memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks pengalaman, pengetahuannya sendiri Eriyanto, 2005 : 39-41.
2.1.6 Analisis Framing
Gagasan mengenai framing pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1995 Sudibyo dalam Sobur, 2004 : 161.pada awalnya frame
dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, dan yang
menyediakan kategori-kategori standart untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman 1974 yang
mengendalikan frame sebagai kepingan – kepingan perilaku strips of behaviour
yang membimbing individu dalam membaca realitas Sobur, 2001 : 162.
Konsep tentang framing atau frame sendiri bukan murni konsep ilmu komunikasi, akan tetapi dipinjam dari ilmu kognitif psikologi.
Dalam prakteknya analisis framing juga membuka peluang bagi implementasi konsep – konsep sosiologis, politik, dan kultural untuk
menganalisis fenomena komunikasi Sudibyo dalam Sobur, 2004 : 162. Pada analisis framing yang kita lihat adalah bagaimana cara media
memaknai, memahami dan membingkai sebuah kasus atau peristiwa yang ada dalam berita. Maka jelas adanya framing secara sederhana dapat
digambarkan sebagai suatu analisis untuk mengetahui bagaimana realitas 23
peristiwa, aktor, kelompok, atau apa sajalah dibingkai oleh media Eriyanto, 2004 : 3.
Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta ke
dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain
framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau
cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut itu pada akhirnya menentukan fakta
apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut Sobur, 2004 : 162.
Analisis framing dipakai untuk mengetahui bagaimana realisasi dibingkai oleh media. Dengan demikian realisasi sosial dipahami,
dimaknai dan dikonstruksi dengan bentukan dan makna tertentu. Elemen tersebut menandakan bagaimana peristiwa dan ditampilkan. Inilah
sesungguhnya sebuah realitas, bagaimana media membangun, menyuguhkan, mempertahankan suatu peristiwa kepada pembacanya
Eriyanto, 2004 : vi. Dalam proses framing, berkaitan erat dengan rutinitas dan
konvensi professional jurnalistik. Proses framing tidak dapat dipisahkan dari strategi pengolahan dan penyajian informasi dalam presentasi media.
Dalam hal ini wartawan menempati posisi strategis untuk menyusun dan mengolah informasi. Dengan posisi ini, wartawan mengolah dan
mengemas informasi sesuai dengan idiologi, kecenderungan ataupun keberpihakan politik mereka. Wartawan juga dapat membatasi dan
menafsirkan komentar-komentar sumber berita, serta memberi porsi pemberitaan yang berbeda antara sumber berita dengan sumber berita
lainnya. Hal ini senada dengan konsep framing oleh Entman, digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari
realitas media Eriyanto, 2004 : 186. Framing
dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi besar
dari pada isu yang lain. Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi
dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan.
Frame timbul dalam dua level, pertama, konsepsi mental yang
digunakan untuk memproses informasi dan sebagai karakteristik dari teks berita. Kedua perangkat spesifik dari narasi berita yang dipakai untuk
membangun pengertian mengenai peristiwa. Frame berita dibentuk dari kata kunci, metafora, konsep, simbol, citra yang ada dalam narasi berita.
Karenanya frame dapat dideteksi dan diselidiki dari kata citra dan gambar tertentu yang memberi makna tertentu dari teks berita. Kosa kata dan
gambar tertentu ditekankan dalam teks sehingga lebih menonjol dibandingkan bagian lain dalam teks. Itu dilakukan lewat pengulangan,
penempatan yang menonjol atau menghubungkan bagian lain dalam teks 25
berita. Sehingga bagian itu lebih menonjol, lebih mudah dilihat, diingat dan lebih mempengaruhi khalayak Eriyanto, 2002 : 189.
Framing dalam prakteknya dijalankan oleh media dengan
menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu lain serta menonjolkan aspek isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana, penempatan
yang mencolok, menempatkan di headline, halaman depan atau bagian belakang, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan
memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau suatu peristiwa yang diberitakan. Penonjolan didefinisikan
sebagai membuat sebuah informasi lebih diperhatikan, bermakna dan berkesan. Pada dasarnya penonjolan tersebut tidaklah dimaknai sebagai
bias, tetapi secara ideoligis sebagai strategi wacana, upaya menyuguhkan pada public tentang pandangan tertentu agar pandangan tersebut dapat
diterima oleh khalayak. Salah satu yang menjadi prinsip analisis framing adalah wartawan bisa menerapkan standart kebenaran, serta batasan-
batasan tertentu dalam mengolah dan menyuguhkan berita Sobur, 2004 : 86.
2.1.7 Perangkat