BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pendidikan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kebudayaan. Pada prinsipnya, kebudayaan dan pendidikan mempunyai nilai-nilai yang perlu
dipahami dan diwariskan
1
. Pendidikan menjadi sebuah rangkaian proses menyemai benih-benih budaya di masyarakat. Pendidikan mempunyai begitu
banyak manfaat bagi manusia, diantaranya adalah untuk menjadikan manusia cerdas dan terampil, menjadikan manusia memiliki budi pekerti yang luhur dan
berakhlak mulia, meningkatkan kualitas dan tingkatan hidup manusia. Hal serupa juga tertulis dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Merujuk pada pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa proses
pendidikan berupaya mengamalkan keseluruhan budaya bangsa —walaupun
praktiknya di lapangan belum tentu seperti itu — sehingga dengan bersekolah
1
Theodore Brameld dalam Supriyoko Sistem Pendidikan Nasional dan Peran Budaya Dalam Pembangunan Berkelanjutan. Makalah seminar pembangunan nasional VIII.
Denpasar, 2003.
Universitas Sumatera Utara
maka generasi muda bukan hanya dibentuk menjadi manusia berpendidikan tetapi juga manusia berbudaya.
Sekolah adalah pranata sosial yang menjadi wujud pendidikan. Banyak pihak yang berperan dan menjadi bagian dari sekolah namun, guru dan murid
adalah aktor utamanya. Pendidikan menuntut guru untuk menguasai pengetahuan mengenai bidang studi yang diajarkannya secara menyeluruh dan
mendalam. Namun pada kenyataanya masih banyak guru yang kurang kompeten dalam bidangnya. Ada banyak alasan mengapa hal tersebut bisa
terjadi. Pertama, sewaktu masa perkuliahan mereka tidak benar-benar menyukai dan menekuni bidang keguruannya
—keguruan dan pendidikan hanya menjadi pilihan kedua, ketiga untuk memasuki perguruan tinggi tertentu. Kedua,
beberapa guru mengajarkan bidang studi yang bukan menjadi bidangnya semasa perkuliahan. Contohnya, guru Matematika mengajar bidang studi
Fisika. Dengan demikian, muncullah guru-guru penceramah yang membacakan ulang materi pelajaran di depan murid dan kegiatan utama murid hanya
mencatat atau mendengarkan saja. Bahkan terkadang menjadi pelaku yang karena ketidak-tahuan atau ketidak-mampuannya menjawab pertanyaan yang
ada —terutama yang datang dari murid— maka, akan menjadikan persoalan
tersebut sebagai PR pekerjaan rumahtugas bagi murid. Dewasa ini, banyak murid yang tidak lagi suka bersekolah dan belajar
dianggap sebagai hal yang memusingkan, membebani dan sangat membatasi. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang menghalalkan dan menyuburkan
Universitas Sumatera Utara
praktik main uang
2
di lingkungan sekolah. Fenomena itu tidak tercipta spontan begitu saja, permasalahannya muncul dari minimnya minat
—bahkan mungkin tidak berminat sama sekali
— murid untuk belajar. Hal itu yang sebenarnya menjadi tugas awal dan utama guru yakni memancing serta menumbuhkan
minat belajar. Namun, yang sering terjadi guru langsung menyodorkan dan menyuapkan materi pelajaran tanpa murid tahu kenapa mereka perlu belajar itu.
Padahal dirasa sangat penting membeberkan alasan-alasan mengapa guru meminta mereka melakukan ini atau itu setiap hari, seperti belajar atau
mengerjakan PR contohnya
3
. Merosotnya minat belajar murid disebabkan oleh ketidak-mengertian
dan ketidak-pahaman murid bahwa pelajaran-pelajaran tersebut adalah bagian dari dirinya
—atau yang akan menjadi bagian dirinya— yang disebut pengalaman. Guru melalui pengetahuannya, harus bisa menunjukan korelasi itu.
Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, guru kurang menguasai bidang studi yang diajarkannya sendiri sehingga guru belum benar-benar siap untuk mengajar
apalagi untuk menunjukkan bahwa pelajaran itu penting buat muridnya. Hal tersebutlah yang memunculkan budaya menghapal bukan memahami
pelajaran. Murid disuruh untuk menghapal saja terus-menerus supaya pelajaran itu terpatri dalam ingatannya, terlepas apakah si murid berminat atau tidak atas
pelajaran itu. Lebih mencengangkan lagi apabila si murid tidak berminat tetapi ―dipaksa‖ berminat terhadap bidang studi tersebut. Contohnya, jika tidak
2
Sogokkan, suap, persekongkolan.
3
Rafferty dalam Paul Freire, et.al, Menggugat Pendidikan, alih bahasa Omi Intan Naomi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. 67.
