tinggi dibandingkan dengan status dan kedudukan kaum wanita dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan masyarakat. Hal ini mengakibatkan
ketimpangan atau kesenjangan terhadap hak dan kewajiban kaum wanita sehingga menyebabkan perempuan menjadi sub koordinat dari laki-laki di dalam keluarga
Widayani Hartati, 2014. Wanita sebagaimana layaknya ideologi patrilinial yang dianut oleh masyarakat Bali diposisikan sebagai kaum yang lemah, kaum yang
dinomorduakan, kaum yang harus dikasihani, kaum yang tidak mampu Suastika, 2010. Selain itu, wanita juga mengalami diskriminasi berupa pembatasan dalam
mengambil keputusan sehingga membuat kedudukan laki-laki semakin lebih dominan. Di dalam keluarga, wanita memiliki lebih banyak aturan yang harus
ditaati dan perempuan lebih banyak melakukan tugas dalam rumah tangga. Wanita yang dimaksudkan dalam bab ini adalah seorang istri dari suku Bali.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia 2008, istri adalah wanita perempuan yang telah menikah atau yang bersuami. Apabila ditelaah dari uraian di atas, maka
kedudukan istri di dalam rumah tangga kurang berarti. Istri cenderung didominasi oleh suami karena istri dianggap sebagai orang yang lemah, tidak mampu, dan patut
dikasihani sehingga istri sering mendapatkan diksriminasi. Sedangkan di dalam keluarga, istri melakukan tugas lebih banyak, meliputi tugas sebagai
partner
hidup suaminya, tugas sebagai ibu untuk mengasuh, merawat, dan mendidik anak, serta
tugas sebagai ibu rumah tangga yang bertugas mengatur segala kebutuhan dan keperluan rumah tangga Kartono, 1992.
E. Suami Penjudi di Bali
Dalam kamus besar bahasa Indonesia 2008, suami adalah pria yang menjadi pasangan hidup secara resmi bagi seorang perempuan istri. Peranan
suami di dalam keluarga yaitu sebagai
partner
dari istri, pencari nafkah utama, sebagai kepala keluarga, sebagai pengambil keputusan, sebagai penutan dan
pemimpin bagi anak dan istrinya Santrock, 1995. Sebagai kepala keluarga suami juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga. Dalam
masyarakat tradisional maupun moderen, seorang suami tetap memegang peran besar untuk menopang ekonomi keluarga sehingga mau tidak mau seorang suami
harus bekerja. Jika terjadi masalah keuangan atau ekonomi di dalam keluarga, maka akan berakibat buruk, misalnya tidak terpenuhinya kebutuhan keluarga,
menimbulkan konflik pada suami-istri sehingga berdampak pada perceraian Nakamura dalam Dariyo, 2004.
Apabila dilihat dari konteks kebiasaan dan tradisi, perjudian di Bali cukup sering ditemui. Misalnya pada saat adanya hari raya tertentu maka sering dijumpai
judi
tajen
, baik sebagai ajang perjudian, hiburan, maupun penggalian dana.
Tajen
yang dikatakan sebagai tradisi ini tentunya menarik antusiasme masyarakat Bali, terutama kaum lelaki karena
tajen
merupakan permaianan rakyat milik laki-laki dan masyarakat memberi nilai yang lebih tinggi kepada kaum laki-laki. Hal ini tentu
saja menarik perhatian bagi para suami untuk melakukan perjudian karena pejudian di Bali dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Adanya tekanan dari teman-teman,
kelompok, lingkungan untuk berpartisipasi dalam
tajen
membuat individu merasa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tidak enak jika tidak menuruti apa yang sering terjadi di lingkungan tersebut. Di sisi lain,
tajen
di Bali identik dengan sabung ayam di mana sabung ayam merupakan perwujudan keinginan suami untuk mendominasi istri B. Atmadja, Atmadja,
Ariyani, 2015. Hal ini tentunya selaras dengan ideologi patrilinial pada masyarakat Bali yaitu laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kaum wanita
sehingga laki-laki cenderung dominan dan mendominasi Widyani Hartati, 2014.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa suami penjudi dalam penelitian ini, yakni seorang kepala rumah tangga dari suku Bali yang gemar
melakukan aktivitas perjudian sehingga dapat memicu permasalahan di dalam keluarga.
F. Stategi Koping Istri yang Memiliki Suami Penjudi di Bali
Perjudian di Bali berbeda dengan perjudian yang ada di Indonesia pada umumnya, karena perjudian di Bali
dijadikan “kedok” sebagai salah satu ritual keagamaan, sehingga aparat hukum sangat sulit untuk menertibkan perjudian
tersebut. Masyarakat Bali sering menyebut perjudian dengan istilah
tajen
. Adanya
tajen
tidak terlepas dari kehidupan dan kebiasaan orang Bali karena
tajen
merupakan salah satu permainan rakyat yang diwariskan Geertz, 1992. Pada mulanya
tajen
adalah salah satu bagian dari ritual keagamaan, namun saat ini
tajen
sebagai salah satu ritual keagamaan
tabuh rah
telah di dwi-purnakan menjadi
tajen
sebagai perjudian karena adanya taruhan di dalamnya. Hal ini menyebabkan perjudian di Bali sangat sulit ditertibkan karena masyarakat berdalih bahwa
tajen
yang dilakukan adalah ritual keagamaan
tabuh rah,
bukannya
tajen
sebagai judi. Kekaburan ini menyebabkan
tajen
di Bali mengalami pro dan kontra, karena di sisi lain
tajen
juga dapat meningkatkan beberapa perekonomian, sebagai ajang untuk melakukan penggalian dana, dan sebagai ajang permainan rakyat. Perjudian ini
biasanya dilakukan oleh kaum lelaki karena
tajen
merupakan jenis permainan rakyat yang diwariskan untuk kaum laki-laki. Hal ini tidak terlepas dari sistem
patrilinial yang melekat pada masyarakat Bali, sehingga menempatkan kedudukan kaum laki-laki di atas kaum perempuan.
Apabila di lihat dari konteks kebiasaan dan tradisi, perjudian cukup sering ditemui di Bali. Misalnya pada saat adanya hari raya tertentu maka sering
dijumpai judi
tajen
, baik sebagai perjudian, hiburan, maupun penggalian dana.
Tajen
yang dikatakan sebagai tradisi ini tentunya menarik antusiasme kaum lelaki, terkhusus para suami yang kelak akan mewariskan budaya
tajen
kepada anak-anaknya. Adanya hal ini, semakin membuka peluang suami untuk
melakukan judi
tajen
. Apabila akhirnya suami gemar melakukan perjudian tentunya akan memberikan dampak buruk pada keluarga. Hal ini dikarenakan
orang yang bermain judi cenderung sulit untuk mengontrol diri agar tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Adapun beberapa dampak-dampak yang ditimbulkan dari perjudian suami yaitu masalah finansial, masalah relasi dan hubungan interpersonal, terjadinya
tegangan fisik dan psikologis, serta memicu ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Masalah finansial menyebabkan orang tidak memiliki uang untuk
memenuhi kebutuhan hidup karena uang suami dialokasikan untuk bermain judi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI