memengaruhi dalam hubungan timbal balik yang terus berkembang. Adanya perbedaan budaya dapat memengaruhi seseorang dalam melakukan strategi
koping. Secara khusus, strategi
problem focus coping
yang bertujuan untuk mengatasi atau mengurangi sumber stres cenderung dilakukan di Negara
Eropa karena orang-orang cenderung menganut budaya individualis, sedangkan
emotion focus coping
cenderung dilakukan di Negara Asia kerena orang-orang cenderung menganut budaya kolektif Chun, Moos, Cronkite,
2006. Orang-orang dengan orientasi kolektif cenderung melakukan koping
yang bersifat pasif atau penghindaran karena kecenderungan mereka untuk menilai stres sebagai ancaman, sedangkan orang-orang dengan orientasi
lebih individualistis cenderung terlibat dalam koping yang lebih aktif untuk mengatasi masalah karena menilai stres sebagai suatu tantangan. Perbedaan
tujuan koping dan motivasi juga akan memengaruhi pilihan strategi koping yang akan dilakukan. Bagi orang-orang yang berorientasi individualistik
cenderung menempatkan prioritas yang lebih besar pada pengendalian lingkungan untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka, sedangkan orang-
orang dengan orientasi kolektif cenderung menempatkan prioritas yang lebih besar untuk meminimalkan kerugian sehingga upaya koping cenderung
diarahkan untuk melindungi hubungan interpersonal dan sumber daya lainnya Chun, Moos, Cronkite, 2006.
Adanya perbedaan budaya, situasi, keterampilan, motivasi, dan tujuan dalam melakukan koping maka tidak dapat dikategorikan bentuk
problem focus coping
atau
emotion focus coping
yang paling baik, tepat, efektif, atau berkontribusi dalam menyelesaikan atau mengurangi tuntutan
yang menekan. Maka secara umum menurut psikolog kesehatan, koping yang berkontribusi mengacu pada beberapa tugas koping, yaitu dapat
mengurangi atau menghilangkan stres, toleransi atau menyesuaikan diri dengan peristiwa negatif atau realitas, mempertahankan citra diri yang
positif, menjaga keseimbangan emosi, melanjutkan hubungan yang memuaskan dengan orang lain, meningkatkan kemungkinan pemulihan jika
ada yang sakit, menjaga fisiologis, neuroendokrin, dan kekebalan tubuh. Kriteria lain dari koping yang sukses adalah seberapa cepat orang dapat
kembali pada kegiatan sebelum ia mengalami setres, Karatsoreos McEwen dalam Taylor, 2011. Apabila tugas-tugas tersebut berhasil
dilakukan, maka dapat dikatakan orang tersebut telah melakukan koping dengan cukup baik dan sukses.
5. Faktor-faktor Yang Dapat Memengaruhi Strategi Koping
Lazarus dan Folkman dalam Huffman, Verno, Vernoy, 2000, membagi beberapa faktor yang dapat memengaruhi koping, yaitu
health and energy, positive beliefs, problem-solving skills, internal locus of control,
social skills, social support, and material resources.
Berikut penjelasan dari beberapa faktor tersebut:
a. Health and Energy
Kesehatan dan Energi Semua stresor menyebabkan beberapa perubahan psikologis. Oleh
karena itu, kesehatan individu secara signifikan dapat memengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan koping. Orang-orang yang kuat
dan sehat memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melakukan koping. Billings dan Moos dalam Nurhayati, 2006, juga menyatakan bahwa
kesehatan merupakan sesuatu yang penting karena dalam usaha mengatasi stres, individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.
b. Positive Beliefs
Keyakinan Positif Citra diri yang positif dan sikap positif menjadi sumber utama
koping. Penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya harga diri seseorang dapat mengurangi beberapa kecemasan yang disebabkan oleh peristiwa
yang menekan Greenberg et al., 1989. Selain itu, dapat membuat seseorang bertahan dalam menghadapi rintangan yang berat. Menurut
Lazarus dan Folkman, harapan dapat berasal dari kepercayaan diri, yang dapat memungkinkan seseorang untuk merancang strategi kopingnya
sendiri. Misalnya, kepercayaan pada orang lain, seperti percaya dengan dokter atau Tuhan dirasa dapat memberikan hasil yang positif.
c. Internal Locus of Control
Ketika seseorang memiliki
internal locus of control
, maka orang tersebut merasa memiliki kendali atas peristiwa dalam hidupnya, sehingga
mereka lebih berhasil dalam melakukan koping jika dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki kontrol atas peristiwa dalam hidupnya
Strickland, 1978. Penelitian terbaru di China Hamid Chan, 1998, dan Belgia DeBrabander, Hellermans, Boone, Gertis, 1996 menunjukkan
hubungan antara
psychological stress
dan
locus of control
. Para peneliti menemukan bahwa pengusaha dan pelajar yang memiliki
internal locus
yang lebih tinggi memiliki
psychological stress
yang lebih rendah daripada orang yang memiliki
external locus
yang tinggi. Orang dengan
external locus of control
cenderung merasa tidak berdaya untuk mengubah keadaan mereka. Misalnya, ketika dihadapkan dengan penyakit parah, orang dengan
internal locus of control
lebih mungkin untuk mengumpulkan informasi tentang penyakit mereka dan tetap pada program pemeliharaan kesehatan
jika dibandingkan dengan orang yang memiliki
external locus of control
Wallston, Maides, Wallston, 1976.
d. Social Skills
Ketrampilan Sosial Situasi sosial seperti rapat, diskusi kelompok, kencan, pesta, dan
sebagainya sering menjadi sumber kesenangan, tetapi juga dapat menjadi sumber stres bagi seseorang. Hanya bertemu dengan seseorang yang baru,
dan mencoba untuk menemukan sesuatu untuk dibicarakan bisa sangat menegangkan bagi sebagian orang. Oleh karena itu, orang-orang yang
memperoleh keterampilan sosial tahu perilaku yang sesuai untuk situasi tertentu dan mampu mengekspresikan diri dengan baik mengalami
kecemasan yang lebih rendah dibandingkan orang yang tidak memiliki kemampuan sosial. Keterampilan sosial membantu seseorang tidak hanya
untuk berinteraksi dengan orang lain, tetapi juga mengkomunikasikan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI