan laut menyimpan potensi konflik di antara para
stakeholders . ICZM menyediakan platform metodologi resolusi konflik
secara formal.
2.6 Pembangunan Berkelanjutan
Pada beberapa dekade terakhir, konsep pembangunan keberlanjutan sustainable development
semakin sering digunakan oleh banyak negara di dunia untuk mengimplementasikan kebijakan pembangunan baik pada level nasional
maupun internasional. Saat ini, keberlanjutan sustainability telah menjadi elemen inti core element bagi banyak kebijakan pemerintah negara-negara di
dunia dan lembaga-lembaga strategis lainnya Ekins dan Simon, 2001. The World Commission on Environment and Development
WCED mendefinisikan pembangunan keberlanjutan sebagai meeting the needs of current
generations without compromising the ability of future generations to meet their own needs World Commission on Environment and Development,
1987. Selain berorientasi masa depan, secara etis definisi ini juga memberi jaminan pemenuhan
kebutuhan hidup antar generasi. Menurut Khanna et al. 1999, pembangunan berkelanjutan berimplikasi pada keseimbangan dinamis antara fungsi maintenance
sustainability dan transformasi development dalam rangka pemenuhan
kebutuhan hidup. Dengan context-dependent pada dimensi ekonomi, ekologi dan sosial,
sustainability bukanlah endpoint dari sebuah proses, tetapi justru merupakan
representasi dari proses itu sendiri. Menurut Cornelissen et al. 2001, sustainability
memiliki implikasi pada dinamika pembangunan yang sedang berlangsung dan dikendalikan oleh ekspektasi tentang berbagai kemungkinan di
masa depan. Untuk memulai dan memantau pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, diperlukan kerangka kerja terstandardisasi standardized
framework yang terbagi dalam 4 tahap Cornelissen et al., 2001: 1.
Mendeskripsikan permasalahan sesuai dengan konteksnya; 2. Mendeterminasi permasalahan dengan context-dependent pada dimensi ekonomi, ekologi dan
sosial; 3. Menterjemahkan permasalahan ke dalam indikator keberlanjutan yang
terukur; 4. Menilai kontribusi indikator-indikator tersebut pada pembangunan berkelanjutan secara menyeluruh.
Menurut Khanna et al. 1999, perencanaan pembangunan berkelanjutan perlu mempertimbangkan secara mendalam adanya trade-off antara level
produksi-konsumsi dengan kapasitas asimilasi ekosistem. Sesuai dengan konsep dayadukung carrying capacity, peningkatan kualitas hidup hanya bisa dilakukan
bila pola dan level produksi-konsumsi memiliki kompatibilitas dengan kapasitas lingkungan biofisik dan sosial. Melalui proses perencanaan berbasis daya-dukung
carrying capacity-based planning process , kondisi ini bisa dicapai dengan
mengintegrasikan ekspektasi sosial dan kapabilitas ekologi ke dalam proses pembangunan. Dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan, Khanna et al.
1999 me nambahkan, bahwa ekonomi dipandang sebagai sebuah subsistem dari sebuah ekosistem regional. Tidak mungkin terjadi pertumbuhan ekonomi yang
tidak terbatas. Dalam perspektif makroekonomi, hal ini berarti bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi harus selalu berada di dalam batas dayadukung wilayah
dan berada pada trade-off antara jumlah penduduk dan penggunaan sumberdaya per kapita di dalam wilayah yang bersangkutan.
Perencanaan pembangunan berkelanjutan membutuhkan informasi yang tepat tentang opsi penggunaan sumberdaya, pilihan teknologi yang digunakan,
perubahan struktur sistem, pola konsumsi, tingkat kualitas hidup yang diinginkan dan status lingkungan yang menjamin tereduksinya tekanan ekologis oleh
berbagai proses ekonomi. Pada level wilayah, operasionalisasi skema tersebut membutuhkan proses identifikasi keterkaitan antara kapasitas sumberdaya,
aktivitas pembangunan, kapasitas asimilasi, status lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan tingkat kualitas hidup yang diinginkan.
2.7 Kebijakan Publik di Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan