3.5. Guru dan Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pada tahun ajaran ini, SMPN 10 Medan menggunakan KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum ini adalah kurikulum yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menyempurnakan Kurikulum Berbasis
Kompetensi KBK, kurikulum ini menghendaki otonomi sekolah untuk berkreativitas mengelola dan mengembangkan metode pendididkan yang cocok
bagi para siswanya. Dengan kata lain, Kurikulum Tingkat Saatuan Pendidikan merupakan kurikulum yang dikembangkan sesuai kebutuhan dan karakteristik
sekolah. KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan.
Untuk Medan sendiri tentu dibawah pengawasan Disdik Pemprovsu. Dalam Kurikulum Nasional, standar isi dan standar kompetensi lulusan
merupakan acuan utama bagi KTSP. Untuk standar isi sendiri, tentu sangat terkait dengan urusan buku paket yang akan dipergunakan di sekolah. Sebagai
sekolah negeri, SMPN 10 Medan memperoleh buku paketbuku pegangan dari Disdik Pemprovsu. Setiap satu pelajaran hanya menerima satu buku pegangan
saja. Buku-buku pelajaran yang diperoleh para murid dan guru di SMPN 10 Medan diterima secara gratis, kecuali buku LKS Lembar Kerja Siswa. Buku
LKS tersebut dapat dibeli di koperasi sekolah. Harganya sekitar Rp.6000- Rp.16.000buku. Namun pada akhir masa tahun ajaranmasa menuju kenaikan
Universitas Sumatera Utara
kelas, buku-buku tersebut kecuali LKS harus dikembalikan para murid kepada sekolah melalui wali kelas. Bagi siswa yang merusak baik itu menyobek dan
menyoret-nyoret dan menghilangkan buku maka akan diberi sanksi mengganti buku baik itu dengan buku yang baru atau dengan uang.
Saat jam istirahat, saya berbicang dengan beberapa guru di meja guru piket terkait dengan permasalahan kurikulum sekolah. Bapak I. Pinem
mengatakan: ―Buku yang ada di sekolah ini, hanya kami terima begitu saja
dari Disdik. Tidak ada campur tangan guru dalam pemilihan buku. Sementara sekolah kami inikan sistem KTSP, berartikan
berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik. Dibandingkan pihak lain, kamilah
yang tahu siswa kami kurangnya dimana karena kamilah gurunya. Inilah sulitnya di sekolah negeri. Tapi, mau berkata
apa, ya diterima saja”. Bapak K. Hotman Simarmata yang duduk di sebelah pak Pinem juga turut
menambahkan penjelasan. Beliau mengungkapkan: ―Betul memang, tapi ada juga persoalan lainnya yang timbul
karena itu dek. Bapak nggak ngerti sama sistem KTSP ini. Cobalah kita pikir ya. KTSP inikan berarti sekolah diberi
kebebasan untuk mengelaborasi kurikulum inti yang dibuat pemerintah, tetapi evaluasi nasional oleh pemerintah melalui
ujian nasional UN justru paling menentukan kelulusan siswa. Sekian hari hanya untuk menentukan 3 tahun siswa belajar, kan
itu nggak benar. Tidak dilihat bagaimana progres si siswa itu belajar, memang tidak langsung kemampuan siswa itu sampai ke
tahap pemahaman sempurna tetapi kan sedikit demi sedikit mereka mulai paham, itukan sudah cukup baik. Lagi pula dek,
yang dinilai itu selalu masalah kepintaran, padahal saya rasa permasalahan akhlak juga penting. Untuk apa manusia pintar
tapi akhlak nol. Selain itu, pemerintah melalui Disdiklah yang menetapkan segala tujuan atau kompetensi, isi, strategi, dan
evaluasi, jadi seolah KTSP itu tidak cukup berguna, kayak pendukung sistem saja, dek. Tapi begitulah sistem pendidikan
kita, mau apa lagi.”
Universitas Sumatera Utara
Tidak berhenti sampai disitu, saat jam pulang sekolah dan di dalam ruang guru pun saya kembali menanyakan kepada guru lainnya tentang
permasalahan yang mungkin mereka alami seputar kurikulum. Ibu R. Tarigan memaparkan pada saya:
―Dalam standar pendidikan nasional ada berisi standar isi dan proses, dek. RPP yang kami buat itu salah satu bagiannya.
Dalam RPP itu ada kategori pengelolaan waktu. Berarti dalam satu semester harus habis sekian bab atau dalam setahun itu
harus habis seluruh bab. Persoalannya, terkadang untuk membahas satu bab saja belum tentu dalam sebulan selesai dek,
apalagi jika murid-murid masih belum paham. Nah, karena harus berpacu dengan waktu tadi walaupun belum seluruh
murid paham, alhasil tetap harus lompat ke bab selanjutnya. Kalau pelajaran non eksak, masih lebih enak dek, bab yang
kurang dimengerti masih bisa dipelajarin sendiri oleh murid, sementara untuk eksak kan harus dikasih contoh lagi,
ditunjukkan jalannya, itu pun belum tentu murid itu paham. Ada memang beberapa mata pelajaran yang dileskan, nah itu masih
mending masih ada kesempatan untuk membahas bab-bab yang kurang dipahami ditambah dengan referensi dari sumber lain,
dek.”
3.6. Guru dan Sarana-Prasarana