Universitas Sumatera Utara
menghapal akan kena rotan pak guru, jika tidak mengerjakan PR akan mendapat Surat Panggilan Orangtua SPO atau jika tidak ikut les bidang studi
tertentu maka tidak naik kelas. Untuk memicu ―minat‖ tadi, digunakan rasa takut, memanfaatkan ketidaksenangan terhadap apapun yang melemahkan baik
yang secara fisik maupun mental. Merosotnya minat belajar murid sangat berdampak terhadap reformasi
pendidikan. Padahal telah banyak upaya yang dilakukan untuk memperbaruhi kualitas guru sekarang ini, tapi pada kenyataannya banyak guru yang tidak suka
perubahan. Inginnya kurikulum dan cara mengajarnya tetap seperti yang sudah- sudah. Apabila pendidikan di Indonesia sungguh ingin direformasi, maka harus
dimulai dari guru. Pendidikan Indonesia membutuhkan guru yang menghayati pekerjaannya sebagai sebuah panggilan hidup bakat. Seseorang bisa
mengatakan bahwa profesi tertentu merupakan panggilan hidupnya, jika ia merasakan profesi itu merupakan bagian dirinya, ia menikmati perannya dan
memberi faedah bagi orang lain. Guru yang menjalankan tugasnya sebagai panggilan hidup secara otomatis akan rela menyediakan banyak waktu, tenaga,
dan fikiran bagi perkembangan dan keberhasilan anak didik. Namun, masih banyak guru yang menghayati pekerjaannya sebagai profesi yang sebatas untuk
mencari uang. Masih banyak guru yang mengerjakan proyek di mana-mana untuk mencari uang tambahan. Padahal perlu diketahui, kalau seseorang ingin
Universitas Sumatera Utara
menjadi kaya dengan menjadi guru, hal itu jelas keliru. Mereka seharusnya menjadi pembisnis saja dan meninggalkan profesi keguruannya
4
. Bukan hanya permasalahan-permasalahan tersebut. Dewasa ini, antara murid
guru telah terjadi krisis kepercayaan. Yang dibutuhkan dalam persekolahan adalah peneladanan. Peneladanan ini disebut pula sebagai pembelajaran sosial
social learning. Bentuk krisis kepercayaan yang terjadi adalah murid tidak lagi menganggap guru sebagai sosok yang disegani, digugu dan ditiru. Banyak
guru yang mengajarkan tentang pentingnya kejujuran padahal kenyataannya, beliau merupakan pelaku yang turut melanggengkan praktik main uang tadi.
Hal tersebut menyebabkan murid menjadi sepele dengan guru dan tidak mempercayai lagi apa yang dikatakan guru adalah hal baik dan benar untuk
dilakukan. Permasalahan pendidikan bukan hanya terjadi dalam hubungan antar
murid dan guru, lebih luas dari itu yakni dalam hubungan antar guru dan kurikulum. Sebagus apa pun kurikulumnya jika guru tak mampu
memahaminya, maka akan menjadi beban bagi guru. Sebaliknya, sesederhana apa pun kurikulumnya jika benar-benar dipahami guru, maka akan menjadi
kompas baginya. Persoalannya, tidak semua guru memahami dan menangkap makna kurikulum secara keseluruhan. Ada guru yang dengan mudah dapat
memahami makna seluruh ketentuan yang termuat dalam kurikulum, dan dengan mudah dapat merefleksikannya dalam pengajaran yang menarik.
4
Paul Suparno dalam Widiastono Pendidikan Manusia Indonesia Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2004, hal. 126.
Universitas Sumatera Utara
Namun, ada juga guru-guru yang kemampuan teoritis dan praktiknya terbatas sehingga sulit memahami maksud dan tujuan dalam kurikulum. Bukan sebatas
di pihak guru, dari kurikulum sendiri terkadang turut menimbulkan persoalan. Kurikulum seharusnya disusun dengan memberikan ―ruang gerak‖ yang sedikit
longgar kepada para guru. Guru tidak perlu terlalu terikat terhadap pakem- pakem pengajaran yang ditawarkan kurikulum sehingga guru mampu
berimprovisasi dalam proses belajar-mengajar. Kurikulum yang diperbarui hendaknya memungkinkan guru mengajarkan suatu materi pada berbagai taraf
kecanggihan dan melalui berbagai jenis penyampaian modes of delivery. Dengan demikian, guru merasa lebih nyaman, percaya diri dan menikmati
proses pengajaran. Mengetahui begitu banyaknya permasalahan-permasalahan pendidikan
yang tidak terlepas dari peran guru, maka membuat penulis tertatik untuk mengkaji bagaimana pola mengajar para guru di sekolah khususnya di SMPN
10 Medan.
1.2. Tinjauan Pustaka